(Timeline-nya mundur 2 tahun dari alur cerita utama)
"Cepat kejar! Jangan biarkan orang itu kabur!"
Ketua Pengawal Kerajaan Bosnavi memimpin empat bawahannya. Mereka menggunakan kuda untuk mengejar ketertinggalan. Padahal assassin kabur hanya dengan kedua kakinya, tapi mereka bisa sampai tertinggal seperti itu. Menandakan orang yang mereka buru bukanlah manusia biasa.
Dia Hazard, baru beberapa kali membunuh sudah diketahui identitasnya. Karena saat beraksi, dia tidak menggunakan penyamaran, hanya rambutnya yang menutupi kening.
Beruntung, meski dalam pengejaran dia tidak mudah tertangkap. Berkat hasil latihannya bersama Vrede, sebelum tertidur panjang lima tahun yang lalu. Saat itu, Hazard masih berumur lima belas tahun. Kekuatan dan kecepatannya melebihi batasan manusia, tapi masih bisa dikalahkan jika dia terluka.
Seperti pagi ini di kota perbatasan yaitu kota Dokka, Hazard terlihat membayar satu jagung bakar untuk mengganjal perut. Tiba-tiba ada seorang ibu mengenalinya berkat selembaran yang ditempel di banyak tempat. Ibu itu menunjuk-nunjuk wajah Hazard dengan kedua mata membeliak.
Pedagang jagung langsung menyadari. Saking terkejutnya dia sampai terjatuh, membuat tungku pembakaran dari susunan batu jadi tercecer karena sedikit tersenggol oleh tangannya. Beruntung, dia tidak terbakar saat itu juga.
Semua pedagang dan para pembeli di pasar menatap ke arahnya. Saat itu Hazard mengeratkan tudung jubah dan berniat kabur. Namun, ia justru menabrak seorang pria dengan badan lebih besar dan tinggi. Ketika menatap ke atas, pria itu terlihat menakutkan dengan bekas luka pada pipi kiri. Dia merupakan pria yang selalu meminta jatah mingguan pada para pedagang.
"Hoo! Kaukah pembunuh yang terkenal kejam itu?" hardiknya dengan pandangan remeh. "Konyol sekali sampai orang seperti ini jadi buronan kerajaan. Kau tak lebih dari kroco penyakitan yang sebentar lagi mati ditanganku," lanjutnya seraya menggosok hidung, menyombongkan diri.
Hazard tidak jadi kabur, justru dirinya membuka tudung dan tersenyum tipis. "Jadi, kau mau apa?"
Pria itu tersinggung melihat senyum pemuda di depannya. Kedua maniknya mulai serius. "Beraninya tersenyum! Sepertinya kau memang ingin mati ya?" Dia menarik sebuah pedang dari belakang punggung. Terlihat kilatan cahaya memantul dari mata pedang.
Bukannya takut Hazard malah mengeluarkan Zadura dari sarungnya. "Justru kau yang akan mati." Seringai picik terukir jelas di bibir Hazard.
Gigi bergemeretak, menandakan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun. "Dasar bocah sialan! Mati kau!" teriaknya sambil mengayunkan pedang tepat di depan mata Hazard.
Trang!
Serangan ditahan. Senyum tipis Hazard membuat lawan kehilangan fokus saat mengayunkan pedang. Tak menyerah, si pria lantas mengincar pinggang, tapi dengan mudah ditangkis. Hazard mengaitkan pedang melengkung pada pedang lawan, hingga terpental dan lepas dari tangan si pria besar. Hazard mengayunkan kaki dan tubuh, menendang samping kiri hingga melukai wajah lawan dan membuatnya tumbang.
Seketika napas berada di pangkal kerongkongan ketik Hazard sudah ada di depan mata dan berjongkok. Pedang melengkung itu berkilat-kilat tertancap di samping cuping telinga musuh dan sedikit menggoresnya hingga mengalirkan darah segar.
Nyali si pria yang awalnya segunung itu, mendadak menjadi jurang kematian tatkala melihat kilatan napsu membunuh yang tampak jelas.
Tiba-tiba suara tapal kuda dari kejauhan terdengar kian dekat menuju lokasinya berada. Hazard menoleh ke belakang dan berdiri, menyarungkan Zadura ke punggung. Meski sangat ingin menghabisi manusia di bawah kakinya, Hazard mengurungkan niat dan segera berlari dari tempatnya sekarang menuju hutan. Yang diberi nama Hutan Terlarang oleh warga setempat.
Akan tetapi, rombongan pengejar tak mudah menyerah. Mereka ikut masuk ke dalam hutan setelah mendapat informasi soal Hazard dari para penduduk di sana. Mereka adalah para pengawal yang khusus ditugaskan di kota perbatasan ini.
Hazard berusaha terus melarikan diri. Sampai dirinya tak sadar, menginjak jebakan. Lalu terperosok dan jatuh terlentang. Mengakibatkan kaki dan tangan luka-luka. Tergores ranting-ranting penahan dedaunan. Sementara perut samping kanannya tertusuk bonggol kayu yang ada di dalam lubang jebakan.
Erang kesakitan menggema, Hazard menekan luka yang menganga dengan tangan kiri agar tidak keluar makin banyak. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Luka terus mengalir dari sela-sela jari yang mengenakan sarung tangan.
Tidak cukup sampai di situ kesialannya, rombongan pengejar malah berhenti tepat di belakang lubang jebakan. Yang menghalangi hanya semak-semak belukar dengan sebuah pohon yang menjulang. Mereka semua turun dari kuda, terlihat kebingungan karena kehilangan jejak Hazard.
Sedang Hazard napasnya tercekat, berusaha tidak melakukan pergerakan apapun. Menunggu orang-orang yang mengejarnya pergi.
Beberapa saat menunggu, tapal kuda terdengar berkelotak menjauh. Hazard lega, Napasnya kembali normal. Perlahan dia bersandar ke dinding tanah. Meregangkan kaki serta melepas jubah. Dengan begitu jubahnya tidak akan membuat luka di perut semakin parah.
Hazard memilih diam sampai sore. Namun, ketika malam tiba dirinya kesulitan untuk memanjat karena dasar lubang yang terlalu jauh dari permukaan. Sementara bunga prup habis dan perutnya sudah keroncongan. Luka di tubuh belum juga sembuh sebab terlalu banyak bagian yang terbuka. Walau Hazard sudah menutupnya dengan menyobek jubah, percuma saja kalau luka itu tidak diobati. Karena regenerasi tubuhnya belum cukup cepat untuk menyembuhkan lupa separah itu.
Hazard pun terjebak di dalam sampai pagi. Entah siapa orang yang membuat jebakan ini, tapi Hazard sangat mengakui kecerdasannya. Sebab bukan hanya pemilihan tempat saja yang bagus, tapi dalam lubang ini juga terdapat beberapa bonggol pohon yang runcing, dibuang untuk melukai korbannya.
Jika Hazard memaksa untuk keluar dengan kondisi sekarang, hal tersebut hanya akan melukai diri sendiri. Itu sebabnya dia memilih diam sampai selama ini. Menunggu seseorang menemukan keberadaannya.
Kini, mentari sudah berada di atas kepala, tapi berkat pepohonan rindang Hazard tidak merasa kegerahan. Namun tetap saja, lama ke lamaan wajahnya makin pucat. Hingga bunyi ranting dan dedaunan diinjak mulai tertangkap pendengaran.
Sebelum ditemukan, Hazard menutup wajah dengan sehelai kain yang dirobek dari baju dalamnya. Dia tak ingin wajahnya dikenali oleh orang-orang lagi. Sementara kening makin ditutupi rambut jingga yang sedikit ikal. Saat itu, kristal di kening masih berupa bulatan kecil, sehingga tidak terlalu tampak jika tidak diperhatikan dengan seksama.
"Hey, kawan! Apa kau terluka?" teriak seorang pemuda bernama Syamsi, sedang pemuda disebelahnya bernama Syamsir.
Mereka berdua kembar identik, hanya rambut dan besar tubuh saja yang membedakan. Syamsi memiliki rambut sedikit bergelombang dan otot yang tidak terlalu tampak, sementara Syamsir badannya sangat sehat dan berotot, rambut pun terlihat lurus tertata rapi.
Suara panggilan dari atas membuatnya berharap. Hazard bangkit tertatih-tatih lalu menengadah. "Ti-tidak terlalu, hanya luka di perut kemungkinan cukup dalam," jawabnya lirih, sembari meringis beberapa kali.
"Kalau begitu, kau bisa naik dengan tali?"
Hazard diam sebentar, mencerna pertanyaan Syamsi. Dia kemudian menjawab, "Saya ... akan berusaha."
"Baik, coba tangkap ini!"
Seutas tali tambang dilempar sampai ke dasar. Hazard meraih tali tersebut kemudian melilitkan robekan jubahnya menjadi pelindung tangan. Dia mulai memanjat, perlahan-lahan karena takut membuat luka makin lebar.
Meski cukup kesulitan, Hazard berhasil naik kepermukaan. Dengan cekatan, Syamsi menahan badan Hazard agar tidak jatuh langsung ke tanah.
Melihat saudaranya kesusahan, Syamsir bukannya membantu malah melengos begitu saja.
Garis-garis kekesalan di kening Syamsi seketika bermunculan. "Woy! Bantulah sedikit! Kau tidak punya hati ya?"
Syamsir mendesah malas dan berbalik. Ia menawarkan diri untuk menggendong Hazard. Sebab dia sangat tahu, saudara kembarnya tidak akan sanggup menggendong pemuda yang sama besarnya dengan dirinya sendiri.
Syamsi dan Syamsir membawa Hazard pulang ke kastil tua yang terletak di tengah hutan. Di sana Hazard bertatap muka langsung dengan Harith, pemilik kastil sekaligus tuannya si kembar.
Harith tidak bertanya macam-macam. Dia langsung memerintahkan Syamsir untuk membawa Hazard ke dalam kastil dan membaringkannya di kamar kosong.
Beberapa pelayan muncul; membawa kain bersih, seember air hangat dengan lap, dan bubur aneh dalam mangkuk yang kemungkinan merupakan obat. Inginnya Hazard terus terjaga agar bisa melihat proses pengobatan tubuhnya. Akan tetapi, seakan tak mengizinkan. Kedua matanya mulai sulit untuk terbuka. Sampai akhirnya Hazard tak sadarkan diri akibat kelelahan dan kehabisan banyak darah.
***
Matahari hampir terbenam, Hazard tersadar saat sore hari. Dirinya langsung duduk, lupa dengan kondisi sendiri. Alhasil erang kesakitan membuat Harith dan Chayra menoleh. Raut muka keduanya tampak sedikit panik.
"Jangan bergerak dulu, nanti lukanya terbuka lagi." Chayra menuntun Hazard untuk bersandar pada bantal yang telah ditumpuk. Sementara Harith terus mengamati bahasa tubuh Hazard, sama sekali tidak terlihat mengancam. Kecuali wajahnya yang ditutup dengan kain, membuatnya agak curiga.
"Anda siapa? Mengapa bisa terjebak di sana? Dan kenapa Anda masih hidup?" tanya Harith penuh penekanan. Beserta sorot mata yang mengintimidasi.
"Saya akan jujur, tapi berjanjilah, Anda tidak akan melakukan hal buruk setelahnya."
Harith terkejut, melihat ekspresi mata pemuda di depannya, yang sama sekali tidak berubah dari awal bertatap muka. Hal ini, membuatnya sedikit ciut. Dan sedikit menurunkan nada bicara.
"Jika itu yang Anda inginkan, tentu saja."
Hazard menghela napas sejenak lalu menatap Harith kembali. Dia mulai bercerita, "Saya seorang assassin, menjadi buronan karena ketahuan membunuh para pejabat dari Kerajaan Bosnavi ...." Dan menceritakan dari awal pengejaran sampai terperosok ke dalam lubang jebakan.
Setelah mendengar kronologi jatuhnya Hazard ke lubang jebakan, Chayra dan Harith membisu. Tak ada yang mencoba untuk membuka percakapan lebih dulu.
"Tenang saja, saya tidak mungkin berbuat macam-macam di sini. Saya hanya ingin menginap sebentar, hanya sampai luka ini sembuh," jelas Hazard menegaskan tujuannya.
"Oke, Anda boleh—"
"Tidak adakah imbalan untuk kami?" Pertanyaan Chayra menyela. Sementara Harith tampak terkejut karena pertanyaan Chayra yang mendadak.
Hazard menoleh, menatap wanita di samping. Wanita itu terlihat penuh ambisi. Ekspresi matanya menerjemahkan semua ambisi yang terpendam.
"Katakan ... Nyonya ingin imbalan apa?"
"Saya ... ingin ... balas dendam," jawab Chayra dengan suara yang agak pelan. "Tolong. Bantu kami membunuh Raja Altair dari Negeri Alraml!" lanjutnya dengan intonasi menggebu-gebu. Kedua tangan dikepalkan di dada, pertanda bahwa Chayra benar-benar serius.
Sejak ditinggalkan sendiri, Hazard mulai merenung. Tentang permintaan seorang wanita yang namanya saja dia belum tahu. Walau begitu, Hazard bukanlah manusia yang tidak tahu balas budi. Dia, tentu saja, akan berusaha membalas kebaikan orang yang telah menolongnya dari kematian.
Tak terasa, hari sudah gelap, seorang pelayan perempuan membawa makan malam untuk Hazard dan menaruhnya di meja tua samping ranjang. Dia tersenyum tipis pada pelayan. Walhasil, seulas warna merah jambu langsung berdesakan keluar dari wajah si pelayan.
"Se-se-la-mat, makan! Semoga Anda suka! Permisi!" Suaranya naik beberapa oktaf dan tersendat-sendat. Pelayan itu langsung kabur dengan nampan kayu dipeluk erat.
Di luar kamar, sudah ada pelayan perempuan lain termasuk Kaila. Mereka bertiga tampak bersemangat, bergosip tentang Hazard yang begitu menarik dan misterius. Mereka bertiga membayangkan, Tuan Hazard yang mungkin saja sangat rupawan di balik kain yang menutupi wajahnya.
***
Tengah malam, Hazard terjaga. Dia bangkit, mulai menulis pada selembar paripus. Saat selesai, Hazard menyelipkan paripus di bawah bantal. Kemudian membuka kain tipis di perut yang membungkus sampai pinggang. Ajaibnya, luka itu sudah sembuh sehari setelah diobati. Tanpa bersuara, Hazard melompat ke jendela kastil, dan melompat lagi dari pohon ke pohon. Ia pergi tanpa pamit, meninggalkan sebuah paripus.
"Tunggu saya dua tahun lagi," gumam Hazard, ia terus melompat hingga keberadaannya lenyap tak berbekas.