Dalam sebuah ruangan gelap berdinding batu dengan penerangan redup, lima pengawal menggiring lima gadis masuk. Mereka adalah putri dari kerajaan yang kalah saat perang.
Pengawal memerintah mereka duduk di lantai dengan paksa. Para putri menyadari keganjilan ukiran patung yang terdapat di setiap sudut ruangan. Berbentuk kepala banteng dengan tubuh manusia utuh, telanjang. Kecurigaan kian kuat ketika kumpulan lilin di tengah ruang menyala, menampilkan lingkaran pentagram. Seorang pria berjubah cokelat dengan pin kepala banteng di dada muncul dari kegelapan. Dia menyingkap tudungnya dan tersenyum picik pada kelima putri.
"Tu-tuan Zain, Anda?" pekik salah satu putri tak percaya. Mereka mulai berpelukan satu dengan yang lainnya. "Apa yang ingin Anda lakukan? Tolong lepaskan kami!"
Tanpa mempedulikan pertanyaan salah satu putri, Zain menyuruh pengawal mengikat mereka ke setiap patung.
"Tidak! Saya tidak mau!"
"Lepaskan kami!"
"Saya mohon! Tidakk!"
Sekuat tenaga mereka berontak. Meronta-ronta bagai hewan yang akan disembelih. Namun para pengawal lebih tangguh, mereka pun tak bisa melepaskan diri dengan mudah. Dan berakhir dalam ikatan tambang. Diikuti dengan Zian yang duduk di tengah-tengah lingkaran.
"Kalian keluarlah."
"Baik, Tuan."
Tinggal Zain dan kelima putri yang terikat. Tanpa menunggu lama, dia mengeluarkan pisau dari balik jubah. Kemudian menyayat lengan kiri untuk meneteskannya ke lantai bercorak pentagram. Bibirnya mulai berkomat-kamit merapalkan mantra.
"Putih tak selamanya suci. Hitam tak selalu kotor. Dua sisi tak bisa menyatu. Namun saling tarik-menarik. Maka, datanglah! Saya mengundangmu. Persembahan ini untuk Sang Penguasa, Tuanku Nochedon. Sang Keabadian Tunggal," tuturnya seraya terpejam.
Mantra pemanggil terus dikumandangkan berulang hingga dua kali. Saat yang ke tiga, seorang putri berteriak, "Penyihir menjijikan! Lepaskan kami, sialan!" Sementara putri lainnya berusaha melepaskan diri dari ikatan.
Zain terus merapalkan mantra hingga selesai. Patung-patung mendadak hidup dengan mata berkilat merah. Asap hitam tiba-tiba mengepul dari kelapa patung. Tangan kerasnya segera mengunci erat tubuh para putri yang meronta. Lengkingan kesakitan bagai nyanyian kematian saat tubuh mereka perlahan mengering menyisakan hanya kulit dan tulang. Mereka mati mengenaskan sebagai tumbal pemanggil iblis.
Zain membuka mata, menatap dinding batu yang mulai bergemuruh. Banyak kerikil berjatuhan dari atap. Lingkaran pentagram terlihat bercahaya merah darah. Secepatnya dia menyingkir dan menyaksikan lingkaran itu membuka gerbang antara dunia manusia dan iblis.
Makhluk berkepala banteng bertubuh mirip manusia muncul dari dalam lingkaran. Dia setengah telanjang dengan kalung tengkorak melekat di dada. Tampak napas panas berembus dari mulut yang penuh dengan gigi-gigi tumpul.
Perhatian Zain sepenuhnya terarah kepada sang iblis. Tanpa perintah, dirinya berlutut sebagai tanda penghormatan.
"Ada apa kau memanggilku?" tanya Tuan Noch dengan suara menggeram nan mengerikan.
Dalam posisinya yang masih berlutut, Zain menjawab, "Saya membutuhkan kekuatan besar Anda, Tuanku. Untuk melawan seorang pemuda berkekuatan besar."
"Apakah kekuatannya sebesarku?"
"Tentu tidak. Anda tetap yang terhebat. Namun, saya merasa tidak sanggup melawannya tanpa bantuan Anda, Tuan."
Tuan Noch tampak berpikir, matanya menajam sesaat. "Kau berhadapan dengan salah satu musuhku?"
Zain mengangguk. "Benar Tuanku. Pemuda itu bahkan dapat dengan mudah membantai prajurit-prajurit kami."
Tuan Noch termenung, ia teringat ramalan dari seorang kawan tentang musuh terkuat kaum iblis.
Mereka mulai bergerak. Aku harus melaporkan ini secepatnya.
"Baiklah, kau ingin apa dariku?" tanya Tuan Noch, berjalan mendekat seraya menggerakkan tangan, isyarat untuk Zain agar bangkit dari berlutut.
Zain patuh. Lalu berdiri tanpa menatap kedua mata mengerikan tuannya. "Beri saya kekuatan lebih untuk membangkitkan orang mati, Tuanku. Karena pemuda itu sangat lemah, tak bisa bersentuhan dengan energi Anda. Maka para manusia yang sudah mati itulah musuh yang tepat untuknya."
Satu menit, dua menit, Tuan Noch bergeming. Membuat Zain seakan ditolak permintaannya. Ia ragu, apakah Tuan Noch mau membantunya? Tapi mereka sudah mengikat perjanjian.
Akhirnya Tuan Noch memberikan sedikit kekuatannya pada Zain. Akibat dari perpindahan kekuatan tersebut, Zain mengalami kejang-kejang dan mata menghitam penuh. Urat-urat nadinya menegang dan menghitam. Selang beberapa menit, proses perpindahan kekuatan pun berhasil. Zain meremas dada ketika terjatuh lemas.
Sebelum Tuan Noch pergi, beliau menyampaikan sebuah pantangan, "Jangan kau paksakan diri jika musuh lebih kuat, jika kau tak ingin mati."
Kumpulan asap hitam berputar membentuk pusaran. Tuan Noch menginjakkan kakinya kembali pada lingkaran pentagram. Gerbang penghubung pun tertutup, membawa serta Tuan Noch ke tempat asalnya.
Zain menatap telapak tangannya, terdapat lingkaran pentagram di sana. Kemudian ia mencoba bangkit dan berjalan tertatih menuju keluar. Tampaknya tempat pemanggilan ini berada di ruang bawah tanah istana Altair. Terbukti ketika dia keluar, ada dua pengawal penjaga pintu ruang bawah tanah.
🍂🍂🍂
"Apa kau bilang? Prajurit yang pulang dari tugas kebanyakkan penyusup? Bagaimana bisa?" Amarah Raja Firan tersulut. Beliau menggebrak meja hingga tinta tempat menyimpan penanya tumpah.
"Maafkan kami baru menyadari kehadiran mereka, Yang Mulia." Pelayan laki-laki pemberi informasi itu menunduk dalam. Takut sang raja kesetanan lalu membunuhnya di tempat.
Raja Firan mengepal keras hingga kuku-kukunya memutih. Dia melengos begitu saja, melewati bawahannya sambil berkata, "Tunjukkan di mana mereka sekarang. Akan kuberi mereka pelajaran yang setimpal."
"Ba-baik, Yang Mulia. Silakan ikuti saya."
Raja Firan berjalan di depan dengan seorang pelayan penunjuk arah. Pintu ganda ruangan pun tertutup rapat.
Tampak, mereka berhenti di tempat pelatihan prajurit. Namun, tak ada siapa-siapa, hanya ada beberapa tambang tergeletak di tanah berpasir. Banyak prajurit yang menjaga penyusup agar tidak kabur, justru mati oleh panah beracun—tepat tertancap di dada.
"Apa-apaan ini?" teriakan sang raja menggelegar. Kepalanya mendadak pening melihat bawahannya mati. Beliau meremas pelipis lalu duduk di bangku dekat tembok pembatas.
Sementara pelayan tadi kebingungan, menatap sang raja dan mayat bergantian.
"Pergilah, cari Panglima Eden dan Pengawal Syamsir. Suruh mereka kemari secepatnya."
"I-iya, Yang Mulia. Siap laksanakan!"
Pelayan itu berlari tergopoh-gopoh. Memberitahu semua penghuni istana tentang tewasnya beberapa prajurit kerajaan. Seketika berita tersebut menyebar sangat cepat, bahkan sampai ke telinga Eden dan Syamsir. Mereka yang sedang beristirahat di kedai langganan lekas membayar pesanan.
Sebetulnya, sebelum mendapat kabar buruk. Keduanya sedang beradu ketahanan tubuh dan membahas pernikahan raja.
Mereka beradu siapa yang paling kuat meminum khamr, jenis minuman beralkohol tinggi. Sampai salah satu diantaranya mabuk. Setelah kalah, orang itu harus jujur tentang perasaannya.
"Aku dan Yena adalah teman. Kami tumbuh bersama di sini," lirih Eden, rupanya dia kalah saat adu ketahanan. Sambil menuang khamr pada cawan, kelopak matanya sudah sulit untuk terjaga. Dirinya mengalami cegukan berulang dan tersenyum-senyum seperti orang gila.
"Lalu apa yang terjadi diantara kalian?" tanya Syamsir sambil menggenggam gelas kosong.
"Kemudian aku jatuh cinta dan tidak berani mengungkapkan."
Pria ini. Susah sekali mengulik informasi darinya, bahkan saat mabuk begini. Beruntung, saudaraku sudah membebaskan para prajurit kami yang tertangkap, batin Syamsir seraya menuangkan segelas khamr lagi.
"Aku memang pengecut. Takut hubungan kami tidak baik-baik saja setelah jujur. Bodoh, kan?"
Syamsir menatap pria di depan dengan malas. Rupanya seorang panglima yang terkenal bengis, memiliki sisi rapuh seperti ini. Kasihan.
"Ya, Anda memang bodoh, sangat bodoh," jawabnya dengan santai. Lumayan juga bisa mencibir Eden tanpa takut dihantam senjata tajam olehnya.
Tiba-tiba pemikiran jahil muncul. Sebelah telapaknya menopang dagu. "Saya pikir ... anda harus menyatakan perasaan yang sesungguhnya."
"Begitu kah?"
Syamsir menyeringai. "Ya, coba saja."
"Baiklah! Kau benar Wakil Syamsir! Aku harus menyatakannya sekarang!" Dengan semangat yang menggebu-gebu Eden bangkit. Seperti ada api yang tak terlihat keluar dari tubuhnya membuat Syamsir terjengkang saking kagetnya.
"Eh! Anda mau ke mana Panglima?" Syamsir ikut bangkit. Pasir terlihat menempel beserta rerumputan kering mengotori pakaian dan rambutnya.
"Aku akan ke istana dan menyatakannya langsung pada Yena."
Melihat Eden yang berjalan begitu saja meninggalkan kedai, Syamsir tak bisa tinggal diam. Ia menghadang laju Eden.
"Tidak! Jangan Panglima! Anda akan membuat Yang Mulia marah!"
Namun, Eden tak peduli. Dirinya tetap berjalan dan menyingkirkan Syamsir dari pandangan meski berjalan sambil sempoyongan.
Syamsir berusaha menarik Eden untuk tetap diam di kedai. Jangan sampai pria yang sedang tak waras ini masuk ke istana dan membuat kekacauan. Bisa-bisa rencana Pangeran Harith dan adik beliau harus diundur.
"Lepaskan! Aku harus mengungkapkan perasaanku sekarang juga! Sebelum terlambat, sebelum Yena benar-benar menjadi istri Raja Firan! Lepas!"
"Tidak Panglima! Saya tidak akan melepaskan Anda! Sadarlah, jangan sembarangan bertindak! Anda sedang mabuk!"
Kegaduhan tersebut membuat berpasang-pasangan mata melirik ke arah mereka. Semuanya tampak keheranan melihat Panglima Eden bertingkah bagai bocah. Harus diseret-seret dan berteriak-teriak lantang. Sungguh, Syamsir sangat malu, ingin rasanya meninggalkan pria bodoh ini, benar-benar pengorbanan. Sang Pangeran harus memberinya penghargaan soal ini.
Dalam kondisi itulah, seorang pelayan menemukan keduanya dengan mudah. Karena sekarang Eden tidak bisa diharapkan, Syamsir memilih menarik Eden ke dalam rumah pemilik kedai.
"Syamsir! Kau harus membayar ini semua! Lihat saja! Akan kucincang badanmu menjadi beberapa potongan! Camkan itu!"
"Ya ya ya, terserah Anda sajalah," sahutnya malas seraya menghela napas. Kepala Syamsir mulai terasa berdenyut-denyut. Akibat melihat tingkah konyol Eden.
"Mana kuncinya?" tanya Syamsir.
"Ini, Tuan," sahut bapak pemilik kedai sambil memberikan kunci rumahnya.
Syamsir langsung keluar diikuti bapak tadi dan mengunci Eden di dalam. Sedangkan Eden yang masih dalam kondisi mabuk, terus memaki-maki Syamsir dibalik pintu dan menggedor-gedor tanpa henti.
"Ambil ini, jangan sampai beliau keluar sebelum saya kembali," titahnya seraya melempar kunci tersebut pada pemilik kedai.
Bapak itu menangkap kuncinya sambil membungkuk. "Saya mengerti. Percayakan semuanya pada saya."
Syamsir pun pergi menemui Yang Mulia tanpa Eden. Dirinya sudah tahu situasi seperti ini akan terjadi. Maka dari itu, ia akan mulai bersandiwara kembali.