Lelaki muda dengan setelan jubah hitam berlapis ukiran emas itu mendekat. "Lama tidak jumpa, Kak," sapanya seraya menilik penampilan Yena, "rasanya seperti dikhianati oleh ayah sendiri. Padahal aku yang ingin memiliki kakak lebih dulu."
Yena bungkam. Ia bisa merasakan keseriusan dalam setiap kata yang terucap dari bibir pangeran, yaitu putra sang Raja dari istrinya yang kedua. Leah.
"Pangeran Haidar, Anda tidak sepantasnya berkata begitu," ucap Yena mengingatkan. Senyumnya tersungging tipis.
Haidar, nama pangeran muda itu. Ia tipe orang yang benci dinasehati. Bahkan jika orang itu adalah ibunya sendiri. Akan tetapi, di depan Yena, wanita yang dia sukai sekaligus guru berpedangnya ketika masih belia, Haidar tak mampu membantah. Lidahnya seakan kelu, tak bisa mengucapkan kata-kata jahat pada mantan gurunya ini.
Dengan kata lain, Haidar sudah sejak kecil menaruh perasaan pada Yena. Malangnya, Yena tidak pernah menganggap perasaan Haidar dengan serius. Mengingat hal itu membuatnya kian kesal.
"Aku tidak peduli. Aku ke sini hanya untuk memastikan tentang rumor yang tersebar soal kakak. Tapi sepertinya lelaki tua itu benar-benar serius." Pandangannya menusuk. Yena sampai memalingkan wajah saking seriusnya Haidar berucap.
"Anda ini masih muda, tapi sudah bisa mengucapkan kalimat seperti itu. Pangeran pasti berlatih sangat keras di sekolah?" tanya Yena dengan jemari hampir menggapai helai rambut Haidar.
Seketika pergelangan Yena dijegal, Haidar memaksanya untuk saling menempel lalu memeluk tubuh mantan gurunya hingga tak berjarak, "Jangan memandangku begitu, karena kakak sendiri yang tidak fokus," serunya dengan seringai bangga.
Ludah ditelan dengan manik menatap lurus. Yena tak menyangka pangeran muda seberani ini. Tubuhnya bahkan melekat sempurna pada pangeran Haidar yang sudah tumbuh sangat tinggi. Hampir setinggi Eden.
"Yah, baiklah, saya kalah karena tidak waspada. Bisa lepaskan sekarang?" pinta Yena. Merasa tidak seharusnya seorang mantan guru berada di posisi ini dengan murid. Apakah pangeran Haidar melupakan aturan itu?
"Kak, jawab aku. Orangtua itu ingin menjadikanmu istri, kan?"
"Tidak," selanya, "rumor yang beredar itu salah. Memang Yang Mulia akan menikah lagi, tapi bukan dengan saya."
"Lalu, kenapa kakak berpenampilan seperti ini? Apa bagian dari rencana?"
"Iya, ini rencana untuk menangkap pembunuh gurun," jawabnya sembari mengangguk mantap.
Seketika pelukan dilepas, Haidar mendengkus sebal seraya rambut di sisir ke belakang. Kemudian dia tersenyum pada Yena. "Jadi begitu, aku pikir kakak akan menjadi miliknya."
Yena tidak menyangka, lelaki muda di depannya sungguh serius dalam setiap kata. Semua yang terucap tampak semakin meyakinkan jika dia benar-benar cinta. "Apakah pangeran sesuka itu pada saya?" tanyanya menatap ke dalam mata Haidar.
Hal seperti itu, cukup membuat Haidar tersipu. Dia menutupi wajah dengan kerah tinggi agar ronanya tak terlihat. "Harusnya kakak tidak perlu bertanya, kakak sudah tau jawabannya."
Satu kedipan dari Yena, kian membuat Haidar geram. Dia berdecih lalu kabur begitu saja dengan wajah yang berasap, saking panasnya. Hari ini, Yena mengakui. Lelaki muda itu sudah tumbuh dengan baik sebagaimana mestinya. Sesuai keinginan Yang Mulia, Pangeran Haidar sudah dari dulu dipersiapkan sebagai pemegang tahta berikutnya.
🍂🍂🍂
Sementara itu di kota Dokka, yang ternyata bertempat di Negeri Aisty. Sameer baru sampai seminggu kemudian. Keadaan di sini sangat jauh berbeda dengan Negeri Alraml yang gersang. Bahkan batu saja mungkin sanggup tumbuh menjadi tanaman saking suburnya.
Perbedaan ini lah yang membuat Sameer rela pindah rumah. Ia memboyong istrinya dari rumah kumuh menuju rumah yang nyaman di Aisty.
Angin sepoi tanpa bau pasir, begitu segar terasa. Pohon-pohon rindang berjejer pada setiap jalan yang dia lewati. Ketika sampai di pusat kota, terdapat patung Raja Pertama Kerajaan Bosnavi. Ada pun beberapa toko pakaian, bunga, parfum, dsb. Tak lama, dirinya memacu kembali kuda menuju hutan yang sudah menjadi pemukiman dan dibuatkan jalan setapak. Sepanjang jalan, beberapa rumah hunian tampak berdiri kokoh menghiasi pandangan. Hingga sampailah dia di rumahnya.
"Sam!" pekik seorang wanita dengan tongkat kayu penyangga. Dia berlari tertatih-tatih sebab sebelah kaki kanannya lumpuh.
"Kalee!"
Dengan kuda tunggangan, Sameer memacunya lebih. Lalu berhenti dan melompat begitu saja dari atas kuda. Senyumnya merekah melihat sang istri setelah sekian lama. Dia Kaleela, wanita yang sudah menemaninya dari dua tahun yang lalu.
Rindu, satu hal yang terus mengusik hati, terasa menyesakan setiap berpisah. Pelukan penuh cinta mereka lepaskan. Saling berbagi rasa dengan ciuman.
"Sam, sebentar. Aku ada kejutan untukmu," kata Kaleela, menahan lengan kekar sang suami. Lalu menuntunnya menuju perut, "aku hamil, sudah dua bulan."
"Kamu serius?"
Kaleela tersenyum simpul dengan mata yang mengatup manis, sangat cantik. Rambut hitamnya yang tergerai, bergerak indah saat mengangguk. Seketika Sameer memeluk sang istri sambil mencium keningnya dan menyatukan bibir. Mereka terhanyut dalam kebahagian begitu masuk ke dalam rumah.
"Apakah boleh?" tanya Sameer seraya menidurkan Kaleela di ranjang dengan sprei berwarna kuning telur.
Kaleela menatap manik suaminya sambil membelai rahang tegas itu. Ia tersenyum manis begitu memabukkan. "Tabib bilang, tidak apa. Asalkan ... pelan-pelan."
Seketika ciuman singkat menghujani wajah lembut Kalee, buaian penuh cinta dan sayang Sameer berikan untuk yang terkasihnya. Malam itu, penuh dengan letupan-letupan api kebahagiaan untuk sepasang sejoli yang bertemu kembali setelah dua bulan lamanya.
Esoknya, mereka tidak mengenakan sehelai benangpun. Sameer bangun terlebih dahulu untuk membersihkan tubuh. Setelah selesai mandi, mengunakan hem coklat dengan ikat kain di pinggang, dan celana panjang. Dia merogoh kalung dalam saku jubah.
"Sekarang saja," gumamnya. Namun, Kaleela terlanjur bangun dan melihat liontin dari kalungnya tanpa sengaja.
"Apa itu untukku?" tanyanya sambil memeluk selimut sebab tubuh masih polos. Sameer menjawabnya dengan senyuman, yang berarti kalung itu memang untuk Kaleela.
Sameer mendekat lalu duduk di pinggir ranjang. Ia mulai memasangkan kalung indah pada sang istri. Rambut hitam Kalee disingkap agar tidak mengganggu saat dipasangkan. "Sudah," begitu ucapnya setelah selesai.
Kaleela menyentuh liontin indah itu, lalu tersenyum tanpa sadar. Mendadak ia teringat sesuatu yang selalu ingin dia tanyakan sejak lama.
"Sam, boleh aku bertanya tentang sesuatu?" Tanpa menatap Sameer, Kaleela bertanya begitu. Membuat suasana jadi berubah total.
"Tanya apa?"
"Sesuatu yang mungkin tidak ingin kamu jawab."
Napasnya mendadak berhenti di kerongkongan. Namun, Sameer mencoba tetap senyum, menyamarkan kegundahannya.
"Apa maksudnya? Kamu tidak mengira kalau aku sedang menyembunyikan sesuatu darimu, kan?"
Kaleela berbalik, menatap Sameer lekat. Sejak itu, tatapannya jadi berubah sayu dan helaan napas pun terdengar. "Rumor dari Negeri Alraml sampai ke sini. Kamu tahu tidak?"
"Rumor? Rumor apa?"
"Soal assassin yang membunuh banyak menteri kerajaan. Para pedagang dari sana juga bilang, telah terjadi pembantaian beberapa bulan belakangan di kota-kota miskin sana. Bisa kamu beritahu aku bagaimana cerita lengkapnya?"
"Untuk apa? Hal ini tidak ada kaitannya denganmu, Kalee," sela Sameer, jemarinya tampak mengepal erat.
"Tentu saja ada."
Seketika kening berkerut. Sameer memandang sang istri mulai serius. Sangat serius.
"Kau assassin, aku sudah tahu dari dulu. Aku hanya pura-pura tidak tahu."
"Kalee ...," gumamnya lirih karena terlalu terkejut dengan ucapan sang istri, "sampai mana kamu tahu tentangku?"
"Tidak banyak, aku tahu pekerjaanmu karena penasaran. Awalnya aku memang tidak suka, dan menginginkan kamu berhenti. Tapi, sebagai mantan prajurit kerajaan yang pensiun dini, keahlianmu memang ada di sana. Itu kenapa sampai sekarang aku tidak masalah," tuturnya seraya menggenggam jemari Sameer.
Tangan yang lain mengusap dada suaminya. Dengan permukaan yang terasa tidak rata. Rupanya luka yang cukup dalam itu masih ada dan membekas sampai sekarang.
"Jadi, sekarang apa? Mengapa kamu mempertanyakan lagi?" tanya Sameer seraya menurunkan pergerakan lengan istrinya.
"Aku ... hanya tak ingin, kamu terjerumus lebih jauh. Apalagi sekarang ..."
Napas terasa berat. Ia lekas memeluk tubuh sang istri. Menyalurkan ketenangan. "Berhentilah memikirkan sesuatu yang belum terjadi."
Bukannya tenang, Kaleela justru melepas pelukan Sameer. Pandangannya tidak fokus dengan tubuh yang di peluk sendiri. "Aku mau sendiri, pergilah," ucapnya seketika berbaring dan menutup seluruh tubuh dengan selimut.
"Kalee?"
"Pergi!"
Sameer tak mampu melakukan apa-apa sekarang. Ia hanya menghela napas dalam lalu keluar dari kamar. Lalu menutup pintu pelan dan bersandar.
"Sial! Sial! Sial!" rancaunya dengan tubuh yang merosot beserta kedua tangan meremas rambut.
Setelah ini, Sameer tidak tahu harus melakukan apa. Dia sedang menyesali dirinya sendiri karena tak bisa berhenti dari pekerjaan yang sudah ia terima sejak pembunuh gurun muncul dan membantai para menteri.