Pada zaman dahulu, ketika Raja Altair Pertama masih seorang kepala suku dari banyaknya suku di Negeri Alraml. Beliau memerintah anggota sukunya membuat hunian setelah menempuh perjalanan menyeberangi Selat Dien—perbatasan antara Negeri Alraml dan Negeri Aisty—yang kedua ujungnya bertemu langsung dengan lautan luas tanpa nama.
Sebab di Negeri asalnya, Alraml. Semua tanah berubah gersang beberapa tahun belakangan. Hal itu yang mendorong mereka menyeberang ke negeri Aisty sebagai bentuk pertahanan hidup. Walaupun tentu saja, suku asli akan sangat terganggu dengan kemunculan mereka.
Percikan demi percikan api antar suku, menggema. Semua suku asli di Negeri Aisty merasa terancam melihat ada pendatang dari luar. Perang tak terbantahkan pun terjadi. Lautan darah manusia tak terbendung banyaknya. Kepala suku yang anggotanya sudah habis itu, tiba-tiba menghilang saat perang. Suku asli Negeri Aisty menganggap musuh telah kabur dan tidak akan kembali.
Setelah beberapa bulan Perang Berdarah, berbagai suku dari Negeri Alraml mulai berlayar menuju Negeri Aisty, dengan tujuannya masing-masing. Namun, kebanyakan dari mereka ingin menguasai sumber alamnya. Yang berakhir dengan pecahnya Perang Besar Antar Negeri.
Saat situasi sudah sangat kacau, kepala suku yang dinyatakan kabur itu, kembali dengan sebuah kekuatan besar. Tidak banyak yang diceritakan tentangnya saat perang. Namun, berdasarkan kesaksian mereka yang masih hidup, kekuatan orang itu sangat mengerikan. Sampai bisa membuat Yang Ditakuti dari masing-masing negeri bertekuk lutut padanya. Zaman sekarang, orang Yang Ditakuti adalah panggilan untuk seorang Ksatria. Mereka merupakan golongan manusia terkuat berdasarkan pengalaman bertarungnya.
Sejak saat itulah, sistem kerajaan mulai dibentuk. Raja Pertama Altair mengikat perjanjian seumur hidup dengan Raja Pertama Bosnavi dari Negeri Aisty. Dengan berbagai syarat yang saling menguntungkan satu sama lain. Perjanjian itu terukir di atas batu dan disimpan dalam ruang bawah tanah rahasia.
"Sampai saat ini, tidak ada yang tahu di mana letak tepatnya ruang penyimpanan itu. Sejak kemunculannya, desas-desus aneh tentang kekuatan Raja Pertama Altair diabadikan menjadi sebuah buku berjudul 'Sang Penakluk Negeri'. Buku ditulis oleh sastrawan khusus yang didatangkan dari luar kota. Salinan satu-satunya tersimpan rapi di perpustakaan milik kerajaan. Saya belum membaca semua isi dari bukunya. Namun, ada beberapa hal penting yang saya ingat. Bahwa akan ada keturunan raja yang memiliki kekuatan sama dengan raja pertama. Dia adalah keturunan yang akan membebaskan Negeri Alraml dari kekeringan."
Manik keemasan itu tampak sangat takjub atas penjelasan yang dipaparkan Nyonya Chayra. Tanpa berkedip sedetikpun, Harith dapat dengan mudah mengerti.
Begitupun Hazard, seketika menelan ludah dengan alis yang menyatu padu. Dia menautkan jemari diantara kaki yang bersila. "Jadi, Negeri Alraml yang sebenarnya bukanlah sebuah gurun pasir, begitu maksud nyonya?"
"Dalam buku yang saya baca, memang seperti itu. Namun, saya tahu masih banyak syarat yang harus terpenuhi untuk mengubah gurun menjadi tanah subur. Saya sangat menyesal karena tidak membaca buku tersebut sampai selesai." Raut Nyonya Chayra sekilas berubah, beliau meraih secawan teh di depan—beralas kayu ukiran. Kemudian menyesapnya dengan perlahan. Lengkung bahagia di wajah tampak tak dapat ditahan. Beliau memang penyuka teh sejak dulu. Baru hari ini Hazard melihatnya meminum teh.
"Nyonya."
"Ya?" Maniknya beralih memandang Hazard sembari cawan ditaruh balik.
Hazard sedikit berdeham, memikirkan bahasa yang pantas. "Setelah tugas selesai. Bolehkah saya meminta buku tersebut?"
Tatapan Chayra berubah lekat. Dan tersenyum kemudian. "Boleh saja, tapi buku itu harus dikembalikan."
"Oh? Ya, ten ... tu saja." Kata di lidah sempat tertahan. Senyum kaku ditunjukkan. Sepertinya Hazard sadar telah salah bicara. Harusnya kata yang ia keluarkan itu 'meminjam' bukan 'meminta'. Jelas, Nyonya Chayra menekankan kata 'harus' ketika menjawab. Ah, memalukan. Mengapa dalam situasi seperti ini masih saja salah bicara.
"Tunggu, sebentar. Jadi, kau tidak akan tinggal bersama kami?" tanya Harith tiba-tiba memandang adiknya serius.
Hela napas terdengar. Hazard balik menoleh kakaknya. "Tidak, Kak ... maaf. Saya memiliki tanggungjawab besar di tempat lain."
Tanah pasir dengan matras kulit unta itu Harith pandangi.
Lama.
Lalu menatap manik kelam adiknya lagi. Tepukan pelan Harith berikan ke pundak sang adik dengan senyum tulus, merekah. "Yah, memang sangat disayangkan. Namun, aku pun tidak bisa memaksamu untuk tinggal."
Hazard ikut tersenyum. "Terima kasih, Kak."
Aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya sekarang. Belum saatnya mereka tahu, pikir Hazard dibalik ekspresi wajah hangatnya.
🍂🍂🍂
Di depan singgasana raja, Yena berlutut. Abaya biru khas istri kerajaan itu membungkus dengan baik tubuh rampingnya. Di sana, Yena menunggu dengan tak tenang titah raja. Dirinya tahu, akan ada hal yang mengejutkan ketika sang raja mulai berbicara.
"Selama seminggu ini, apa kamu senang?"
Tidak seperti biasanya. Raja Firan mengawalinya dengan sapaan bahasa non formal. Membuat Yena merasa tak enak hati mendengarnya. "Yang Mulia, maafkan saya lancang. Namun, pantaskah seorang raja menggunakan bahasa sehari-hari pada bawahannya?"
Raja seketika terbahak. Gemanya membuat Yena dan para pelayan wanita di belakang tersentak. Para pelayan saling pandang saat bersimpuh, sementara Yena menunduk makin dalam.
"Berdirilah, aku tidak ingin calon istriku berlutut seperti itu."
Bagai tersengat lebah, Yena merasakan kaku di sekujur tubuh. Baru seminggu dirinya diperlakukan bagai wanita terhormat. Ternyata ada maksud tak terduga dibaliknya.
Kepalanya menengadah, tampak seringai penuh keangkuhan dari Sang Raja Firan. Sesaat Yena merasa kecil. Seringai itu sama persis seperti seringai kemenangan raja setelah berperang melawan kerajaan lain.
"Yang Mulia, katakan saja. Apa tugas saya sebenarnya?" tanya Yena kembali menundukkan kepala.
Seringai itu pun hilang, berganti dengan jemari yang menopang dagu. Senyum picik sesaat tampak. "Kau ... pandai. Seperti biasa tidak pernah tergoda oleh materi," puji Raja Firan.
Beliau bangkit dan melangkah turun dari singgasana. "Tugasmu kali ini cukup mudah, yaitu berpura-pura menjadi pengantin wanita menggantikan calon istriku nanti."
Lagi, tubuh Yena mematung. Kedua maniknya seketika menatap ke atas. Bertemu pandang dengan sang Raja.
"Bagaimana? Sanggup?" tanya Firan lagi seraya mengulurkan tangan.
Rasanya sulit. Situasi tak terduga ini membuat seluruh rongga mulutnya kering. Dengan berat, ludah ditelan saja. Agar sedikit menyirami kerongkongan yang sama gersangnya.
"Semua keputusan ada di tanganmu. Nasib ibu dan adikmu akan berada dalam masalah jika kamu menolak."
Deg!
Seketika Yena bangkit. Dan meraih jemari sang Raja. Genggamannya begitu kuat, akibat dari tawaran yang lebih terasa seperti ancaman.
"Apakah jika saya tidak menolak. Yang Mulia akan membebaskan mereka?" Kilat tajam dari manik kelam Yena berhasil menarik perhatian raja.
Raja menjawab, "Betul, keluargamu akan kubebaskan."
"Baiklah, saya terima tugas ini." Pada akhirnya Yena memilih mencari keamanan untuk dirinya sendiri dan keluarga.
🍂🍂🍂
Angin sepoi mulai menjelajah setiap inci tubuh tak tertutup kain. Jemari lentik yang biasanya kosong, kini dipenuhi dengan berbagai perhiasan mewah tanpa celah. Abaya transparan sekitar perut, sukses mengekspos kemolekan tubuh seorang Yena.
Pengawal Pribadi yang memiliki gelar Ksatria Wanita Pertama itu, terpaksa menjalani hari membosankan, sebagai wanita terhormat di kerajaan.
Setiap sore, dirinya selalu berdiam diri di taman kerajaan, untuk sekadar meredakan beban yang menggantung disekitar hati. Ia bernapas kasar beberapa kali, menunggu hari demi hari terlewat.
Tiba-tiba terdengar langkah dari belakang. Langkah itu tidak terasa mengancam. Yena bisa merasakan, manusia yang berdiri di belakangnya bukan orang dewasa.
"Kak Yena," panggil manusia berbadan tegap. Meski masih remaja, suara lelakinya sudah terbentuk dengan sempurna.
Awal melihat perawakannya, Yena agak terkejut. Dia lantas tersenyum menatap lelaki muda di hadapan. "Pangeran?"
Lelaki muda dengan setelan jubah hitam berlapis ukiran emas itu mendekat. "Lama tidak jumpa, Kak," sapanya seraya menilik penampilan Yena sekarang, "rasanya seperti dikhianati oleh ayah sendiri. Padahal aku yang ingin memilikimu lebih dulu."
Yena bungkam. Ia bisa merasakan keseriusan dalam setiap kata yang terucap dari bibir pemuda itu, yaitu putra sang Raja dari istrinya yang kedua.