Di kota Mitri. Beberapa prajurit yang bertugas di sana sedang bersiap-siap untuk kembali ke kota Reda sore ini. Seperti biasanya, mereka harus bergantian dalam berpatroli. Karena sang Raja yakin, pembunuh itu akan kembali. Baik sendiri maupun bersama pasukannya. Namun berdasarkan sifat, assassin biasanya bekerja sendiri. Itu sebabnya yang ditugaskan di kota hanya Pasukan Prajurit ke IV dan penyihir hitam tingkat menengah.
Inilah kesalahan terbesar Raja Firan. Beliau telah menyepelekan kemampuan Hazard. Sesuai skenario yang Hazard rencanakan dari awal. Siasatnya mampu mengecoh kewaspadaan raja.
"Hati-hati kalian. Jangan sampai terbunuh di jalan," seru seorang pemimpinnya pada beberapa bawahan yang baru selesai mengemasi barang.
"Hahaha, tenang Ketua. Kami tidak akan mati semudah—"
Crat!
Tetiba tubuh prajurit itu terbelah dua. Darah segar terburai keluar. Semua prajurit yang ada di sana, terkejut bukan main. Termasuk para pelayannya. Mata mereka menunjukkan tekanan yang tak terbendung setelah melihat kawannya mati mengenaskan.
Belum juga bersuara, pemimpin dari Pasukan Prajurit ke IV mati seketika ditangan Hazard. Pedangnya mengoyak perut hingga tubuh itu tergeletak. Hazard begitu menikmati pembantaian ini, ditambah para penyihir yang sedikit menghalangi geraknya membuat kegiatan lumayan menyenangkan.
Entah mantra apa yang mereka gunakan, Hazard berusaha menghindar dari tembakan energi hitam yang terus dilayangkan padanya. Berbagai macam segel muncul untuk memerangkap Hazard, tetapi lingkaran sihir itu dapat dihindari dengan melompat ke berbagai arah sebelum muncul di bawah kakinya.
Mereka pemakai energi hitam, itu berarti hampir semuanya mengikat kontrak dengan iblis dari Middle Earth, pikir Hazard seraya menusuk satu persatu penyihir dengan pedang bermata dua miliknya, Zadura. Dengan teknik pedangnya yang sangat luwes.
Tiba-tiba, sebuah rantai hitam beraura gelap membelit tubuh Hazard. Aura pada rantai langsung menjalar pada tubuhnya setiap detik. Ternyata masih ada satu penyihir yang tingkatannya lebih tinggi. Namun, ini tidak cukup. Dengan seringai licik, Hazard membangkitkan elemen petir dari tubuhnya, elemen yang sudah ia pelajari dari 'Ksatria Bayangan' julukan guru barunya saat masa tenang 5 bulan kemarin.
Aliran listrik menjalar dari rantai pada pemiliknya, mengakibatkan kejang diikuti lilitan rantai yang terlepas. Hazard menarik rantai itu lalu membantingnya ke bangunan reyot hingga si penyihir terluka parah. Punggungnya mengeluarkan cairan merah pekat akibat serpihan kayu bangunan menembus kulit. Batuk darah pun tak terelakkan, pedang bermata dua itu tampak dihunuskan tetap di depan mata si penyihir.
"Ada kata-kata terakhir?"
Bukannya takut penyihir itu justru menjawab lantang, "Bunuh aku sekarang, B r e n g s e k!"
Seketika, Hazard menebasnya dengan satu ayunan. Kepala penyihir menggelinding, asap hitam muncul dari kepala dan tubuhnya. Lambat laun melebur menjadi debu dan dihempaskan angin tanpa bekas.
Melihat hal itu Hazard refleks meludah. Ia mengecap rasa pahit dan bau busuk yang terkandung dalam tubuh si penyihir, bahkan jasadnya sampai hancur tak tersisa. Beginilah akibatnya jika manusia terlalu banyak memiliki energi hitam dalam tubuh. Mereka akan mati tanpa jasad karena terbakar oleh energinya sendiri.
"Menyedihkan," celanya.
🍂🍂🍂
Trang!
Dua pedang saling beradu. Harith menekan pedangnya dengan kedua tangan. Seorang Prajurit Altair tampak kewalahan sehingga pedangnya jatuh tertancap di pasir. Pangeran Harith langsung mengayun dan menusukkan pedang tepat di perut membuat prajurit itu jatuh dari kuda dengan darah mengucur deras.
Seketika, suara angin mengancam punggung, tubuhnya langsung mengelak dari tebasan dua prajurit lain, diikuti dengan kuda yang menjauh. Kali ini Harith melawan dua prajurit yang memakai kapak besar sebagai senjata. Sayang, kecepatan dan tenaga musuh lebih besar sehingga Harith hampir terjengkang dari kuda. Saat itu, dua buah anak panah melesat dari belakang musuh, langsung menembus leher dan jantung. Dua musuh berbadan kekar itu tergeletak dan mati di tempat.
Harith menatap Syamsi, pengawal yang menyelamatkannya. Pangeran tersenyum dan mengucap terima kasih. Para Prajurit Pangeran Harith berhasil menumbangkan Prajurit Altair yang terpisah dari kelompoknya. Mereka pun segera mencari keberadaan Hazard dengan kuda dan pakaian yang penuh darah segar.
Akhirnya mereka menemukan markas musuh. Hampir semua prajurit sudah mati tanpa kepala yang menyatu. Atau jika bukan kepala; bisa jadi tangan, pinggang, dan kaki mereka yang lepas. Sungguh pemandangan yang sangat ... ngeri.
"Cari keberadaan Hazard," titah Harith pada Syamsi.
"Baik, Pangeran," balas Syamsi patuh. Lalu memerintah para prajuritnya untuk berpencar agar lebih mudah menemukan Hazard.
Mereka mencari di setiap sudut markas, hingga sampailah di tempat musuh membangun tenda untuk prasmanan. Ada Hazard yang menggenggam pedang melengkungnya erat. Hampir setiap sudut pakaian ternoda oleh darah yang mengering.
"Sepertinya pekerjaan kami jadi jauh lebih mudah berkatmu," puji Harith setelah turun dari kuda. Bibirnya menampilkan senyum bangga.
"Kakak, mereka memang bukan prajurit terbaik."
"Oh, kau tahu?"
"Aku sudah merencanakannya dari awal."
Harith terpejam sambil tersenyum tipis, lalu menatap adiknya. "Seperti biasa, kau selalu mengejutkanku."
Mendadak, Hazard melempar pedangnya hingga menancap ke tiang rumah tua. Jauh di sudut paling tak terlihat. Ada seorang prajurit yang lehernya hampir tersayat. Prajurit itu ambruk dan lemas di tempat.
Harith menatap tajam Hazard, maniknya mengikuti sorot mata Hazard yang menoleh. Begitupun orang-orang yang ada di belakangnya. "Kenapa?"
"Ada yang masih hidup."
Tanpa bertanya, Harith, Syamsi, dan prajuritnya mengikuti Hazard menuju sela-sela bangunan tua. Saat melihat satu prajurit musuh terduduk tak sadarkan diri, Hazard menarik kembali pedang dan berjongkok dengan Zadura yang menusuk pasir.
"Apa dia sudah mati?" tanya Harith.
Seringai remeh muncul dari bibir Hazard sambil berkata, "Perhatikan ini."
Bug!
Bogem mentah dari Hazard membuat korbannya mengerang. Pria berbaju besi itu langsung bersujud memohon ampun.
"Tolong! Jangan bunuh saya, Tuan. Maafkan saya!"
Hazard bangkit lalu mengacungkan pedangnya tepat di belakang leher si prajurit. "Katakan, masih ada yang selamat selain kau, kan?"
"I-iya, ya, me-mereka bersembunyi di belakang saya," katanya gagap masih dengan posisi bersujud.
Hn, mengejutkan. Prajurit ini langsung jujur tanpa perlawanan, pikir Harith merasa ganjil.
Pandangan mereka tertuju pada sebuah rumah beratap bolong. Seketika Hazard menyeringai, sedetik kemudian kepala prajurit itu tergeletak begitu saja. Membuat Harith dan pasukannya terbelalak. Bersamaan dengan itu, Hazard dan Harith melirik ke belakang akibat erang kesakitan yang terdengar, banyak yang terluka karena musuh berhasil menyerang dari belakang.
Badai pasir akhirnya muncul. Dengan gigi menggertak Hazard berlari secepat kilat, menumbangkan semua musuh di hadapan. Dia mencincang, memotong, dan menebas semua prajurit dengan pedangnya. Darah yang menempel pada tubuh pedang seperti terhisap masuk ke dalam.
Orang-orang yang menyaksikan tak bisa tidak menelan ludah, ketika badai berhenti dan menampakkan Hazard yang sudah nyapu bersih semuanya. Pria itu, bagai mesin pembunuh yang siap kapanpun merenggut nyawa manusia. Setidaknya untuk sekarang, pria mengerikan ini ada di pihak mereka.
"Hah, kau terlalu berlebihan. Kita masih membutuhkan informasi dari mereka," keluh Harith bersamaan dengan Hazard yang memasukan pedang. Jujur saja Harith kecewa, tampak dari embusan napasnya.
Namun Hazard lekas berbalik dan tersenyum enteng. "Tenang Yang Mulia Pangeran. Saya tidak membunuh semuanya."
"Maksudmu?"
"Pria tadi tidak berbohong, hanya sedikit picik saja," kata Hazard seraya menatap jasad prajurit tanpa kepala tadi.
Ternyata memang masih banyak bawahan sang raja yang selamat, mereka bersembunyi di rumah tua sesuai perkataan prajurit itu. Mereka adalah pelayan yang ditugaskan oleh Raja Firan di kota ini.
Karena para pelayan sama sekali tidak melakukan perlawanan, Pangeran Harith pun hanya menjadikan mereka sebagai tawanan. Semua pelayan diikat di dalam rumah tua dengan penjagaan yang cukup ketat.
Untuk menghindari kecurigaan di pihak kerajaan, Pangeran Harith mengirim beberapa pengawalnya menggantikan Prajurit Altair yang telah mati.
Kebetulan, Rombongan Nyonya Chayra baru sampai malam hari. Mereka memang sengaja tidak ikut serta. Karena sangat berbahaya jika tetap memaksa ikut.
Sementara Hazard, ia memisahkan diri dari rombongan, duduk di atas pasir, dan bersila di tengah-tengah gurun.
Udara malam ini lumayan menusuk, tapi masih bisa ditahan. Karena mau sesibuk apapun, dia harus sesegera mungkin mengumpulkan serpihan Adura dalam tubuhnya.
Sesaat ia merasa seperti diperhatikan. Ketika membuka mata memang ada Harith berdiam diri lumayan jauh dari posisi Hazard. Sadar keberadaannya telah di ketahui, Harith berjalan santai lalu duduk di depan Hazard. Dia dapat melihat dengan jelas kristal di dahi adiknya. Sedangkan Hazard sendiri kebingungan dengan situasi ini.
"Tadi, aku melihat kristal yang ada di dahimu menyala. Kau benar adikku ... kan?"
"Aku tidak tahu, tapi sepertinya memang begitu."
Kemudian Harith bangkit dan menghela napas berat, ia berkata, "Kau ... ikut aku, Nyonya Chayra harus tahu tentang ini juga."
Hazard menatap kakaknya lama. Lalu mengembuskan napas. Dirinya pun bangkit seraya melilitkan kembali turban di kepala. Namun, Harith mencengkeram tangan adiknya. Dia menggeleng tanpa kata. Hazard mengerti, lalu menghadap Nyonya Chayra yang sedang berada di tenda tanpa menyembunyikan kristalnya lagi.
Nyonya Chayra sempat mematung beberapa detik ketika melihat kristal itu dengan mata kepala sendiri. Beliau melangkah perlahan lalu membelai kening Hazard.
"Ini ... apa, Pangeran? Apakah Anda diberkati kekuatan dari Yang Maha Agung?"
Sebelum Hazard menjawab, Chayra langsung memunggungi Hazard. alisnya terlihat bertaut ketat. "Saya yakin pernah membaca sejarah Raja Pertama Altair. Tentang keturunannya yang harus mengemban beban berat dari kekuatan yang telah dia curi."
"Maksud Nyonya apa? Sepertinya Anda tidak pernah menceritakan hal ini pada saya." Harith menatap Chayra menuntut penjelasan.
"Memang, saya tidak akan pernah menceritakan hal ini, karena saya pikir hal tersebut hanyalah cerita dongeng, untuk memperindah sejarah kerajaan saja. Tapi setelah melihat sendiri ...."
Manik hitam kelam Hazard menatap lekat Nyonya Chayra. "Bisakah Nyonya menceritakan semuanya?"
Saat itulah Chayra tersenyum dan menjawab, "Tentu saja, bisa Pangeran."