Api menari-nari dengan bebas di atas obor, terletak pada sisi kiri dan kanan jeruji. Langit yang tadinya biru jernih perlahan beralih menjadi gelap gulita, mengintip dari jendela persegi empat dengan pagar besi. Di luar, kumpulan bintang membentuk pola yang indah sementara yang lainnya bersinar secara mandiri. Cahaya bulan setengah penuh, menyelinap pada celah-celah jendela.
Keindahan malam yang mengintip, membuat Yena terkenang masa kecil bersama sang Ayah. Bagaimana mereka begitu antusias ketika malam tiba, Yena selalu menarik keluar ayahnya untuk menyaksikan malam bertabur bintang.
Yena terlampau merindukan masa itu. Masa dimana dirinya tidak peduli dengan berbagai macam permasalahan orang dewasa, masa dimana dirinya hanya peduli dengan teman bermain dan orang tuanya saja, dan masa dimana adiknya lahir merupakan puncak kebahagiaan keluarganya.
Hingga pada suatu hari, setelah dilantik menjadi Pengawal Pribadi Raja, ayahnya terbunuh dalam perjalanan untuk melaksanakan misi rahasia dari sang Raja. Padahal pada malam sebelum pergi, keduanya masih sempat bersenda-gurau seperti bisa.
Yena amat terpukul mendengar kabar tersebut. Selama penguburan mayat sang Ayah, ia tiada hentinya menangis. Detik itu juga posisinya berubah. Mulanya, hanya seorang gadis dengan sebuah mimpi yang tinggi. Kini, menjadi seorang gadis kepala keluarga bagi ibu dan adiknya.
Pintu kayu mendadak terbuka, tampaklah seorang pelayan wanita dengan rambut dicepol membawa sepiring roti pipih dan daging domba yang dipanggang beserta gelas kayu berisi air putih. Seorang pengawal berbaju besi menghampiri pelayan itu dan mengambil paksa nampannya.
"Pergi sana! Biar aku yang memberinya makan," tukas si pengawal kasar. Pelayan wanita pergi dengan kepala menunduk.
Perhatian Yena teralihkan akibat percakapan tadi. Si pengawal memberikan begitu saja piring lewat jalur bawah sementara gelasnya ditaruh sembarangan, nyaris tumpah.
"Kurasa, pernah melihatmu. Wajahmu terasa familiar," ungkap Yena dengan intonasi pelan tak bertenaga. Sekitar matanya tampak menghitam, sama sekali tidak bisa tidur selama di dalam penjara.
Si pengawal berdecih remeh. Berjongkok di hadapan Yena dan meraih untaian rambut lusuhnya. Kentara sekali rambut hitam legam itu tampak kotor tak terurus. Tanah dan kerikil memenuhi rambut sepinggang tersebut.
"Coba ingat-ingat. Beberapa tahun lalu, siapa yang kau kalahkan ketika sayembara memasuki babak final?"
Alis Yena bertaut, mesin dalam otaknya lekas beroperasi. Kembali membuka lembaran-lembaran masa lalu yang terlupa. "Kau ... anak seorang menteri sombong itu? Menteri Kaide? Hah, jadi kau ...."
"Heidan, itu namaku. Seharusnya aku yang menang dan menjadi pemilik pedang Er'dura pada sayembara tersebut. Tapi, kau mengacaukan semuanya dengan cara licik. Aku berakhir menjadi pecundang, sampai mati ayahku tidak peduli. Aku dibuang dan malah menjadi seorang pengawal rendahan di sini."
"Kasian, aku turut perihatin. Tapi, biar kuberitahu. Yang kulakukan bukan hal licik, tak ada peraturan yang mengatur cara bertarung pesertanya. Lagi pula, kau diusir bukan karena aku, ayahmu saja yang berharap terlalu tinggi," cerca Yena dengan bibir yang tersungging.
"Kau!!" Pria bernama Heidan naik pitam, ia mencekik Yena hingga rongga pernapasannya menyempit.
Yena meronta, bahkan dengan tangan yang masih terikat. Namun, lengan kokoh Heidan sangat sulit jika tidak memakai seluruh kekuatan untuk melepasnya.
"B a n g s a t!" pekik seorang pemuda muncul dari lorong pintu. Itu Eden, dengan sigap menarik kaos dalam Heidan dengan iris delima yang menyala-nyala.
Heidan dilempar hingga membentur tembok batu amat keras, saat itu pula tak ada pergerakan darinya. Eden langsung menyambar kunci yang tergantung di dinding dan membuka pintu jeruji lalu berlutut membantu Yena duduk kembali.
Yena terbatuk-batuk, lehernya terasa nyeri, terdengar napasnya yang memendek. Begitupun bekas cekikan terlihat jelas di sana.
"Kau baik-baik saja? Yang Mulia ingin bertemu denganmu. Makan malammu sudah kau habiskan?" Manik delima Eden berubah sayu. Melihat Yena dengan kondisi seperti ini sangat menyedihkan baginya. Ia segera melepas ikatan pada tangan Yena.
Tanpa bersuara karena tenggorokan yang masih sakit, Yena hanya menggeleng untuk membalas pertanyaan Eden. Jemarinya meremas perut sembari menatap sepiring makanan di samping.
Pandangan Eden beralih ke piring kemudian segera memapah Yena ke sebuah kursi panjang tempat berkumpulnya para pengawal. Selepas itu, Eden mengambil piring berisi makanan dan gelas lalu menaruhnya di meja.
"Cepat, makan. Raja Firan ingin kau menemuinya dengan kondisi baik. Setelah ini, kau harus mandi dan berdandan. Nanti akan ada pelayan yang membantumu," tutur Eden.
Yena melirik ke arah Heidan yang sepertinya pingsan. "Mengapa aku harus berdandan? Apakah ini ada hubungannya dengan pembunuh gurun itu?"
Eden duduk di samping Yena kemudian menjawab, "Ya, dan apapun yang terjadi nanti kau tidak boleh membantah, karena keluargamu yang menjadi taruhannya."
Bola mata bulat Yena menatap lekat Eden. "Di mana ... ibu dan Adam?" tanyanya lirih.
Sangat jelas terlihat, awan kelabu terpajang pada kedua matanya. Eden tak pernah lagi melihat tatapan Yena yang seperti itu kecuali saat ayahnya meninggal. Baru sekarang, muncul kembali, bahkan lebih pekat dari sebelumnya.
"Tenang. Untuk saat ini, mereka baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir."
"Hmm, Syukurlah ...."
Senyum melintang pada bibir Eden pun muncul. Ia berkata, "Sekarang kau harus makan yang banyak lalu keluar dari sini. Sudah ada beberapa pelayan yang menunggumu di luar."
Yena sekadar mengangguk saja, buru-buru melahap roti pipih isi dagingnya. Kemudian menelan dengan kepayahan.
"Hati-hati." Eden memberikan segelas air putih pada sahabatnya agar batuk-batuk karena tersedak berhenti.
Tatapannya melembut, melihat Yena yang seperti ini membuat hatinya perih. Eden tahu benar bagaimana Yena, seorang wanita tangguh yang jarang sekali mengeluh, tapi sekarang sungguh menyedihkan. Ia begitu tidak berdaya saat keluarganya dalam masalah besar. Persis seperti dirinya dulu, sebelum ayah dan ibunya meninggal secara bersamaan.
Keluar dari dalam lorong penjara bawah tanah menuju ke permukaan, sudah ada yang menunggu mereka berdua. Para pelayan wanita membungkuk serentak, memberi salam pada keduanya, sedangkan dua penjaga di sisi pintu tak bergeming sama sekali.
"Kuserahkan Yena pada kalian, bersihkan tubuhnya dan berikan beliau pakaian cantik. Tugas ini dari Yang Mulia. Jadi, kerjakan dengan baik jangan sampai ada yang terlewat," jelas Eden, wajahnya berubah datar seperti biasa.
Seorang kepala pelayan di sana menjawab dengan lugas, mereka segera membawa Yena ke pemandian. Yena sama sekali tidak menolak, yang ia pikirkan hanya keluarga dan sudah tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi kedepannya.
Pemandian para istri raja memanglah beda. Yena tiba-tiba saja sudah sampai di sebuah ruang putih kekuningan, ditengahnya terdapat kolam besar yang terbuat dari batu besar dan disusun menjadi badan kolam berbentuk lingkaran.
Pertama-tama, Yena harus membersihan tubuhnya terlebih dahulu di sana, agar kotoran-kotoran yang menempel larut dalam kolam besar tersebut. Meski suhu airnya begitu menusuk. Yena harus melakukannya.
Selepas itu, seorang pelayan memberikan handuk. Masuklah dia pada tahap kedua, yaitu berendam air hangat bertabur bunga, berfungsi sebagai pengharum tubuh.
Namun, tempatnya berbeda. Yena segera dituntun ke sebuah pintu lagi, di dalamnya terdapat ruangan yang hanya ada kolam kecil dari kayu dan beberapa pot yang di tumbuhi tanaman, cukup untuk satu orang saja.
"Saya ada di istana bagian mana sekarang?" tanya Yena pada kepala pelayan, memberanikan diri.
"Nona sedang berada di wilayah istana bagian para istri raja, khusus tempat pemandian. Silakan berendam dulu. Jika sudah, kenakan pakaian yang telah kami siapkan," jelas kepala pelayan seraya menoleh ke arah pintu, terdapat meja kecil di sampingnya dan pakaian berwarna putih terlipat.
"Baik, terima kasih."
Para pelayan meninggalkan Yena di ruangan dengan pencahayaan dari lilin berbagai bentuk, tidak ada obor ataupun lentera di sana, berbeda dengan ruangan sebelumnya—masih ada lentera yang menerangi.
Lilin-lilin dipasang berjarak lima jengkal orang dewasa pada dindingnya. Ada yang berukuran gemuk, langsing, jangkung, pendek dan bergelombang sehingga menciptakan cahaya lilin yang elok di pandang mata.
Yena lekas menanggalkan handuk yang melilit tubuh lalu melangkah menuju kolam berisi air hangat dan bunga-bunga. Ia duduk dengan kaki di luruskan sambil terpejam. Rambut hitamnya terurai sangat cantik dan sudah tidak ada kotoran yang menempel.
Beberapa menit berlalu, Yena segera memakai abaya putih khusus untuk tidur. Ia dituntun lagi oleh para pelayan menuju kamar dua pintu, sudah tentu kamar tersebut hanya diperuntukkan bagi seorang istri raja saja.
Para pelayan meninggalkan Yena setelah masuk ke dalam. Kepala pelayan bilang mereka akan kembali pagi hari, yang berarti Yena harus tidur di kamar ini. Tidak perlu dijelaskan seperti apa bentuk kamarnya, pastinya sangat luas, bahkan lebih besar dari rumahnya. Bukan lagi berdirham-dirham melainkan sudah berdinar-dinar harga dari setiap perabotan yang ada di kamar. Yang paling menarik, ranjangnya. Dengan seprai berwarna emas dan ranjang berbentuk melengkung, terdapat kurungan setengah lingkaran di atasnya.
"Mengapa aku bisa berada di sini? Tugas seperti apa yang akan beliau berikan padaku?" tanya Yena pada dirinya sendiri. Ketika dia duduk perlahan di sisi ranjang, terasa halus sekali dan sangat empuk.
Seketika, kantuk menyergap penglihatan. Tubuhnya limbung serentak dengan kelopak mata yang begitu sulit untuk dibuka. "Aku lelah ... rasanya ingin tidur sebentar," lirihnya dan mulai terlelap sangat dalam.