Chereads / ADURA / Chapter 34 - Bab 33 — Keluarga

Chapter 34 - Bab 33 — Keluarga

Hazard membuka peti persegi panjang, mengambil dua buah kantung kecil berisikan penuh bunga prup dan pil mera. Pil Mera merupakan pil hasil racikan Paman Agail, berbahan dasar muntahan energi hitam yang dicampur dengan berbagai macam tanaman herbal dan tentunya darah seorang elve murni. Agak menjijikkan memang, jika mengikuti proses pembuatannya dari awal. Namun, khasiatnya untuk para elve petarung tidak main-main—bisa menjadi penunda penyebaran jika terkena energi hitam.

Berkat penelitian berbulan-bulan lalu, dengan Hazard yang menyumbang muntahan energi serta darah, Paman Agail berhasil membuat pil mera. Jangka waktu ketahanannya sekitar lima hari setelah menelan pil. Elve yang memakan pil tersebut akan kebal dari energi hitam dalam bentuk apapun. Tapi, berbatas waktu. Paman Agail belum bisa memastikan berapa lama pil itu mampu bertahan. Diperkirakan sekitar kurang lebih sebulanan.

Dua kantung kecil lekas di ikat pada pinggang Hazard. "Beruntung, aku tidak membawa semuanya kemarin," ungkapnya seraya beranjak dari peti.

Hazard memindai keseluruhan benda yang ada di dalam tenda terbuka ini. Terdapat rak kayu dan beberapa peti lagi terbuat dari pohon kelapa. Cahaya kuning dari matahari pun datang memancar di kedua celah tenda.

Hazard keluar. Dirinya langsung di pertemukan dengan Chayra yang berjalan menghampiri. Sontak, Chayra merengkuh Hazard dalam kungkungan, menciptakan kebingungan yang amat jelas terpatri di wajah. Hazard diam. Tidak menolak ataupun menyambut pelukan itu.

"Maaf, saya terlambat mengenali Anda, Pangeran." Pelukan mengendur, Chayra menggenggam jemari Hazard penuh haru.

"Mengapa Pangeran tidak jujur? Anda begitu menggebu ketika menceritakan ruang rahasia di Kota Mitri, tapi tidak memberitahu soal identitas Anda yang sesungguhnya. Mendiang Walikota, tidak mungkin membocorkan informasi kepada orang lain kecuali orang yang ia percaya. Saya sangat yakin dengan pasti, Anda adalah putra dari Yang Mulia Raja Ghani dan Ratu Alea."

Hazard menatap canggung Chayra. Salah satu lengannya menggaruk tengkuk. "Saya ... tidak ingin mencampuradukkan pekerjaan dengan perasaan pribadi," jelasnya, "saya pun tidak begitu peduli dengan fakta tersebut. Saya hanya ingin memenggal beberapa kepala dari para Petinggi Altair, tidak lebih."

Penjelasan Hazard sedikit menorehkan luka. Bagaimanapun juga, Chayra sudah menantikan momen ini jauh sebelum mereka bertemu. Namun, sepertinya Hazard sama sekali tidak peduli.

"Jadi, begitu ...." Tatapannya kosong, genggaman terlepas, Chayra tersenyum getir penuh sesak.

"Memang apa yang Anda dapatkan dari kepala-kepala itu? Anda ingin mempraktikkan ilmu hitam?"

"Nyonya, bukan begi—"

"Ah, maaf," sela Chayra sambil memijat pelipis dengan kedua tangan, "saya terlalu terbawa perasaan sehingga berlaku bodoh. Jangan terlalu dipikirkan."

Tampak senyuman pilu dari Chayra begitu menghantam sanubari Hazard. Wanita itu berjalan pergi meninggalkannya dalam kebingungan.

Hazard ingat, dirinya memang selalu begitu. Misalnya saat bersama Yena. Dia sadar,  telah bicara terlalu jujur ketika pertemuan keduanya di kota Denvail. Memang itulah yang ia rasakan setelah menggigit telinga Yena. Oh, dan lihatlah sekarang, kedua pipinya jadi merona. Kejujuran yang sangat sulit untuk dilupakan.

Tak lupa, dia juga pernah menanyakan asal-usul putri kedua mendiang Walikota Mitri, bicara seenaknya sampai membuat mendiang Walikota menghela napas.

Masih banyak kalimat-kalimatnya yang terlalu jujur. Mungkinkah hal itu yang membuat raut Nyonya Chayra berubah muram?

"Aku ... harus minta maaf," ujar Hazard pada akhirnya.

Hazard melangkah mendekati Harith yang sedang berbincang dengan pengawalnya, Syamsi. Sambil menilik kegiatan para pelayan. Ada yang sibuk dengan alat masak—mereka merapikan alat masak ke dalam tenda khusus dan menyimpannya dalam peti. Sementara di sisi lain ada yang membuka peti-peti untuk mengeluarkan isinya—yaitu obat-obatan dan kain bersih lalu dimasukan ke dalam karung putih kemudian mengikatnya dengan tambang di punggung unta. Terakhir ada yang mengangkut persediaan pangan ke dalam kantung kulit besar lalu mengikatnya untuk di angkut oleh unta lainnya.

"Sebentar lagi kita bisa berangkat sesuai rencana, Pangeran," ujar Syamsi melaporkan.

Harith mengangguk lalu berkata, "Bagus, lebih cepat lebih baik. Pertama, kita menuju Kota Mitri terlebih dahulu untuk mengambil seluruh persediaan senjata di sana." Kemudian Harith menengok Hazard yang sudah berada di sampingnya, "Dan ... eum, Hazard. Sesuai rencana awal, buatlah kegaduhan di acara pernikahan Raja Firan. Lalu kami akan datang, membawa bala bantuan."

Hazard mengernyitkan dahi. "Bala bantuan?"

"Ya, banyak kerajaan lain yang telah digulingkan oleh pasukan Raja Firan. Mereka yang kabur menitipkan gulungan pada Syamsir kemudian Syamsir mengirimkannya lagi padaku. Gulungan itu berisi tawaran untuk memberontak bersama. Bukankah ini sempurna?" Harith memandang wajah Hazard, tampak mulut adiknya itu membentuk 'o' kecil kemudian mengangguk mengerti.

Harith kembali berbincang dengan Syamsi, sementara Hazard menemukan Nyonya Chayra tengah duduk di kursi kayu persegi panjang. Beliau bernaung di bawah tenda kuning pucat yang melebar dengan tiang kayu sebagai penyangganya.

Hazard berjalan mendekat, kemudian duduk menyamping di hadapan Chayra. Salah satu lengan mengusap tengkuk, tak bisa berkata sama sekali.

Meski menunduk, Chayra bisa melihat bayangan seseorang duduk di depannya. Matanya mengerling, fokus memperhatikan tingkah Hazard yang lucu. Tanpa sadar ia menyunggingkan sedikit senyum lalu melipat kedua tangan di meja kayu persegi panjang.

"Ada apa, Pangeran Hazard?"

Hazard terkesiap, spontan menggeser duduknya menghadap Chayra. Alih-alih menjawab, Hazard malah menggaruk pipi di balik masker lalu memandang Chayra.

"Begini, tentang ... kalimat yang terucap tadi ...  saya tidak serius. Maaf, jika ... perkataan saya membuat Nyonya sedih," ungkapnya dengan memalingkan wajah tak menatap Chayra.

Chayra menahan tawa dengan tangan menutupi mulut. Dirinya tak menyangka bahwa Pangeran Hazard memiliki sisi lugu seperti ini—seperti ibunya. Padahal kemarin-kemarin, perangainya tampak mengerikan. Apalagi jika mengingat pembunuhan yang sudah ia lakukan.

Tahu-tahu, Harith merangkul Hazard, membuat si empunya terperanjat. Dengan tidak sopan, Harith hampir menarik masker Hazard. Untungnya, Hazard langsung bangkit.

"Ayolah ... sebagai keluarga, aku penasaran ingin melihat wajahmu," ucap Harith santai, sebelah sikunya ada di meja sebagai penopang dagu.

Sementara Hazard terpaku terlalu kaget. Pada situasi seperti ini, memang paling membahayakan ketika pertahanan dirinya melonggar.

"Jadi, kau akan terus begitu seperti patung?" kelakar Harith sukses mengembalikan kesadaran. Hazard duduk kembali sambil memegangi maskernya refleks.

Senyum miring tampak jelas, adiknya ini ternyata benar-benar berbeda jika tidak dalam situasi serius.

"Kau masih ingin menyembunyikan identitas dari kami?" tanya Harith melempar umpan.

Kedua tangan mengepal di meja, Hazard menghela napas dalam. Cepat atau lambat, wajahnya pasti akan terlihat juga. Maka, ia harus memperlihatkannya sekarang sebelum melancarkan aksinya nanti.

Tak tahunya, para pelayan dan pengawal melirik ke arah Hazard. Mereka sama penasarannya dengan Chayra dan Harith. Ketika melepas masker, Hazard merasa bermacam pasang mata mengawasi dari kejauhan.

Nyonya Chayra tertegun. Garis wajah Hazard sangat mirip dengan Ratu Alea, namun sudut mata dan lirikannya persis Yang Mulia Ghani. Sementara hidungnya perpaduan dari mereka berdua. Akan tetapi, karena garis wajah Alea yang dominan, Hazard terlihat seperti pemuda lugu yang hanya tahu di manja dalam kondisi diam seperti ini.

"Aku tidak menyangka, di balik masker seorang pembunuh berdarah dingin terdapat wajah lugu nan polos seperti itu," kicau seorang pelayan wanita pada temannya, mereka sedang memasukan pakaian Nyonya Chayra pada kantung kain di dalam tenda yang terbuka.

"Iya, ya, Pangeran Hazard adalah versi manisnya Pangeran Harith," sahut seorang pelayan lain.

Sementara seorang pengawal senior kentara tersenyum. "Aku seperti melihat Raja Ghani dan Ratu Alea setelah sekian lama," ucapnya sembari memandikan kuda.

"Betul," sahut yang lain.

Sedangkan Nyonya Chayra betul-betul menampilkan kebahagiaannya dari senyuman. Ia menggenggam jemari Hazard yang mengenakan sarung tangan hitam dan berucap, "Ratu Alea pasti senang saat melihat putranya sudah sebesar ini. Aku yakin, beliau masih hidup dan—"

"Tuan Albar berkata persis seperti Nyonya sebelum dirinya terbunuh. Beliau meminta saya mencarikan Ratu Alea. Namun, apa mungkin bisa? Saya sedikitpun tidak tahu bagaimana rupanya."

Harith menepuk bahu adiknya, tersenyum tipis. "Setidaknya kau masih memiliki kesempatan bertemu dengan Yang Mulia Ratu Alea." Hazard mengangguk pelan, membenarkan kalimat dari kakaknya.

Terdengar langkah kaki mengais pasir. Rupanya Syamsi, sudah berdiri tegap di samping Harith. "Pangeran, perlengkapan dan persediaan untuk melanjutkan perjalanan sudah siap. Sekarang, kami tinggal menunggu instruksi dari Anda saja," jelasnya dengan deru napas tak beraturan.

Sekilas Harith menengok Hazard dan Chayra kemudian melirik Syamsi lagi. "Baiklah, sepertinya kita harus bergerak sekarang. Tidak boleh di tunda-tunda lagi."