Hazard dan Yena duduk pada undakan tangga terakhir di rumah oase, keduanya bertelanjang kaki menginjak tanah berumput jarang. Terik mentari tak terlalu menyorot berkat awan yang menutupi. Hawa lembab begitu kuat membelai kulit. Riak air danau bergulung menuju ke tepian. Cuaca yang sangat biasa terjadi di gurun ketika memasuki musim hujan.
"Kau menolongku karena tidak ingin menjadi pengawal raja lagi? Beri alasan kuat agar aku bisa percaya."
Kepala tertunduk dan bibir mengatup. Yena menatap jempol kakinya, memaksa otak untuk mencari alasan.
"Dulu ... aku tidak suka bekerja padanya. Tapi, tak ada pilihan. Hidupku akan jauh lebih buruk jika tidak berusaha menjadi orang yang berguna untuknya," tutur Yena terasa begitu jujur. Karena mungkin, dia mengutarakan perasaan terdalamnya.
Tatkala Yena menoleh, Hazard sedang menatapnya. Datar, namun dalam. Tatapan yang sulit diartikan. Apakah itu tatapan simpati? sedih? terharu? atau curiga?
"Ada apa?"
Hazard menggeleng. "Tidak, aku hanya sedang memperhatikanmu. Mungkin saja, kau berbohong?"
Bibir mengerucut dan alis bertaut. Jelas terlihat raut kesalnya. "Aku tidak berbohong," elaknya.
"Sungguh?"
Yena tak sanggup melawan tatapan tajam milik Hazard. Rasa-rasanya ada yang berdegup kencang di dalam dada. Ia memeluk lutut gelisah.
"Baiklah, aku percaya," ucap Hazard sambil tersenyum tipis dengan netra kembali menatap danau. Setidaknya dia sudah tahu apa yang harus dilakukan setelah ini.
Sementara, di balik tumpukan pasir dan semak, seorang pemuda bermata biru pergi dari persembunyian. Dia Sameer, jejak kakinya menunju kota Reda.
"Kau serius ingin bersekutu denganku?" tanya Hazard. Mereka berdiri berhadap-hadapan.
"Tentu. Tapi aku perlu membawa keluargaku dulu. Raja Firan
... pasti, akan mengincarnya sebagai sandera," tutur Yena berdusta. Dalam hati dia tertawa keras karena telah berhasil mengelabui si pembunuh. Bagaimanapun juga, dia tidak ingin mengkhianati tuannya, karena sudah bersumpah setia.
"Baiklah, nanti akan kukabari lewat gulungan. Balas jika kau sudah siap," jelas Hazard tanpa menampilkan ekspresi. Lumayan membahayakan bagi Yena, karena ia jadi kesulitan membaca perasaan lawan bicara.
Hazard berpamitan, melesat bagai kilat. Kehadirannya sudah tak tampak lagi. Sekarang, Yena harus memberi tahu sang raja, karena informasi ini akan sangat berguna jika suatu saat Hazard melancarkan aksinya.
🍂🍂🍂
Di depan rumah ibunya, Yena mengetuk pintu tiga kali. Namun, tak ada yang menyahut. Kemudian mengintip melalui jendela kayu pada celah-celahnya. Yang di dapat hanya kegelapan, terlihat tak ada penghuninya. Ini aneh.
"Ibu! Aku pulang!" teriaknya seraya menggedor-gedor pintu dengan keras. Raut khawatir tercetak jelas di wajah.
Tanpa pikir panjang, dia mengambil ancang-ancang. Ditendanglah pintu hingga lepas dari engselnya. Menimbulkan bunyi gedebam.
"Ibu! Adam!" teriaknya bersamaan dengan netra yang beredar ke segala arah di ruang keluarga. Cahaya bulan menyorot lantai kayu dari balik pintu yang terbuka.
Yena panik. Dirinya lekas mendobrak pintu kamar Layha. Akan tetapi, tak ada siapa pun. Beralih pada pintu kamar Adam, dan tidak ada juga. Hanya ada selimut hijau lumut tampak berantakan dengan meja rendah terguling ke sisi kasur—seperti ada yang menendang.
Yena meremas kepala, kesal dengan pikiran negatif yang terus menerus menghantam otaknya.
Terakhir, Yena pergi ke dapur. Karena sangat gelap, ia kembali ke ruang keluarga, bermaksud mengambil lentera yang tergantung dan menyalakannya. Tak disangka seseorang dengan tangan berurat dan besar membekapnya hingga sulit bernapas. Yena berontak, kedua tangannya di cengkram erat. Hingga manik hitamnya naik ke atas dan akhirnya pingsan.
🍂🍂🍂
Terdengar baju besi saling bergesekan satu sama lain, sebab pemiliknya tak berhenti bergerak. Tawa beberapa pria menyadarkan Yena. Namun, seutas kain telah menutupi kedua mata. Semua terlihat hitam kecuali cahaya obor sedikit menyelinap dan menerangkan pandangan.
Yena menguping obrolan para lelaki itu dari kejauhan, tampak sedang membicarakan sang raja. Dan dia baru sadar kedua tangannya diikat kebelakang. Lantai yang diduduki terasa kasar, dipenuhi bebatuan kecil, atau sekadar tanah yang mengering.
Aroma tanah dan besi-besi tua tercium cukup jelas di sini. Yena beringsut menuju ke depan, kepalanya sampai terbentur jeruji besi tebal hingga menimbulkan bunyi teng.
Yena meringis dengan sedikit mengumpat. Suara sepatu besi mendadak mendekat ke arahnya. Yena menunduk tatkala bau alkohol yang sangat pekat tercium jelas.
"Sebaiknya Anda diam. Yang Mulia sebentar lagi datang." Suara seorang pria terdengar dari luar jeruji tua ini.
Yena pun menengadah. "Siapa kau? Kenapa aku diperlakukan seperti ini?" pekiknya dengan napas yang tak normal dan gigi bergemeretak. Marah.
"Tidak penting siapa saya, lebih baik Anda duduk manis saja, Nona."
Suaranya terdengar jelas, seperti sejajar. Mungkin pria tersebut sedang berjongkok. Dari kejauhan fokusnya teralihkan akibat bunyi sepatu yang saling bersahutan serta perintah seorang pria pada bawahannya, memerintah mereka untuk berbaris.
Terdengar ketukan sepatu dengan alas kayu begitu mulus, beberapa orang berjalan menuju posisi Yena sekarang. Seketika penutup mata di tarik hingga terlepas.
Yena berpaling, lalu mengerjap beberapa kali sebagai pembiasaan dari cahaya yang masuk. Sesuai dugaan, dirinya terkunci di sebuah penjara bawah tanah. Di depannya ada Yang Mulia Firan, sedangkan di samping kiri dan kanan berdiri seorang Eden dan Sameer.
Tunggu, Sameer?
"Kau pasti bertanya-tanya mengapa temanmu bisa ada di sini, bukan?" Raja Firan menepuk punggung Sameer, "tentu saja karena dia bekerja padaku. Aku menugaskannya untuk mengawasimu dan orang-orang di sekitarmu," lanjutnya tersenyum dengan dagu terangkat.
"Tapi, saya bukan pengkhianat." Yena mengelak. Kepalan tangan mengeras hingga buku-bukunya memutih. Menatap tajam pada sang raja.
"Memang sekarang kau belum berkhianat. Bahkan setelah melihat ingatanmu, Penasihat Zain berkata kau tidak ada keinginan untuk berkhianat. Sungguh aku tersanjung," tutur Raja Firan seraya berlutut di hadapan Yena. Lengannya menelusup pada celah jeruji, mencengkeram dagu Yena.
"Tapi, tidak ada yang bisa memastikan apakah kau akan setia sampai akhir atau tidak, selepas hubunganmu dengan musuh menjadi lebih dekat. Apa kau pikir aku akan membiarkannya?"
Raja Firan melepas cengkeraman dengan kasar. Bangkit kembali dan berjalan keluar. Sameer dan Eden mengikutinya dari belakang, meninggalkan Yena di dalam. Sungguh, Yena bisa kecolongan seperti ini merupakan hal yang sangat memalukan. Belum lagi, ibunya dan Adam mendadak hilang. Jangan bilang Raja Firan yang menyandera mereka.
"Kau tidak perlu khawatir. Keluargamu aman dalam pengawasan sang raja."
Yena menatap seorang pria kekar berbaju besi di samping jeruji. Pria itu tampak menyeringai. "Bersyukurlah, setidaknya keluargamu baik-baik saja sekarang."
"Mereka di mana?"
Pria itu tak menghiraukan Yena, ia pergi tanpa kata, melewati para pengawal yang sedang bermain permainan bodoh—Adu Panco tanpa taruhan.
Yena menggigit bibir. Dirinya tak bisa berbuat apa-apa lagi. Pedangnya pun sudah tak ada, Sang raja mungkin mengambilnya. Ternyata percuma telah setia, pada akhirnya Raja Firan memperlakukannya seperti ini juga.
Sekarang, aku harus bagaimana?
Yena teringat si pembunuh. Seketika senyuman remeh mengembang. Sempat-sempatnya dia membayangkan Hazard akan menolongnya. Sungguh pemikiran yang naif.
🍂🍂🍂
"Kerjamu bagus, Sameer. Tidakkah kau tertarik menggantikan posisi Yena?" tanya Raja Firan. Mereka bertiga masih berada di lorong tangga menuju ke atas.
"Menjadi Pengawal Anda?"
"Aku tidak akan memaksa. Lagi pula, kau masih memiliki seseorang yang harus dijaga, bukan?"
"I-iya ... Yang Mulia."
Eden memperhatikan gerak-gerik Sameer. Ketika dipancing dengan sesuatu yang harus 'dijaga' sikapnya berubah. Berbagai perasaan tergambar jelas dari lirikan mata dan raut wajah. Seorang assassin yang baru pertama kali ia lihat ini sepertinya menyembunyikan sesuatu. Haruskah Eden menyelidikinya?
Mereka bertiga keluar dari lorong bawah tanah. Kanan dan kirinya ada dua pengawal berjaga di ujung lorong.
Sang Raja menoleh, menatap Sameer. "Ah, bagaimana dengan persediaan topeng Buno[1] milikmu. Masih banyak?"
"Yang Mulia tidak perlu khawatir, saya belum kekurangan apapun."
"Bagus, jika persediaanmu menipis, katakan saja. Penasihat Zain akan segera memberikan topeng yang baru untukmu."
"Saya mengerti, Yang Mulia," ucapnya sembari menunduk hormat.
Sudut bibir sang raja tersungging ke atas. Beliau pun pergi bersama Eden ke suatu tempat.
Sameer termenung dalam perjalanan. Unta tunggangan berjalan santai hingga tak terasa waktu berlalu cepat. Hari sudah gelap, dia harus secepatnya sampai di kota Dokka. Kota tempatnya berpulang.
Kau masih memiliki seseorang yang harus dijaga, bukan?
Pertanyaan itu masih terngiang-ngiang dalam benaknya. Bukan karena Sameer merasa terbebani, hanya saja terdengar mengerikan untuknya. Kelemahan seorang Sameer benar-benar di genggam erat oleh sang raja.
Dalam saku jaket, Sameer mengeluarkan sebuah kalung berbandul perak dengan bentuk matahari. Terdapat permata indah di tengahnya memancarkan cahaya rembulan.
Sameer mengeratkan kepalan tangan, mengingat kalung tersebut sangat diinginkan oleh seseorang itu. Akhirnya setelah sekian lama, ia bisa membeli kalung tersebut.
"Sebentar lagi, hanya sampai urusan ini selesai. Aku berjanji akan membawamu pergi ketempat yang jauh bersama-sama," gumamnya.
___________________________
Ket:
[1] Topeng Buno, berwarna putih bersih. Merupakan topeng menyamaran yang diciptakan oleh Zain, campuran dari kuku manusia dan berbagai macam bahan lainnya. Topeng Buno hanya bisa dipakai satu kali. Setelah lepas, topeng itu langsung menjadi abu.