Chereads / ADURA / Chapter 32 - Bab 31 — Hati

Chapter 32 - Bab 31 — Hati

"Hey, aku akan cari kayu untuk tempat duduk. Kau bawa kapak?" tanya Hazard, pandangannya dialihkan ke samping seraya menggaruk tengkuk.

Yena menoleh kuda yang diikat di pohon akasia. "Ada, kau ambil saja di sana," balasnya.

"Baiklah."

Segera, Hazard mengambil kapak dari dalam kantung yang tergantung di punggung kuda lalu berjalan cepat menuju pohon akasia yang menjulang. Ranting pohon tampak melebar membentuk payung dengan daun jarang. Di sampingnya terdapat satu pohon akasia telah tumbang. Secepatnya Hazard memotong batang kayu, menjadikan gelondongan, dan memanggulnya ke perkemahan setelah menyelipkan kapak terlebih dahulu pada ikat pinggang.

Di situ, Hazard melihat Yena sedang menata ranting-ranting pohon dan dedaunan kering membentuk lingkaran. Mencoba menggesekkan batu hingga percikan api membakar tumpukkan rating dan daun kering menjadi sebuah api unggun.

Gelondongan kayu ia lepaskan hingga menimbulkan bunyi dentuman, menggetarkan tanah pasir di sekitarnya. Mereka akhirnya duduk di dekat api unggun tanpa berkata sepatah katapun hingga setengah jam berlalu.

"Ternyata dugaanku benar. Kau, si pembunuh itu." Yena memeluk lututnya, baru menyadari setelah melihat Hazard keluar dari dalam tenda. Karena saat kabur Yena tidak begitu memperhatikan wajahnya.

Meski warna rambut berbeda dengan tetangga barunya. Namun, Yena sangat mengenali wajah si pembunuh ketika melihat struktur mukanya.

"Kalau sudah tahu, memangnya kenapa?" tanya Hazard.

Embusan napas terdengar, begitu berat. Tangan kanan Yena mengambil ranting yang terpisah kemudian melemparnya ke dalam api hingga ledakan kecil terlihat mengepulkan asap hitam lalu kembali memeluk lutut. "Aku tidak tahu," jawabnya.

Hazard menatap api unggun seakan begitu menarik, dirinya sama sekali tidak menoleh. "Kau tidak ingin menanyakan tentang kejadian tadi?"

Pertanyaan Hazard membuat suasana berubah canggung. Yena menunduk hingga menelusup ke dalam lipatan tangan, menyembunyikan sesuatu berwarna merah pada kedua pipi tirusnya.

"Beberapa kejadian dalam satu waktu bahkan aku sama sekali tidak mengerti mengapa salah satunya bisa terjadi," Yena menghela, "menurutmu bagaimana?"

Pandangan Hazard beralih pada gadis di samping. Melihat sikap Yena yang berubah, dapat dipastikan bahwa perasaan mereka hampir sama. Hanya saja Hazard tidak menduga bahwa Yena akan benar-benar menciumnya.

"Sebetulnya aku sudah merencanakan situasi seperti ini dari awal," tutur Hazard tak menjawab pertanyaan.

Kepala terangkat, Yena menatap Hazard dengan alis bertaut. Menunggu kalimat selanjutnya.

Dengan pandangan menerawang, Hazard mulai bercerita, "Karena dari awal aku memiliki obat untuk gigitan ular hitam itu. Jika mau, aku bisa saja menyembuhkan diri sebelum kabur denganmu. Sayangnya, kantung berisi obat dan barang penting milikku terjatuh ketika kita sedang dikejar oleh para pengawal kerajaan. Aku sempat berpikir akan berakhir di sana."

"Tunggu sebentar," sela Yena lalu beranjak dari duduk, "kau merencanakan hal ini? tapi malah terperangkap oleh rencanamu sendiri, begitu maksudmu?"

Hazard mengangguk pelan tanpa kata.

"Astaga ...." Yena berkacak pinggang seraya menengadah dengan bibir digigit, "sebenarnya kau itu kenapa? Mengapa aku bisa melakukan hal itu tanpa sadar?"

Hazard bangkit, menatap manik abu-abu Yena. Lengannya melipat otomatis di dada sambil menghela sedikit berat. "Tentang itu, agak sulit dijelaskan. Yang pasti, kau menciumku tanpa sadar karena kita berkaitan."

Yena tak mampu berkata-kata, mulutnya menganga dengan manik membulat. Kalimat yang keluar benar-benar membuat kepalanya berdenyut. "Aku ingin tidur. Kalau kau mengantuk, masuk saja," lirihnya segera melangkah dengan jemari menekan pelipis.

Namun, Hazard segera menjegal Yena, mencengkeram pergelangan lalu menatapnya intens. "Aku akan menjelaskan semua ketika kita sampai di kota."

"Ya, tentu, kau harus menjelaskan semuanya. Untuk sekarang aku ingin istirahat. Jadi, jangan mengganggu," jelas Yena sembari menarik lengannya, mengusap pergelangan bekas cengkeraman. Tatapannya berubah waspada, ada rasa ketidaksukaan yang menguat.

Hazard memandang kepergian Yena hingga bayangannya tak lagi tampak, lalu duduk kembali di atas gelondongan kayu. Beberapa rating ia lempar ke dalam bara api. Napasnya pun bertambah berat, sebab tugasnya kini mulai terasa sulit. Kejadian malam ini baru permulaan.

Sementara di dalam tenda, Yena tidur menyamping dengan tangan menjadi bantalnya. Mengingat-ingat lagi apa yang terjadi ketika tidak sadarkan diri.

Tiba-tiba dia bangkit, terbayang gambaran terakhir sebelum tak sadar. Tepatnya ketika dirinya melihat kilatan cahaya pada perut Hazard. "Benar, ada sesuatu yang aneh darinya," ujarnya sambil meremas selimut, melirik keluar tenda.

Di Kota Reda. Yena sedang berbelanja pagi. Kondisi pasar tidak begitu padat. Sedikit melegakan. Ia bisa berbelanja dengan tenang.

"Paman, falafelnya empat porsi," serunya seraya memberi beberapa dirham pada pedagang.

Si paman mengacungkan jempol. Tampak mengenakan celemek putih kusam. "Siap, Nona," balasnya.

Paman pedagang mulai menggoreng falafel di atas wajan besar dengan tungku hampir menyatu pada wajan. Falafel terbuat dari kacang gurun yang digiling dan dipadatkan menjadi bulatan-bulatan kecil. Ketika berubah coklat, artinya falafel sudah matang. Falafel pun segera ditiriskan.

Paman dengan cekatan mengambil roti pipih dan menyimpannya pada alas kayu bersih. Roti diberi isian saus asin dan selada asal Negeri Aisty. Kemudian, bola-bola falafel dibungkus dengan roti pipih tadi.

Terakhir, paman pedagang mengambil sebuah anyaman daun kelapa berbentuk mangkuk. Falafel di masukan ke dalam mangkuk kemudian dilipat dengan rapi.

"Silakan, Nona," ucap paman pedangan, memberikan falafel yang sudah di bungkus pada Yena.

"Terima kasih." Yena menerima pesanan dengan tersenyum dan lekas pergi dari pasar kota.

Sebelum ke rumahnya, Yena singgah dulu ke rumah orang tua, memberi satu porsi falafel untuk Adam dan Layha. Dia menyimpannya di meja makan sekaligus.

"Waaa, makasih kakak," seru Adam langsung menempelkan pantat di lantai kayu hitam. Raut wajah riang Adam sangat jelas terlihat, apalagi sekarang sudah memasuki waktunya makan siang.

"Sayang, kamu tidak ikut makan?" tanya Layha.

"Aku makan di rumah oase saja, Bu. Ada sedikit tugas dari Yang Mulia," kata Yena seraya tersenyum tipis. Dirinya terpaksa berbohong berkat seseorang yang ada di rumah oasenya sekarang, yaitu Hazard.

***

Pria bernama Hazard terlihat memasuki rumah oase melalui pintu depan. Ia duduk bersila di lantai kayu. Rambut senja miliknya tampak basah, tetesan air berkali-kali jatuh membasahi kaus merahnya.

"Nih, aku membeli falafel untukmu," seru Yena menyimpan piring kayu—berisi falafel—dan sendok kayu pada meja kotak dengan permukaan sedikit kasar.

Pandangan Yena tak lepas dari Hazard ketika melahap makan siang, terutama pada perutnya. Ia penasaran sekali ingin tahu tentang cahaya aneh dibalik perut itu.

"Kau mandi di mana? Kenapa keluar dari depan?" tanya Yena seraya duduk di depan Hazard.

"Aku mandi di danau." Hazard menjawab seadanya.

"Loh, kenapa tidak mandi di belakang? Di sana airnya bersih karena disuling langsung dari penampungan air."

"Kau tidak bilang."

Alis seketika mengernyit. Yena menatap Hazard penuh kekesalan. Jawabannya sungguh menjengkelkan. Dia bisa saja mencari sendiri posisi tempat mandinya, kan?

"Oke, lupakan soal itu. Aku ingin mendengar penjelasanmu tentang pembahasan tadi malam."

Hazard sama sekali tidak menggubris, dia terlalu fokus pada makanannya. Kekesalan Yena kian bertambah. Akibatnya sebelum suapan terakhir, Yena merebut piring kayu berisikan falafel dari sisi Hazard.

"Kau sudah berjanji akan memberi tahu semuanya setelah berada di sini, sekarang tepati janjimu," tegasnya.

Hazard menatap lekat dan sendok pun di simpan. Kedua tangannya bertaut di atas meja lalu berkata, "Aku sudah bilang, kita ada keterikatan."

"Keterikatan dari apa?"

"Takdir."

Yena memutar bola mata lelah. Dia merubah cara duduknya menjadi kedua tangan terlipat di meja. "Baik, jika memang kita terikat takdir, tunjukan buktinya sekarang."

Tatapan Hazard beralih pada pundak kiri Yena, lalu menunjuk pundak itu. "Buktinya ada padamu," katanya terjeda, "ketika ciuman berlangsung hanya aku yang sadar. Saat itu, terlihat benang cahaya membentuk lingkaran spiral di pundak sebelah kirimu," sambungnya bersamaan dengan garis merah muda timbul di wajah kokohnya.

Pundak diremas, Yena menyingkap kaus putihnya dan melirik ke kiri. Matanya membulat tak percaya. Bagaimana bisa sebuah tanda spiral berwarna merah muda terbentuk di sana?

"Bagaimana? Aku tidak bohong, kan?" tanya Hazard terjeda, "jika masih tidak percaya, aku bisa menunjukan lingkaran spiral di tubuhku juga."

"Kau yakin?" Tiba-tiba Yena sudah berada di samping Hazard. Dia melipat kaki sejajar diikuti tatapan penuh maksud.

Hazard sedikit menggeser duduknya, merasa Yena sudah terlalu dekat. "Kenapa semangat sekali?" tanyanya dengan kedua telapak tangan menyentuh lantai.

Pandangan menyipit, wajah Yena kian dekat. "Aku ingin melihat tanda itu. Cepat buka! Atau kau ingin aku yang membukanya?"

"Ti-tidak, tentu saja."

Dan Hazard menolaknya tanpa kompromi. Baru saja selesai mandi, dirinya sudah merasakan hawa panas lagi. Padahal di luar sana matahari tidak terlalu cerah berkat awan-awan menutupi.

"Sayangnya, agak sulit kutunjukan karena tanda itu ada di—"

Kaus merahnya disingkap tanpa aba-aba. Hazard menatap jemari lentik yang nyaris menempel pada kulit perutnya. Dia berkedip dalam waktu singkat lalu menatap wajah serius Yena.

"Hm, jadi begini bentuknya. Mirip sih," ujarnya lalu menatap Hazard intens, "kau bukan manusia?"

"Itu ...." Hazard ragu untuk berkata, tapi tetap menunjukkan kristal biru di dahi dengan menyingkap rambut, "... aku memang bukan manusia seutuhnya, tapi aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang."

Yena cukup terkejut mendengar pengakuan Hazard sampai kesulitan mengontrol ekspresi. Mata dan lumutnya sungguhan tak bisa berbohong. Kemudian menggeleng setelah sadar.

"Sudah kuduga, kau memang bukan manusia," hardiknya lekas menutup kembali kaus Hazard lalu beranjak sambil membereskan bekas makan dari meja.

"kau sudah kenyang?"

"Ya, buang saja." Hazard terlihat membekap wajah dengan tangan beserta tatapan yang dialihkan ke samping. Semburat merah tampak mengintip di sela-sela jemari tangannya.

Tidak ada balasan dari Yena. Dia langsung ke belakang, bermaksud mencuci bekas makan Hazard. Seluruh wajah seketika memanas berkat kecerobohan sendiri.

Astaga, aku terlalu gegabah. Hanya karena penasaran sampai lupa kalau dia itu laki-laki, kata hati Yena.

Helaan napas terdengar. Yena menampar-nampar pelan pipi. Sebab, terus teringat perut Hazard. Padahal dirinya sudah sering melihat bentuk tubuh ideal seperti itu, tapi sensasi kali ini berbeda. Dia bisa saja mimisan, beruntung hal itu tidak terjadi.

Segera, Yena mencuci alat makan di tempat mandi batu dan jika bisa, ingin mencuci otaknya juga.