Yena melilitkan seutas kain pada kedua lengan. Dia menatap sebuah boneka kayu di hadapan. Manik hitam berkilat terkena cahaya matahari, tubuh rampingnya tak luput dari keringat yang membanjiri, terutama pada pelipis dan punggung.
Satu pukulan telak pada boneka kayu, menghasilkan bunyi retakan, rambut kuncir kudanya terlihat mengayun. Yena melakukan hal sama dengan tangan kanan, intensitas pukulan makin dipercepat. Bergantian dengan kaki menendang keras hingga retakannya kian jelas.
Boneka kayu penyok dan banyak kerusakan di sana-sini bahkan hampir hancur. Yena mengembuskan napas dan mengeluarkannya lewat mulut. Pakaiannya yang kuning pucat, tampak basah menerawang akibat keringat mengucur deras. Dia tersenyum bangga sembari melepaskan kain yang terikat tadi. Kemudian meremas remas jemari yang keram akibat tinjunya pada boneka kayu.
"Sekarang ... cobalah. Aku sudah melatih kalian berbulan-bulan. Tentunya kalian akan lebih hebat dariku," titah Yena.
Beberapa pemuda tercengang, beberapa lainnya terlihat semangat mempelajari bela diri jarak dekat. Banyak diantara mereka justru gagal fokus dengan penampakkan Yena kali ini.
Bagaimana pun kondisinya, mereka harus mempelajari ini, karena situasi yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Setelah mendapat pelatihan dari mendiang Guru Danma ditambah Syamsir—tentang cara bertarung menggunakan berbagai senjata, kini mereka harus mempelajari cara bertarung tanpa senjata.
Yena langsung duduk bersila di atas gelondongan kayu dengan wajah ditopang oleh kepalan tangan, mengamati perkembangan para calon. Mereka mulai berlatih keras dengan boneka kayu di depannya.
Setelah ini, masih banyak tugas yang belum selesai. Targetnya selama 5 bulan, calon Prajurit Altair harus lebih kuat lagi dari sebelumnya. Mungkin ini sebabnya sang raja memilih Yena untuk menjadi pelatih mereka. Beliau tidak mungkin memutuskan sesuatu dengan terburu-buru, pasti ada maksud dan tujuannya.
Pelatihan selesai di sore hari, akhir dari pertemuannya dengan semua calon prajurit. Beberapa hari lagi mereka akan diuji sebagai bentuk penyempurnaan dari pelantikan yang akan diadakan nanti.
Yena meraih pakaian hitamnya dari atas gelondongan, lalu menyampirkannya di bahu. "5 hari lagi kalian akan menghadapi ujian. Jangan patah semangat jika tidak lulus. Masih ada ujian tahun depan," katanya singkat sambil menghembuskan napas, mengenang masa-masa sulit ketika masih menjadi calon pengawal perempuan satu-satunya.
Dulu, ketika masih berusia 17 tahun. Yena berlatih sendiri untuk memperkuat daya tahan tubuhnya. Dia melakukan apapun yang diperintahkan oleh guru pelatih, bahkan sesuatu yang membahayakan Yena sanggupi agar sang guru tidak meremehkannya. Seperti saat mengikuti pertarungan berpedang.
Momen yang paling diingatnya, ketika diperintah untuk mengikuti sayembara yang diadakan oleh sang raja. Sayembara itu sudah ada ketika dirinya masih bayi, diperuntukan bagi para pemuda calon ksatria, yaitu untuk memperebutkan Pedang Legendaris.
Yena menempuh jalan berliku, sangat-sangat berbatu dan menyakitkan. Banyak orang yang meremehkannya karena dia hanya seorang gadis remaja. Termasuk ayahnya sendiri. Hanya Eden, sahabat kecil yang terus menyemangati.
Dalam sayembara itu, Yena sudah mengalahkan beberapa pemuda dengan gaya berpedangnya yang unik. Dia selalu menggunakan dua pedang, dengan berbagai teknik buatannya sendiri.
"Selamat untukmu. Kau sudah mencapai final," kata Eden, mendadak ada di depan rumah Yena. Eden sudah menjadi Ksatria sejak muda, berkat bakat berpedangnya yang muncul ketika masih balita. Sebuah pedang tersampir di pinggangnya.
Yena melempar baju bekas ke ember kayu yang berisi air kotor, lalu berbalik menatap Eden. Dirinya mengelap keringat yang ada di pelipis. Busa-busa sabun menempel pada lehai rambutnya. Tampaknya dia sedang memandikan kuda.
Cengiran terukir jelas di wajah. "Hehe, aku hebat, kan?" tanya Yena seraya menolak pinggang.
Eden memperhatikan tampilan Yena sekarang. Berantakan sekali dengan busa di setiap sudut tangan dan kaki. Kulitnya mengkilap karena basah dan tersorot sinar mentari. Entah sadar atau tidak, pakaian dalam Yena terlihat menerawang di balik kaos putihnya. Seketika wajah Eden memunculkan semburat merah.
"Yena, apa kau tidak merasa risi? Maksudku kaos itu tidak cocok digunakan saat seperti ini." Eden mengabaikan pertanyaan Yena. Pandangannya dialihkan pada si kuda sebelum dirinya benar-benar merasa malu sendiri.
Alis terangkat keatas, Yena dapat melihat dengan jelas rona kemerahan di wajah Eden. Lalu menatap bajunya sendiri.
"Ups! Sebentar!" pekik Yena, langsung meraih karung coklat yang di simpan di pojok pintu rumah. Kemudian mengikatkannya dileher.
"Gimana? Sudah tidak terlihat, kan?" tanyanya berdiri tepat di depan Eden.
Eden terpaku, menggelengkan kepala dan menekan ujung kedua alis. Bagaimana bisa seorang gadis begitu kurang peduli dengan bentuk tubuhnya yang terlihat? Bahkan sama sekali tidak marah ketika dirinya melihat jelas gundukan dibalik kaos itu. Sungguh, Eden merasa sahabatnya itu merupakan pemuda yang salah masuk ke dalam tubuh seorang gadis.
"Ada apa? Kau sakit?" tanya Yena.
"Tidak, aku hanya kurang tidur," bohong Eden, "aku ingin mengajakmu makan malam dengan Guru Danma sebelum bertugas kembali. Kau mau, kan?" lanjutnya menatap Yena kembali.
"Hm, oke. Sepertinya menyenangkan."
"Bagus, sampai jumpa nanti malam," pamit Eden sembari tersenyum, berjalan mundur dan menghilang di balik kelokan.
"No-nona! Anda baik-baik saja?" tanya seorang pemuda sedikit berteriak dan mengibaskan tangan di depan wajah, mengembalikan Yena pada kenyataan.
"Ah, maaf. Silakan pulang. Waktu berlatih sudah selesai," balas Yena dengan muka yang sedikit bersemu. Dirinya berjalan cepat, mengayunkannya menuju rumah. Karena mengingat masa lalu, Yena jadi merindukan mendiang ayah.
Dalam perjalanan pulang, Yena berpapasan dengan beberapa prajurit yang baru saja pulang dari tugasnya sambil menunggang kuda. Pembicaraan mereka terdengar samar, kota Mitri beberapa kali disebutkan. Dirinya langsung berbalik kebelakang menatap punggung berlapis besi para prajurit. Kepalanya ditelengkan ke kanan.
"Kota Mitri? Bukankah itu ...," gumam Yena, alisnya berkerut dengan tangan menopang dagu.
🍂🍂🍂
Esoknya, Yena sudah berada di kota Mitri. Membuntuti prajurit yang bergantian berjaga di kota ini. Dia menuruni kuda jauh dari perkemahan dan membawanya ke dalam gudang kosong yang terbuka.
Yena baru tahu, Raja Firan mengirim beberapa prajurit dan penyihir hitam. Mereka semua berpatroli untuk memeriksa kota ini secara bergantian. Untungnya Yena tidak menyentuh kerangka manusia yang terbujur kaku di dalam rumah depan gudang sekarang. Bisa gawat kalau sampai ketahuan para prajurit.
Setelah mengelana dari satu rumah ke rumah. Yena pun sadar, telah terjadi sesuatu di kota ini.
"Sepertinya kota ini sudah benar-benar mati," ujar Yena seraya mengusap-usap leher si kuda yang bersurai coklat tua agar tidak meringkik terus.
Suara tapal kuda menjauh hingga tak terdengar. Kudanya kembali tenang dan tak meringkik lagi. Yena segera melangkah keluar, sedikit menutup pintu gudang agar kuda miliknya tidak terlihat. Dia mengambil sebuah masker kain dari saku celana, lalu memasangnya. Yena ingin mengecek semua rumah yang ada di sini, apakah keadaannya sama?
Terutama rumahnya Walikota Mitri. Tempat terakhir yang belum terjamah olehnya. Yena pun menggunakan pintu belakang untuk masuk ke dalam. Pintu belakang itu tembus ke dapur.
Yena berjalan mengendap menuju tangga. Mendadak terdengar suara pria mengerang kesakitan. Tidak keras tapi masih terdengar di sekitar sini. Tepatnya pada sebuah kamar di lantai dua.
Langkah Yena berubah cepat, dengan punggung yang dibungkukkan. Dia perlahan menaiki tangga. Sayangnya, kali ini dia tidak membawa pedang. Artinya Yena tidak siap bertarung untuk sekarang.
Pintu kamar usang terbuka sedikit, Yena mengintip di baliknya. Di dalam ada seorang pria bermasker memegangi tengkuk, dua lubang hitam kecil pada lehernya ngintip di balik jemari. Yena bisa memastikan bahwa si pria telah tergigit seekor ular. Dan Yena mengenali pria itu.
Tiba-tiba suara tapal kuda terdengar, di belakang rumah dan halaman depannya. Si pria segera bersembunyi di balik jendela bergorden tapi tak berkaca, sepertinya ia masuk lewat jendela tersebut.
"Lebih baik tunggu mereka pergi. Setelah itu—"
"Kau akan mati akibat bisa ular yang terus menyebar," potong Yena membuka perlahan pintu kamar, "mau kubantu?" tawarnya.
Sebenarnya Yena sangat penasaran dengan identitas pria bermasker. Mencoba mendekatinya dengan berpura-pura berkhianat pada Raja Firan, patut di coba.
"Kau? Yena si pengawal raja?"
Hebat sekali. Rupanya pria pembunuh ini mengenalinya. Dia harus hati-hati karena pria tersebut membawa pedang.
"Mau kubantu? Tapi bantuan ini tidak gratis ya," kata Yena menatap intens. Namun, tak muncul ekspresi yang ditunggunya dari si pria. Mengesalkan.
"Kau tidak sedang bercanda? Rasanya aku ingin tertawa."
Kalimat itu membuat Yena tertohok. Memang terdengar konyol, seorang pengawal pribadi raja malah menawarkan bantuan pada musuhnya. Benar-benar sudah melanggar sumpah setia jika saja tujuannya bukan karena ingin tahu identitas musuh.
"Baiklah, kalau kau tidak mau." Yena bangkit dari posisi jongkok. Dia menepuk-nepuk tumitnya yang kotor. "Padahal aku memiliki obatnya."
"Bagaimana jika membuat kesepakatan?" sela pria itu saat Yena baru membalikkan tubuhnya.
"Kau berubah pikiran?"
"Kau bilang, kau memiliki obatnya?"
Benar juga, Yena yang menawarkan. Jika dilihat-lihat, gigitan ular itu tampak tidak biasa. Sedikit demi sedikit menyebar menutupi kulitnya dengan warna pekat. Di lengan yang terbungkus sarung tangan berlubang, warna hitam menempel pada jemarinya. Aneh sekali. Hal ini persis seperti pertarungan si pria pembunuh dengan penyihir hitam 5 bulan lalu.
"Oke, ikuti aku," jawab Yena, berjalan terlebih dahulu di ikut pria bermasker. Sayangnya, dua orang prajurit telah mendobrak pintu depan. Keduanya segera berjongkok, menyembunyikan diri di balik tangga.
"Sepertinya kita akan ketahuan, Nona."
"Diam! Aku sedang berpikir," pekik Yena, "kau tidak bisa mengeluarkan kekuatanmu, kah?"
"Tidak bisa."
Ah, ya. Yena baru ingat. Jika si pria tidak bisa mengeluarkan semua kekuatannya ketika terpapar sihir hitam. Pantas saja ia langsung menerima bantuan Yena, mungkin selama 5 bulan itu dia menyembuhkan diri? Dan sekarang malah makin sial.
Yena menggeleng kemudian berkata, "Kita tunggu dan lihat, kemana mereka akan pergi." Pria itu mengangguk setuju.
Beberapa saat menunggu, rupanya dua prajurit berpencar pada sebuah kamar di lantai satu. Yena berjalan perlahan menuruni tangga setelah sosok mereka tak terlihat. Lengannya melambai ke belakang, memberi instruksi pada si pria untuk mengikutinya. Tangga tak sengaja berderit beberapa kali menyebabkan kebisingan.
"Hei!! Berhenti kalian!" teriak seorang prajurit bertubuh jangkung.
Mereka berdua menoleh kebelakang, seorang prajurit memergoki mereka yang sudah berada diambang pintu keluar.
Yena langsung lari terbirit-birit sambil meraih lengan pria itu. Mereka kabur dengan bergandengan. "Cepat! Cepat! Kita harus lari!" pekiknya.
Namun, sayangnya teriakan seorang prajurit telah mengundang semua musuh termasuk beberapa penyihir hitam. Yena berputar. Depan dan belakangnya tidak bercelah. Sementara ada beberapa prajurit pemanah juga dan Yena tidak membawa pedang. Tamat sudah.
"Sial! Seharusnya aku membawa Er'dura," gumam Yena seraya meremas kepala.