Tepat pada bulan pergantian musim. Tiba-tiba, Hazard menampakkan dirinya. Para manusia yang melihat kemunculannya dapat merasakan bahwa pembunuh gurun yang sekarang berbeda dari yang dulu. Firasat mereka berkata begitu, apalagi setelah melihat kedatangannya diiringi oleh petir menyambar, kejadian alam yang cukup langka terjadi di gurun.
Nyonya Chayra terkejut melihat kemunculan Hazard, dirinya memilih untuk tidak mengikuti rapat dadakan. Itu sebabnya hanya ada dua pengawal di samping kiri dan kanan Harith sekarang, sedangkan di depan ada Hazard yang bersila.
"Maaf, sepertinya kedatangan saya menimbulkan masalah baru. Seharusnya saya muncul lebih awal," kata Hazard dengan netra yang terpejam sesaat menandakan penyesalan.
"Tidak perlu meminta maaf, Tuan Hazard," sela Harith. Dia tampak beralih, membisikan sesuatu pada Syamsi yang ada di samping kiri. "Panggil Nyonya Chayra, beliau harus hadir dan mendengar rencana kali ini, akan ada sedikit perubahan," titahnya.
"Baiklah, Pangeran. Saya permisi." Pandangan Syamsi menatap Hazard sejenak, sementara Harith memerhatikan Syamsi hingga punggungnya menghilang di balik tenda.
"Maaf, ada sedikit urusan. Tadi sudah sampai mana?" tanya Harith menatap Hazard dengan raut serius.
"Sampai Anda bilang, tidak perlu minta maaf."
"Oh ya, tentu. Saya tidak masalah dengan hal tersebut. Lagi pula Anda menghilang pun bukan karena sengaja, benar?"
Hazard tersenyum miring, tampak sangat tipis. "Begitulah. Dan saya pikir rencana awal akan sedikit berubah, karena Raja Altair sudah mengetahui keberadaan saya. Ada kemungkinan beliau akan mengorbankan banyak sekali manusia untuk membunuh saya," ungkapnya.
Harith menopang dagu dengan telunjuk menutupi bibir, memikirkan perkataan Hazard. Kerincing lonceng mendadak mengalihkan fokus keduanya.
"Masuk," ucap Harith. Nyonya Chayra muncul dari balik tenda dan segera duduk di samping Harith, sedangkan Syamsi duduk di belakangnya.
"Sepertinya sudah lengkap. Bisa kita mulai ke dalam pokok pembahasan?" tanya Harith kepada semua orang yang ada di dalam tenda. Mereka semua mengangguk, setuju.
"Pertama, saya ingin menyampaikan kabar dari Syamsir bahwa keberadaan Anda dan orang-orang di sekitar Anda sudah di ketahui oleh sang Raja. Apakah Tuan Hazard memiliki keluarga?" tanya Harith mengawalinya dengan menanyakan kabar Hazard sebelum menghilang.
Hening sesaat, Hazard merasa tidak ada seorang pun yang cukup spesial di dunia 'ini' baginya, kecuali perempuan bernama Yena.
"Tentang hal itu, ada sedikit masalah," ujarnya melirik Syamsir, "pengawal Anda lebih mengetahui apa yang terjadi saat itu."
Semua mata tertuju pada Syamsir. Rasa canggung memenuhi rongga dadanya. "Sa-saya hanya menonton," terangnya, "Saat itu, saya mengerti mengapa Raja Altair sampai memanggil penyihir hitam."
"Penyihir hitam? Raja Altair bersekongkol dengan penyihir hitam? Kenapa kau tidak mengatakannya dari awal, Syam?" tanya Chayra menginterupsi.
"I-itu ...."
"Lanjutkan ceritamu, Syamsir. Tentang mengapa baru memberitahukannya sekarang, kau bisa jelaskan nanti," tutur Harith begitu berwibawa. Nyonya Chayra segera menyadari kesalahannya, ia langsung menunduk dalam.
"Saya lanjutkan," ucap Syamsir seraya berdeham, "jadi, saya tahu semua kabar ini berkat orang penting yang bersedia membantu saya di sana. Tuan yang tidak ingin disebut namanya berkata ...."
Syamsir menjelaskan semua yang dia ketahui dari si tuan tak bernama. Setelah penjelasan selesai, sebuah lengkungan dari ujung bibir Hazard tertarik ke atas.
🍂🍂🍂
"Tadi itu ... Tuan Hazard tidak banyak bicara, ya? Beliau lebih banyak diam," ujar Syamsi kepada saudaranya Syamsir. Mereka berjalan beriringan menuju tenda prasmanan.
"Hm, aku sudah menduganya," balas Syamsir menjawab dengan malas karena perut yang sudah keroncongan. Satu tangannya memegangi perut.
"Hoo, serius? Keren."
"Masa begitu saja kau tidak tahu?" Syamsir menolak pinggang dengan alis yang berjengit.
"Aku mengira Tuan Hazard akan lebih aktif bicara. Karena rumor yang sering kudengar dari para pelayan perempuan, bahwa Tuan Hazard suka sekali bermain wanita."
"Ha ha ha, omong kosong macam apa itu?"
"Mana kutahu, aku tak sengaja mendengar obrolan para pelayan."
"Aku beritahu kau, jangan suka mendengarkan para wanita bergosip. Mereka suka melebih-lebihkan," ucap Syamsir memberi nasihat sambil berjalan terlebih dahulu.
"Hm, betul juga sih." Syamsi diam dan berpikir, menopang dagunya. Saat ingin bertanya lagi, melirik ke samping, tidak ada siapapun. Dia melihat saudaranya sudah berbaris di depan meja prasmanan. "Oh, ok. Seperti biasa makanan lebih penting."
Dalam tenda, Harith sedang menulis di atas paripus dengan pena bulu. Paripus tersebut nantinya akan dikirimkan ke tempat tinggalnya ketika masih kecil.
Mendadak, dari arah luar, terdengar suara rumput kering terinjak. Netranya melirik kearah bayangan di luar tenda. Ketika bangkit dan menengok keluar untuk mengecek, tak ada seorangpun.
"Mungkin hanya 'perasaanku' saja," gumam Harith menegaskan satu kata pada kalimatnya. Manik kuning keemasan melirik kesana-kemari seraya pendengaran yang ditajamkan.
Terdengar bunyi langkah kaki dari balik tenda. Cukup dekat, tapi makin lama semakin menjauh. Harith mencoba memastikan, berjalan mengendap ke balik tenda. Matanya memicing ketika melihat sebuah punggung wanita menjauh dari tenda. Senyumnya tertahan dengan kaki yang berlutut di pasir.
"Sampai kapan kau mau bermain-main denganku, Kaila?" tanyanya entah kepada siapa. Harith lekas bangkit lalu menepuk-nepuk judah dan tangan agar bersih kembali. Bibirnya tersungging ke atas.
🍂🍂🍂
Kota Mitri, sore hari. Hazard berjalan santai di tengah kota. Sangat sepi kelihatannya. Tak ada seorangpun yang tampak dan menyapa. Kota ini terlihat seperti kota mati, karena di sana-sini banyak sekali rumput kening tertiup angin hingga ke lantai kayu para penduduk. Hazard ingin memastikan keadaan kota, ia mengetuk dengan sopan salah satu rumah penduduk yang ada di tengah kota. Namun, tak ada jawaban.
Alisnya berkerut menjadi satu, Hazard menatap telapak tangan penuh debu bekas menyentuh tiang rumah. Debu pasir menebal pada gorden, terlihat sangat kumuh lebih parah dari kondisi sebelumnya. Sangat tidak wajar bagi kota yang masih ada penghuninya. Kecuali ...
Hazard mendobrak pintu dengan sekali percobaan. Dirinya langsung dihadiahi sebuah bangkai manusia dewasa yang sudah menjadi tulang-belulang dengan rambut putih di sekitar bangkainya dan telah rontok.
Alis semakin berkerut, urat-urat pada pelipis berjengit, Hazard berlutut di samping dan menyentuh telapak tangan si mayat yang sudah berubah jadi tulang saja. Seketika memejamkan mata sesaat.
"Sudah terlambat, aku tak bisa melihat memori terakhirnya," tuturnya seraya membuka mata, manik hitam mengikuti sorot mata si mayat—menatap ke dapur—sebelum mati.
Segera, Hazard bangkit kemudian berjalan menuju dapur. Seperti dugaannya, dekat meja makan terdapat satu kerangka orang dewasa tergeletak di lantai membelakangi pintu dapur yang terbuka. Ia berjalan menuju pintu belakang, segera memeriksa semua rumah yang terkunci dari depan.
Tak jauh berbeda dengan rumah pertama, rumah lainnya dalam kondisi sama. Semua pemilik rumah sudah meninggal sekitar 5 bulan yang lalu, beberapa hari setelah kepergiannya. Para pembunuh itu melakukan aksinya di malam hari ketika semua sudah terlelap.
Hazard duduk di teras rumah yang berbedu. Pandangannya kosong menatap ke depan. Ia ingin memastikan kondisi Tuan Walikota dan kedua putrinya. Namun, sesuatu dalam diri merasa akan sangat terpukul jika tahu kebenarannya.
Hazard menggeleng, memutuskan untuk berdiri. Dirinya melompat ke atap rumah dan berlari di atasnya. Hingga sampai di rumah walikota yang sudah tak terurus lagi.
Tanaman dalam pot banyak yang mengering dan mati. Kotoran tebal menghiasi jendela, lantai, pintu dan dindingnya, adapun jaring laba-laba di setiap sudut rumah ini.
Hazard masuk ke dalam melalui jendela kamar walikota yang tertutup gorden. Dirinya disuguhkan kerangka orang dewasa lagi. Sudah jelas, itu kerangka dari jasadnya Tuan Walikota.
Segera, Hazard terduduk di samping kerangka. Sepertinya Tuan Walikota dihabisi saat masih tidur, sungguh malang. Terdengar napas panjang darinya, menatap kerangka itu cukup lama.
Namun, tak disangka seekor ular hitam menyambar lehernya. Hazard tercengang. Dia langsung bangkit dan melempar syal beserta ularnya.
"Akh! Sialan!" rancaunya dengan pandangan tertuju pada tengkorak bagian mata dari jasad tersebut. Ketika mengalihkan pandangan, ular itu sudah hilang, meninggalkan asap hitam.
Syal tersebut tak lagi dipakai, bahkan ketebalannya tidak mampu menghalau taring ular hitam aneh itu. Bekas gigitan menimbulkan rasa terbakar, membuat Hazard otomatis memegangi tengkuknya.
Dari bawah, ada kebisingan orang mengobrol dan suara tapal kuda yang berkelotak. Hazard segera bersembunyi di balik jendela kamar. Mengintip orang-orang itu dari sudut jendela.
"Sudah 5 bulan, Yang Mulia kenapa tidak menyerah saja? Lagi pula si pembunuh sudah tak terlihat," ucap seorang pengawal bertubuh kurus dengan jambang di sekitar wajahnya.
"Tidak ada salahnya berjaga di sini. Assassin itu bisa langsung kita tangkap kalau terlihat," balas seorang pengawal dengan tubuh agak gemuk dan rambut ikal.
Mereka berdua sedang berpatroli memakai kuda coklat gelap. Seluruh tubuh mereka dipenuhi tameng besi.
"Lebih baik tunggu mereka pergi. Setelah itu—"
"Kau akan mati akibat bisa ular yang terus menyebar," potong seseorang menerobos masuk ke dalam kamar, "mau kubantu?" tawarnya. Dia wanita dengan masker hitam dan rambut yang di untai seperti rantai.