Hazard sampai di depan gerbang kastil, berpilar dua pohon besar. Seperti biasa, dua elve penjaga segera membuka gerbang agar dia bisa memasuki kastil.
Setelah masuk, sisi kiri dan kanannya dipenuhi air mancur buatan, terdapat bunga berwarna-warni tertanam di pinggir jalan berbatu. Masih ada gerbang dua pintu yang lebih kecil di depan. Ujungnya melingkar, terdapat ukiran akar-akar pohon dan bunga-bunga menghiasi.
Hazard mendorongnya dengan kedua tangan, ruangan kastil langsung terlihat dengan jelas. Banyak pilar-pilar yang berdiri kokoh sebagai penyangga dan tangga batu sebelah kiri-kanan menuju lantai atas. Di antara tangga, terlihat sebuah air terjun buatan, biasanya sang ratu menunggu Hazard di sana, tapi sekarang kehadirannya tidak terasa.
Alisnya mengernyit, memperhatikan air terjun buatan itu. Air terjun tersebut tidak beralas karena langsung turun ke laut. Di tengah-tengah terdapat jembatan tertutup oleh air yang jatuh, seperti ada sebuah pintu di baliknya.
"Nenek pasti ada di dalam, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya ke sana." Hazard menatap setiap sudut ruangan. Air terjun di batasi oleh tanaman pagar, dengan batu-batu kecil di sampingnya.
Mendadak sebuah batu dari atas terbuka membuat air terjun tersingkap. Seorang elve dengan mahkota runcing tiga keluar dari sana. Ialah sang Ratu, di balik tubuhnya terlihat seorang elve pria dengan garis wajah begitu familiar.
"Kakek?" tanya Hazard tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Ujung bibir membentuk garis lengkung ke atas, pria bernama Ruar'vrede telah terbangun dari tidur panjangnya. Dia mengenakan judah berwarna coklat tua dengan bulu halus pada kerah, Vrede memakai pakaian dari kulit hewan dengan warna kuning pucat. Pada pinggangnya terlilit kain berwarna coklat tua senada dengan warna celana. Rambut Vrede masih tetap sama, berwarna putih dan diikat separuh ke belakang. Flek keemasan masih setia menempel di sekitar matanya.
Hazard ingin sekali berlari dan memeluk Vrede, tapi sebagai murid yang baik dirinya memilih untuk berlutut sembari menunduk dalam.
Vrede menepuk rambut Hazard dengan lembut, tatapan mereka saling beradu. "Berdirilah ...," ucapnya tersenyum.
Tanpa aba-aba Hazard langsung merengkuh Vrede kedalam pelukan. Bibirnya digigit, hampir menangis. Tepukkan lembut pada bahu dari sang Ratu makin membuat Hazard tak kuasa menahan haru. Dia sudah menganggap kedua kakak-beradik itu sebagai keluarganya.
***
Sore ini, Hazard sedang berlatih pernapasan di samping pohon kehidupan. Berbeda dengan meditasi biasa yang hanya memusatkan pikiran pada satu titik, meditasi dengan latihan pernapasan ini bertujuan agar tubuh menjadi lebih ringan dan daya tahan menjadi lebih kuat.
Mungkin karena jarang berlatih pernapasan, Hazard sampai kewalahan ketika menghadapi seorang penyihir hitam. Kecepatannya yang kurang dibarengi daya tahan tubuh yang lemah, mengakibatkan luka dalam yang serius. Alasannya tidak berlatih pernapasan karena kristal biru di dahi. Kristal itu membutuhkan waktu tidak sedikit untuk mengumpulkannya. Namun sekarang, Vrede memaksa Hazard untuk berlatih pernapasan.
"Pusatkan pikiranmu dan bernapaslah dengan teratur," perintah Vrede. Jubahnya disimpan pada rumput di samping. Dia pun bersila di hadapan Hazard sambil memperhatikan gestur tubuh muridnya.
Rahang seorang Hazard kecil sudah tumbuh menjadi rahang yang tegas, bahunya pun berubah kokoh dan lebar. Padahal dulu sebelum Vrede tidur panjang, Hazard merupakan seorang anak yang lucu, sangat berbeda dengan sekarang.
Vrede penasaran dengan otot-otot tubuh Hazard. Apakah sudah terbentuk? Lalu tanda lahir pada pusarnya, apakah masih terlihat atau sudah tertutup bulu? Melihat Hazard yang sekarang seperti melihat anaknya sendiri, meski Vrede belum pernah menikah sekalipun.
"Bagaimana dengan pasangan, apa kau sudah menikah?"
Hazard tersedak ludahnya sendiri. Seketika terbatuk-batuk dan memukul dadanya. "Dari semua pertanyaan yang ada, haruskah kakek menanyakan hal itu?" tanyanya. Kerongkongan Hazard terasa sakit karena udara yang masuk sembarangan.
"Aku penasaran dengan kehidupan asmaramu, dari kecil kau tidak pernah bergaul dengan anak perempuan. Jangan sampai menjadi sepertiku. Kau akan kesulitan jika para iblis tiba-tiba menyerang kita," jelas Vrede kembali bernostalgia dengan masa mudanya yang dihabiskan untuk berlatih dan membaca saja. Itu sebabnya dia belum pernah merasakan cinta hingga detik ini.
"Aku tidak seperti kakek," jawab Hazard singkat seraya memejamkan matanya kembali.
"Owh, kau sudah menemukan belahan jiwamu?"
"Mung ... kin?"
"Apakah dia cantik?"
"Em, ya ... cantik ...."
"Waw, seberapa cantik?"
"Kek, tolong ... aku sedang berkonsentrasi."
"Baiklah, maaf ...."
Seketika hening, karena Vrede memejamkan matanya juga, ikut berlatih pernapasan. Beberapa jam terlewat, hari yang cerah berubah menjadi gelap. Saat itu Hazard membuka matanya bersamaan dengan Vrede.
"Apa yang kau rasakan sekarang?" tanya Vrede.
Hazard merasa berbeda, tubuhnya menjadi sedikit lebih segar dari biasanya. Keringat dingin mengalir dari pelipis dan berjatuhan ke rumput. "Hm, lebih baik dari sebelumnya," jawabnya seraya mengusap keringat sendiri yang ada di wajah.
"Bagus, kita sudahi dulu latihan ini. Besok waktunya berlatih pengembangan energimu. Kau baru bisa mengendalikan elemen udara, bukan?"
"Ya, aku kesulitan mempelajari elemen lain."
"Berarti kau harus berlatih lebih keras. Karena seorang elve petarung diwajibkan memiliki dua elemen alam atau lebih. Pilihlah yang paling cocok denganmu."
"Baik, Kakek."
Sementara di Human Earth...
Mentari keluar dari peraduan. Yena tampak menggulung selimut, menutupi seluruh tubuh. Gorden kamar dari kain di buka oleh Adam, dirinya langsung melompat-lompat di atas kasur.
"Nona. Bangun. Udah pagi. Mandi! Mandi! Mandi!"
Teriakan Adam membuat telinganya sakit, tapi Yena malas beranjak dari tempat tidur. Dia menutup kuping dengan kedua tangan, menggulung selimut semakin tebal di sekitar kepala.
Melihat kelakuan kakaknya Adam menggembungkan pipi. Ia langsung menjatuhkan diri pada tubuh kakaknya.
"Argh! Ngapain? Sakit tau!" Yena kesakitan lalu memindahkan sang adik ke kasur. Dia tampak menekan-nekan pinggang, rasanya seperti di timpa sesuatu yang tajam. Meski Adam bertubuh kecil, tapi pantatnya benar-benar seperti pisau.
"Mandi! Ibu bilang sarapan, jangan tidur terus!" pekik Adam.
"Tau. Sudah sana pergi," usir Yena dengan mendorong-dorong badan Adam.
Bibir Adam mengerucut, segera berlari pergi dari kamar Yena. Adam sempat menjulurkan lidah dan menepuk-nepuk pantatnya mengejek.
"Keluarr!!!" Seketika bantal dilempar ke arah pintu.
Adam terkesiap hampir terkena bantal. "Wekk! Gak kena," ejeknya lalu membentuk tangan seperti tanduk banteng. Adam langsung kabur sebelum diamuk oleh kakaknya lagi.
Yena mendengkus kesal. Ia bangkit, mengambil batal yang dilempar kemudian mengembalikannya ke kasur. Ketika keluar kamar, ia berpapasan dengan Adam sedang duduk manis di samping meja makan. Ada Layha di samping Adam, sedang menyuapinya.
"Bu, handukku mana? Di kamar tak ada," tanya Yena. Tampilannya ketika bangun sungguh berantakan. Rambut panjangnya mengembang layaknya rumput kering yang ada di padang pasir.
Layha menggeleng setelah melihat penampakan putrinya lalu menjawab, "Handukmu ada di tempat mandi, Sayang."
"Uh, ya sudah," sahut Yena sambil melenggang pergi ke luar menuju tempat mandi.
Adam tampak memandangi Yena hingga sosoknya hilang di balik pintu. "Bu, kakak jelek ya?"
"Hush! Jelek gimana?"
"Itu, rambutnya kayak rumput kering."
Tetiba sebuah kepala muncul dari balik pintu dapur. "Aku dengar loh," sahut Yena dengan mata yang menyipit memandang kesal pada Adam.
"Udah sana mandi, bau, " kata Layha memerintah.
Adam langsung menjulurkan lidah, merasa menang dari kakaknya.
"Kamu juga, Adam. Jangan meledek kakakmu." Seketika wajah Adam merengut mendengar ucapan ibunya. Kemudian menatap kakaknya yang menjulurkan lidah dengan sebelah mata dikedipkan.
"Ibu, liat! Kakak ngeledek aku," pekik Adam mengadu pada Layha. Namun, Yena sudah tidak ada di balik pintu. Ia terkekeh melihat raut terakhir Adam yang tampak kesal.
🍂🍂🍂
"Hati-hati, jangan nakal di sekolah," ucap Yena lalu berlutut di hadapan Adam. Sementara yang dikhawatirkan tidak peduli, Adam melenggang begitu saja setelah sampai.
Yena menatap pakaian sekolah Adam, warnanya coklat kayu dengan motif garis-garis seperti buku berjejer di sekitar pinggang. Tas selempang berbahan dasar kulit digantung di pundak kecilnya.
"Dasar bocah," cerca Yena dengan ujung bibir tersungging hampir senyum. Netranya mendapati sebuah bangunan sekolah tampak seperti kastil tapi lebih kecil ukurannya. Yena jadi teringat masa muda ketika masih bersekolah di sana.
"Ah ya, aku harus segera ke istana. Ada banyak orang yang menungguku."
Dalam perjalanan menuju Istana Altair, Yena teringat Hazard. Si pemuda dengan ikat kepala yang cukup misterius. Sudah lama lelaki itu tidak pulang kerumahnya. Bahkan sebuah surat untuk mengabari kepergiannya pun tak ada. Apa mungkin kecurigaan Yena benar?
Seseorang mendadak menyenggol bahu Yena, perawakannya mirip Hazard. Namun, ketika Yena ingin memanggil nyatanya orang itu bukan Hazard. Orang asing tersebut tampak mengatupkan kedua tangan, memohon maaf.
"Ck, aku salah orang," sesal Yena sambil menggaruk tengkuk, heran dengan dirinya karena terus memikirkan Hazard, "fokus Yena, untuk sekarang tugasmu melatih para calon prajurit!" lanjutnya sembari melipat tangan dan mengangguk-anggukan kepala setuju dengan ucapannya sendiri.
Lima bulan kemudian...
"Bagaimana ini, Pangeran? Raja Firan sudah mau menikah lagi. Sementara Tuan Assassin sampai sekarang tidak terlihat batang hidungnya," ucap Chayra ketika Harith baru keluar dari tenda. Pandangan mata Chayra tak beraturan sambil menopang dagu dan menggigit bibir. Jelas sekali bahwa dirinya sedang gelisah.
Tiba-tiba, kilatan petir menyambar pasir hingga gosong dibarengi gemuruh kian nyaring, sejalan dengan cuaca mendung akibat sinar mentari yang tertutup awan. Seorang pria—mengenakan masker—muncul dari bekas pasir yang tersambar. Pria itu mengenakan jaket kerah tinggi dengan kaos dalam berwarna merah dan syal coklat kehitaman melambai-lambai diterpa angin dingin. "Maaf, Nyonya. Sekarang batang hidup saya sudah terlihat jelas, bukan?" sahutnya berjalan mendekat lalu berlutut dengan seringai tipis.
Semua mata yang ada di oase tertuju pada pria itu. Mereka dapat merasakan hawa mengerikan yang lebih dashyat setelah kepergiannya beberapa bulan lalu.