Chereads / ADURA / Chapter 23 - Bab 22 — Orang Baru

Chapter 23 - Bab 22 — Orang Baru

Penduduk berkerumun di jalan utama kota Mitri, mereka memandangi tubuh tak bernyawa seorang pemuda. Jasad pemuda itu terlihat memegangi perut. Kaus kuning pucatnya ternoda oleh darah yang sudah kering.

Albar meneliti tubuh kaku tak bernyawa itu, berlutut penuh penghayatan. Sementara Hazard berdiam diri pada posisi berbeda, dengan pakaiannya yang sudah kering, Hazard menopang dagu—masker sudah menempel di wajahnya. Ketika digulingkan menjadi terlentang, Albar mengenali mayat tersebut.

"Ya ampun, bukankah itu Denrick?"

"Benar, itu Denrick!"

"Astaga ...."

"Sangat tidak bisa dipercaya ...."

Para penduduk mundur satu langkah dari mayat Denrick, kebanyakan dari mereka terkejut melihatnya. Orang kepercayaan walikota mati begitu mengenaskan.

"Tuan Walikota, saya orang yang melaporkan hal ini," seorang pemuda tiba-tiba menginterupsi, "Denrick adalah teman saya. Jadi saya sangat tahu kegiatan apa yang ia lakukan sebelum mati," sambungnya sambil menyelip diantara kerumunan dan berjalan mendekat.

Albar menoleh si pemuda seraya menolak pinggang kanan. Pandangannya tampak tajam. "Katakan, apa yang kau tahu, Anak Muda," titahnya.

"Denrick merupakan orang kepercayaan Tuan, benar? Ia sempat bercerita pada saya sore tadi ... Anda memberinya tugas memata-matai rombongan Raja Firan sampai mereka pulang. Kemudian saya menunggunya sampai malam, tapi teman saya tidak pulang, rumahnya gelap. Karena khawatir saya mencarinya dan mendapat kabar dari seorang penduduk bahwa ada seorang pemuda yang terbunuh di jalan utama. Tanpa pikir panjang saya berlari ke rumah Tuan Walikota. Di sana saya mendapat informasi dari beberapa pelayan bahwa teman saya Denrick sempat berkeliaran di rumah Tuan Walikota, tentu saja karena ia memiliki akses bebas tidak seperti saya yang harus ditanya-tanya dulu oleh para pelayan sebelum menginjakkan kaki di sana. Apakah Tuan sempat bertemu dengannya?" Si pemuda mengakhiri kalimat dengan pertanyaan yang cerdas, memaksa pendengar untuk berpikir.

Sejak tadi Hazard memasang telinga dari jauh. Cerita dari sang pemuda tak di kenal terdengar cukup menarik baginya.

"Tidak, saya belum bertemu dengan Denrick setelah memberinya tugas," ujar Albar mulai curiga. Dia mengubah posisi tangannya jadi terlipat di dada.

Si pemuda tersenyum tipis. "Sepertinya informasi yang saya dapatkan kemungkinan besar tidak salah."

"Informasi? Informasi apa?"

"Jadi setelah melapor, saya segera kemari dan mendapati satu informasi lagi. Bahwa ada beberapa penduduk yang melihat Denrick ditusuk dengan pedang oleh Panglima Eden. Menurut Tuan bagaimana?"

"Sepertinya Denrick berkhianat," jawab Hazard, tetiba sudah ada di samping si pemuda dan Albar.

"Oh, Tuan Hazard? Sejak kapan Anda ada di sini?" tanya Albar. Badannya sedikit condong melihat Hazard muncul mendadak di sampingnya.

"Saya mendengarkan dari jauh, topik yang kalian bicarakan cukup menarik ... pemuda yang bernama Denrick kemungkinan besar sudah berkhianat."

Si pemuda menatap takjub. Dalam kondisi riuh, penuh celotehan ria para manusia, Hazard masih sanggup mendengar dengan baik dalam jarak yang cukup jauh dari posisi sebelumnya—yaitu tepat di sampingnya, berjarak delapan jengkal orang dewasa.

"Benar juga, sangat masuk akal karena semua bukti mengarah padanya," ucap Tuan Albar membenarkan, "kemampuanmu mengesankan. Berkat bantuanmu, saya belajar satu hal penting ... jangan terlalu percaya pada orang lain," lanjutnya seraya menepuk pundak si pemuda.

Pemuda itu tersenyum bangga, tapi menunduk sebagai bentuk kerendahan hati. "Syukurlah, saya sangat senang mendengarnya, Tuan."

"Tentu. Kamu berhak mendapat sekarung gandum sebagai penghargaan, Anak Muda. Sebutkan, siapa namamu?"

"Nama saya Dienra, biasa di panggil Enra."

"Hm, nama yang unik."

Pelayan pria dipanggil. Albar memerintahkan bawahannya untuk mencatat identitas Enra. Setelah semua dicatat dalam paripus, gulungan identitas Enra langsung diberikan pada Albar.

"Sepertinya saya sudah tidak diperlukan lagi. Saya pamit undur diri, Tuan Walikota, Tuan Hazard." Enra membungkuk hormat sebelum akhirnya pergi.

Keramaian di sana segera dibubarkan. Albar memerintahkan para pelayan pria untuk mengebumikan mayat Denrick sebelum membusuk dan mengeluarkan bau tidak sedap. Dibalik kesibukan tersebut, Hazard merasakan ada yang tidak beres dari bahasa tubuh Enra dan gaya bahasannya yang begitu rapi. Sangat berbeda dari Enra yang ia lihat di kediaman Walikota.

🍂🍂🍂

Di gudang tempat persediaan. Bertumpuk karung-karung berisi bahan makanan, gentong air bersih berjejer rapi di sisi gudang. Hazard hampir tidak percaya, semua ini adalah hasil curian Furo.

"Semua bahan pangan berasal dari paman—ah, maksud saya orang sebelum paman. Kami tidak tahu siapa orangnya, dari mana asalnya, dan bagaimana caranya mendapatkan semua bahan pangan ini," tutur Hannah dengan wajah tersenyum.

"Kamu tidak perlu khawatir. Bahan pangan ini didapat dari hasil kerja keras kami. Karena berlebih, kami memilih untuk memberikannya pada orang-orang yang membutuhkan," dustanya, tidak bisa jujur. Orang baik seperti mereka akan sulit menerima barang curian, jadi lebih baik dirahasiakan saja.

"Syukurlah, tidak ada yang dirugikan." Hannah tersenyum semakin cerah.

Lihat? Benar dugaan Hazard. Untung saja dirinya tidak jujur. Jika jujur, alamat semua pemberian Furo akan dikembalikan lagi oleh mereka.

Mendadak, dada sebelah kiri terasa nyeri. Hazard menekan rasa sakitnya perlahan. Sesak di dada kian nyata, ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Wajah tenang itu berubah menjadi pucat, semakin sulit untuk bernapas.

Sepertinya pengobatan dari Paman Albar tidak sempurna. Jangan sampai mereka mengetahuinya, pikir Hazard. Ia mengerahkan seluruh energi dalam diri untuk menutupi luka dalam. Tubuhnya pun kembali sehat seperti semula untuk sementara.

Hannah berbalik, netranya memandangi Hazard cukup lama. "Apakah paman mendengar sesuatu tadi?"

"Mendengar apa? Tidak ada suara apapun tadi," sela Hazard sambil tersenyum dibalik masker.

Syukurlah Hannah tidak bertanya lebih lanjut. Akan sangat sulit untuk berbohong lagi dan hal itu tidak baik. Apalagi dengan kondisi Hazard sekarang. Dirinya harus segera pulang ke Ukheil dan meminta bantuan pada seorang Alkimia.

🍂🍂🍂

Sore hari. Semua orang ada di depan pintu rumah walikota. Paman Albar berdiri sambil memeluk Masha, di sampingnya ada Hannah tersenyum simpul.

"Rasanya tidak nyaman terus menumpang. Saya harus segera pergi dari sini."

"Jangan lupa, jika Pangeran sudah bertemu Pangeran Harith. Beritahu saya," usul Albar.

"Secepatnya akan saya beritahu." Lagi-lagi Hazard tidak jujur tentang hubungannya dengan Harith, sebab masih banyak yang perlu diselidiki dulu.

"Oh, Yang Mulia Ratu juga, temukan beliau Pangeran. Saya yakin beliau masih hidup."

Hazard tersenyum ringan. "Tentu saja, Paman," kemudian berlutut di depan Masha, "Masha tak ingin ikut?"

Anak perempuan berkuncir dua itu menggeleng kemudian memeluk kaki ayahnya. Semua orang yang ada di sana tertawa termasuk Hannah, tawa kecil tanpa terbahak.

Bibirnya tak sadar tersungging. Hazard bangkit lalu mengambil setangkai bunga prup kecil dari kantong belakang miliknya.

"Jika kalian dalam bahaya lempar saja bunga ini. Saya akan segera datang setelah bunga di lempar." Hazard memberikan bunga prup yang sudah dialirkan energi alam dalam tubuhnya pada Hannah.

"Paman—ah! Maksudku Pangeran, ini bunga apa?" tanya Hannah penasaran seraya menerimanya dengan kedua tangan.

"Itu bunga spesial. Jangan sampai hilang, ok?"

Rona merah tampak jelas di pipi. Hannah berusaha menyembunyikannya dengan menunduk. "Terima kasih, Pangeran."

"Kalau begitu saya pamit." Hazard membungkuk sebagai tanda perpisahan, menyunggingkan senyum terakhir kali.

Di perjalanan menuju keluar dari kota, ia menyempatkan diri untuk membungkuk beberapa kali, berpamitan pada setiap orang yang ada di sana. Dalam beberapa hari Hazard sudah sangat terkenal. Semoga tidak berpengaruh buruk terhadap kelangsungan hidup orang-orang di sini. Karena saat ini, Hazard memerlukan pengobatan yang serius dan sempurna. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk itu.

🍂🍂🍂

Perjalanan yang begitu melelahkan dari kota Mitri ke kota Reda. Yena pun pamit pada Panglima Eden dan Wakil Syamsir sebelum akhirnya pulang dengan menunggang kuda dari Istana Altair ke rumah orang tuanya. Kuda coklat ia ikat pada tiang.

Di halaman rumah yang masih berupa tanah kering, Adam bermain sendiri, mengumpulkan bebatuan putih di sekitarnya.

"Adam!" Yena berlari dan berlutut. Kemudian mendekap tubuh kecil adiknya erat-erat.

"Ugh ... Nona! Adam enggak bisa napass!"

Seketika pelukan itu terlepas. Yena mengusak rambut ikal adiknya sembari sedikit menjitak. "Dasar! Masih saja manggil kakak begitu. Belajar dari mana sih?"

Adam cengengesan, kedua tangannya berada di atas kepala. "Adam belajar dari Paman Eden. Katanya kalau panggil Kakak dengan sebutan Nona, Adam akan cepat besar. Adam juga pengen kayak Paman Eden."

"Terus kenapa waktu ada Paman Hazard manggilnya berubah jadi 'Kakak'?"

"Waktu itu 'kan Nona lagi kesel. Jadi aku panggil 'Kakak' biar Nona gak marah lagi, hehehe."

"Dasar anak ini." Gemas, Yena ingin sekali menjawil pipi Adam. Namun, tak jadi karena Adam menutupi kedua pipinya. Melihat ekspresi wajah Adam, sungguh lucu sekali. Membuat perasaannya membaik.

"Oh ya, Adam. Tentang Paman Hazard, bagaimana kabarnya? Masih sering main, kan?"

Air muka Adam berubah lesu, helaan napas terdengar jelas dari bibir mungilnya. "Paman Hazard gak ada di rumah. Adam gak tau kemana ...."

"Loh, sejak kapan gak ada di rumahnya?"

"Sejak Nona pergi kerja. Paman Hazard udah gak ada."

Yena mengerutkan alis. Mengapa bisa bersamaan begini? Apa mungkin hanya kebetulan saja?

"Terus, sekarang gimana? Paman Hazard masih belum pulang?"

Adam menggeleng lemas. Hela napasnya terdengar tak semangat sama sekali.

Hebat, polanya sudah mulai terlihat. Yena pun langsung bangkit. Untuk memperkuat dugaan, ia harus menyelidiki rumah Hazard sekarang juga.

"Nona mau ke mana?" Tiba-tiba Adam menarik celana Yena. Raut sedih tapi penasaran tercetak jelas dari wajahnya.

Yena berlutut kembali, lalu mengelus pucuk kepala Adam dengan lembut. "Tunggu di sini. Nona mau ke rumah Paman Hazard dulu. Siapa tahu Paman sudah pulang."

"Aku ikut," pintanya manja.

"Jangan, Adam main aja di sini ya? Oh, atau main saja dengan teman-teman. Kenapa Adam main sendiri?"

"Teman-teman udah di jemput. Soalnya udah sore, jadi harus mandi."

"Ya udah, Adam mandi juga. Masa mau tidur gak mandi? Ibu lagi masak 'kan sekarang?"

Adam mengangguk, masih dengan wajah merajuk. Akhirnya Yena memutuskan untuk mengantar Adam ke dalam rumah dulu.

Ceklek!

Pintu rumah terbuka, Layha berlari kecil dari dapur ketika mendengar suara pintu.

"Aku pulang!"

Seketika senyum lembut terukir jelas. Layha menghampiri putrinya dengan riang.

"Gimana kerjaannya? Susah? Orang-orang bilang, Yang Mulia sedang memburu seorang pembunuh bayaran? Apa ya sebutannya?" tanya Layha beruntun sembari berlutut meraih Adam ke dalam dekapannya.

"Assassin, Bu."

"Ah, ya itu. Assassin. Gimana?"

"Kami gak berhasil menangkapnya, tapi kabar baiknya assassin itu terluka parah ketika melawan pengguna sihir hitam."

"Sihir hitam?"

"Iya, Bu. Kenapa memangnya?"

Layha mendadak muram. Cahaya kebahagiaan dari wajahnya bagai hilang terbawa angin. Ia bangkit dan berjalan ke belakang rumah tanpa sepatah katapun.

Yena segera menghentikan langkah ibunya dengan menjegal dari depan. "Ibu, kenapa? Ada apa dengan sihir hitam?"

"Pokoknya kamu jangan terlalu dekat dengan mereka."

"Tidak, pasti ada yang ibu sembunyikan. Tolong beritahu aku, Bu."

Layha menghela napas, pandangannya dipalingkan, tak ingin bertatapan dengan putrinya. "Ceritanya panjang. Kamu akan benci Yang Mulia jika mendengarnya."