Pria dengan tinggi sebatas pinggang manusia, membawa kayu bakar pada punggungnya. Kupluk rajutan berbahan dasar wol ia gunakan sebagai pelindung kepala. Dirinya melangkah menuju pemukiman Pandai Besi. Rumah-rumah kayu berdiri kokoh di tengah hutan, saling berjauhan dan tersebar jaraknya dari satu rumah ke rumah lain. Atap rumah mereka berbentuk setengah lingkaran, sebagai ciri keberadaannya.
Tidak berbeda jauh dengan rumah-rumah kayu sebelumnya, pria itu juga memiliki rumah sendiri. Di halamannya, ada dua buah tungku untuk memasak. Salah satu tungku sedang digunakan untuk memasak bahan pangan.
Pria itu segera melempar kayu bakar yang ada di punggung ke tanah kemudian menatanya dengan bentuk melingkar. Terus seperti itu sampai selesai.
Terdengar bunyi air mendidih dari tungku. Saat tutup panci dibuka, bubur dengan campuran rempah telah matang, uap panas mengepul ke atas. Begitu harum, dia sendiri menjadi kelaparan setelah mencium aromanya.
Tapi, tidak! Bubur ini untuk seseorang yang ada di dalam rumah. Sedang terbaring tak berdaya karena luka dalam yang terus menggerogoti tubuhnya. Pria kerdil itu segera mengambil mangkuk dan gelas setelah memadamkan api. Dia menggunakan sendok sup berbahan dasar kayu untuk menyudu bubur ke dalam mangkuk.
Seseorang berjalan pelan seraya berpegang pada dinding kayu rumah menuju bibir pintu, ia menatap pria kerdil yang ada di depannya. "K-kau siapa?" lirihnya.
Pria itu menoleh, pupilnya membesar. Seseorang dalam rumah sudah bangun. "Oh, Pangeran Hazard, Anda sudah bangun?"
Setelah mendengar penjelasan dari pria kerdil, Hazard menurut, kembali ke dalam rumah. Dia duduk bersandar di ranjang berbahan kayu jati sembari menunggu pria kerdil yang terus berjalan mondar-mandir mencari sesuatu. Baru pertama kali bertemu dengannya, pandangan Hazard tak lepas dari jenggot hitam yang menjuntai. Hazard juga mengamati pakaian berpelindung besi di sekitar lengan pria itu.
Dalam kamar ini tidak terlalu banyak perabotan, hanya ada satu almari bercorak tumbuhan menjalar, ranjang untuk satu orang yang sekarang Hazard tempati, dan beberapa hiasan dari batu mulia yang dipajang berjejer di sekitar dinding kayu. Hazard mengenali beberapa namanya, bahkan ada sebongkah batu permata—yang belum dimurnikan.
Pria kerdil membawa meja berukuran 4x4, menurunkan di dekat ranjang. Dia menaruh sendok kayu, mangkuk, dan gelas di atas meja. Bubur nikmat sudah siap untuk disantap. Namun, Hazard sedikit ragu.
"Tenang saja, bubur itu tidak beracun. Saya khusus membuatnya untuk Anda, Pangeran."
Hazard mengamati lamat-lamat bubur di hadapan, aroma kabut yang mengepul dari mangkuk membuat perutnya makin keroncongan. Kerongkongan juga ikut mengering jika terus memandanginya saja. Hazard menunduk dengan tangan yang menekan perut. "Bagaimana Anda tahu, saya seorang pangeran?"
Pria kerdil tampak tak berekspresi, ia menyentuh keningnya sendiri. "Saya tahu karena kristal biru di dahi Anda."
Hazard menatap dengan dahi berkerut, lekas membelai kristal biru. Lagi-lagi turban hilang entah kemana. Mungkin telah disimpan di suatu tempat oleh pria kerdil ini.
"Sebenarnya hanya Ratu Tel'onera dan saya yang mengetahui hal ini. Bagaimana Anda bisa tahu?" tanya Hazard menyipitkan mata.
"Sang Ratu yang memberitahu saya. Jika Pangeran tidak percaya, saya tidak akan memaksa," tutur pria itu. "Silakan nikmati buburnya, Anda sudah pingsan selama dua hari," lanjutnya segera keluar dari kamar, memberi sedikit ruang untuk berpikir.
Hazard menatap kembali mangkuk berisi bubur. Dirinya sungguh kelaparan akibat tidak sadarkan diri. Dengan berat hati, ia meraih sendok yang tersimpan di meja. Satu suapan dimasukan ke mulut lalu dikunyah dengan perlahan. Namun, betapa terkejutnya, tekstur bubur itu sangat lembut langsung meluncur dengan mudah di kerongkongan. Wangi rempah-rempah yang digunakan menambah cita rasa bubur. Sekejap mata, bubur telah habis dilahap. Bahkan saat memakannya, dia tidak memikirkan hal lain.
Hazard menyelesaikan satu suapan dengan hati berbunga. Rasa curiga yang sebelumnya muncul, lambat laun menghilang seiring waktu. Namun, ada yang aneh dengan isi air dalam gelas, warnanya ungu terlihat kotor.
Pria kerdil membawa sebuah kursi kayu untuk dirinya, kemudian duduk di depan ranjang. "Itu air obat, dari rebusan batu mulia Ametis. Khasiatnya sebagai penetralisir racun," jelasnya seperti tahu apa yang sedang dipikirkan Hazard.
"Begitu?" tanya Hazard sebagai bentuk penegasan. Dia segera meminum air obat sekali teguk. Rasanya tidak terlalu buruk, sedikit manis dengan perasa pahit di pangkal lidah.
"Sebenarnya air rebusan Ametis, hanya mampu menetralisir racun saja. Saya baru tahu, air itu bisa menyembuhkan elve yang sedang terluka akibat energi hitam."
"Tunggu. Jadi, maksudnya bagaimana?"
"Maaf, saya terpaksa melakukan ini. Saya tidak tahu harus bagaimana karena pangeran belum memiliki pasangan."
Hazard tak bisa mengelak. Karena faktanya obat untuk seorang elve yang terkena energi hitam, adalah pengiriman energi dari pasangannya. Sejauh ini hanya sebatas itu yang ia tahu. Persis seperti apa yang dikatakan Kakek Vrede. Maka dari itu, Hazard harus berterima kasih sudah dirawat oleh pria kerdil ini.
"Apakah energi hitam dalam tubuh saya sudah hilang?" tanya Hazard berusaha mencairkan suasana.
"Saya tidak tahu, mungkin pangeran harus menemui ratu dulu. Bisa saja air rebusan Ametis hanya menghentikan penyebaran bukan menghilangkan."
Hazard menatap lekat lawan bicara, manik coklat si paman tampak cemerlang dengan lipatan wajah yang tegas. Hidung mancungnya tampak jelas ketika Hazard memutuskan untuk duduk di pinggir ranjang. "Terima kasih, Paman. Boleh saya tahu nama Anda?"
"Panggil saja Okan. Itu panggilan dari Yang Mulia Ratu," jawab pria itu.
"Oh, sebentar ...." Okan bangkit, tiba-tiba mengingat sesuatu. Dirinya berjalan ke luar rumah untuk mengambil kendi air berukuran dua genggam tangan orang dewasa.
Lalu menyerahkan kendi dengan kedua lengan dan berkata, "Bawa ini, untuk jaga-jaga. Minum air obat ini jika pangeran merasakan nyeri pada ulu hati."
Senyum tipis muncul, Hazard meraihnya dengan kedua tangan. "Terima kasih. Saya akan menyimpannya."
Waktu berlalu, terlihat dari bayangan bintang pagi yang semakin memendek. Hazard pun lekas pamit. Kendi yang diberikan tadi ia ikat di pinggang, tak lupa dengan turban yang selalu dikenakan. Hazard sempat mengobrol dengan Paman Okan. Mereka berbincang tentang hutan perbatasan ini, yang menjadi pembatas antara daerah kekuasaan Kerajaan Ukheil dengan Kerajaan Avalon—kerajaan yang dihuni oleh para elve bersayap.
Setelah itu, Paman Okan bercerita tentang ras Dwaft, rasnya sendiri. Ras Dwaft bukan manusia, mereka berdiri sendiri meski bentuk fisiknya menyerupai manusia. Mereka mencintai kegiatan menambang dan membuat peralatan dari logam merupakan keahlian mereka. Dua hal itu mereka jadikan sebagai pekerjaan sehari-hari. Biasanya pembeli akan datang sendiri dan memesan. Ketika sudah jadi, si penjual akan mengirim langsung barang yang sudah di pesan.
Mengapa Hazard baru tahu tentang hal penting ini? Apa mungkin karena terlalu fokus dengan kewajibannya sebagai Pangeran, Hazard jadi tidak tahu tentang si pembuat senjata yang di sebut pandai besi? Sebab senjata para pengawal kerajaan hasil memesan dari mereka. Hazard pikir para elve yang membuatnya, nyatanya bukan.
Setelah berjalan cukup lama, membelah jalan menuju pemukiman. Dari kejauhan, Hazard melihat beberapa bayangan rumah pohon dengan arsitektur tertata. Atapnya terbuat dari jerami, terlihat seperti topi kerucut dengan dinding rumah berbentuk silinder.
"Akhirnya sampai. Lebih baik ... ke rumah dulu, menyimpan pedang ini," ucap Hazard, lega karena telah sampai ke tempat tinggalnya.
Hazard sedikit berlari untuk mempercepat langkah. Sesekali disapa oleh para penduduk. Mereka tampak beraktivitas seperti biasa, bercocok tanam dan berternak.
🍂🍂🍂
"Semua gandum sudah saya pindahkan ke gudang. Apakah Anda perlu hal lain?"
"Tidak, terima kasih karena sudah membantu."
"Baiklah kalau begitu, saya permisi." Pelayan pria itu berpamitan, meninggalkan kediaman Dienra.
Orang yang terlihat seperti Dienra masuk ke rumah dan menutup pintu dengan rapat. Membelai wajah lalu meremas dan menariknya bagai kulit terkelupas. Laki-laki itu ternyata Dienra palsu. Pakaiannya berubah seketika, menjadi pakaian seorang assassin.
Netranya tampak berkilat. Iris mata biru langit memandangi kamar dengan penerangan sangat minim, rahang yang kokoh mempertegas statusnya sebagai assassin. Pria kekar itu berjalan memasuki kamar.
Dalam kamar tampak seorang pria berwajah Dienra, tangan dan kakinya diikat dengan mulut menggigit kain. Dienra palsu berlutut, memandang datar korbannya. "Maaf kawan, aku harus menghabisimu sekarang."
Pria terikat menggeleng kuat saat mendengar ucapan Dienra palsu. Ia beringsut hingga menabrak dinding kayu dekat jendela. Tubuhnya menegang disertai pupil mata yang melebar.
Dienra palsu mengambil belati di balik baju, langkah kakinya terdengar menggema. Ia memeluk tubuh pria terikat seraya menekan belati pada sisi perutnya.
"Selamat tinggal."
Belati itu menancap dalam, bau amis darah langsung menusuk penciuman. Pria terikat mengerang penuh kesakitan. Dirinya sekarat, dengan mata menatap keatas.
Kini, misi dari sang raja telah usai. Dienra palsu segera keluar sebelum ada seseorang yang melihatnya.
🍂🍂🍂
Di Kota Reda, tengah malam. Sudah jarang orang berlalu-lalang. Terlihat seorang pria mengenakan judah, melewati rumah-rumah penduduk. Wajahnya tersembunyi dibalik tudung. Pria itu berjalan menuju Istana Kerajaan Altair. Langkahnya santai, tapi tetap waspada akan sekitar.
Saat di depan gerbang, dia membuka gulungan paripus dengan tanda tangan raja, kedua pengawal langsung membuka gerbang tanpa bertanya lebih.
Pria itu terus melangkah, menapaki jalan batu hingga ke lantai istana yang cemerlang, putih berkilat. Kemudian ia menaiki anak tangga yang melingkar dengan pegangan tangan berbahan dasar emas murni.
Di depan, ada dua pengawal sedang menjaga ruang kerja raja. Seseorang itu berjalan kemudian menunjukkan gulungan tadi. Kedua pengawal tahu siapa orang yang sedang mereka hadapi.
"Silakan, Tuan," ucap kedua pengawal serempak sembari melangkah ke samping. Memberi jalan tanpa pemberitahuan terlebih dulu pada sang raja. Karena mereka sudah diperingatkan untuk tidak menghalangi seseorang dengan gulungan bertanda tangan.
Pria itu berjalan tanpa ragu kemudian mendorong salah satu gagang pintu. Lalu menutupnya kembali ketika masuk. Iris biru langit seketika berkilat terkena cahaya lampu. Dia membuka tudung jubah kemudian berlutut dihadapan sang Raja. "Hormat saya Yang Mulia Firan."
"Berdirilah." Sesuai perintah, pria itu bangkit kembali, menatap hormat sang Raja.
"Bagus sekali, kau datang tepat waktu. Bagaimana dengan tugasmu sebelumnya, Sameer?"
"Selama tiga hari di sana, saya banyak mendapatkan informasi. Tentang siapa yang memberi mereka persediaan pangan dan tentu saja identitas si pembunuh gurun," tutur Sameer.
Rupanya seseorang itu adalah Sameer, assassin teman baik Yena. Tampang ramah yang selalu ia tunjukan tidak terlihat lagi sisa keberadaannya. Yang terlihat hanyalah wajah datar tanpa emosi.
Sang Raja menopang dagu, tersenyum senang dengan seringai licik. "Ceritakan semuanya, aku ingin mendengar semua informasi yang kau dapatkan."
Sameer mengambil sebuah gulungan paripus di balik pakaian kulit dan judahnya. Kemudian menyodorkannya dengan kedua tangan. "Saya menuliskan semua informasi di sini. Silakan Yang Mulia membacanya terlebih dahulu."
Raja mengambil gulungan paripus itu, ia segera membuka tali yang melilit. Kemudian membacanya dengan seksama. Beberapa menit setelahnya senyum puas terpahat jelas di bibir. "Bagus, tidak sia-sia aku membayarmu."
"Terima kasih, Yang Mulia."
Raja Firan menatap Sameer kembali, sudut matanya berubah tajam. "Masih ada tugas selanjutnya untukmu. Kau tidak perlu khawatir dengan bayarannya."
Sameer kemudian berlutut di hadapan raja seraya berucap, "Saya siap melaksanakan apapun jenis tugas yang Anda berikan, Yang Mulia."