Chereads / ADURA / Chapter 24 - Bab 23 — Rahasia

Chapter 24 - Bab 23 — Rahasia

"Maksudnya bagaimana? Ayolah, Bu. Cerita padaku ya?"

Layha menatap manik abu-abu Yena, begitu mirip suaminya. Putrinya itu sudah tumbuh menjadi wanita dewasa, semakin membuat Layha merindu mendiang suami.

Mengembuskan napas kasar, Layha berjalan melewati Yena. "Kapan-kapan akan ibu ceritakan. Untuk sekarang ibu masih belum sanggup menceritakannya," katanya tidak menggubris pertanyaan Yena.

"Tapi ...."

"Sudahlah, kamu istirahat saja, sayang. Ibu mau memandikan Adam dulu." Layha keluar rumah menuju kamar mandi batu di belakang, tanpa peduli dengan perasaaan putrinya yang sudah sangat penasaran.

Kesabaran Yena telah terkuras habis, ibunya selalu merahasiakan keresahannya.  Entah apa itu, mungkin jika mencari petunjuk di kamar, dia bisa menemukan suatu barang yang berhubungan dengan rahasia sang Ibu.

Tanpa pikir panjang, Yena memasuki kamar Layha, menggeledah tempat istirahat tersebut, membuka semua pintu almari dan laci yang ada di sana. Sayang, usahanya tidak menghasilkan apa-apa.

"Hahh ... di mana ibu menyembunyikan barang berharganya? Di bawah kasur pun tak ada," keluhnya, kemudian merebahkan diri di kasur dengan seprai berwarna biru muda. Sorot matanya tertuju pada sebuah bantal yang ada di pinggir kasur.

Yena duduk, menarik bantal ke pangkuan. Ia meremas-remas bantal, terasa ada sesuatu di dalam. Tiba-tiba pintu berderit, tampak dibuka dari luar. Sekujur tubuhnya mematung. Suara Layha terdengar jelas sekali di balik pintu. Tamat sudah riwayatnya.

"Bi, Bi Layha! Ini aku Anhar! Bibi ada di dalam, kan?" Suara dari luar membuat fokus Layha teralihkan.

"Oh? Ya, tunggu sebentar!" pekik Layha, "Adam, masuk saja. Ibu mau ke depan."

"Iya, Bu."

Seketika embusan napas keluar dari bibir Yena. Yang muncul dari balik pintu hanya Adam dengan mata berkedip lucu beberapa kali. Handuk kecil menempel di pinggangnya.

"Nona, sedang apa?"

"Ssstt, jangan berisik, " Yena berdesis pelan lalu bangkit, menempelkan jari telunjuk di depan bibir adiknya, "ada barang kakak yang ketinggalan di sini. Tenang, udah ketemu kok," sambungnya menyimpan kembali bantal dengan rapi. Senyum lima jari terpampang jelas.

"Adam, jangan kasih tahu ibu kalau kakak pernah ke sini. Soalnya, ibu lagi marah. Nanti, Adam kena marah juga. Gak mau di marahin ibu, kan?"

Adam menggeleng cepat. "Tenang Nona, Adam gak bakal ngasih tahu Ibu."

Yena tersenyum senang, tangannya mengusak rambut adiknya. "Bagus, anak pintar! Kakak keluar sekarang ya."

Adam mengangguk cepat. Saat itulah Yena kabur, menutup pintu perlahan lalu masuk ke kamarnya segera. Napas makin tak karuan, jantung berdetak cepat setelah keluar dari kamar Layha. Selepas berkurang intensitasnya, Yena langsung menggantung pedang di dinding kamar, handuk ia sampirkan di pundak. "Huft, mandi dulu deh," ucapnya segera pergi dari kamar. Tampak, Layha baru saja memasuki kamar, nyaris bertepatan dengan keluarnya Yena.

🍂🍂🍂

Waktu belanja di pagi hari, banyak orang yang berlalu lalang. Kebisingan orang berjual-beli sudah biasa di sini. Yena kembali ke pasar, berjalan-jalan sambil menuntun unta, karena bahan pangan di gudang sudah menipis. Tentu saja, gudang harus segera diisi kembali. Sudah jadi tugasnya berbelanja untuk persediaan.

Yena mencari seseorang dengan potongan rambut pendek, paman pedagang yang beberapa hari lalu sempat berkenalan dengannya. "Ah! Paman Fan!" serunya melambaikan tangan semringah saat tahu posisi si paman.

Lutfan membalas lambaian Yena dengan tersenyum ramah. Senang bisa bertemu lagi. Dirinya tampak membereskan barang dagangan di bawah tenda bertiang kayu, atasnya menggunakan kain berwarna gelap agar terik mentari tidak langsung menusuk kulit.

Di sisi kiri dan kanan berjejer bahan pangan mentah yang siap untuk dijual. Ada kelapa, buah kurma, dan berkarung-karung gandum di sebelah kiri. Kemudian, tepung dengan berbagai jenis di sebelah kanan. Serta, buah-buahan segar dari Negeri Aisty dan rempah-rempah di bagian depan. Benar-benar lengkap. Yena sampai bingung mau membeli yang mana.

"Emm, aku mau sekarung gandumnya, ukuran kecil," pinta Yena seraya menunjuk tumpukkan gandum.

Lutfan segera memindahkan kelebihan pada karung gandum menggunakan batok kelapa kemudian mengikatnya. "Ada lagi, Nona?"

Berpikir sebentar sambil melipat tangan, Yena pun berkata, "Rempah-rempahnya ... masing-masing setengah kilo saja, jangan banyak-banyak. Takut busuk soalnya. Terus umm ... buah apelnya satu kilo."

"Siap Nona, masih ada lagi?" tanya Lutfan, senyumnya tak pernah pudar.

"Sudah sepertinya, aku mau beli daging di toko sebelah saja."

"Baik, akan segera saya siapkan."

Lutfan mengambil karung kain berwarna coklat. Segera menimbang berbagai rempah-rempah dan satu kilo buah apel. Sekali lagi Lutfan mengambil karung dua kali lebih besar, ia memasukan semua bumbu ke dalam kemudian mengikatnya erat. Setelah pembayaran dilakukan, Lutfan membantu Yena. Mereka berdua mengikat karung berisi gandum di sisi kanan unta. Sedangkan sisi kirinya di isi oleh berbagai macam rempah-rempah dan satu kilo apel.

"Terima kasih, Paman."

"Sama-sama, Nona. Terima kasih juga karena sudah memborong."

"Ah, hanya belanja untuk persediaan saja, kok. Biasanya kalau ada yang kurang, ibu akan belanja sendiri."

"Begitu ya? Ibunya Nona Yena yang namanya Layha, bukan?" tanya Lutfan, tangannya mengelus-elus dagu.

"Iya, itu ibuku. Orangnya agak banyak bicara, hehehe."

"Pantas saja beliau selalu menyebut-nyebut nama Nona Yena. Sepertinya, beliau sangat menyayangi Anda."

Yena tersenyum tipis, teringat masa kecil ketika sedang bersenda gurau dengan kedua orang tuanya. Melihat air muka Yena yang berubah sendu, Lutfan sedikit merasa terbebani. Bukan karena tidak suka melihatnya, Lutfan hanya tidak tahu harus melakukan apa.

"Ah, saya lupa harus beli daging," gumam Yena. Ia mendekatkan diri pada Lutfan kemudian berbisik, "Paman, tahu tidak penjual daging mana yang harganya normal?"

Bola mata Lutfan sedikit melebar. Dia tersenyum sesaat sebelum dirinya ikut berbisik juga. "Pokoknya Nona lurus saja, nanti ada dua jalan, Nona ambil yang kiri. Nah, di situ ada teman saya penjual daging. Lengkap di sana," tutur Lutfan sambil menunjukan jalan kebelakang.

Seketika Yena tersenyum senang. Tidak sia-sia menanyakannya pada Paman Fan. "Terima kasih, Paman. Aku pergi dulu. Setelah selesai belanja aku ingin mengundang paman untuk makan siang di rumah. Jangan menolak," ucap Yena dengan nada suara yang menyenangkan.

Lutfan langsung membungkuk, tersenyum ramah. "Terima kasih, Nona. Dengan senang hati saya terima undangan Anda."

Sesuai penjelasan Paman Fan, Yena berjalan lurus sambil menuntun untanya, ia tidak peduli para pedagang lain yang menawarkan dagangan. Dia hanya sempat untuk melambai pada paman sebagai salam perpisahan.

🍂🍂🍂

Tengah hari. Semua tugas sudah selesai, termasuk mengisi air sudah dibereskan. Yena pun sudah makan siang bersama Paman Fan. Sekarang waktunya untuk menyelidiki tetangga baru bernama Hazard. Sampai detik ini, tak terlihat sekalipun batang hidungnya.

Di depan halaman rumah Hazard, ada sumur mata air di sisi kanan. Tempat berpijaknya sudah bersih ditutupi oleh batu pahatan yang ditata. Pada setiap sudut ada pohon kelapa yang ditanam dalam pot. Kondisi rumah ini lebih bagus dari rumahnya. Sayang sekali ditinggalkan begitu saja.

Sebelum masuk ke rumah itu, Eden mendadak muncul. "Yena! Untung saja kau di sini," serunya mempercepat langkah.

Yena menatap Eden, mengerutkan kening dan bertanya, "Ada apa?"

"Yang Mulia Firan ingin bertemu. Ada yang ingin beliau diskusikan denganmu."

Tatapan heran tertuju untuk Eden. Tumben sekali dia yang menjemput Yena langsung. Biasanya hanya para bawahan.

"Kenapa?"

"Em, tidak. Aku hanya sedikit takjub. Biasanya yang menjemputku hanya pelayan atau jika tidak ada, ya ... seorang pengawal. Tapi kali ini, Panglima bernama Eden rela berpanas-panasan di siang bolong demi menyampaikan tugas enteng dari Yang Mulia?" tanya Yena seraya melipat tangan, menatap usil.

"Aku hanya menyampaikan mandat. Tak ada hubungannya dengan siapa yang menyampaikannya."

"Ya ya ya, kau memang panglima paling setia."

Yena berjalan mendahului, menuju Istana Altair. Tak peduli dengan ocehan Eden. Memang sedikit aneh, kepribadian Eden segera berubah jika bersama Yena. Tidak tahu mengapa, mungkin karena mereka sudah berteman sejak kecil? Kalau dipikirkan terus akan membuat pening, mending biarkan saja berjalan dengan semestinya.

🍂🍂🍂

Di Istana Altair. Dalam ruang kerja raja. Tersembunyi ruang rahasia di balik rak buku besar, hampir menutupi sepanjang dindingnya. Raja Firan menggenggam sebuah buku, terdapat tombol yang terganjal dibawahnya. Agar tombol berfungsi, buku segera diambil begitu saja. Saat itulah rak besar bergerak ke samping dan tombol tersebut adalah penggeraknya.

Sang Raja memasuki ruang rahasia. Terhirup aroma barang-barang antik di sana. Lukisan berbingkai emas banyak bergelantungan dengan bebas. Pot-pot bunga sepinggang terbuat dari bahan emas. Dijadikan hiasan agar ruang terkesan berkelas dan mewah.

Di tengah ruangan, ada sebuah tempat penyimpanan pedang berdiri kokoh dan memanjang. Di atasnya terdapat bantal panjang berwarna merah darah. Terukir motif bunga mawar di bawah lantainya, tampak sedap di pandang.

Raja Firan membawa buku yang menjadi ganjalan tadi. Membuka lembar demi lembarnya sambil berjalan menuju penyimpanan pedang.

"Adura Stone, batu mulia yang sangat penting untuk para Roh Pohon. Pantas saja 'dia' dan Ayahanda begitu melindungi ruangan ini. Sayangnya, Tuan Zain hanya mampu  menerjemahkan sebagian tulisan dalam buku ini."