Chereads / ADURA / Chapter 25 - Bab 24 — Firan

Chapter 25 - Bab 24 — Firan

Yena dan Eden, telah sampai di depan pintu ruang kerja sang Raja. Ada dua pengawal yang menjaga pintu. Yena baru sadar, ukiran-ukiran indah menghiasi pintu, bercorak daun dan ranting layaknya lambang kerajaan.

"Maaf, Tuan Panglima. Anda tidak diizinkan masuk," kata salah satu pengawal di depan pintu. Pedang bergagang perak mereka silangkan.

Langkah Eden terhenti di depan pintu, ia menoleh Yena. "Masuklah, Yang Mulia menunggumu di dalam."

Yena mengangguk lalu tersenyum sesaat. Sedangkan Eden melangkah mundur membiarkannya masuk sendirian. Sebelum itu, pengawal mengetuk pintu terlebih dulu.

"Yang Mulia. Nona Yena sudah menunggu di depan."

Satu menit, dua menit, tiga menit, tidak ada jawaban. Yena dan Eden mulai heran, tidak biasanya Raja Firan seperti ini.

"Yang Mulia?" panggil si pengawal mengeraskan suaranya sambil mengetuk pintu kembali.

Pintu seketika terbuka, memperlihatkan Yang Mulia Firan dengan jubah putih bercorak garis-garis simetris. Garis matanya menatap Yena lekat.

"Masuklah."

Tenggorokan Yena tiba-tiba mengering, perasaan gugup mulai menjajah seluruh tubuhnya. Ia mengekor sang Raja, masuk ke dalam ruang kerja.

Raja Firan duduk pada kursi perak dengan kondisi ruang kerja yang masih sama. Kebanyakan perabotan yang tersimpan hanya buku-buku dengan rak dan beberapa lemari panjang dengan laci banyak. Sedangkan Yena berdiri menunggu raja berbicara.

"Aku ingin bertanya sekali lagi padamu tentang informasi si pembunuh gurun."

Yena menatap ujung sepatu tanpa menunduk, alasnya dari kayu diwarnai hitam. Susah sekali menyembunyikan rahasia pada raja. Netranya berusaha memandang dengan percaya diri. "Maaf, Yang Mulia. Tetapi, semua informasi tentang pembunuh gurun sudah saya laporkan kepada Anda."

Tampak jelas, Raja Firan menyunggingkan senyum tipis sekali. Hampir tak terlihat berkat tangannya yang menopang pipi. "Baguslah. Kebetulan ada satu tugas untukmu, tapi tidak ada hubungannya dengan misimu yang sekarang."

Yena menajamkan pendengaran, badannya menjadi lebih tegap secara otomatis.

Posisi duduk raja menjadi tegak, menatap serius lawan bicaranya. "Tugasmu kali ini, melatih para calon prajurit menggantikan Wakil Syamsir."

"Bukankah Yang Mulia sedang mencari seseorang untuk menggantikan posisi Guru Danma?"

Raja Firan menggeleng seraya berkata, "Belum ada yang memenuhi syarat sebagai pelatih. Sedangkan Wakil Syamsir sementara kutugaskan memimpin pasukan di garda depan, mengawasi kerajaan-kerajaan yang ada di Negeri Aisty. Eden tidak mungkin menggantikan Wakil Syamsir, dia ada misi denganku. Jadi, hanya kau yang bisa kuandalkan."

"Bolehkah saya tahu, misi seperti apa yang sedang Yang Mulia kerjakan dengan Panglima Eden?"

"Kerajaan kecil dekat Gunung Batu Sibya, kau masih ingat Kerajaan itu?"

Alis Yena berkerut, mencoba mengingatnya. "Ah, saya ingat! Ada apa dengan kerajaan tersebut Yang Mulia?"

Raja menyeringai, iris orennya seketika berkilat. "Aku ingin menghapus simbol kerajaannya dari peta."

"Ap—maksud saya, bukankah mereka tidak pernah menentang Anda, Yang Mulia?" tanya Yena sedikit tergagap. Rasanya seperti mendapat kejutan secara langsung dari sang Raja.

Raja Firan bangkit dari duduk, berjalan menatap jendela bergorden kuning. Senyumnya mengembang. "Hanya ada satu kerajaan yang boleh berdiri di Negeri Alraml, yaitu Kerajaan Altair. Aku tahu mereka tidak berniat untuk membelot. Tapi, kehadirannya membuat posisiku tidak absolut."

"Tapi, Yang Mulia ...."

"Kau tidak perlu khawatir. Soal rumor yang akan menyebar nanti, sudah ada yang mengurusnya."

Tidak! Bukan itu. Apa yang ingin Yena ungkapkan berbeda dengan jawaban raja. Namun, Yena tidak mampu menyela. Ketika Rajanya sudah berkehendak, tidak ada yang bisa mencegah beliau.

"Baiklah, Yang Mulia. Saya siap menerima tugas apapun," ucap Yena pada akhirnya.

"Bagus, besok pagi ... kau harus sudah ada di istana. Jangan sampai terlambat."

"Baik, Yang Mulia." Yena izin undur diri dari ruangan. Kini tinggal Raja Firan, sendirian di dalam.

Beberapa menit Raja Firan bergeming. Hanya memandangi kondisi di luar tanpa suara. Jemari kokohnya menyingkap gorden, melihat Yena berjalan bersama Eden keluar istana.

"Ekspresi wajahnya aneh. Aku yakin ada yang dia sembunyikan dariku."

Raja Firan menutup gorden dengan keras. Dirinya segera memanggil pengawal yang ada di depan pintu dengan lantang, "Pengawal! Pengawal! Cepat kemari!"

Mendengar seruan raja, seorang pengawal memasuki ruangan dengan tubuh sedikit gemetar. "A-ada apa Yang Mulia? Anda memanggil saya?"

Raja lekas mengambil sebuah gulungan dari meja kerja, menyodorkannya pada pengawal tersebut. "Ambil ini, berikan pada seorang assassin bernama 'Sameer dari kota Dokka'. Ingat! Jangan sampai ada seorang pun yang tahu tentang hal ini. Pakailah elang khusus untuk mengirim gulungannya."

"Ba-baik, Yang Mulia. Akan segera saya kirimkan."

Pengawal itu meraih gulungan lalu membungkuk dan segera keluar dari sana. Seketika itu tawa keras menggema di sekitar ruangan. Dua pengawal yang mendengar, bulu kuduknya langsung berdiri. Mereka sudah sering mendengar tawa Yang Mulia Firan. Hanya mereka berdua yang tahu sisi lain dari Raja Altair itu.

🍂🍂🍂

Langit sore kini telah dibasuh oleh rona merah kekuningan hampir separuhnya. Para hewan nokturnal bersiap menjalani aktivitas di malam hari. Hazard sendiri sudah berdiri tepat di mulut gua, tempatnya membuka portal.

Hazard segera masuk ke dalam portal setelah pintu selesai di buat. Pertama masuk, pintu itu membawanya ke sebuah gua yang sangat gelap, penerangan hanya dari obor yang tergantung dari sisi gua. Sepatu kulitnya menapaki tanah basah di bawah.

Secercah cahaya yang menyilaukan mulai masuk, menerobos penglihatan. Hazard terus berjalan sembari menghalau wajah dengan kedua tangan. Cahaya menyilaukan itu berubah menjadi terang benderang. Pagi hari di Middle Earth sama dengan sore hari di Human Earth. Begitulah sistem kerja bumi yang berbeda dimensi ini.

Semakin maju ke depan, rupanya gua yang Hazard masuki berada di kaki gunung terendah. Sekitar 800 meter di atas permukaan laut.

Dari sini, Hazard bisa melihat dengan mudah, hutan yang masih asri. Gunung-gunung menjulang tinggi lebih dari 3000 meter. Serta lautan yang terhampar luas bagai menyentuh ujung bumi.

Dari kejauhan seekor burung Garuda terbang mendekat. Terlihat peri laki-laki, dengan pakaian dari daun hijau menunggangi sang Garuda. Rambutnya putih dengan beberapa helai hijau tua pada poninya.

Hazard mundur beberapa langkah dengan menutupi wajah saat sang Garuda ingin lepas landas. Kibasan sayap raksasanya membuat debu di sekitar kaki gunung beterbangan. Membuat surai jingga dan ujung pakaiannya melambai-lambai di udara.

"Pangeran Hazard!" seru peri laki-laki. Dia lekas turun dan berlari kemudian membungkuk hormat. "Hormat saya Pangeran."

Hazard memperhatikan tingkah peri tersebut, lalu menghela napas kemudian. "Ori, aku sudah bilang padamu, tidak perlu memberi hormat."

"Ehehe, maaf Pangeran. Belum terbiasa," ungkap Ori sambil menampakkan gigi yang berderet rapi.

"Ya sudah, ayo naik!" Hazard segera menunggangi burung raksasa tersebut. Melompat tanpa ragu. Namun, Ori justru diam saja.

"Kenapa diam? Cepat naik!"

"Itu ... saya ... mau terbang sendiri saja," tutur Ori sembari mengepakkan sayapnya yang serupa capung dengan ujung runcing.

Alis Hazard mencuat, tawanya terlepas setelah mendengar ucapan Ori, "Kau serius? Kau itu peri bukan elve bersayap burung. Ayo cepat naik, aku sedang buru-buru."

"Ta-tapi ...."

Hazard menghela napas untuk yang kedua kali. Dirinya melompat turun kemudian menjitak kepala Ori cukup keras.

"Aduduh... Pangerannn ...." Matanya memelas dengan binar emerald pada iris. Kedua tangan melindungi kepala, takut dijitak lagi.

"Jangan batu. Kalau kau memaksakan diri dari ketinggian seperti ini, sayapmu akan terluka. Dan kau tidak akan bisa terbang selamanya, mau?"

"Ti-tidak Pangeran ...." Ori bergidik mendengar kata 'selamanya'. Selama ini ia pikir hal tersebut sekadar lelucon dari para orang tua saja. Justru sekarang Ori mendengarnya langsung dari Pangeran Hazard. Itu artinya orang tua Ori tidak bohong.

"Nah, makanya, ayo naik! Jangan menyia-nyiakan waktu."

"Baik, Pangeran." Ori segera menaiki sang Garuda. Hazard pun mengikutinya dari belakang dan tersenyum lega.

Garuda yang gagah nan perkasa itu mengibaskan sayapnya, langsung terbang tanpa ancang-ancang. Tampaknya, Ori sudah sangat mahir mengendalikan Garuda, makanya Hazard tak ingin mengendalikan burung raksasa itu sendirian. Lagi pula, dirinya belum belajar mengendalikan Garuda. Dia tak berani sendiri. Sstt, ini rahasia antara Hazard dan Kakek Vrede, Nenek Onera pun tidak tahu mengenai hal ini. Hehehe.

Ah, Hazard hampir lupa menikmati pemandangan dari atas, sangat indah sekali. Namun, mereka harus berjaga-jaga, tetap terbang rendah. Karena setelah melewati 1000 meter keatas, mereka akan memasuki daerah para Naga dan Phoenix. Tempatnya berburu tunggangan kaum elve bersayap.

Mereka pun sampai di pos pengawas yang menjulang melebihi tinggi pohon-pohon di Ukheil. Sang Garuda segera mendarat di papan khusus dengan penyangga pohon jati di bawahnya. Hazard melompat turun lebih dulu di ikuti Ori setelahnya.

"Setelah ini, Pangeran mau kemana?"

"Aku sedang buru-buru, Ori. Ingin—"

"Oh iya, beberapa hari yang lalu Furo juga pulang. Aku merasa aneh melihat dia yang sekarang. Dulu, Furo masih bermain lempar lembing denganku. Ah, sungguh kenangan yang indah." Ori mengenang masa lalu tanpa memperhatikan Hazard yang telah dipotong perkataannya.

"Tadi, Pangeran mau bilang apa?"

Hazard menatap wajah tak berdosa Ori. Meski sudah biasa diperlakukan begitu, tetap saja rasanya kesal.

"Entahlah, aku lupa ingin bilang apa," ucap Hazard, dirinya segera menuruni tangga kayu.

Ori mengikuti Hazard dengan terbang mengelilingi. Ia tak habis-habisnya mengoceh. Entah apa yang dibahas, Hazard malas mendengarkan.

"Oh iya, Pangeran. Saya dapat kabar dari Peri Bunga, katanya Pangeran Ruar'vrede sempat terbangun dari tidurnya."

Hazard mencoba mendengarkan ocehan Ori kali ini, "Teruskan ...."

"Terus?"

"Teruskan ceritamu," jelas Hazard. Tangan dan kaki masih mencoba turun hingga ke dasar hutan. Para elve mulai terlihat berlalu lalang di atas pohon rimbun, mereka menunggang elang sambil membawa benih bahan makanan.

"Eh? Saya belum mencari tahu lagi. Tapi, menurut kabar yang beredar, Pangeran Ruar'vrede menulis sebuah pesan penting untuk Pangeran Hazard. Saya tidak tahu apa isi pesannya."

Akhirnya Hazard sampai di dasar. Alas kakinya memijak rumput lalu mempercepat langkah.

"Dah, Pangeran. Semoga berhasil." Ori melambaikan tangan. Dibalas sekali lambaian oleh Hazard. Dia sungguh penasaran dengan kebenaran informasi dari Ori. Semoga bukan info palsu.

"Kakek, semoga kau baik-baik saja," gumam Hazard. Kakinya melangkah cepat menuju pemukiman.

"Ouch, sial!"

Tiba-tiba Hazard tumbang, dadanya mulai terasa nyeri kembali. Ternyata energi alam dalam tubuh sudah hampir habis. Dirinya tak bisa menggunakan energinya lagi untuk menghentikan luka dalam yang terus menjalar. Hazard pun berusaha bangkit, karena pemukiman tempat para elve dan peri masih cukup jauh. Sayang, kedua kakinya tak sanggup untuk melangkah lagi.

Semakin sesak, napasnya menjadi kian pendek. Hazard mulai kesulitan mengenali benda di sekitar. Pandangannya perlahan memburam seiring kepala yang berdenyut.

"Tidak... jangan lagi...," gumamnya sebelum akhirnya tak sadarkan diri.