"Bagaimana? Apakah Pangeran sudah menemukan bukunya?" Tuan Sigra bersuara. Tangannya masih setia menjadi pijakkan Hazard.
"Hmm, belum. Sebenarnya ... saya tidak tahu buku seperti apa yang harus saya cari."
"Ha? Pangeran, Anda ... bukankah sedang mencari buku tentang wanita itu?"
Hazard menyimpan buku kuno kembali ke dalam rak raksasa lalu menghembuskan napas. "Saya tidak yakin ...."
"Ee? Maksud Pangeran apa?"
Mendengar pertanyaan itu, Hazard duduk bersila pada telapak tangan Tuan Sigra. Ia berpikir sembari mengusap dagu. "Maksud saya ... saya tidak begitu yakin, hanya penasaran dengan wanita itu atau pedangnya saja."
"Pedang? Apakah itu Er'dura?"
"Ada kemungkinan kecurigaan saya benar, sebab ciri pedang tersebut sama dengan pedang yang dicuri oleh seorang manusia di masa lalu."
"Aah, rupanya Anda mencari buku itu ...."
Tuan Sigra tampaknya mengingat sesuatu. Dirinya segera menurunkan Hazard ke atas rak buku raksasa dengan ketinggian lebih dari Tuan Sigra dan melingkari dindingnya tanpa celah. Beliau langsung menjiwit sebuah buku kecil di sudut yang terpisah—pada meja yang tertumpuk sampai sebatas pinggang Tuan Sigra.
"Coba Anda baca buku ini," pinta Tuan Sigra menjatuhkan buku dari atas.
Hazard menerimanya dengan kedua tangan. "Buku apa ini?"
"Buku tersebut ditulis tangan oleh Tuan Vrede. Gunakan energi kristal biru jika ingin membukanya. Tuan Vrede sengaja mengunci buku dengan kekuatan magis, agar isinya tidak mudah dibaca."
Hazard mengangguk mengerti, mengusap debu dari sampul buku kuno. Aksara Suwa pada sampul menandakan benar, bahwa penulisnya Ruar'vrede. Sesuai perkataan Tuan Sigra, Hazard segera mengerahkan energi kristal biru dalam tubuhnya. Buku yang tadinya dilindungi oleh aura ungu, perlahan hilang tak berbekas.
"Terima kasih, Paman Pon. Buku ini akan sangat berguna nantinya." Hazard tersenyum, lantas melompat dari atas rak lalu mendarat dengan selamat.
"Jadi, Pangeran tidak ingin membacanya sekarang?"
"Tidak, saya akan membacanya di Human Earth saja, sembari mengumpulkan serpihan adura (kristal biru), karena di sana ... tempat yang paling cocok untuk melakukannya."
"Mengapa bisa begitu?"
Hazard mengedikkan bahu dan berkata, "Saya tidak tahu, saya pikir Paman Pon lebih mengerti tentang hal ini."
Tuan Sigra tampak berpikir dalam, namun dirinya belum pernah membaca buku yang membahas tentang hal semacam itu sebelumnya. "Mungkin, saya perlu membaca ulang semua buku yang ada di sini."
"Semuanya?"
"Ya, semuanya."
Binar takjub tampak jelas dari kedua netra Pangeran Hazard. Dia tidak mungkin sanggup melakukan hal itu, mengingat betapa rapat buku-buku yang tersimpan dalam rak, entah siapa saja penulisnya.
"Kalau begitu ... semoga berhasil. Saya harus segera kembali ke Ukheil." Hazard tersenyum ringan, berjalan keluar dari dalam pohon. Di luar ada Yang Mulia Ratu Tel'onera, telah menunggu Hazard cukup lama.
Lamunannya pecah, tidak sadar waktu berjalan sangat cepat. Hazard menghitung waktu dari bayangannya yang memanjang. Saat itu, dirinya segera bangkit dan berjalan menuju danau, berteriak cukup lantang. "Anak-anak! Sudah mainnya! Ayo pulang ... tidak boleh lama-lama di air."
Padahal wajah anak-anak sudah sangat lelah. Tapi mereka enggan keluar dari sana dan masih ingin bermain sampai sore.
"Yah... Paman, sebentar lagi ya?" keluh Adam.
"Tidak boleh."
"Paman, tolong ...." Alisha ikut memohon pada Hazard dengan wajah memelas. Namun Hazard berkata, "Tidak," seraya bersidekap dengan muka datarnya dan mata yang menatap tajam.
Bagi anak-anak, ekspresi seperti itu sangatlah menyeramkan, bahkan lebih menyeramkan dibanding Yena ketika marah. Mereka segera berkumpul di pinggir danau, baru menyadari tidak ada Yena di sana.
"Loh, Paman. Bibi Yena kemana?" tanya Alisha.
"Iya ya, Kak Yena kemana, Paman?" Adam menimpali.
"Dia dipanggil oleh raja, ada tugas penting yang tidak bisa di tunda. Jadi ...," Hazard berlutut dan tersenyum, "... Paman ingin kalian menutup mata," lanjutnya.
"Menutup mata?"
"Untuk apa paman?"
"Aku tidak mau, aku takut ...."
Alisha menggembungkan pipi, mendengar cicitan teman-teman lain rasanya kesal. "Aku mau, Paman! Memangnya kenapa harus menutup mata?" tanyanya antusias.
"Paman ingin mencoba trik sulap yang baru paman pelajari pada kalian. Tenang saja, tidak berbahaya kok," balas Hazard.
"Wah, Paman bisa sihir?"
"Katanya cuma penyihir aja yang bisa sulap."
"Kata ayahku penyihir itu jahat!"
"Ish, kata siapa semua penyihir jahat? Ibu bilang penyihir juga ada yang baik." Kini giliran Adam yang tidak setuju dengan ucapan teman-temannya.
Hmm, kedua bocah ini serasi sekali, pikir Hazard sambil tersenyum. Kemudian ia berucap, "Sudah, sudah. Kalian mau tidak menjadi orang pertama yang melihat sulap paman?"
"Aku mau, Paman!" Anak-anak menjawab serentak, membuat Hazard tidak kuasa menahan senyumnya.
"Ok, semuanya mau ya?" Hazard bangkit, "sekarang tutup mata kalian dengan tangan. Ingat! Jangan mengintip sebelum paman menyuruh kalian untuk membukanya, mengerti?"
"Mengerti, Paman!" Semua anak menutup mata dengan jantung berdebar-debar tak terkecuali Alisha dan Adam.
Sebelum memulai, Hazard mengerahkan energi angin di sekitar oase, energinya digunakan sebagai pengering pakaian mereka. Kemudian setelah pakaiannya kering semua, Hazard memangku anak-anak satu per satu, membawanya dengan kecepatan angin. Ketika sampai pada anak terakhir, ikat kepala terlepas. Dengan tergesa Hazard mengambil ikat kain yang terjatuh di tanah. Sayang, Alisha melihat dengan jelas kejadian barusan.
"Pa-paman?"
Hazard menatap Alisha, mengerjap kaget. "Kamu, melihat semuanya?"
Tampak tubuh mungil itu mulai gemetar. Hazard pun mendekati Alisha seraya berlutut dan tersenyum hangat. "Adik manis, sepertinya tidak menutup mata dengan baik ya?"
"Maafkan Alisha, Alisha penasaran ingin melihat trik sulap, Paman!" pekiknya dengan cepat sekali tarikan napas.
Hazard mendekatkan bibir, membisikkan sesuatu pada Alisha, "Jangan bilang pada siapa-siapa. Ini rahasia kita berdua, oke?" Lalu tersenyum kemudian mengedipkan sebelah mata. Seketika rona merah muncul dari wajah mungil Alisha. Rupanya anak manis itu tertarik dengan Hazard.
🍂🍂🍂
"Sampai jumpa lagi, Alisha!"
"Dadah!"
"Besok main lagi ya!"
Alisha berpisah dengan teman-teman, berjalan sendiri pulang ke rumah. Dirinya menelusuri jalan sempit hingga sampailah di sisi belakang pagar batu milik Kerajaan Altair. Di sana ada banyak gentong tergeletak, dari ukuran yang kecil sampai besar. Alisha menata gentong layaknya tangga tanpa bantuan orang dewasa. Dengan yakin bocah berusia tujuh tahun itu menaiki gentong lalu memanjat pagar batu yang cukup tinggi. Namun, ketika kakinya berusaha mencari gentong yang sebelumnya sempat ditata, kakinya justru tergelincir.
"Waa!!! Ibuu!!"
Bruk!
Nyaris! Alisha nyaris jatuh dari ketinggian. Rupanya seorang wanita menangkap tubuh Alisha dengan sigap. Merasa tidak terjadi apa-apa, Alisha segera membuka mata. Seketika tubuh mungilnya menegang.
"Ibunda? Alis ... Alis ... ma-af ...," rengek Alisha terbata sambil menutup wajahnya takut.
"Dasar anak nakal! Untunglah Yang Mulia sedang sibuk sekarang," omel wanita itu.
Mendadak seorang pelayan wanita berlari kearah jatuhnya Alisha. "Yang Mulia Alika! Tuan Putri Alisha tidak ada di dalam kamar, bagaimana ini?" pekiknya panik.
Rupanya Ibunda Alisha adalah istri pertama sang raja. Dia berbalik lalu menurunkan Alisha. "Tenanglah, Putri Alisha di sini."
Bola mata si pelayan membulat tatkala melihat Putri Alisha yang mengenakan pakaian rakyat biasa. "Ba-bagaimana bisa? Saya sudah mencari Putri Alisha di sini, tapi tidak menemukannya. Kenapa pakaiannya juga—"
"Sudahlah, tidak perlu diperpanjang. Yang terpenting, Putri Alisha sudah ditemukan. Kau boleh bekerja kembali," sergah Alika sembari menarik Alisha pergi.
"Baik Yang Mulia Ratu." Pelayan wanita tidak membantah sama sekali. Dia membungkuk dan mengekor Alika.
Keesokan harinya, Alisha dan Yang Mulia Alika dalam perjalanan menuju ruang kerja sang raja. Mereka masuk begitu saja tanpa larangan dari para pengawal depan pintu. Di dalam ada Panglima Eden, Pengawal Yena, Wakil Syamsir, Penasihat Zain dan seorang yang tidak dikenal. Wajahnya tertutup jubah coklat.
Pendengaran Yena menangkap pintu yang terbuka, sorot matanya beralih memandangi pakaian yang dikenakan Ratu Alika. Dari ujung kepala, sang ratu mengenakan kerudung berenda dengan perhiasan emas melingkar di kepala.
Turun kebawah, ada aksesoris berupa kalung tiga buah dengan bulatan-bulatan pipih berkilauan. Sang ratu mengenakan abaya merah marun, dalamannya berwarna hitam, dan kain putih melilit pinggang. Sulaman rapi bermotif kotak-kotak pada abayanya jelas terlihat elegan membungkus badan.
Beralih pada pakaian Tuan Putri Alisha. Sekilas pakaiannya terlihat sejenis dengan pakaian Ratu Alika. Bedanya, sang putri tidak mengenakan kerudung dan abaya-nya berwarna kuning. Rambut Tuan Putri diuntai kebelakang lalu diikat dengan tali rambut berwarna kuning.
"Yang Mulia, maaf mengganggu kesibukan Anda. Saya sekadar ingin meminta izin pergi ke acara pertemuan para ratu, bolehkah?"
"Apakah Leah ikut juga?" tanya sang raja pada Ratu Alika, memotong ucapannya.
Netra Yena tak lepas dari Ratu Alika. Beliau terlihat mengeratkan genggaman, membuat putrinya terkejut. Putri Alisha menunduk takut, memegangi tangan sang ratu.
"Mengapa Yang Mulia terus menanyakannya?" tanya Ratu Alika, sorot matanya mengisyaratkan ketidaksukaan.
"Ayolah Alika, jangan begitu pada Leah. Kau selalu bertingkah begini jika aku lebih memperhatikan Leah, seperti anak kecil saja."
"Saya ... seperti anak kecil?"
Suasana berubah tegang. Para bawahan raja merasa tidak nyaman dengan hawa kecemburuan sang ratu.
Sedetik kemudian Alika menghembuskan napas, kemudian tersenyum sangat manis. "Maaf, saya bersalah. Yang Mulia tidak perlu khawatir, saya akan mengajaknya juga."
"Bagus, bagus. Pergilah, aku sudah mengizinkanmu."
"Baik Yang Mulia, terima kasih."
"Ayo kita pergi, Tuan Putri."
Alika pergi dengan kesal, menarik Alisha keluar dari ruang kerja. Tentu saja Alisha tidak mengerti mengapa ayah dan ibunya selalu bersitegang. Alisha sangat ingin bermain dengan ayahnya, tapi sang ayah sekalipun tidak pernah menatapnya.
"Ibunda, apakah Ayahanda benci Alisha? Mengapa Ayahanda tidak pernah melihat Alisha?"
Napas Alika tercekat, pertanyaan Alisha memberikan luka yang cukup dalam bagi Alika. Ia berlutut, membelai rambut panjang Alisha dengan lembut. "Putri, Ayahanda hanya sedikit sibuk. Nanti, jika sudah tidak sibuk lagi, Ayahanda pasti ingin bermain dengan Putri Alisha."
"Sungguh?"
"Apakah Ibunda terlihat tidak bersungguh-sungguh?"
Alisha menggeleng cepat, yakin ibunya tidak mungkin berbohong. Mendengar ayah pasti akan bermain dengannya, cukup membuat gadis cilik itu bergembira.
🍂🍂🍂
Dalam perjalanan menuju Kota Mitri, Raja Firan membawa lebih banyak orang. Rencana penangkapan si pembunuh gurun sudah diatur sedemikian rupa agar tidak gagal. Di belakang Yena ada seorang pria misterius menunggang kuda dengan tudung menutupi wajah. Awal kemunculannya hingga sekarang, pria itu tidak pernah melepaskan buku berwarna hitam dari genggaman.
Rombongan mereka terhenti. Karena hari mulai gelap gulita, raja memutuskan untuk beristirahat di tengah gurun. Para pelayan mulai membangun tenda dan api unggun untuk memasak. Sedangkan Yena, dapat beristirahat dengan tenang di dalam tendanya.
Yena mulai meredupkan lentera, lalu berbaring menyamping. Ingatannya menerawang pada sebuah pengejaran pembunuh gurun yang menegangkan beberapa hari lalu. "Suatu saat, identitasnya pasti terungkap," gumamnya pelan, perlahan memejamkan mata.