Chereads / ADURA / Chapter 22 - Bab 21 — Awal Mula

Chapter 22 - Bab 21 — Awal Mula

Jemari lentik itu mengancingkan baju seorang pemuda satu per satu lalu merapikan ujung pakaian agar kancing tersembunyi dengan sempurna. Dia wanita, tersenyum lembut menatap pemuda itu, suaminya. Gaya rambut belah duanya tampak rupawan dengan beberapa helai yang melambai.

"Layla, terima kasih."

"Terima kasih kenapa? Aku ini Nyonya Albar istri dari Walikota Mitri yang baru, sangat wajar melayani suaminya seperti ini," tutur Layla nama wanita itu. Ia memiliki warna kulit putih langsat dengan rambut hitam digerai.

Mendadak, seseorang mengetuk pintu kamar. Albar segera melangkah untuk membukanya. "Ada apa?" tanyanya dengan pandangan tertuju pada pelayan pria di depan. Pelayan itu menggunakan kaus oblong dan rompi coklat.

"Maaf, Tuan Walikota, saya tidak bermaksud mengganggu," ucap pelayan menunduk dalam.

"Tak apa. Katakan saja, ada apa kau kemari?" Albar melirik Layla, segera menyembunyikannya di balik punggung.

"Yang Mulia Ghani dengan rombongannya sudah sampai. Sekarang beliau sedang dalam perjalanan."

Meski tak siap mendengar informasi mendadak, sebisa mungkin Albar tetap terlihat tenang. Ia melirik Layla sekilas lalu berucap, "Baiklah, kau boleh pergi. Aku dan Layla akan segera menyusul. Terus pantau posisi Yang Mulia Ghani. Jika kami belum keluar, tahan rombongannya sebentar."

"Baik, Tuan. Saya pamit undur diri," ujarnya seraya membungkuk. Pelayan pria itu pergi, menuruni tangga menuju keluar rumah.

Albar berbalik menatap pakaian istrinya. Baju yang dikenakan Layla berwarna kuning berenda senada dengan warna celana. Ia terkekeh melihat kondisi Layla yang masih polos. "Kau mau keluar dengan pakaian seperti itu?"

Bibir Layla mengerucut. "Tentu tidak. Kau ingin aku menjadi tontonan?"

"Kalau begitu, cepat ganti," titah Albar tersenyum hangat.

Sebelum berganti pakaian, Layla mengamati dulu hem yang dikenakan suaminya. Warna hitam dengan corak segitiga putih di sekitar kancing. Terdapat motif segitiga putih terbalik pada kedua sisi dadanya.

"Baiklah. Tunggu di sini, Suamiku," rayu Layla sambil berkedip lucu. Mata bulatnya sempurna terlihat begitu menawan.

Selesai berkutat di kamar, Layla dan Albar berjalan beriringan. Hem yang dikenakan Layla berwarna putih bermotif hampir sama dengan Albar, bedanya hem Layla hanya memiliki tiga kancing. Rambut panjangnya di cepol agar tampak rapi. Layla mengenakan rok terbelah dua pada salah satu sisi pahanya.

Tandu kayu beratap hiasan emas semakin dekat dari jalan utama. Kain pembungkus bercorak tumbuhan dengan warna cerah mengitari atap yang melingkar. Para pelayan pria menggotong tandu di pundak. Sedangkan para pengawal memakai unta sebagai tunggangan. Ada pun unta khusus barang-barang, berjumlah sepuluh dituntun oleh sepuluh pelayan. Setelah semuanya sampai; para pelayan, walikota, serta istrinya membungkuk hormat. Sementara para pengawal raja dan pelayan raja berlutut ketika tandu diturunkan.

Raja Ghani menyingkap tirai, beliau keluar dari dalam tandu. Pakaian kebesarannya berupa jubah. Kancing emas hanya di tempel sampai batas pinggang. Jubahnya berwarna merah marun dengan motif daun emas pada setiap sisi. Gaya rambut yang di pakai Raja terbelah pinggir dengan poni tertata.

"Akhirnya aku bisa mengunjungimu hari ini," tandasnya seraya tersenyum cerah.

Albar berdiri tegap membalas ucapan Raja, "Merupakan suatu kehormatan bagi saya bisa menyambut Yang Mulia setelah pelantikan sebagai walikota."

Seorang pelayan pria tiba-tiba berjalan menghampiri raja sambil membawa bantal putih. Pelayan itu berlutut menyodorkan serban. Terdapat ukiran emas berbentuk bulu burung dan daun tepat di bagian dahi.

"Sudah kubilang, aku tidak ingin memakainya." Raja menghela napas, mendorong bantal tersebut dengan malas.

"Tapi Yang Mulia, Anda harus memakainya."

Raja Ghani mengabaikan si pelayan. Dirinya justru merangkul Albar sembari tersenyum. "Ayo, Tuan Walikota. Ada yang ingin kubahas denganmu secara pribadi."

Kelakukan Raja Ghani membuat pelayannya malu, tapi tersenyum karena sudah terbiasa dengan sifat sang majikan. Pelayanan itu mengembalikan serban mahkota ke dalam tandu.

Di sisi lain Layla tak mengikuti suaminya. Dia tahu keduanya membutuhkan waktu pribadi. Maka Layla memilih untuk menyambut rombongan Raja Ghani.

"Kalian semua pasti belum sarapan?" tanya Layla pada Pengawal Pribadi bernama Guru Danma.

Beliau adalah pengawal kebanggaan Raja Ghani. Tubuhnya kekar dengan rompi kulit unta berwarna kuning pucat. Pedang panjang miliknya hampir menyentuh jalan setapak. Tampak tersimpan sempurna di punggung.

"Nyonya benar sekali. Kami sungguh kelaparan," ungkap Guru dengan nada jenaka.

Layla tersenyum tipis memberi jalan kepada Pengawal Guru. "Kami sudah menyiapkan sarapan untuk Anda semua. Mari, ikuti saya."

Rombongan Raja Ghani dituntun menuju prasmanan di halaman rumah. Banyak pohon kelapa tertanam dalam pot besar, pijakannya berisikan lantai batu yang tertata rapi. Rombongan Raja Ghani langsung menyerbu prasmanan. Mereka semua terlihat bersemangat.

"Tuan Guru, Anda tidak ingin bergabung?"

"Saya sedang menemani, Nyonya. Sangat tidak sopan jika saya meninggalkan Nyonya sendirian."

Layla berdeham lalu tersenyum. "Tuan Guru, Saya sudah sarapan dengan Tuan Walikota."

"Wah, sayang sekali kalau begitu." Raut wajah Tuan Guru ditekuk, tampak kekecewaan yang dibuat-buat. Layla sekadar tersenyum saja melihat tingkah pengawal raja itu, sangat menghibur sekali. Segera, Layla mempersilakan Tuan Guru untuk mencicipi prasmanan yang sudah tersedia.

🍂🍂🍂

"Kapan ruang bawah tanah ini akan di bangun kembali?" tanya Raja Ghani. Netranya meneliti ruang bawah tanah yang masih berupa terowongan.

"Lima hari lagi, saya akan membangun kembali ruang bawah tanah ini."

"Hm, karena kau baru saja menikah jadi perlu waktu ya."

Seketika wajah Albar menegang. "Ma-maksud Yang Mulia?"

Raja Ghani menyeringai penuh arti. "Kau tidak perlu sungkan. Aku sangat mengerti kondisimu," terkanya.

"Ah, te-tentu saja ...." Albar tersenyum canggung. Perasaan tak nyaman mulai menggerogoti dirinya.

"Semoga istrimu cepat isi. Tidak seperti istri-istriku. Entahlah, padahal banyak tabib yang berkata mereka sehat-sehat saja."

Albar tak berkutik. Ia tidak menyangka akan mendengar rumor yang selama ini beredar, langsung dari mulut sang Raja.

"Menurutmu, apakah aku yang tidak sehat? Maksudku, mungkin ... aku yang mandul?"

"Yang Mulia! Anda tidak boleh berkata seperti itu!" Tak sadar Albar meninggikan suara. Ia meringis setelah menyadari kekhilafannya.

Sementara sang Raja hanya tersenyum, berjalan keluar melewat lubang besar pada rumah walikota yang akan di bangun menjadi ruang bawah tanah. Di belakang rumah tampak masih berantakan, faktor pembangunan yang belum jadi.

"Aku sudah punya enam istri. Namun semua istriku tidak ada yang hamil. Istri pertamaku Ratu Suryan, sampai menyuruhku untuk menikah lagi. Aku harus bagaimana? Jangan-jangan memang aku yang mandul."

"Jadi, Yang Mulia ingin meminang satu perempuan lagi?"

Sejenak keheningan menyeruak. Embusan napas dari Raja Ghani lumayan terdengar sampai pada Albar. "Kalau memang harus ... Kerajaan Altair membutuhkan penerus."

"Sebenarnya saya kenal seorang gadis. Ia cantik, rambutnya berwarna cokelat. Seorang gadis yang mandiri juga. Namun sayang ... ia hanya gadis biasa yang sudah tidak memiliki orang tua," ungkap Albar.

Raja Ghani berbalik. Menatap serius pria di depannya. "Siapa nama gadis itu?"

"Namanya Alea, Yang Mulia."

"Satu bulan setelah kejadian itu, Yang Mulai Ghani tak pernah absen mengunjungi Kota Mitri. Kemudian gadis bernama Alea akhirnya resmi menjadi istri ketujuh Yang Mulia Ghani. Sebulan setelah pernikahan tersebut ruang bawah tanah ini akhirnya selesai," ungkap Albar menjelaskan masa lalu begitu rinci.

Hazard terlihat mengangguk saja sambil mengambil sebuah pedang dari rak kayu, mengelusnya pelan. "Lalu, kapan saya lahir?"

Pertanyaan yang sangat menarik. Albar harus berdeham untuk menyembunyikan wajahnya yang memanas. "Sejujurnya saya tidak berhak menceritakan hal pribadi Yang Mulia kepada siapapun. Tapi karena putranya yang bertanya ... saya akan menjawabnya."

Hazard mulai menatap Albar intens sehingga netranya tak berkedip sama sekali.

"Sebulan setelah pernikahan terlaksana, Nyonya Alea tidak langsung mengandung. Ajaibnya yang pertama justru Yang Mulia Ratu Suryan."

"Bagaimana bisa?"

"Berdasarkan rumor yang beredar, ada seorang Pangeran—saudaranya Yang Mulia Ghani—tidak suka kepada beliau. Pangeran itu menghambat kehamilan istri-istri raja dengan sebuah mantra sihir. Para Penyihir Putih mengatakan, mantra sihir tersebut bisa hilang jika raja menikahi perempuan ketujuh. Dan benar saja, setelah menikah dengan Nyonya Alea, Ratu Suryan dan istri-istri beliau yang lain segera hamil dengan jarak berdekatan," jelas Albar.

Hazard semakin tertarik dengan cerita masa lalu orang tuanya. Ia menyimpan pedang kembali ke tempatnya seraya mengusap sesaat. "Pangeran yang tidak suka dengan Raja Ghani itu siapa?"

"Menurut Anda, siapa?"

Sudut mata mengerling dengan alis menukik pertanda ketertarikan Hazard kian besar. "Apakah saudara tersebut merupakan raja di masa sekarang?" tebaknya.

Albar mengangguk mengiyakan. Saat itu juga otaknya mulai bekerja. Menurut cerita singkat dari Albar, Raja Ghani bukanlah raja yang semena-mena seperti Raja Altair zaman ini. Justru Raja Ghani tampak seperti Raja baik hati dan tidak peduli dengan strata sosial. Sifatnya pun sangat mirip dengan Pangeran Harith, kakaknya. Namun ada satu hal yang membuatnya masih penasaran.

"Istri Paman Albar kemana? Mengapa tidak terlihat sama sekali?"

Albar menghembuskan napas berat, begitu sulit untuk berucap, "Dia meninggal setelah melahirkan Hannah."

Pantas. Hazard mengerti sekarang. "Itu artinya Masha bukan anak kandung paman?"

Albar memejamkan mata sejenak seraya mengangguk. "Begitulah, tapi Masha sudah saya anggap sebagai keluarga sendiri. Waktu itu orang tuanya dibunuh ketika masih bayi. Para Penyihir Hitam yang membunuh mereka atas perintah Raja Firan. Beliau pintar sekali membangun wajah baik di masyarakat sehingga aksinya tak terendus. Terutama masyarakat yang ada di Kota Reda, sampai bawahannya diwajibkan membangun nama baik di sana."

"Itulah sebabnya, Panglima Eden dan Pengawal Yena terlihat menahan diri," gumam Hazard menarik kesimpulan.

Akhirnya mereka menyudahi perbincangan serius. Kemudian segera keluar dari ruang bawah tanah. Siapa sangka seorang pemuda berkaus lusuh tiba-tiba berlari ke arah mereka.

"Tu-tuan, gawat!! A-ada mayat!" pekiknya beserta kalimat yang tidak lengkap.

"Diam dulu. Atur napasmu," sela Albar memerintah si pemuda untuk tenang.

Pemuda itu mencoba mengatur napas beberapa kali, sesuai perintah Tuan Walikota. Ia mulai bercerita, "Saya mendapat informasi dari penduduk setempat, ada mayat lelaki tergeletak di jalan utama. Saya tidak tahu identitas mayat tersebut karena lupa menanyakannya."

"Jalan utama?" Albar terkejut, lantas melirik Hazard.

"Siapa yang membunuhnya?" tanya Hazard mewakili.

"Saya tidak tahu. Saya tidak menanyakan apa-apa karena terlalu panik."

"Baiklah, aku dan Tuan Hazard akan segera menuju lokasi. Sampaikan kepada penduduk yang ada di sana, mayat tersebut jangan sampai disentuh apa lagi dipindahkan. Mengerti?"

"Siap Tuan Walikota! Akan saya sampaikan sekarang juga." Pemuda tersebut menunduk kemudian berlari secepatnya, meninggalkan kedua pria dalam keterkejutan.

Hazard menatap Albar. "Paman duluan saja. Saya ingin mengecek pakaian, sudah kering atau belum. Rasanya tidak nyaman keluar dengan pakaian seperti ini. Semua orang tahunya saya memakai masker."

"Baiklah kalau begitu. Untuk sementara rahasiakan dulu identitas Anda."

"Ya, Paman." Hazard mengangguk mantap kemudian berlalu terlebih dulu.

Sedangkan Albar, menghela napas sejenak untuk mempersiapkan diri. Tak lupa, dia mengajak bawahannya untuk bersama-sama pergi ke lokasi.