Chereads / ADURA / Chapter 21 - Bab 20 — Pengkhianat

Chapter 21 - Bab 20 — Pengkhianat

"Tentu saja Anda, Pangeran. Tanda lahir yang ada di bawah pusar adalah buktinya. Saya ingat sekali ketika Yang Mulia Ghani menunjukan tanda lahir itu saat Anda masih bayi."

Hazard tertegun. Penjelasan dari Tuan Walikota membuatnya harus berpikir lebih. Dirinya memang elve setengah manusia, tetapi Hazard tidak pernah menyangka bahwa orang tua kandungnya seorang Raja dan Ratu terdahulu dari Kerajaan Altair.

Sementara, Tuan Walikota tersenyum. Seakan, mengetahui reaksi apa yang akan ditunjukkan Hazard. "Hannah, putriku. Bisa tinggalkan kami berdua?" pinta Tuan Walikota pada gadis manis di samping.

Hannah tampak tersenyum seraya membungkuk hormat dan berkata, "Saya permisi." Lalu melangkah pergi meninggalkan Hazard dan ayahnya. Segera menutup pintu agar pembicaraan mereka tetap terjaga kerahasiaannya.

Sapu lantai yang ada di ujung kelokan mendadak jatuh dari sandaran meja kecil. Hannah menyipitkan mata, tampak seperti ada seseorang di sana. Namun ketika ia memeriksa sekitar, tak ada siapa pun. Mungkin hanya kucing liar, begitu pikir Hannah. Dia pun segera melangkah ke dapur untuk menyiapkan makan malam bersama adiknya, Masha.

Sebenarnya beberapa menit yang lalu seorang pemuda berlari tergesa hingga menabrak meja, mengakibatkan sapu yang bersandar di meja jatuh. Untunglah pemuda itu sudah cukup jauh sehingga kehadirannya tidak disadari.

Setelah berhasil keluar dari rumah Tuan Walikota, pemuda itu berjalan santai. Seakan, tidak ada yang terjadi. Membalas sapaan para pelayan di rumah walikota dengan senyum palsu yang terkembang sempurna. Sungguh, pria itu sangat pandai bersandiwara, karena sekarang ekspresinya berubah datar seketika.

🍂🍂🍂

Sejumlah pengawal dan pelayan raja tampak mengemasi perlengkapan berkemah. Seperti tenda, matras, lentera, dan barang-barang lain yang tidak bisa disebutkan semua. Mereka sudah bermalam di kota Mitri selama empat hari, tetapi berakhir dengan tangan hampa, hasil akhir tidak sesuai dengan rencana.

Raja Firan, Penasihat Zain, Panglima Eden, Wakil Syamsir, dan Pengawal Yena sedang mendiskusikan kejadian pagi tadi di dalam tenda. Sedangkan si penyihir yang berhasil melukai Hazard tak terlihat sama sekali batang hidungnya.

"Tampaknya untuk beberapa hari ke depan si pembunuh tidak akan berulah, melihat dari kondisi tubuhnya yang terluka parah saat ini," ujar Penasihat Zain.

Sang Raja terdiam, terlihat memikirkan sesuatu begitu serius. "Yena ...."

"Ya? Ada apa Yang Mulia?"

"Tentang assassin itu, adakah yang belum kau sampaikan padaku?"

Apakah aku perlu memberitahukan semua padanya? Tentang pemuda yang tinggal di dekat rumahku juga?

"Tidak ada, semua informasi tentangnya sudah saya sampaikan."

Benar. Untuk sementara kurahasiakan saja, pikir Yena melanjutkan suara hati.

Semua orang menoleh ketika lonceng tenda berbunyi. Terlihat pelayan pria menyingkap tirai kemudian menghadap sang Raja. "Yang Mulia, ada seorang pemuda dari kota Mitri ingin bertemu dengan Anda. Sudikah Yang Mulia menemuinya?"

Eden mengangkat tangannya dengan sopan, menatap sang Raja. "Izinkan hamba untuk menemuinya. Mungkin saja ada informasi penting yang ingin disampaikan."

Sang Raja menghembuskan napas kemudian berkata, "Pergilah."

Eden tersenyum sesaat lalu membungkuk hormat. "Terima kasih Yang Mulia, saya permisi." Kemudian menatap si pelayan. "Tunjukan padaku dimana pemuda itu sekarang."

"Baik, Tuan."

Eden berjalan keluar tenda, dipandu oleh si pelayan. Mereka makin jauh dari perkemahan dan berhenti di pinggiran oase.

"Tuan Eden!" pekik pemuda berpipi tirus, ia berlutut ketika Eden tepat berada di depan.

"Berdirilah. Ada apa kau kemari?"

Seketika si pemuda berdiri sesuai perintah. Eden dapat melihat dengan jelas pakaiannya lusuh dengan sedikit robek di beberapa bagian. Sepertinya pemuda ini ingin menawarkan sesuatu.

"Tujuan saya kemari karena ingin menyampaikan informasi yang mungkin lebih Tuan butuhkan daripada uang, tapi harganya tidak murah."

Dahi Eden berkerut, sorot matanya berubah drastis. "Kau ingin menjual informasi padaku?"

"Tidak, Tuan. Saya hanya ingin menukar informasi ini dengan sebuah tempat yang layak untuk saya, contohnya seperti menjadi Prajurit Kerajaan Altair."

"Jadi itu tujuanmu?" Eden melipat tangan, bola matanya tak berkedip sama sekali. "Baiklah, katakan informasi apa yang kau punya."

Helaan napas terdengar,  pemuda itu mulai bercerita. "Informasi yang ingin saya sampaikan yaitu tentang si pembunuh gurun. Saya sempat menguping pembicaraan Tuan Walikota dengan si pembunuh dan sangat terkejut mendengarnya. Tuan Walikota mengatakan pembunuh gurun adalah putra kedua dari Raja Altair terdahulu."

"Lalu?"

"Eh? Itu ... saya juga sempat mendengar mereka membicarakan tentang tanda lahir."

Eden menyetuh dagunya sambil berpikir. "Tanda lahir? Seperti apa?"

"Kalau itu sa-saya kurang tahu... saya tidak sempat menguping lebih lanjut karena kondisi yang tidak memungkinkan."

Eden tersenyum miring, tapi tidak terlihat karena tertutupi telapak tangan. "Kau cukup pandai juga."

Dipuji seperti itu siapa yang tidak senang? Dan si pemuda adalah salah satunya. Dia tersipu mendengar pujian Eden.

Sampai akhirnya senyum itu hilang ketika sebuah pedang tepat menusuk perut. Dia terbatuk-batuk, hingga menyemburkan darah segar. Sedetik kemudian Eden menarik pedang dengan sekali tarik, membuat tubuh si pemuda jatuh tersungkur. Bau amis darah menempel lekat pada pedangnya.

"Me-mengapa? Tu-tuan ...." lirih pemuda itu terbata-bata. Perutnya dicengkeram dengan erat.

"Tidak perlu bertanya mengapa, seharusnya kau tahu kenapa aku melakukan ini. Nikmati saja saat-saat terakhirmu. Selamat tinggal."

Pelayan yang sedari tadi menemani Eden, langsung menunduk ngeri. Cepat-cepat ia menyusul dan mengekor di belakang. Sesuai rumor yang beredar, Eden memang manusia berdarah dingin.

Mendadak langkahnya terhenti, Eden memasukan pedang ke dalam sarung di samping pinggang. Ia tertawa keras meski tidak ada hal yang pantas untuk ditertawakan. "Kau tidak perlu takut, aku hanya akan membunuh orang-orang sepertinya. Sedang kau, tidak mungkin kubunuh."

Seketika pelayan tersebut mengelus dada, lega dengan perkataan Eden.

"Tapi jika berkhianat, jangan harap kau bisa lolos dariku."

"B-baik, Tuan! Saya mengerti!"  teriak si pelayan, bulu kuduknya kembali meremang.

🍂🍂🍂

"Tidak mungkin. Bagaimana bisa saya seorang Pangeran? Putra kedua dari Raja terdahulu?  Lalu sang Raja menunjukkan tanda lahir putranya kepada Anda?" tanya Hazard bertubi-tubi.

Tuan Walikota sekadar mengangguk-angguk membenarkan. Seketika Hazard bersandar pada bantal, menghembuskan napas panjang. Dirinya butuh waktu cukup lama untuk memproses semua informasi. Terlebih tentang kenyataan bahwa ia merupakan adik dari seorang Pangeran Pelarian bernama Harith. "Saya butuh waktu untuk memikirkannya."

Tuan Walikota bangkit dari kursi kayu. Ia berkata, "Saya mengerti. Tentu saja Pangeran butuh waktu. Tapi jika Pangeran berkenan, makan malamlah bersama kami. Sayang sekali jika Pangeran tidak hadir, sementara putri saya sedang menyiapkan menu spesial untuk Anda."

Hazard terdiam sebentar lalu tersenyum tipis. "Baiklah, nanti saya akan menyusul."

"Terima kasih, saya tunggu kehadirannya. Permisi." Tuan Walikota membungkuk lalu melangkah pergi.

Akan tetapi, Hazard tiba-tiba berseru, "Tunggu!"

"Ya? Ada apa pangeran?" sahut Tuan Walikota berbalik badan dengan senyum ramah.

"Em, begini ... boleh saya tahu nama paman?"

"Nama saya Albar."

"Ah, baiklah. Paman Albar."

"Kalau begitu, saya permisi."

Hazard tersenyum menatap kepergian Walikota Albar lalu bersandar sebentar untuk rehat. Dia lekas meneguk teh hangat buatan Hannah, sangat cocok diminum malam hari seperti ini.

Beberapa menit, teh pun habis, barulah ia sadar hanya mengenakan celana. Dimana pakaiannya yang lain? Sangat tidak sopan jika keluar bertelanjang dada seperti sekarang. Tiba-tiba perutnya menabuh bunyi-bunyian yang amat memalukan. Berkat pingsan seharian, tidak tersisa makanan sama sekali di dalam sana.

Terpaksa, Hazard melangkah menuju almari dan membukanya. Untung saja di dalam almari sudah tersedia baju-baju layak pakai. Dia segera menanggalkan penutup kepala yang tidak dibuka ketika sedang diobati oleh Walikota. Hazard bersyukur karena kristal di kening masih terjaga kerahasiaannya. Berikutnya tinggal celana ...

"Paman say—Aaaaaa!" teriak keras Hannah setelah membuka pintu kamar. Matanya hampir ternoda karena benda pribadi Hazard. Dirinya langsung berbalik sambil menutup wajah.

Sementara Hazard menahan napas, dia mematung di tempat. Segera celana itu dimasukan kembali seraya menutupi kristal biru yang terekspos dengan kain dililitkan seperti tudung. "Ada apa? Kenapa kau kemari?" tanyanya cepat.

"Be-begini, saya disuruh Ayah untuk menjemput, Paman. Dan soal pakaian ganti, Paman bisa memakai pakaian yang ada di almari untuk sementara," jelasnya tergagap tanpa berbalik.

"Ya, sudah tahu. Ada yang lain?"

"Tidak ada, hanya saja jika paman ingin mengganti pakaian kunci dulu pintunya."

"Kalau yang tadi salahmu, mengapa tidak mengetuk dulu?"

Wajah Hannah semakin merah, merasa malu dengan dirinya sendiri. Seorang remaja tidak ada sopan-santunnya pada yang lebih tua, bahkan mengetuk pintu pun tidak.

"Pokoknya jangan lupa kunci pintu!" Hannah segera kabur dari sana sebelum Hazard membalas kalimatnya dengan jenius. Ya, jenius menjurus bodoh? Pada seorang perawan Hazard berkata demikian, hoki sekali tidak diberi cap tangan. Mungkin karena jaraknya terlalu jauh.

"Fiuhh ...." Hati yang tadinya tegang, menjadi lega. Hazard segera memakai pakaian lalu kain panjang penutup kepala ia lilitkan kembali dan diikat. Dirinya segera keluar dari kamar menuju tempat makan.

Setelah berulang kali salah tempat, Hazard akhirnya sampai di dapur. Lalu segera duduk pada kursi kayu berukiran bunga khas gurun—yaitu bunga kaktus. "Ah, maaf agak lama. Tadi saya sedikit tersesat," ucapnya tersipu.

"Tidak mengapa, wajar saja hal itu terjadi. Silakan dicicipi Pangeran, semua makanan ini adalah menu spesial untuk Anda," tutur Albar diiringi dengan senyuman Hannah dan tertawa lucunya Masha.

Hazard mengangguk mantap, semua makanan yang tersaji terbuat dari bahan makanan yang ia dan Furo berikan. Sungguh membahagiakan, dan rasa ini membuat Hazard terhanyut dalam suasana keluarga.

Tak terasa waktu makan malam telah usai. Hannah membereskan alat-alat makan bersama Masha. Sejenak Hazard memperhatikan gerak-gerik Masha, memang tak ada yang spesial. Masha hanya terlahir sebagai manusia berdarah elve saja. Tidak lebih.

"Pangeran, saya ingin menyampaikan sesuatu yang cukup penting. Bisakah—"

"Boleh. Ingin mengobrol di mana?" tanya Hazard cepat, memotong kalimat Albar yang belum selesai.

Albar lumayan terkejut melihat antusiasme Hazard. Dia pun tersenyum sambil berkata, "Ah, baiklah. Mari ikuti saya."

Hazard bergegas mengekor Albar. Mereka berdua berjalan menuju ruang bawah tanah. Sebelum memasuki ruangan tersebut Albar mengambil lentera yang tergantung di dinding. "Ikuti saya, Pangeran."

"Baik."

Mereka pun memasuki ruang bawah tanah dengan tangga yang terus menurun hingga sampai di sebuah ruangan penuh senjata. Karena penasaran, Hazard mengambil lentera di dinding batu lalu menyorotkan cahaya pada senjata tajam yang digantung.

"Senjata-senjata ini berkualitas tinggi. Bagaimana Paman Albar bisa menyembunyikan semuanya?" tanya Hazard seraya mencolek debu yang terdapat pada sarungnya. Ternyata debu di sini tebal juga.

"Itulah sebabnya, mengapa saya membawa Pangeran kemari. Ceritanya panjang. Apakah Pangeran ingin mendengarnya?"

Hazard berpikir sejenak kemudian mengangguk mantap. "Ceritakan saja, saya ingin mendengarnya," titahnya menatap serius pada Albar.

"Baiklah, saya akan memulai cerita ini dari awal, sebelum Yang Mulia Ghani menikah dengan Ratu Alea."