"Setan kecil ini benar-benar ...," gumam Yena kesal, "baiklah kalian menang!" lanjutnya berkata dengan lantang dan penuh amarah.
Hazard terkekeh melihat Yena yang tak bisa menolak. Berbeda dengan anak-anak yang langsung bersorak gembira, mereka tidak sabar mencapai danau yang berada cukup dekat dari kota Reda.
Keduanya masing-masing menggendong satu anak. Membawa mereka ke oase terdekat, ada rumah Yena juga di sana.
"Halo Nona! saya duluan," seru Hazard sembari berlari dan melambai pada Yena.
Beberapa saat kemudian kejadian yang sama terjadi, "Saya duluan lagi ya!" Senyum Hazard terkembang seiring dengan laju larinya yang begitu cepat. Sementara Yena, masih berkutat dengan satu anak perempuan dalam gendongan.
"Dia itu ... punya tenaga kuda atau apa? Mengapa tak ada capeknya ... arghhh!" Yena mengeram kesal. Dirinya mulai berlari ingin mengimbangi kecepatan Hazard. Namun, betisnya mulai gemetar, keringat pun bercucuran sebadan-badan. Ia merasa kedua kakinya seperti tidak memiliki tulang lagi.
"Bibi, pelan-pelan. Alisha tidak apa-apa kok." Alisha, anak perempuan yang digendong Yena menunjukkan raut cemas. Melihat Yena yang melangkah begitu sulit, membuat Alisha merasa kasian. Anak itu lekas menyeka keringat di kening Yena untuk meringankan bebannya.
"Akhirnya, sudah semua," ucap Hazard seraya menurunkan Adam, anak terakhir yang digendongnya dari kota ke oase.
"Makasih, Paman!" Adam menunjukkan senyum lebar. Dirinya pun menyusul teman-temannya; berlari, membuka baju, dan melompat ke danau di depannya. Adam terlihat senang sekali, bisa berenang bersama teman-temannya.
Gedebuk!
Suara terjatuh bagai karung tertangkap oleh indra pendengar Hazard. Ternyata itu Yena yang jatuh. Cukup keras sampai Hazard masih bisa mendengarnya. Tubuhnya tengkurap di tanah seperti seseorang yang baru saja pingsan. Akibat tenaganya yang habis tak tersisa.
"Bibi Yena! Bibi Yena! Tidak apa-apa kah?" tanya Alisha, mengguncang-guncangkan punggung Yena. Air mukanya menunjukkan kekhawatiran yang nyata.
Yena sekadar mengibas-ibaskan tangan dan berkata, "Sudah, main saja. Bibi tidak apa-apa."
Melihat adegan dramatis itu, Hazard tersenyum tipis kemudian berjalan menghampiri bocah bernama Alisha. Dia mengusap pucuk kepala Alisha yang berlutut di samping Yena.
"Paman ...," lirih Alisha menengadah menatap Hazard. Sudut bibirnya jatuh ke bawah karena khawatir dan kasian pada Yena.
Senyum Hazard mengembang, berlutut di hadapan Alisha. Dirinya berusaha menenangkan Alisha dengan menepuk kedua pundak anak manis itu. "Tidak usah khawatir, biar Paman yang mengurus Bibi."
"Umm, oke," Alisha mengangguk dengan ekspresi lucu, "Alisha mau main sama teman-teman dulu ya, Paman," lanjutnya meminta izin terlebih dahulu. Wajah bulat itu makin menggemaskan dengan mata yang berbinar-binar.
Alisha melambaikan tangan setelah mendapat anggukkan dari Hazard. Dirinya berlari menyusul teman-teman.
"Nona, Anda tidak ingin saya bantu?" tanya Hazard sambil memandangi kondisi Yena yang malang.
"Bantu apa? Aku nyaman kok tengkurap seperti ini," sela Yena lalu melipat tangannya ke depan, kening ia tempelkan pada lipatan tangan. Masih dengan posisi yang sama.
"Anda serius?"
"Ya, tentu saja."
"Baiklah kalau begitu, saya pulang sekarang."
Tiba-tiba Yena mencengkeram pergelangan Hazard. Menahannya pergi. Hazard hampir tertawa melihat tingkahnya.
"I-itu ... Tuan Hazard, saya tidak bisa merasakan kedua kaki saya," ucapnya memelas, wajahnya mulai merona merah.
"Baiklah, pegangan yang erat, oke?" Hazard segera memangku Yena menyuruhnya untuk berpegangan. Saat itu juga darah dalam tubuh terasa berdesir. Rona merah pada wajah Yena tampak kian jelas.
"Itu ... rumah saya." Yena menunjuk kearah rumah panggung miliknya dengan malu-malu.
Jika di lihat dari dekat, bentuk dada Tuan Hazard sangatlah sempurna bagi seorang pemuda. Padat dan berisi. Yena merasa jadi perempuan mesum sekarang.
Hazard menurunkan Yena perlahan di tangga rumah. "Bagaimana sekarang?" tanyanya.
"Masih sakit dan keram," ungkap Yena sambil memijit-mijit pergelangan kaki yang terasa membesar dan meringis beberapa kali.
Mendadak Hazard meraih kaki Yena, menaruh keduanya di atas paha. Sementara Yena terkesiap, jantungnya berpacu lebih cepat.
"Saya ingin memijat kaki Anda. Sepertinya ada yang terkilir, tidak apa-apa 'kan?"
Yena menjawab dengan anggukkan, tak ingin bicara lebih sebab tubuhnya terasa makin panas. Entah apa penyebabnya.
Selama beberapa menit, kedua insan itu tidak bersuara, mereka sibuk menonton anak-anak yang sedang bermain dengan riang.
"Mereka itu ... teman satu kelasnya Adam, semuanya bersekolah di sekolah yang sama. Sebagai anak-anak yang lahir dari sepasang suami-istri Pekerja Kerajaan, materi yang mereka pelajari agak berbeda," tutur Yena mulai bercerita.
"Berbeda?"
"Iya, berbeda. Jadi, materi yang ditambahkan biasanya seputar menjadi Pengawal Kerajaan, Pelayan, dan tentunya Prajurit Kerajaan. Kalau diusia yang sekarang mereka masih mempelajari pengetahuan umum tentang sejarah kerajaan dan lain-lain," jelasnya lalu tersenyum mengenang masa kecil.
Hazard sekedar mengangguk-anggukan kepala mendengar penjelasan Yena. Tiba-tiba saja, Yena berteriak kemudian menarik kakinya karena merasa sakit di bagian telapak.
"Maaf Nona, apakah sakit sekali?"
"Iya ...."
"Kalau begitu, coba Anda berdiri!"
Yena mengindahkan perintah Hazard, berdiri perlahan sembari memegangi bahu pemuda di depannya. Syukurlah Yena bisa berjalan dengan baik sekarang.
"Hebat!" pekiknya seraya tersenyum senang dan duduk kembali di samping Hazard.
"Tuan Hazard ini tabib ya?" Yena menggeser duduknya, antusias sekali sampai tidak sadar telah memojokkan Hazard ke ujung tangga.
Sebenarnya Hazard hanya memijat titik darah yang menggumpal dalam tubuh Yena. Syukurlah, Yena tidak memperhatikan warna mata Hazard yang berubah. Kondisi seperti ini membuat Hazard tidak fokus. Netranya tak sengaja memandang belahan indah milik Yena yang tidak tertutup kain. Dia berkedip-kedip beberapa saat, terasa ada yang berdesir di dalam tubuh.
"Nona ...."
"Iya?"
"Sepertinya ... ada yang sedang mencari Anda." Hazard mengalihkan pandangan pada seseorang di belakang Yena.
Yena seketika tersadar, ia segera berbalik membelakangi Hazard, menyembunyikan wajahnya yang seperti tomat yang sudah matang. Ternyata ucapan Tuan Hazard benar, seorang pelayan tengah berlari kearahnya.
Dengan napas terengah-engah pelayan itu menyampaikan bahwa Yang Mulia ingin Yena menemuinya. Setelahnya si pelayan pergi tergesa-gesa kembali ke Istana.
"Ada apa?" tanya Hazard, sudah ada di samping Yena secara tiba-tiba.
Yena menelan ludah lalu berbalik menatap Hazard. Dirinya tersenyum tipis dan berkata, "Ehm, begini ... saya harus pergi. Namun, anak-anak ini bagaimana?"
Hazard mulai berpikir sambil melipat tangan kemudian tersenyum pada Yena. "Tidak perlu khawatir, Nona mempunyai unta dan kuda, kan? Boleh saya meminjamnya?"
"Oh! Benar juga. Tentu sangat boleh. Tapi, kalau kuda ... tidak bisa. Bagaimana jika unta saja?"
"Tidak masalah."
"Oke, kalau begitu saya pamit. Hati-hati, mereka sedikit usil." Yena melirik para bocah yang masih bermain air di danau oase.
"Tenang saja, mereka tak akan macam-macam."
Seketika senyumnya mengembang, Yena segera pergi dengan kuda meninggalkan Hazard bersama anak-anak. Sementara Hazard berdiam diri menatap kepergian Yena hingga keberadaannya tak terlihat lagi. Dari bibirnya, tampak senyuman misterius terbentuk dengan sempurna.