Chereads / ADURA / Chapter 16 - Bab 15 — Waktu

Chapter 16 - Bab 15 — Waktu

Mentari menyingsing menantang langit pertanda hari baru telah di mulai. Sekarang, Yena berada di rumah oase, melatih diri agar tubuhnya tidak kaku. Sekaligus penyegaran bagi otaknya juga.

Yena meninju pohon kelapa, menendangnya kemudian. Terjatuhlah beberapa buah kelapa. Keringat yang bercucuran ia abaikan, fokusnya lebih kepada kelapa yang sudah berjatuhan di tanah. Kemudian melepas lilitan kain pada kepalan tangan. Menggunakannya sebagai ikat karung untuk kelapa yang terkumpul. Setelah itu, dua karung penuh kelapa disampirkan pada punggung seekor unta.

"Akhirnya, selesai." Sembari menyeka keringat di kening, senyum tipis merekah sambil menepuk karung berisi kelapa yang siap untuk dijual.

Sebelum pergi ke pasar, Yena berjalan ke pinggiran danau lalu membasuh wajah. Kegiatan ini membuatnya teringat kenangan bersama sang Ayah.

Sebagai anak perempuan, Yena tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan laki-laki. Itu sebabnya ketika ayahnya mengambil kelapa di belakang rumah, Yena kecil hanya boleh menonton dari kejauhan dengan memeluk bantal.

Sambil tersenyum Yena bangkit dan berseru, "Baiklah, ayo jual semua kelapa ini. Pasti lumayan!"

🍂🍂🍂

Di pasar, kelapa cukup mahal. Satu ikat penuh bisa mencapai lima keping dirham. Karena semua yang ada pada buah tersebut bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan. Intinya tidak ada yang terbuang dari buah kelapa.

Yena menjual habis kelapa dengan menyisakan satu buah untuk ibu sebagai bahan masakan. Uang yang didapat sebesar dua puluh keping dirham dalam sekali jual. Lumayan, bisa untuk membeli beberapa karung gandum sebagai persediaan bahan pangan di gudang.

"Wah, hebat! Kualitas kelapa yang Nona bawa sangat bagus. Jangan segan untuk menjual kelapa lagi pada saya. Saya ini pedagang yang jujur," tutur Paman Pedagang sembari mengacungkan jempolnya.

Yena terkekeh mendengar ucapan si paman. Namun, sepertinya ada paman di sebelah merasa tersindir. Jaraknya begitu dekat dengan lapak dagang si paman yang membeli kelapa.

"Hey, apa maksudmu bicara begitu? Memangnya hanya kau pedagang jujur?" katanya bersungut-sungut sambil berjalan mendekat ke arah Yena.

"Saya tidak—"

"Diam kau! Dasar pemula! Sangat tidak punya tatakrama! Akan kuadukan pada Tuan Kazmer!" Si paman yang tersindir itu menonyor paman pedagang baik hingga terjungkal.

Yena segera menyelinap di antara mereka sembari membantu paman baik untuk berdiri. "Paman, cukup! Ini tempat umum. Lihat! Kalian jadi bahan tontonan," pekik Yena, mencoba melerai pertengkaran antar pedagang.

Paman yang merasa tersindir itu akhirnya berhenti memukul karena malu dengan tatapan orang-orang. Tampak si paman hanya menatap Yena dan berlalu pergi. Tidak sopan sama sekali. Mungkin karena Yena tidak memakai baju resmi. Itu sebabnya ia tidak dikenali.

Untunglah, perseteruan ini tidak berlanjut. Gawat sekali jika paman itu mengadukan si paman baik pada Tuan Kazmer. Beliau merupakan orang terpandang yang memiliki berbagai macam bisnis. Dari bisnis penginapan hingga perdagangan. Ah, hanya wanita beruntung yang bisa menjadi istrinya. Menurut kabar yang beredar, Tuan Kazmer memang baru saja mempersunting seorang wanita cantik jelita beberapa minggu lalu.

"Terima kasih, Nona. Dan Maaf karena saya sudah salah bicara," lirih si paman, membungkuk dalam. Mengingatkan Yena pada ayahnya.

"Tidak apa-apa. Boleh saya tahu nama paman?"

"Nama saya Lutfan biasa di panggil Fan oleh kawan-kawan saya."

"Baiklah, Paman Fan. Salam kenal. Saya Yena semoga kita bisa jadi akrab. Besok, jika masih libur saya ingin mentraktir paman makan siang. Paman tidak keberatan?"

"Hahaha, mana ada keberatan. Saya justru sangat menantikannya."

Yena tersenyum simpul mendengar jawaban Paman Fan, adem sekali kedengarannya. "Kalau begitu, saya pulang dulu. Ibu pasti sudah menunggu kelapa ini, ingin dimasak katanya. Sampai jumpa Paman Fan." Yena berpamitan seraya menuntun untanya.

Beruntung Yena bisa berkenalan dengan Paman Lutfan, ibunya harus tahu tentang keberadaan Lutfan supaya tidak mudah ditipu lagi oleh pedagang-pedagang nakal ketika sedang berbelanja.

Sedang enak-enaknya berjalan sendiri, seorang pemuda mendadak mengikutinya dari belakang.

"Halo Nona! Anda butuh bantuan?"

"Tidak," balas Yena singkat.

Ah ... pria ini. Hazard. Sekarang dia memakai ikat kepala bukan turban seperti sebelumnya. Pakaian yang dikenakannya berganti dengan setelan biasa, bukan lagi memakai jaket kulit layaknya para assassin.

"Anda serius, Nona?" tanyanya masih belum menyerah. Ia terus mengikuti Yena di belakang.

Yena tak membalas pertanyaan Hazard, malas sekali. Biarkan sajalah, ia masih banyak urusan yang lebih penting.

"Bu! Ini kelapanya," pekik Yena dari luar rumah.

Layha bergegas menghampiri anak gadisnya lalu mengambil kelapa. "Sayang, ibu boleh minta satu bantuan lagi tidak?" tanyanya seraya tersenyum manis.

"Ehm, bantuan apa?"

"Itu loh, penampungan air kita sudah kosong."

"Bukannya kemarin masih penuh, Bu?" Yena mengerutkan kening.

"Kamu seperti tidak tahu saja kelakuan adikmu, kalau mandi seperti apa borosnya. Besok-besok ibu tidak akan lagi membiarkannya mandi sendiri." Layha mengeluh. Matanya menatap kebawah sembari menghela napas.

"Baiklah, serahkan padaku, Bu," ucap Yena, menunjukkan senyum palsu.

Raut Layha berubah sumringah, senyum lima jari tercetak jelas di sana. "Hehehe, terima kasih sayang. Ibu mau masak dulu ya."

"Um, iya."

Yena menatap kepergian Layha, setelahnya menghembuskan napas. Baru saja selesai menjual kelapa, sekarang disuruh mengangkut air dari sumur umum. Keringat yang tadi saja belum kering.

"Anda butuh bantuan, Nona?"

Awalnya, Yena tidak mempedulikan pertanyaan Hazard, tapi sekarang suara ini bagaikan peri penolong yang muncul secara ajaib. Yena menggenggam erat uluran tangan Hazard dan menatapnya nanar.

🍂🍂🍂

"Huwahh ... akhirnya selesai!" Yena bersandar pada tubuh unta dengan kaki yang gemetar.

Bolak-balik membawa gentong berisi air dari oase ke kota sangat melelahkan meski di bantu oleh Hazard dan untanya. Mungkin karena sebelumnya telah melakukan kegiatan lain, tenaga Yena hampir terkuras habis. Hazard tidak jauh berbeda dengan Yena, berjongkok sembari mengatur napas. Namun bedanya, dia malah senyum-senyum sendiri, mungkin bahagia? Entah, Yena tidak tertarik untuk menguliknya.

Satu jam berlalu, Yena beristirahat sembari berbincang santai bersama Hazard, ternyata sangat menyenangkan. Hazard adalah pria yang menarik, berbicara dengannya tentang berbagai hal tidak membosankan sama sekali. Dari kejauhan, Yena menangkap sekumpulan anak berjalan ke arahnya, rata-rata berusia lima sampai tujuh tahun.

"Paman Hazard! Kak Yena!" teriak Adam tampak berlari diikuti teman-temannya dari belakang.

"Ada apa?" tanya Yena malas, kedua tangannya disilangkan di dada.

"Um, itu ... teman-teman Adam mau berenang di danau. Adam udah bilang kalau paman dan kakak sedang sibuk, tapi teman-teman enggak mau dengar." Adam menunduk, menautkan jemarinya karena takut dimarahi.

"Maaf ya, tidak bisa. Besok saja," jawab Yena ketus. Adiknya yang satu ini jika sedang ada maunya pasti tidak pernah lupa memanggil Yena dengan sebutan 'Kakak'.

"Nona Anda terlalu kejam, lihat mereka sampai mau menangis begitu," ujar Hazard lalu berdiri menghampiri Adam.

Yena menatap anak-anak tersebut, memang beberapa diantara mereka pelupuk matanya mulai berair.

Sedangkan Hazard tampak berlutut di depan Adam. "Biar paman yang menggendong kalian satu-satu ya."

"Tapi kalau sendirian Paman Hazard pasti capek!" Adam sedikit memekik sampai terdengar oleh Yena. Seakan-akan Yena lah orang jahatnya di sini.

"Setan kecil ini benar-benar ...," gumam Yena kesal, "baiklah kalian menang!" lanjutnya berkata lumayan nyaring.