Untuk waktu yang sedikit lama, aku termenung di depan pintu. Mengenang semua kejadian di masa lalu. Meski sang waktu telah menyembuhkan sakit hati yang teramat dalam. Tetap saja akan meninggalkan bekas luka yang tak akan pernah hilang. Meninggalkan sebuah kenangan.
Memang kita menjalani hidup untuk mengenang. Senang, sedih, rasa sakit, hal baik dan hal buruk, serta semua hal yang pernah dilalui dalam hidup. Kenangan perlu dalam hidup. Untuk di kenang, ditertawakan, diratapi, dan yang paling jelas sebagai guru untuk dipelajari.
Ibarat sebuah bayang-bayang. Tak berwujud dan kelihatan tak ada, tapi ia selalu mengikuti. Tak bisa melarikan diri dari bayang-bayang. Akan selalu hidup dan berjalan berdampingan. Namun semua bisa memilih. Antara tenggelam dalam bayangan atau hidup bertahan pada kenyataan. Itulah kenangan.
Aku mencoba menjernihkan semua pikiranku. Tak mau tenggelam dalam kenangan terlalu lama. Menyusun serpihan-serpihan kesadaran. Mengusap air mata yang hendak mau jatuh.
"Haah.. jangan rasakan dan lupakan!! Itu semua hanya masa lalu." ucapku menegarkan diriku sendiri
"Huft..." hela nafasku panjang sambil membuka pintu.
"Permisi pak, ini makanan yang bapak pesan."
"Masuk saja dan tolong makanannya taruh saja di meja."
Aku mendekat dan melihat Pak Nando yang sedang tiduran telentang di sofa panjang. Menutup matanya dengan tangan kiri, dengan tangan kanan sebagai bantalan.
"Pak Nando kenapa? Apa bapak sakit?" tanyaku sambil meletakkan makanan.
"Nggak, cuma sedikit sakit kepala dan capek saja."
"Apa perlu saya belikan obat pak?" tanyaku dengan sedikit cemas.
"Gak perlu."
"Apa bapak mau saya pijat kepalanya? buat meringankan sedikit sakitnya."
"Jangan, nanti ngerepotin."
"Tidak ngerepotin kok pak. Biasanya saya juga memijat bunda saya. Mau ya pak?" tanyaku dengan sedikit memohon dan memelas.
"Ya.. ya.. kalo kamu maksa."
"Maaf, kalo saya lancang. Apa boleh kepala bapak saya pangku saja? supaya bapak bisa lebih nyaman dan rileks. Saya juga lebih enak posisi memijatnya."
Duh apa yang kukatakan. Bodoh, aku bertanya seakan hilang kewarasanku. Suara dalam batinku yang menyesal dengan perkataan gilaku. Seakan-akan pertanyaan itu keluar dari mulut wanita yang sedang menggoda pria yang dia suka. Ingin sekali ku pukul kepalaku untuk membuat otakku bekerja normal kembali.
"Hmm.."
Dia menurunkan kedua tangannya. Itu menunjukkan persetujuannya. Aku sedikit kaget dengan persetujuannya itu. Tapi terdapat sedikit rasa bahagia dalam hatiku. Dan aku pun tersenyum malu.
Aku mengangkat kepalanya, dan meletakkan pada pahaku. Sebisa mungkin aku meletakkannya dengan hati-hati dan membuatnya senyaman mungkin. Aku memijat bagian pelipisnya.
Dalam keheningan, waktu seakan berputar lambat. Jantungku yang berdegup kencang tak beraturan. Membuatku takut suaranya akan terdengar keras dan jelas.
Tak pernah terpikirkan sebelumnya. Aku bisa sedekat ini dengan Pak Nando. Dapat menyentuh wajah tampannya, meski cuma sekedar memijat bagian pelipisnya. Aku sangat bersyukur dengan hal kecil seperti itu. Memandangi wajahnya yang sempurna dengan kelopak mata yang sedang tertutup.
"Apa kamu sering memijat bundamu?"
Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku. Menyudahi keheningan yang terjadi.
"I-iya pak. Lumayan sering. A-apa.. pijitan saya tidak enak?" tanyaku terputus-putus sedikit kekhawatiran dan takut.
"Lumayan enak."
Melihat raut wajah yang semakin rileks. Sepertinya Pak Nando menikmati tiap pijatan yang aku lakukan.
"Pak.. maaf, bisa menoleh ke samping? Saya akan memijat bagian tengkuk leher Pak Nando."
"...."
Dalam diam, ia pun menuruti permintaan ku. Kini wajahnya menghadap ke perutku. Aku melanjutkan memijat tengkuk leher dan bagian belakang kepalanya.
"Ahh... lucunya. Seperti anak kecil yang polos dan penurut." dalam pikirku sambil ku tersenyum.
Sniff... sniff... sniff...
Aku mengendus-endus kan hidungku. Mencium bau wangi yang sedari awal mengusik hidungku. Bau wangi yang pernah ku kenal dan sangat familiar.
Sniff... sniff... sniff...
Aku masih mengendus bau wangi itu. Kepala ku turunkan ke atas dada Pak Nando. Tetap mengendus bagian itu seperti anjing pelacak yang menemukan tempat yang ia tuju.
" Hei... hei... apa yang kamu lakukan."
Ocehan Pak Nando yang aku dengar, tapi tak ku hiraukan. Aku masih mengingat-ingat bau yang familiar ini. Wangi yang sangat menyegarkan dan menenangkan. Wangi yang sangat menarik perhatian, dan membuat orang akan merasa seakan-akan jatuh cinta pada wangi itu sendiri.
"Hmmm... wangi ini... ini bau.." aku menghentikan perkataan ku, mengingat-ingat wangi apa itu.
"Ahh... Wangi orange sanguine. Atelier orange sanguine." kataku yang menegaskan bagian kalimat akhir yang aku ucapkan.
Dengan cepat Pak Nando memutar kepalanya, yang semula menghadap ke perutku, kini menghadap ke atas. Tangan kiriku masih memegang rambutnya. Sedangkan tangan kananku memegang lehernya. Mata kita saling bertemu pandang.
"Wahh.. Bagaimana kamu bisa tau?" tanyanya dengan sedikit kaget.
"Hidung saya sedikit sensitif dengan aroma yang pernah saya tau. Dulu saya pernah menghadiri acara yang diadakan oleh atelier cologne di salah satu mall besar di Surabaya. Lalu mencoba sampel-sampel parfumnya. Dari sekian banyak macam sampel, saya lebih suka aroma dari pomelo paradise dan orange sanguine."
Aku menjelaskan dengan panjang lebar. Dalam hatiku, aku berkata, "Wah... beneran pake atelier cologne. Harganya untuk 200 ml saja sudah mencapai 2,5 jutaan. Uang segitu, bagiku mending buat ngasih makan cacing di perut. Orang banyak uang bebas, beli apapun bisa tanpa harus pikir-pikir."
"Kayak anjing pencari dong? Lucunya anjing kecil." Dia menggodaku sambil terkekeh kecil.
Dalam pikirku, "Rupanya Pak Nando bisa tertawa juga. Biasanya wajahnya serius tanpa ada senyum di bibirnya. Ternyata senyumnya manis juga."
"Pak, kok saya di samakan dengan anjing?" protesku dengan bibir sedikit manyun.
"Kan.. penciuman kamu sangat sensitif. Anjing kan juga punya penciuman yang seperti itu." Kekehannya pun semakin menjadi-jadi.
"Yaa.. jangan di samakan dengan hewan juga pak!! Saya ini masih manusia, cuma punya sedikit keistimewaan." kataku sambil menggerutu.
Sambil menyeka air di matanya karena tertawa, dia berkata: "Maaf.. maaf..cuma bercanda."
Aku hanya terdiam, menatap matanya dan memberikan dia senyum tulus yang ku punya. Tak pernah ku masukkan ke dalam hati, sebuah gurauan. Aku bisa membedakan perkataan yang sungguh-sungguh dan perkataan yang cuma sekedar bercandaan belaka.
Tanpa aku sadari, entah sejak kapan tangan kiriku mengelus-elus kepala dan memainkan rambut halusnya. Sedangkan tangan kananku sedang bertumpu pada dadanya yang bidang, dan jari-jari ku sedang mengelus-elus lehernya. Hingga ucapan yang keluar dari bibirnya yang tipis, menyadarkan ku.
"Mmm.. Vin!! Apa mijatnya sudah selesai?"
Secara refleks, aku mengangkat kedua tanganku. Membebaskan mereka dari apa yang mereka lakukan tanpa kusadari.
"Eh.. i-iya pak, sudah selesai." jawab ku dengan gugup dan masih sedikit kaget.
Aku membantu mengangkat dan mendorong kepalanya, ketika Pak Nando sedang berusaha untuk bangun.
"Emmm.. bagaima dengan sakit kepalanya pak?"
"Yah.. agak mendingan daripada tadi. Terima kasih, ya."
"Sama-sama pak!! Kalau bapak sedang capek dan ingin dipijat, bapak bisa memanggil saya. Dengan suka rela akan saya lakukan." Dengan jeda sebentar dan gerak-gerik ku yang salah tingkah, aku melanjutkan perkataanku. "Kalau begitu saya balik kerja dulu pak. Silahkan dimakan makanannya, keburu dingin."
"Iya, baiklah." jawabnya dengan sedikit malas dan membelakangiku.
"Kalau begitu saya permisi dulu pak."
Aku berdiri dan bergegas keluar dari ruangan ini.
.
.
*****