Hujan di luar sedikit mereda. Aku masih terdiam seperti orang bodoh. Kilatan petir dan suara guntur menyadarkanku.
Aku berjalan dengan tertunduk. Mencoba memahami apa yang dikatakan orang tadi. Semakin aku pikir-pikir, malah semakin aku tak mengerti. Sebenarnya apa yang dikatakannya itu membuat kepala pusing. Apa sebelumnya kita pernah ketemu ya?
"Hei..!! Kenapa lagi? Lagi mikirin apa? Kok jalannya lesu?"
"Sini duduk, kalau ada yang mau di omongin." kata Andi sambil menepuk kursi di sebelahnya.
"Ahh.. nggak.. cuma lagi kepikiran perkataan orang aneh barusan." kataku sambil duduk di sebelah Andi.
"Orang aneh siapa?"
"Orang aneh yang barusan ke atas mau ketemu sama Pak Nando. Apa kakak kenal dia?"
"Ya kenal, semua yang kerja di sini kenal sama dia. Namanya Arditto Mahendra Wirawan. Dia sepupu dari Pak Nando." Dia terdiam sebentar kemudian melanjutkan. "Memangnya ada apa dengan Kak Ditto?" tanyanya penasaran.
"Dia orangnya aneh gak sih?" tanyaku dengan serius.
"Hahaha... aneh? Emang kamu diapakan sama dia?" tawa Andi sedikit mengejek.
Karena tertawanya sedikit keras, Kak Dimas dan Kak Vendi yang semula berada di dapur keluar bebarengan. Mereka mendekati kami dan duduk di sebelah kami.
"Nertawain apa kamu, Ndi?" tanya Kak Dimas.
"Ini loh.. sepertinya Davin digodain sama Kak Ditto."
"Hahahaha..." semua tertawa bersamaan. Sedangkan cuma terheran, apanya yang lucu dari itu?.
"Gimana.. gimana..? Cerita dong, kamu di apakan?" Tanya Kak Dimas dengan sedikit menahan tertawa.
"Tadi tuh.. Waktu aku memayunginya, sepertinya dia dengan sengaja merangkulku dengan satu tangannya. Dengan dalih supaya aku gak kehujanan. Menurutku sih mungkin wajar kalau orang mengatakan untuk sedikit menengah. Tapi kan gak harus merangkul juga kan? Apa dia orang yang aneh begitu? Apa cuma aku yang berlebihan?"
"...." semua hanya diam mendengarkan ceritaku.
"Terus, yang membuatku lebih berfikiran kalau dia orang yang aneh, saat dia memegang wajahku. Terus dia berkata kalau wajahku ini familiar dan menarik. Begitu katanya!! Menurut kalian normal gak sih, orang baru pertama ketemu terus sentuh-sentuh?" tanyaku memasang wajah yang polos.
"Hahaha." semua tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku.
"Eheeemm... rupanya ada yang sedang ditaksir Kak Ditto nih." kata Kak Vendi.
Seketika itu tertawa mereka kembali pecah. Aku hanya mengernyitkan dahi melihat mereka menertawakanku.
"Heh? Kok jadi ditaksir? Memangnya dia suka sama cowok?" tanyaku heran.
"Iya, dia memang gay. Semua orang disini tahu kalau dia itu gay. Bahkan keluarganya dan teman-teman dekatnya juga tahu itu." kata Kak Andi.
"Hah..?"
Aku kaget dengan pernyataan dari Kak Andi. Banyak pertanyaan muncul dalam pikiranku. Kok bisa?. Apa dia tidak takut dengan omongan orang?. Bagaimana dengan perasaan orangtua dan keluarga besarnya?. Semua pertanyaan semacam itu memenuhi pikiran ku.
"Apa kalian yakin kalau dia gay? bukan cuma sekedar rumor?" tanyaku yang masih tidak percaya.
"Tentu saja. Tak jarang Kak Ditto membawa pasangan gay nya kemari. Bermesraan tanpa memperdulikan sekitarnya. Tapi, pasangan gay nya tidak hanya satu, melainkan banyak dan gonta-ganti pasangan." Kata Kak Andi.
"Oh, begitu!!"
Dalam lubuk hati yang paling dalam, aku menyayangkan kalau hal itu benar. Dengan paras rupawan, tubuh yang ideal dan kemapanan hidupnya. Seharusnya banyak wanita yang akan tertarik sama dia. Postur tubuhnya tidak jauh beda dengan Pak Nando. Hanya saja wajahnya terlihat lebih muda dari usia nya.
Pantas saja banyak cowok yang terpikat dengan pesonanya. Tapi tak seharusnya juga dia memakai parasnya untuk gonta-ganti pasangan sana-sini.
Seandainya, aku juga bisa seperti dia. Mungkin beban hati ini akan sedikit berkurang. Aku ingin semua bisa menerima ku yang seperti ini. Seperti orang lain, aku juga ingin bisa menunjukkan pada semua orang. Aku ingin mencintai dan dicintai. Dicintai dengan sewajarnya.
Tapi itu semua hanya sekedar keinginan belaka. Pada kenyataannya, aku sangat takut dengan apa yang orang pikirkan terhadapku.
Hujan di luar yang mulai berhenti, menyisakan rintik-rintik hujan kecil. Beberapa pembeli mulai berdatangan. Meminum secangkir kopi memang pas untuk hari yang dingin. Kedatangan mereka mengakhiri perbincangan kami. Semua kembali ke tempat masing-masing.
*****
Jam menunjukkan pukul 19:50. Aku sedang membersihkan meja, lumayan melelahkan. Hari ini lumayan banyak pembeli setelah hujan reda. Aku meregangkan tubuh sambil menguap dan ku tutupi dengan tanganku.
Di tangga aku melihat Pak Nando bersama Kak Ditto sedang turun. Aku memperhatikan wajah Pak Nando yang sedikit terlihat pucat dan mereka berjalan mendekat.
"Pak, bagaimana keadaan bapak?" tanyaku khawatir karena terlihat lemas dan pucat.
"Lumayan baik, terima kasih ya sudah memijatku tadi." jawabnya dengan wajah datar tanpa ekspresi.
"Hei... hei...!! Aku juga ada disini. Apa kamu tidak mau menyapaku?" sambil mengayunkan tangannya menghalangi pandanganku yang sedang melihat Pak Nando.
"Ohh.. tentu pak!! Saya masih ingat dengan bapak. Kan baru beberapa jam tadi ketemu."
"Kok masih panggil bapak?"
"Terus panggil apa pak? Saya kan tidak tahu nama bapak." Aku berpura-pura tidak tahu.
"Oh iya, lupa. Tadi aku belum memberi tahu namaku ya!" katanya sambil memegang dagunya sedikit mendongak keatas.
"Namaku Arditto Mahendra Wirawan. Aku kakak sepupunya Nando. Panggil aku Kak Ditto saja,ya!! Jangan bapak lagi!! Oke?" katanya sambil menepuk tangan kiriku.
"Sudah.. sudah..!! Kenalannya sampai disini saja. Ayo cepat antar aku pulang." kata Pak Nando sambil melingkarkan tangan ke leher Kak Ditto dan menggeretnnya.
"Tunggu!! Tunggu sebentar!" Kak Ditto meronta ingin melepas kan diri dari tangan Pak Nando. Setelah melepaskan diri, dia melanjutkan ucapannya dan menoleh ke arahku. "Boleh minta nomor WA kamu?" sambil menyodorkan HP nya padaku.
"Ehh.. buat apa pak?"
"Lhaa.. kok panggil bapak lagi?"
"Oh iya kak! Maaf belum terbiasa manggil Kak Ditto."
"Ayo... ayo cepat! Tuliskan nomor kamu. Tuanmu nanti marah-marah kalau lebih lama lagi." katanya dengan sedikit memaksaku.
Aku mengarahkan pandanganku ke Pak Nando. Aku harap Pak Nando mau membantuku memberikan jawaban. Apa aku harus memberikan nomorku apa tidak. Mata kita saling beradu, 5api yang kulihat dari matanya tidak dapat ku artikan.
Tatapan yang dingin dan dalam. Dalam batinku, tolong bantu aku apa yang harus aku lakukan, berikan aku sedikit tanda atau sebuah isyarat. Tapi apa yang aku harapkan?. Tatapan mata itu melihatku tanpa sebuah arti. Memang aku siapa?. Aku bukan orang penting yang spesial. Aku harus memutuskan dengan cepat. Supaya Kak Ditto cepat pergi dan tidak mengganggu aku yang sedang bekerja.
"Jadi bagaimana? Di beri apa tidak? Kok malah bengong?"
"...." Aku hanya diam dan memandangi hp yang disodorkan padaku. Aku mengambilnya dan mengetikkan nomorku.
"Terimakasih, manis!!" katanya sambil mencubit pipiku dengan lembut.
"Sudah... Ayo cepat!!" Pak Nando menarik-narik tangan Kak Ditto.
"Kamu ini kenapa sih? Mengganggu orang flirting saja!! Gak biasanya kamu gini?"
Wajah Pak Nando kini terlihat merah padam. Sepertinya dia sedikit menahan amarahnya.
"Baiklah.. Baiklah..!! Ayo kita pulang!" kata Kak Ditto yang sedikit takut setelah melihat wajah Pak Nando. Kemudian dia menolehkan pandangannya kepadaku. "Nanti aku chat ya!!" katanya sambil tersenyum padaku.
Dan mereka pun berjalan keluar. Dari balik pintu kaca aku dapat melihat, sekilas Pak Nando menoleh ke belakang melihatku. Kemudian mereka menghilang dari pandanganku.
Dari tatapannya, aku dapat melihat sebuah kekecewaan. Apa dia kecewa kepadaku?. Kecewa dengan kepuasan ku?. Tapi kenapa?. Semua pertanyaan itu berputar dalam otakku.
.
.
.
*****