Waktu untuk istirahat telah usai. Matahari yang tinggi di atas langit, tegak lurus dengan permukaan bumi. Kini mencondongkan dirinya ke ufuk barat.
Daun-daun kering yang berguguran, tersapu angin lembab yang menyegarkan. Meninggalkan ranting-ranting pohon tempatnya bermula.
Rintik-rintik hujan mulai berjatuhan, membasahi bumi yang kering. Semerbak aroma tanah yang mulai basah. Sungguh menyegarkan.
Untuk pertama kali, air hujan berjatuhan di awal bulan Februari. Meskipun cahaya senja matahari sangat terlihat jelas. Mendung juga tidak terlalu rapat, tapi ia menjatuhkan semua isinya.
Aku menengadahkan tanganku ke atas. Menampung, mengumpulkan beberapa tetesan air hujan yang berjatuhan. Untung saja sore ini cafe tidak ada pelanggan. Sehingga aku bisa bersantai di depan cafe bermain dengan air hujan.
Ingin sekali aku kembali ke masa lalu. Bermain hujan-hujanan di waktu aku masih kecil. Berlarian, bercanda, tertawa bersama teman-teman sebayaku.
Sepertinya, sangat menyenangkan bila harus menjadi anak kecil terus. Masih polos belum tahu apa-apa. Tanpa masalah, tanpa beban, tanpa harus merasakan kerasnya kehidupan. Belum mengerti apa itu cinta, apa itu pacaran, dan apa itu sakit hati. Hanya ada keceriaan dan kebahagiaan.
Hujan ini pula, yang sekarang mengingatkanku kepada cinta pertamaku, atau mungkin idola pertamaku, atau mungkin pahlawan dalam hidupku. Entahlah, aku sendiri juga belum tau perasaanku waktu itu.
Kala hujan seperti ini, aku, dia dan teman-teman yang lain bermain ke sungai. Memanjat pohon di pinggir sungai dan kemudian meloncat ke dalam sungai. Ketika giliranku tiba, aku terpeleset jatuh ke tanah, lalu tercebur ke sungai. Dengan kaki yang terasa sakit, aku tak mampu untuk berenang. Air sungai yang sedikit deras, menyeretku dan membuatku timbul tenggelam. Hanya dia yang berani menceburkan diri menolongku.
Hujan masih mengguyur dengan derasnya. Menyembunyikan air mataku yang menetes menahan sakit. Kakiku bengkak, tak bisa dipakai untuk berjalan. Tanpa kata dan aba-aba, dia membungkuk di hadapanku.
"Ayo naik. Aku gendong kamu pulang."
Aku meraih punggungnya yang lebar dan menaikinya. Dia menggendongku dengan hati-hati. Padahal jarak untuk sampai di rumah lumayan jauh. Isakan tangis kecilku terdengar di telinganya.
"Apakah sangat sakit?" tanyanya sambil menoleh melihat wajahku.
"...." Aku cuma menganggukkan kepala.
"Gapapa, menangislah kalau memang sangat sakit. Laki-laki juga diperbolehkan untuk menangis. Semua orang pasti juga pernah menangis." Ucapnya untuk menghiburku.
"A-apa tidak berat? A-apa tidak capek?" tanyaku sambil terisak.
"Tenang saja, aku kuat. Aku lebih tua darimu dan lebih besar. Kamu seperti adikku sendiri. Dan sudah sewajarnya sebagai kakak menjaga adiknya." Dia berkata seperti itu sambil tersenyum.
Mendengar ucapannya itu, tanganku merangkul semakin erat. Karena dia dari dulu ingin mempunyai seorang adik, begitupun aku sebaliknya. Dari kecil dia dititipkan di rumahku. Karena kedua orangtuanya sibuk bekerja. Jadi kita selalu bersama-sama. Sampai peristiwa di waktu kita SMA terjadi.
Andai waktu bisa ku putar ulang, ingin sekali ku tarik semua ucapanku dulu. Memperbaiki kesalahan dan kebodohanku. Meski ada rasa sakit hati yang ku rasa saat mengenang masa lalu. Tapi, tidak dapat ku pungkiri bahwa terkadang masih ada rasa kangen terhadapnya. Kita tak pernah ketemu semenjak dia kuliah dan sekarang bekerja di Jakarta. Meskipun sesekali dia pulang, aku lebih memilih untuk menghindarinya, dan tidak pernah keluar dari rumah jikalau aku tahu dia sedang pulang.
Masih dengan menadahkan tanganku kepada sang hujan. Sebuah mobil hitam mewah masuk ke parkiran, membuat lamunanku buyar seketika. Pintu mobil itu terbuka, memperlihatkan sang pengemudi. Tepat di hadapanku saat ini, pengemudi itu meneriaki ku.
"Mas..! Tolong dong ambilkan payung."
"Iya.. tunggu sebentar pak! Akan saya ambilkan." jawabku kemudian masuk ke dalam.
*****
Aku membuka payung yang tidak terlalu besar. Sayangnya, hanya ada satu payung yang tersedia. Mungkin agak sedikit berdesakan kalau untuk berdua. Aku menghampiri ke samping mobilnya.
"Pak, maaf cuma ada satu payung saja."
"Iya gapapa. Kita berbagi payung saja." katanya sambil mengambil berkas-berkas dan tasnya dari kursi belakang. Setelah keluar dan menutup pintu mobilnya, dia berkata, "Ayo kita jalan!"
"Baik pak."
"Tangan kirimu kehujanan. Sini agak menengah, nanti kamu sakit kalo hujan-hujanan." katanya sambil meraih lengan kiriku dan menarikku mendekat ke arahnya. Rasanya seperti mendekapku.
"Eh.. b-baik pak!"
Aku sedikit merasa canggung dengan suasana ini. Aku masih merasa aneh saja, karena dia tidak melepaskan dekapannya. Ini baru pertama kali juga bagiku, diperlakukan seperti ini oleh orang yang baru saja aku temui. Mungkin ini normal. Pikirku.
Sampai di depan pintu berkata, "Terima kasih ya untuk ojek payungnya." sambil tersenyum melihatku.
"Ojek payung?" tanyaku heran.
"Haha.. cuma bercanda." dia menertawakanku.
"Ohh.. apa kamu karyawan baru disini? Tadi aku gak sempat memperhatikanmu. Aku kira kamu karyawan lama."
"Iya, pak! saya baru bekerja disini baru 3 hari."
"Hemm.. Siapa namamu?"
"Davin, pak!"
"Ahh jangan panggil bapak lah.. Sepertinya umur kita tidak berbeda jauh. Apa aku terlihat seperti bapak-bapak dimatamu?" tanyanya dengan sedikit memajukan wajahnya ke arahku.
"Ahh.. maaf pak.. maaf. Saya tidak bermaksud begitu." kataku sambil sedikit membungkukkan setengah badan ku.
"Hahaha.. Cuma bercanda. Sudah.. sudah jangan membungkuk lagi. Berapa usiamu?"
"Jalan 23, pak! Oktober tahun ini."
"Yahh.. kok panggil pak lagi? Umurku baru 27, tidak beda jauh kan. Jadi jangan panggil pak lagi. Panggil kakak saja, oke..?"
"Ahh.. Emmm..." aku tak bisa menjawab pertanyaan itu. Karena tentu saja masih terdengar aneh dan asing. Toh kita baru kali ini bertemu. Aku rasa kurang sopan kalau aku sok akrab dengan orang baru dengan memanggilnya kakak.
Dia terlihat sedang berpikir.
"Kamu bentar lagi umur 23, kayaknya kalian seumuran." gumamnya pada dirinya sendiri.
Aku mendengar gumaman nya itu. Aku tidak mengerti dengan perkataannya. Siapa yang dimaksud dengan kalian?. Apa maksudnya aku?. Tapi dengan siapa?.
"Ehh.. Kenapa pak?" tanyaku untuk memastikan ucapannya.
"Mmm.. Bukan apa-apa. Lupakan."
"Apa Nandonya ada?"
"Oh.. Pak Nando ada di ruangannya pak!! Tadi dia terlihat kurang sehat hari ini."
"Hemm.. Begitu ya." Dia menundukkan wajahnya. Ada sedikit kekhawatiran tergambar pada wajahnya. Dengan jeda sebentar dia melanjutkan perkataannya dan memegang wajahku.
"Apa karena wajah ini? Hemm.. Wajah yang familiar. Menarik. Akan aku tanyakan langsung ke Nando"
"Ehhh...?" tanyaku yang masih heran dan kurang mengerti dengan apa yang dia ucapkan barusan.
Dia melepaskan tangannya dari wajahku, berbalik dan meraih gagang pintu. Sebelum dia membuka pintu, dia menoleh kembali padaku.
"Sampai jumpa lagi nanti ya!! Dan...!! Nanti jangan panggil aku bapak lagi. Panggil saja aku kakak. Mengerti?!!" Dia menyelesaikan perkataannya sambil tersenyum kepadaku. Membalikkan wajahnya dan kemudian masuk ke dalam. Dari kaca pintu, aku bisa melihatnya menaiki tangga menuju ke ruangan Pak Nando.
Aku masih terdiam dan terpaku. Mencoba mencerna maksud dari perkataan orang tersebut. Tapi itu hanya sia-sia. Karena aku tidak mengerti sama sekali maksud dari ucapannya.
.
.
*****