Wajahku masih tetap menunduk. Memikirkan semua kenyataan bahwa perasaan ini adalah sebuah kesalahan. Dilihat dari segi manapun, tidak akan ada dalil yang akan membenarkan. Yang bisa membenarkan hanya pemikiran dari diri sendiri.
"Apa yang kalian berdua obrolkan? Kok sepertinya seru?" tanya Andi sambil duduk di sebelahku.
"Kami sedang membicarakan tentang orang yang di meja nomor 5. Yang kamu antar tadi pesanannya." kata Dwiki.
"Memang tentang apa,sih?" tanya Andi sambil menoleh ke arah meja nomor 5.
"Mmm.. itu.. tadi si Davin tanya ke aku, apa mereka itu sepasang kekasih?. Dia minta pendapatku tentang mereka.. Gitu ceritanya."
"Oh.. gitu. Kalo menurutku sih memang mereka pacaran, deh. Tadi waktu aku nganterin makanan, mereka sedang bergandengan tangan. Waktu aku datang, mereka cepat-cepat melepaskan tangan mereka." Andi memberi jeda sebentar, kemudian melanjutkan. "Terus.. terus... apalagi?" tanya Andi dengan antusias.
"Ya.. tadi Davin minta pendapatku, kalau misalkan ada teman atau keluargaku yang seperti mereka, apa yang akan aku lakukan." kata kak Dwiki.
"Kalau aku sih gak masalahin, toh itu hidup mereka. Tapi kalau ada keluargaku yang seperti itu, aku tidak bisa terima." lanjutnya
"Ohh. Kamu gak ingin minta pendapatku, Vin?" tanya Andi sambil melihatku yang masih menunduk.
Aku masih menunduk. Tak mendengarkan apa saja yang mereka berdua katakan. Pikiranku masih sangat kacau. Jika masih banyak orang yang memandang sebelah mata tentang perasaan ini. Mengapa Tuhan menciptakan rasa ini padaku?. Kenapa aku harus memiliki perasaan terhadap laki-laki?. Kenapa harus aku?. Kenapa bukan orang lain saja?.
Batinku serasa bergejolak. Rasa marah, rasa jijik pada diri sendiri, rasa bersalah telah memiliki perasaan ini. Semua bercampur aduk menjadi satu. Ingin rasanya berteriak sekeras mungkin. Tuhan, kenapa aku berbeda?. Batin ini terasa sesak sekali. Memuakkan.
"Hei.. kenapa cuma diam melamun?" tanya Kak Dwiki sambil menepuk pundakku.
Tepukan itu menyadarkanku dari lamunanku. Membawaku kembali ke dunia yang nyata ini. Dunia yang sangat kejam terhadapku. Dunia yang sangat menyesakkan batinku untuk saat ini.
"Eh.. maaf kak. Ada apa ya kak?" tanyaku pada Kak Dwiki.
"Isssh.. kamu ini ngelamun saja. Tuh Andi tanya padamu. Apa kamu tidak ingin tahu pendapatnya?"
Aku memutar badanku, menghadapkan pandangan ku di depan Kak Andi.
"Hmm.. bagaimana menurut Kak Andi?" tanyaku sedikit malas, seolah-olah aku tahu jawaban yang akan diucapkannya.
"Kalau aku sih tidak jauh dengan yang diucapkan Dwiki. Entah itu teman atau keluarga. Aku gak masalah. Karena itu perasaan mereka. Aku ataupun orang lain tidak seharusnya mencampuri urusan mereka." Dia berhenti berkata sebentar kemudian melanjutkan.
"Hanya saja, aku akan bilang pada teman atau keluargaku. Kalau itu perasaan yang salah. Aku akan menyuruh mereka berpikir dahulu sebelum memutuskan. Karena pada dasarnya, itu bukanlah kodrat laki-laki menyukai sesamanya. Pemikiran siapapun, atau hal apapun yang akan membenarkan. Tetap saja perasaan yang seperti itu adalah suatu hal yang salah. perasaan itu menyalahi kodratnya."
Ucapannya yang panjang dan jelas itu, membuatku tertunduk untuk kedua kalinya.
"Mmm.. rasa yang salah ya!" gumamku pada diri sendiri.
Cekling...
Suara notifikasi HP Kak Dwiki mengakhiri obrolan kita. Kak Dwiki melihat HP nya. Sepertinya itu pesan WhatsApp dari Pak Nando.
"Pesan dari Pak Nando, katanya minta dianterin chicken teriyaki dan mochachino." Dia berhenti bicara dan melihatku, kemudian melanjutkan perkataannya.
"Vin, nanti tolong antar ke Pak Nando ya!"
"Baik, kak." jawabku tak bersemangat dengan wajah datar.
"Dim, tolong buatkan Pak Nando chicken teriyaki sama French fries." kata Kak Dwiki dari lubang dinding ke arah dapur. Sedangkan dia langsung meracik kopi.
Aku dan Kak Andi berdiri bebarengan. Aku putuskan menyibukan diri supaya tidak terlalu kalut dengan pikiranku.
Aku mengambil piring dan cangkir dari meja yang sudah ditinggalkan oleh pengunjung.
*****
Berselang beberapa menit, Kak Dwiki memanggilku.
"Vin, pesanan Pak Nando sudah siap. Tolong antar ke atas."
"Oke siap."
Aku mengambil pesanan itu dan menuju anak tangga. Menaiki anak tangga itu sambil membatin. Di dalam batinku aku berkata, "Jika memang ini perasaan yang salah, bagaimana aku menghadapinya? Sedangkan jika aku bertemu Pak Nando, jantungku berdegup kencang tak beraturan."
Sudah sangat lama aku tidak merasakan jantungku seperti ini. Ini kali kedua setelah perasaanku terhadap kakak kelas ku dulu waktu SMA. Kenapa harus terjadi lagi yang seperti ini. Perasaanku yang menyukai orang yang jelas-jelas bukan seorang gay. Yang aku tahu, aku bakal menjadi satu-satunya orang yang akan sakit hati nantinya.
Aku benci cinta yang bertepuk sebelah tangan ini. Hanya dengan memikirkan hal ini, memori-memori lama bermunculan dalam otakku. Memori lama yang aku kubur dalam-dalam, kini seakan-akan diputar langsung di depan mataku.
Momen dimana untuk pertama kalinya aku mengutarakan perasaanku kepada seseorang. Yahh, orang itu tak lain adalah kakak kelasku, yang juga tetanggaku.
Sekitar 6 tahun yang lalu. Aku yang masih duduk di kelas 2 SMA. Saat itu di waktu pulang sekolah, aku pulang bebarengan dengan Zaki, tetangga yang aku sukai. Di sebuah gang sepi, aku melihat Zaki berada di depanku. Aku berlari untuk menyamai langkahnya. Aku menyapanya dan memulai pembicaraan untuk berbasa-basi. Entah apa yang membisiki ku, hingga keluar keberanian untuk mengutarakan perasaanku.
"Emm... a-apa a-aku boleh ngomong sesuatu?" dengan terbata-bata aku memberanikan diri bertanya
"Iya, boleh."
"Mungkin ini akan terdengar aneh bagimu. Aku juga tidak sejak kapan ini dimulai. Aku rasa aku menyukaimu, tapi..."
Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku. Dia mendorong tubuhku ke dinding sebuah rumah.
Bruuuk...
Suara tubuhku menghantam dinding, dan kepalaku juga terbentur sedikit keras.
"Aww..." aku mengerang sedikit menahan rasa sakit
Aku melihat wajahnya, sekelebat terlihat kilatan merah pada matanya. Seketika itu, dia memegangi pundakku dengan kedua tangannya. Mencengkeramku dengan keras. Aku tertunduk tak bisa melihat wajahnya yang sedang memerah penuh amarah.
"Apa katamu tadi, coba ulangi?"
"...." aku hanya bisa tertunduk terdiam. Sedangkan mataku mulai mengeluarkan air yang tidak sampai terjatuh. Hanya berkaca-kaca.
"Hei, jan**k!! Bicara..!! Jangan cuma diam.
Sakit. Hatiku sakit. Sangat sakit seperti terpecah berkeping-keping. Aku cuma bisa menunduk menahan rasa sakit. Bibir ini seakan terkunci rapat-rapat.
Dia melepas cengkeramannya.
" Hei, orang homo. Enyahlah dari pandanganku. Jangan berbicara atau hadir di depan wajahku. Dasar, hewan menjijikkan." dengan ucapan kasarnya dia pergi begitu saja.
Kaki ini lemas, seakan tak bisa menopang tubuhku. Aku terjatuh dan memegangi dadaku.
"Ahhh... huhuhuu.. ahhh..."
Tangisku pun pecah. Air mata yang sedari tadi aku tahan. Kini bendungannya pun tak kuat ku tahan. Air mata yang mengalir deras, berjatuhan layaknya air terjun.
Hati ini sangat sakit. Aku remas dadaku. Ini benar-benar sangat menyakitkan. Dalam batinku aku berkata, "Aku belum menyelesaikan perkataanku. Aku sendiri belum yakin, apakah ini rasa suka atau sekedar mengagumi." Masih dengan isak tangis yang berlanjut. Yah, benar apa yang dikatakannya. Aku hewan yang menjijikkan. Menjijikkan.
Berhari-hari aku mencoba menyapanya saat bertemu. Tapi dia hanya mengacungkan jari tengahnya. Sampai berminggu-minggu aku tetap mencoba. Dia hanya diam menganggapku tak ada. Memang sangat menyesakkan. Tapi ku putuskan untuk melupakannya, dan menghiraukan dirinya.
Tanpa sadar, kini langkahku sudah di penghujung pintu kantor Pak Nando.
.
.
.
*****