Sudah 3 hari aku bekerja disini. Tubuhku mulai terbiasa dengan pekerjaanku. Di siang hari, banyak pengunjung dari kalangan mahasiswa. Mengerjakan tugas bareng, ada yang cuma sekedar nongkrong bercanda bersama, bahkan ada pula yang sedang berpacaran.
Hal itu membuatku sedikit iri dengan mereka. Enaknya kalau aku bisa seperti mereka. Bisa berdiskusi tentang tugas-tugas. Jalan bareng dengan banyak teman. Mendapat banyak ilmu yang tidak ada di bangku sekolah. Pikirku.
Aku duduk di depan front desk dan menunggu Kak Dwiki menyelesaikan membuat pesanan kopi. Mataku sedang tertuju ke arah meja dengan nomor 5. Meja yang nantinya akan aku tuju itu. Terdapat 2 Orang laki-laki yang sedang duduk berhadapan. Dari cara mereka bercanda dan mata mereka saling bertatapan satu sama lain, membuatku yakin bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Yang 1 berperawakan kurus, berkulit putih bersih, tapi dari gestur tubuhnya sedikit feminim. Itu salah satu yang membuatku yakin kalo mereka adalah pasangan gay. Cowok yang lain berbadan fit, berkulit sawo matang, dan kelihatan sangat manly. Seandainya saja dia tidak bersama pasangannya, aku pun tidak akan tau kalau dia seorang penyuka sesama jenis. Karena dari segi look dan gerak tubuhnya, sama sekali tidak terlihat kalau dia gay. Sangat terlihat sebagai lelaki normal.
" Nih pesanan dari meja nomor 5."
Suara itu sontak membuatku mengalihkan dengan cepat pandanganku, menuju sumber suara itu. Rupanya Kak Dwiki telah selesai membuat kopi.
" Sudah selesai ya, Kak? Aku antar dulu minuman ini."
Langkahku menuju ke arah mereka. Dari kejauhan, mereka tetap bersenda gurau. Tatapan mereka saling beradu, mengisyaratkan cinta mereka yang bergelora. Tangan mereka saling berpegangan, penuh dengan kemesraan. Tawa mereka yang beriringan, menandakan hubungan mereka yang harmonis.
Andaikan aku juga memiliki pasangan, aku juga ingin seperti mereka. Merasakan sweetness nya dari sebuah hubungan percintaan.
Cinta. Cinta memang hal yang abstrak dan sulit dilukiskan lewat untaian kata. Cinta hanya bisa dirasakan, tapi tak bisa dipegang, dilihat, maupun didengar. Cinta juga tidak pernah memandang fisik, agama, ras, harta ataupun tahta. Tidak memandang baik buruknya, kaya miskinnya, laki-laki maupun perempuan. Ia datang tanpa diundang, tak diketahui kapan kedatangannya. Cinta datang dengan sendirinya di waktu yang tepat, pada orang yang tepat pula. Banyak pakar dan novelis menggambarkan apa itu cinta.
" TIDAK ADA SEORANGPUN MENCINTAI PASANGANNYA KARENA IA TAMPAN/CANTIK ATAU JELEK, JUGA BODOH ATAU PINTAR. KITA SEMUA MENCINTAI KARENA PERASAAN ITU SENDIRI." - Honore de Balzac. Novelis asal Prancis.
Tangan mereka saling melepaskan genggamannya. Rupanya mereka sadar akan kedatanganku.
" Permisi kak, ini pesanan minumannya. 1 lychee squash ice, dan 1 latte macchiato. Untuk pesanan makanannya, harap di tunggu beberapa menit lagi. Silahkan dinikmati." kataku kemudian meninggalkan mereka.
Aku kembali ke tempat dudukku semula. Mata ini tak berhentinya memandangi mereka. Senyumku tak tertahan ketika salah satu dari mereka menyentuh kepala yang lain, dan mengusapnya dengan lembut. Hatiku sangat iri melihat momen yang kulihat saat itu. Hmm romantisnya, pikirku dengan senyum di bibirku.
Braak...
Suara gebrakan itu mengagetkanku. Meskipun tidak terlalu keras, tapi tetap saja. Ku tolehkan pandangan ke arah yang mendobrak meja. Sambil mengernyitkan dahiku, kulihat wajah Kak Dwiki yang penasaran denganku.
"Hey senyum-senyum sendiri, lihat apaan sih?" tanya Kak Dwiki sambil menujukan pandangannya ke arah yang sama denganku.
"Nggak, cm sedang melihat yang di meja nomor 5. Menurut kakak, apa mereka pacaran?"
"Kayaknya sih, iya. Kenapa? Kamu ingin seperti mereka?"
Layaknya petir yang menyambar langsung ke hatiku. Loh loh loh, kenapa Kak Dwiki bisa tau apa yang sedang kupikirkan? Apa dia bisa baca pikiran orang atau semacamnya?. Pikirku kacau tak jelas.
"Heiii !! kok malah bengong?" tanyanya semakin penasaran.
"Ehh.. nggak kak. Menurut kakak, bagaimana pendapat kakak tentang mereka?"
"Tentang yang mananya dulu nih?" dia memberikan jeda kemudian melanjutkan. "Tentang hubungan yang seperti mereka atau apa yang mereka lakukan saat ini?"
"Yaaah.. emm.. hubungan yang kayak gitu. Misalkan ya.. ada teman atau keluarga kakak yang seperti itu. Gimana menurut kakak?". Aku melihat wajahnya yang sedang berfikir sedikit aneh mendengar pertanyaanku. Aku melanjutkan perkataanku, takutnya Kak Dwiki berpikir macam-macam tentangku. "Ini cuma misal kak..!! Cuma misal." kataku dengan nada yang ku perjelas.
"Hmm... bagaimana ya? Pertanyaanmu sedikit sulit, karena aku belum pernah mengalaminya." kata Kak Dwiki sambil mencoba berpikir dan menopang dagunya dengan tangan kanan.
"Kalo itu orang lain, atau pun teman dekatku sendiri. Mungkin aku gak risih dengan hal itu. Toh itu hidup mereka. Mereka yang menjalani, mereka tidak mengganggu orang lain. Mereka juga gak pernah minta makan pada kita."
Dengan fokus, aku mendengarkan perkataannya. Sangat membuatku penasaran dengan kelanjutan kata-katanya. Kata apa yang akan keluar dari mulutnya yaa. Pikirku.
Dia mengambil nafas sebentar kemudian melanjutkan. "Sebagian besar orang menentang hubungan yang seperti ini. Tapi, itu bukanlah hak mereka untuk menjudge, penyimpangan orientasi seksual seseorang. Bagi pelaku gay, mungkin mereka tak bisa untuk menolak dengan apa yang mereka rasakan. Karena cinta itu tumbuh tanpa mereka sadari. Banyak pepatah bilang kalau cinta itu buta. Tidak memandang yang disukai itu sejenis atau lawan jenis."
Aku pun tersenyum lega mendengar kata-kata itu. Seperti hati ini mendapat sebuah persetujuan meski itu cuma dari satu orang saja.
Triiing... Triiing...
Suara lonceng dari dapur menandakan ada pesanan yang sudah siap diantar. Tak berselang lama, ada suara dari Kak Dimas terdengar.
"Pesanan meja nomor 5, 1 spaghetti aglio e olio, 1 spaghetti bolognese siap."
Dengan cekatan Kak Dwiki menyiapkan nampan di meja. Dan mengambil makanan dari balik dinding frontdesk yang berlubang persegi panjang, sehingga bagian dapur pun terlihat. Dia menata piring dengan rapi.
"Nih antar ke meja nomor 5."
"Siap.. laksanakan." jawabku sambil memberi hormat layaknya prajurit memberi hormat pada komandannya.
"Tunggu.. tunggu.. biar aku saja yang nganterin." Kata Kak Andi sambil sedikit berlari menghampiri kami.
"Kalian lanjutkan saja ngobrolnya." lanjutnya sambil mengangkat nampan.
Akhirnya kita pun melanjutkan pembicaraan yang tertunda.
"Terus.. terus.., kak, kelanjutannya?" tanyaku penuh antusias.
"Yaah.. kalaupun ada dari keluargaku yang gay, mungkin aku akan menentang keras. Mungkin juga bisa berbuat lebih."
"Lho.. kenapa begitu kak? Kok beda dengan apa yang kakak ucapkan tadi?" tanyaku penasaran.
"Ya.. tentu saja berbeda. Jika itu keluargaku. Aku gak mau salah satu dari mereka melakukan sesuatu yang tidak benar. Bukan hanya itu saja alasanku. Karena bagaimanapun jika ada keluargaku yang seperti itu, pastinya akan jadi omongan para tetangga. Aku gak mau kalau keluargaku di pandang remeh sebelah mata, bahkan kalau sampai diinjak-injak tanpa hormat. Pastinya aku akan sangat marah dengan hal tersebut."
Yah.. akupun tidak akan menyangkal hal itu. Memang perasaan yang seperti ini, hubungan seperti ini, kisah cinta antara sesama jenis, sangat bertolak belakang dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Begitu pula dengan agama yang sangat menentang. Bagaimanapun hal ini merupakan hal yang sangat tabu di Indonesia, yang masih menjunjung tinggi norma-norma dan masih sangat kental dengan ajaran agamanya.
Aku pun tertunduk lesu mendengar ucapan yang sangat panjang itu. Seakan hatiku tercabik karena tidak sinkronnya hati dan logika ini.
.
.
.
*****