Chereads / lover secret / Chapter 21 - Dua satu

Chapter 21 - Dua satu

Sabrina berangkat bersama Kanaya dan Darren saat mendapat laporan dari seseorang tentang keributan di rumah Pak Wira. Gadis itu berharap akan segera menangkap pelaku.

Kanaya begitu gugup dan bersemangat. Mereka akan menangkap orang yang telah membunuh Kayla. Tangannya berulangkali tergenggam erat tanpa sadar. Darren meraih dan menggenggam tangan wanita itu.

"Tenanglah, dia tidak akan lolos kali ini!" ucap detektif muda itu. Kanaya hanya mengangguk. Beberapa hari ini, hubungan dia dan Darren semakin akrab. Pria muda itu juga menemani dia ke pernikahan Adrian. Meski begitu, Kanaya tidak ingin terburu-buru. Ia masih ragu untuk membuka hati kepada Darren. Ia takut hubungannya akan berakhir seperti saat bersama Adrian.

***

"Kita harus pergi dari sini!" ucap Luca, tetapi Gio menggeleng.

"Kau pergilah! Aku akan mengalihkan perhatian mereka!"

"Tidak bisa! Kita harus pergi bersama!"

"Luca, kenapa kau selalu seperti ini? Mereka bilang kau sudah berubah, tapi tidak, kau masih tetap Luca yang sama seperti kecil dulu. Kau selalu melindungiku," tukas Gio.

"Aku sekarang sudah dewasa, teman, aku bisa melindungimu dan diriku sendiri. Ini saatnya buat aku untuk melindungimu," lanjutnya.

Luca tetap menggeleng. Ia ingin mereka pergi bersama, tetapi Gio terus memaksa dia pergi, bahkan mendorongnya keluar lewat pintu belakang.

"Gio ...."

"Aku akan baik-baik saja. Mereka tidak akan bisa menangkapku. Sekarang pergilah! Jangan sampai kau tertangkap! Pikirkan tentang Reina! Dia akan sendirian jika mereka menangkapmu," tukas pemuda itu kemudian menutup pintu belakang.

Luca diam sesaat, lalu menatap sekeliling. Gio benar, dia harus segera pergi, sebelum polisi mengepung rumah itu.

***

Suara deru motor yang dikemudikan dengan kencang keluar dari garasi mengejutkan petugas. Mereka segera mengejar. Aksi kebut-kebutan tidak bisa terhindarkan. Pengemudi motor tersebut dengan gesit menyalip beberapa kendaraan lain, sementara di belakang polisi terus mengejar.

Sebuah tembakan dilepaskan oleh Kanaya tepat mengenai ban sepeda motor, sehingga selip dan terjatuh. Si pengendara juga ikut jatug ke aspal. Namun, saat petugas datang mengepung, pengendara motor tersebut sudah tidak ada.

***

"Apa yang kaulakukan?" tegur Gio sembari menatap Luca. Entah bagaimana, temannya itu bisa menyusul dan menolongnya.

"Aku tidak bisa diam saja. Mereka akan menangkapmu," sahut Luca.

Gio menggeleng. Ia kemudian melihat polisi berpencar mencarinya. Cepat atau lambat, dia dan Luca akan ditemukan.

"Mereka tidak akan bisa menangkapku. Sekarang kau pergilah!" ujarnya.

"Tapi ...."

"Tidak bisakah aku meminta sebagai teman, Lucky? Pergilah sekarang juga! Kau tidak boleh tertangkap! Jika sesuatu terjadi juga padamu, siapa yang akan membalas dendam?"

Ia kemudian bangkit berdiri.

"Bunuh Pak Wira, Luca! Balaskan dendam kita!" ujarnya kemudian berlari keluar tanpa sempat dicegah oleh Luca.

***

"Itu dia!" teriak seorang petugas sembari menunjuk ke arah Gio. Pemuda itu segera berlari. Di belakang, para petugas segera mengejar sembari mengokang senjata.

Bangunan itu nampak kosong. Gio segera berlari ke sana. Menghindar dari para pemulung dan pengemis yang menumpang bermalam. Ia terus berlari hingga mencapai tingkat teratas dari bangunan bobrok tersebut.

"Menyerahlah!" teriak Kanaya sembari menodongkan pistol.

"Kalian tidak akan bisa menangkapku!" seru Gio. "Jika kau mau membalas kematian putrimu yang menyedihkan, bunuh saja aku!"

Kanaya menggenggam pistol erat-erat sembari menahan air mata.

"Putrimu benar-benar bodoh! Dia percaya bahwa aku adalah temanmu," tukas Gio lagi sembari terbahak.

"Diam! Diam! Tutup mulutmu!" bentak Kanaya dengan air mata mengalir. Tangannya yang gemetar karena kecamuk emosi tetap memegang pistol dengan erat.

"Kanaya, jangan terpancing olehnya!" tukas Sabrina.

"Kau harus tetap tenang."

"Itu benar, kau adalah detektif. Kau tidak mungkin membunuh meski orang yang membunuh putrimu berdiri tepat di depanmu," tukas Gio sembari tersenyum mengejek.

"Cukup!" teriak Darren. "Sebaiknya kau menyerah sekarang! Kau sudah terkepung dan tidak bisa lari lagi!"

Gio menggeleng.

"Sudah kubilang, aku tidak akan tertangkap oleh kalian. Karena dia tidak mau membunuhku," ujarnya sembari menunjuk Kanaya.

"Aku akan memilih cara lain untuk mengakhiri semua ini."

"Hentikan! Jangan lakukan!" teriak Darren sembari berlari menghampiri. Namun semua terlambat. Pemuda tersebut telah melompat ke bawah.

***

Luca berdiri diam di antara keramaian. Menatap sosok yang terbaring berlumur darah. Kepala yang terpuntir ke arah yang tidak seharusnya serta tangan yang tergantung lunglai sewaktu dibawa menuju ambulans.

'Jadi inikah jalan keluar dari semua ini, Gio? Kau mengakhiri hidupmu sendiri,' tukas Luca pelan.

Ia kemudian segera berlalu sembari mengusap air mata yang mulai menetes.

***

Layar televisi tersebut masih menyala, tetapi Reina menatap kosong. Adonan kue yang masih belum selesai dia tinggalkan begitu saja.

"Reina ...," panggil Luca yang baru saja pulang dengan nada pelan, tetapi gadis itu masih bergeming.

"Reina," panggil Luca sekali lagi sembari mengguncang tubuh mungil tersebut. Tangisan kemudian pecah dan gadis itu menangis di pelukan Luca.

"A-pa ... a-pa yang terjadi? Ke-napa semua berakhir seperti ini?" ucap Reina di sela isak tangis.

"Aku tidak tahu yang terjadi, Reina, tetapi Gio bilang bukan dia pelakunya, dan aku percaya padanya."

"Kalau begitu, siapa? Siapa yang tega melakukan hal sekejam itu kepada ayahku?" ujarnya.

Gadis itu diam sejenak dan menatap Luca.

"Pak Wira. Benar! Tidak salah lagi pasti dia yang melakukan semua ini!"

"Kedatangan para polisi juga diatur agar mereka bisa menangkap kalian," lanjutnya. "Semua itu perangkap dari pria licik itu."

Reina kemudian menatap Luca tajam.

"Kau harus membalas dia! Bunuh dia untukku! Balaskan dendam ayahku dan Gio!" tukasnya penuh amarah.

***

Sabrina meletakkan gelas kopi di meja depan Kanaya.

"Minumlah, agar pikiranmu tenang!" ujarnya.

Wanita itu menggeleng.

"Kenapa semua berakhir seperti ini? Aku ingin pembunuh itu mati membusuk di penjara, tetapi ternyata semua berakhir seperti ini," ujarnya.

"Memang ini tidak seperti yang kita harapkan, tetapi setidaknya kasus ini sudah hampir berakhir," sahut Sabrina.

"Kau benar, kita beruntung bisa menangkap pembunuh itu. Kasus ini bisa kita akhiri, saat kita menangkap yang seorang lagi," ujar Kanaya.

***

Darren melangkah masuk dengan langkah terburu.

"Ikut aku!" tukasnya sembari melangkah ke arah kedua detektif wanita tersebut.

"Ada sesuatu yang harus kalian lihat!"

Tidak berapa lama, mereka bertiga sudah berada di depan layar sebuah komputer. Darren lalu meng-klik beberapa tombol yang memutar video. Tidak berapa lama, ia menghentikan pemutaran dan memperbesar gambar.

"Kalian mengenal dia bukan?" tukasnya. Sabrina tertegun menatap layar.

'Luca. Apa yang dia lakukan di sana?' tukasnya dalam hati.

Kanaya menoleh ke arah Sabrina.

"Sejak awal, aku sudah bilang pemuda itu mencurigakan. Kelihatannya dia kenal dengan pembunuh yang kita incar. Mungkin dia adalah orang kedua yang kita cari," ujarnya.  

Sabrina menggeleng tidak percaya.

'Ada yang salah. Luca tidak mungkin terlibat kasus ini,' tukasnya dalam hati.

***

Rumah besar berdinding bata tersebut nampak sepi. Di ruang depan, Adrian sedang duduk seorang diri sembari membaca surat kabar. Ia baru saja menikah dengan Shelly, tetapi istrinya itu sekarang entah pergi ke mana.

Tadi pagi, Shelly hanya pamit untuk keluar bertemu teman-teman untuk mengobrol sebentar. Berjanji pergi tidak akan lama, tetapi hingga siang nyaris beranjak sore, gadis itu belum juga kembali. Ponselnya juga mati.

'Ke mana dia? Hamil bukannya di rumah malah keluyuran nggak jelas. Kanaya dulu tidak seperti ini,' gerutu pria itu dalam hati. Sekali lagi, diliriknya jam besar yang tergantung di dinding. Pada saat bersamaan, terdengar suara mobil berhenti di luar rumah. Tidak berapa lama, Shelly masuk ke dalam.

"Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang! Setidaknya meski kamu tidak peduli pada dirimu, kamu harus peduli pada anakmu," tegur Adrian sembari melipat surat kabar dan bangkit berdiri. Tatapan mata pria menghunjam manik mata Shelly.

"Aku bisa menjaga diri. Kamu jangan cemas, aku akan menjaga anak kita baik-baik. Aku bukan perempuan bodoh. Aku tahu kita menikah karena anak ini, jadi kamu jangan melarang aku melakukan apa yang kusukai," sahut gadis itu.

"Apa katamu? Pernikahan kita ini berdasar cinta!" seru Adrian sembari meraih lengan Shelly.

"Siapa yang kamu bohongi, Adrian? Di pesta pernikahan, tatapan matamu hanya tertuju pada Kanaya! Aku berada di sampingmu, tapi kenapa kau tega melakukan itu? Apa aku tidak berarti sama sekali dibanding Kanaya? Apa karena aku merebutmu darinya, maka aku lebih rendah?"

Adrian menggeleng sembari memeluk Shelly.

"Bukan begitu. Maaf, maafkan aku! Maaf kalau aku membuatmu merasa seperti itu! Hal itu tidak akan terulang lagi. Aku hanya akan mencintaimu," ucapnya lembut.

Shelly hanya mengangguk. Ia sengaja mengatakan itu untuk mempertahankan Adrian. Bukan karena ia sangat mencintai pria itu, tetapi karena dia tidak mau kalah. Jika sampai ia dan Adrian berpisah, maka ia akan kalah, karena tidak mendapat cinta.

'Aku tidak boleh kalah. Aku akan tetap mempertahankan Adrian di sampingku. Akan kubuktikan pada gadis kurang ajar itu bahwa dia salah,' tekadnya.

***

Sabrina merasa tidak tenang. Ia terus saja melangkah mondar-mandir di kantor. Pertanyaan itu menghantui.

'Bagaimana kalau Luca memang terlibat? Bagaimana kalau selama ini Luca hanya berpura-pura?'

Pintu ruangan terbuka dan pemuda yang mengganggu pikirannya tersebut berjalan masuk.

"Ada apa?" sapa Luca ramah. "Tumben kau memanggilku ke kantor. Ini membuatku ingat pada Adrian dan Shelly. Apa mereka kembali melaporkan sesuatu?"

Sabrina menggeleng. Ia diam lama menatap Luca. Sibuk mengira-ngira kejujuran pemuda itu.

"Ada apa?" tanya Luca sekali lagi. "Kenapa kau menatapku seperti itu?"

Sabrina hanya diam dan memutar kembali video, kemudian menghentikan tepat di saat Luca menatap jenzah Gio dengan penuh kesedihan.

Luca sedikit terkejut. Ia tidak menyangka akan ada rekaman kejadian hari itu. Meski suasana gelap, tetapi gambar dirinya terlihat jelas karena ada lampu penerangan jalan tersorot ke arah orang-orang berkerumun. Begitu pula cahaya lampu mobil di sekitar tempat kejadian.

"A-pa ... a-pa kau mengenal pembunuh itu?" tanya Sabrina dengan suara nyaris tidak terdengar.

"Gio? Tentu saja aku mengenalnya. Dia adalah sahabatku sejak kecil," tukas Luca mantap.

"Jadi, kau memang mengenal dia?" tanya Sabrina sekali lagi dengan tatapan tidak percaya. Luca mengangguk pasti.

***

Di luar ruangan, Kanaya juga merasa gelisah. Apalagi setelah mendengar pengakuan Luca bahwa dia memang mengenal Gio.

"Tenanglah!" tukas Darren sembari menarik tangan Kanaya untuk duduk, tetapi wanita itu kembali bangkit berdiri.

"Mana bisa aku tenang? Kita harus menahan dia!" sergahnya tidak sabar.

"Kita tidak bisa melakukannya. Pengakuan bahwa dia mengenal Gio tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia adalah pembunuh kedua. Dan Luca tahu itu, karena itu, ia tidak ragu untuk mengaku. Jika kau ingin membuktikan kecurigaanmu, kau harus tetap tenang," ujar Darren.

Kanaya termenung sejenak dan kembali duduk.

"Kita serahkan semua pada Sabrina dan awasi semua dari sini! Mungkin kita bisa menemukan celah untuk menjatuhkan dia," lanjut pemuda itu lagi.

***

Sabrina masih terus menatap Luca. Keheningan menyelimuti ruangan tersebut.

"Tanyakan saja apa yang kau ingin tanyakan! Aku akan menjawab dengan jujur," ujar Luca beberapa saat kemudian.

"Apa kau ... pembunuh ... kedua?" tanya Sabrina lirih.

Luca menggeleng.

"Aku tidak mengerti apa maksudmu," ucapnya.

"Pak Wira mengatakan pada malam ia disandera ada dua orang yang masuk ke kamar beliau dan bertengkar. Apa mungkin itu adalah kau dan Gio?" tanya gadis itu.

Luca diam sesaat, kemudian menggeleng.

"Bukan aku," jawabnya singkat.

***

Luca berjalan pulang dengan langkah gontai. Setelah ditanyai, mereka membebaskan dia dan menyuruh pulang.

Para detektif tersebut, bahkan Sabrina, nampak tidak sepenuhnya percaya pada cerita karangannya.

Ia berkata bahwa Gio adalah teman kecilnya yang sudah lama terpisah. Belakangan, Gio menghubungi dia dan berkata akan membunuh seseorang. Luca berusaha menasehati dan gagal. Keberadaan dia di jalan waktu itu hanya kebetulan lewat.

'Siapa yang akan percaya dengan kisah semacam itu? Mereka pasti tetap mecurigaiku,' tukas pemuda itu dalam hati.

***

Reina tertegun mendengar kata-kata Luca. Ia kemudian terduduk di kursi. Air mata mengalir deras. Belum tuntas dendam yang merenggut nyawa ayahnya dan Gio, kini malah Luca sudah dicurigai oleh para detektif itu.

"Reina ...," ucap Luca pelan. Namun, gadis itu tidak menyahut dan hanya tersedu.

"Kamu jangan cemas. Semua akan baik-baik saja. Mereka tidak akan tahu tentang keterlibatanku. Aku sudah bertindak hati-hati. Soal rekaman kamera di tempat Gio meninggal, itu bukan apa-apa."

"Tapi kalau mereka curiga, mereka pasti mencari tahu dan mengawasi dengan ketat. Kita tidak akan leluasa bergerak," ujar Reina.

"Kau benar. Aku akan mencoba membuat Sabrina kembali percaya kepadaku. Untuk sementara, kita harus menahan diri."

Reina hanya diam dan mengangguk.

***

Ponsel Sabrina berdering dan gadis itu segera mengangkat.

"Halo," ujarnya pelan. Rekan-rekannya tadi menyarankan agar ia tidak menerima telepon dari Luca. Pemuda itu pasti mencari cara agar Sabrina tetap percaya padanya. Namun, ia tidak berdaya. Perasaan pada Luca begitu kuat. Dia tidak bisa menolak atau mengabaikan telepon kekasihnya itu.

"Aku kecewa padamu!" ucap suara di seberang.

"Hanya karena sebuah video dan kenyataan bahwa Gio adalah teman kecilku, kau meragukan aku. Bukankah waktu itu kau bilang akan percaya padaku?"

"Luca, aku ... aku minta maaf," jawab Sabrina. "Hanya saja, itu tugasku. Tugasku sebagai detektif untuk menyelidiki kasus tersebut. Aku tidak bisa mengabaikan bukti. Aku minta maaf. Benar-benar minta maaf kalau semua itu membuatmu marah."

Hanya hening yang menjawab suara Sabrina. Gadis itu memegang ponsel dengan panik. Luca mungkin sangat marah dan tidak mau berhubungan lagi.

"Luca ...," panggilnya pelan.

"Aku memaafkanmu," ujar Luca. "Tapi, lain kali jangan pernah meragukan aku lagi. Kamu harus sepenuhnya percaya padaku!"

"Tentu! Tentu, aku akan percaya padamu," sahut Sabrina. Di seberang, Luca menyeringai mendengar semua itu.