Chereads / lover secret / Chapter 23 - Dua tiga

Chapter 23 - Dua tiga

Kanaya benar-benar gugup. Ia tidak menyangka Darren yang selalu begitu manis dan penurut akan bertindak berani padanya. Meski begitu, tidak dapat dipungkiri ada perasaan senang di hati. Selama ini, ia hanya mendengar dari Sabrina, bahwa Darren menyukai dia, lebih dari sekedar rekan kerja.

"Apa yang kau lakukan?" tegurnya pada pemuda itu.

Darren seolah tersadar. Ia segera melepas pelukan dan menjauhkan diri dari Kanaya.

"Maafkan aku!" ujarnya sembari bergegas dan masuk kembali ke dalam mobil.

"Darren ...," panggil Kanaya lirih, tetapi pemuda itu menutup pintu mobil dan bergegas pergi.

***

Pagi hari, Sabrina merasa ada yang aneh. Kanaya dan Darren duduk berjauhan. Tidak seperti biasa, Darren bahkan tidak tersenyum atau bertegur sapa dengan Kanaya. Biasanya, pemuda itu melakukan banyak hal untuk menarik perhatian Kanaya. Dan rekannya itu selalu kesal dan menegur Darren untuk menangani laporan dengan serius.

"Kalian kenapa sih?" tegur Sabrina sembari menatap kedua orang itu bergantian.

"Tidak ada apa-apa. Sekarang waktunya untuk bekerja. Baca kasus itu sekarang! Kita harus segera menemukan pembunuh kedua!" tukas Kanaya dengan suara tegas.

Sabrina mendengus kesal. Namun, tidak ada yang peduli.

Seorang kurir datang dan membawa buket bunga mawar merah besar untuk Kanaya. Wajah wanita itu berubah pucat saat menerima. Ia teringat dengan kejadian dulu sewaktu Kayla diculik.

"Dari siapa?" tanya Sabrina sembari bergegas menghampiri.

"Adrian," ucap wanita itu pelan saat tangannya yang gemetar membuka amplop dan membaca pesan dari penerima.

***

"Apa dia sudah gila? Setelah semua yang terjadi, ia mengajakmu untuk kembali menjalin hubungan?" tukas Sabrina emosi. Gadis itu berjalan mondar-mandir di depan Kanaya sembari bertolak-pinggang. Ingin rasanya ia menghajar mantan suami rekannya itu habis-habisan.

"Dan kau!" serunya sembari menunjuk Darren. "Apa yang akan kaulakukan?"

Pemuda bertubuh kurus itu mengangkat bahu.

"Itu bukan urusan aku. Semua terserah Kanaya kalau dia mau kembali bersama Adrian. Kita tidak berhak ikut campur," ucapnya tenang.

***

Adrian baru saja kembali setelah makan siang di luar. Ia yakin Kanaya sudah menerima bunga tersebut. Akan tetapi, mengapa mantan istrinya itu belum juga memberi kabar?

'Apa dia benar-benar sudah melupakan aku?' tukas lelaki itu bertanya-tanya.

'Tidak mungkin, dia sangat mencintaiku.'

Pria itu terkejut saat melihat Shelly berada di ruangan. Perut gadis itu terlihat sedikit membuncit, karena kandungannya yang semakin besar, meski begitu, Shelly tetap menjaga penampilan agar selalu cantik dan menarik.

Hari inipun juga sama. Blus krem ketat dengan paduan rok sepan hitam membalut tubuh gadis itu. Tidak lupa sapuan riasan di wajah yang membuat dia semakin menawan.

Dulu penampilan Shelly inilah yang membuat Adrian tergila-gila, tetapi sekarang baginya penampilan itu membuat dia jemu. Adrian heran apakah dulu dia benar-benar mencintai Shelly atau mungkin semua hanya pelarian karena kemarahan dia pada Kanaya?

Kanaya, bodohnya dia baru menyadari bahwa mantan istrinya terlihat cantik walau dalam tampilan yang sederhana. Dia merasa telah membuang sesuatu yang mahal untuk barang yang tidak berharga.

'Tidak! Tidak! Aku belum terlambat! Aku masih bisa mengambil kembali barang berharga tersebut,' tukas Adrian lagi.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tegur Shelly saat menatap Adrian. Ia menyadari pikiran pria itu tengah melayang entah ke mana.

"Ah tidak, tidak ada apa-apa," sergah Adrian cepat. Ia sadar harus menjaga perasaan Shelly demi anaknya yang berada di perut wanita muda itu.

"Kanaya," ucap Shelly pelan sembari tetap mengamati wajah Adrian. Suaminya itu terlihat sangat terkejut. Wajah nan tampan itu berubah pias.

"Benar 'kan dugaanku? Kau pasti memikirkan dia. Aku benar-benar tidak mengerti. Dulu kau bilang kau tidak mencintainya, tapi mencintaiku. Namun sekarang aku ragu, kebenaran kata-kata itu," ujarnya sembari bergegas keluar dari ruangan.

Adrian hanya terpaku. Tidak berniat menyusul istrinya itu.

***

Shelly begitu marah dan kecewa saat tahu Adrian tidak menyusul dia. Lelaki itu bahkan tidak berniat menghibur atau membujuk dia.

Dalam amarahnya, ia pergi ke kantor Kanaya.

"Aku tahu kau sengaja! Kau sengaja mendekati Adrian. Kenapa? Kau tidak bisa mendapat lelaki lain hingga ingin mengambil dia kembali?" teriaknya marah sembari mendorong wanita itu sampai nyaris terjatuh. Untung, Darren dengan sigap menangkap tubuh Kanaya.

"Sebaiknya kau pergi dari sini! Aku dan Adrian sudah tidak ada hubungan apa-apa!" tukas Kanaya. Ia mencoba bersabar karena Shelly sedang hamil dan ia tahu persis bagaimana perasaan Shelly saat seorang suami ternyata memiliki wanita lain di hati.

"Kau bohong! Penipu!" teriak Shelly tiba-tiba sembari menuding Kanaya.

"Kau ingin merebut Adrian! Kau berpura-pura baik padahal kau berencana merebut Adrian! Semua yang ada padamu palsu! Seharusnya kau masih berduka atas kematian putrimu, tetapi kau malah merayu para pria!"

"Cukup!" seru Darren pada gadis itu.

"Aku tidak suka kau terus menghina Kanaya! Dia ini sekarang kekasihku! Jadi sebelum kau diseret ke penjara, sebaiknya pergi dari sini sekarang!"

Shelly diam. Ia berbalik dan melihat Adrian berdiri di belakang, tetapi pria itu bersikap tidak peduli. Ia justru langsung menghampiri Darren dan Kanaya.

"Benarkah? Benarkah kalian memang ada hubungan?" tukasnya dengan nada tidak percaya. Kanaya hanya mengangguk. Adrian bergegas pergi dari situ sembari menggamit tangan Shelly dan setengah menyeret gadis itu.

Setelah kepergian kedua orang itu, Sabrina menemui Darren dan Kanaya.

"Akhirnya dia pergi juga. Tadi aku menelepon Adrian, karena istrinya menggila di tempat ini, tetapi apa yang kudengar benar? Kalian berdua ada hubungan?" ujarnya sembari tertawa usil.

Kedua rekannya itu tidak menjawab, malah masuk kembali ke dalam kantor.

"Hei, tunggu aku! Jawab dulu pertanyaanku! Jangan membuat aku penasaran!" ujarnya sambil menyusul kedua orang tersebut, tetapi ketika dia tiba di ruangan, keduanya juga tidak ada.

'Ah, ke mana mereka berdua? Tega meninggalkan aku sendiri!' gerutu gadis itu kesal.

***

Darren terus saja menggamit lengan Kanaya. Memaksa wanita itu untuk ikut dengannya. Hingga mereka berhenti di depan gudang barang bekas yang memang jarang dikunjungi.

"Kau ini kenapa? Ada apa denganmu? Apa terjadi sesuatu? Sebaiknya kita kembali, Sabrina pasti cemas dan mencari kita!" ujar Kanaya sembari bergegas, tetapi langkahnya terhenti karena Darren mencekal tangannya erat.

"Kau mau tahu kenapa?" ujar pemuda itu marah.

"Karena aku merasakan sesuatu dan aku tidak tahu apa kau juga merasakan hal yang sama!"

Kanaya diam sesaat sembari berbalik dan menatap pemuda di hadapannya tersebut.

"Aku tidak tahu apa maksudmu," ujarnya lirih.

"Jangan berbohong lagi, Kanaya! Kau pasti tahu kalau aku menyukaimu. Apa pun yang kukatakan di depan Adrian adalah kenyataan bahwa aku memang mencintaimu, tetapi aku tidak tahu bagaimana perasaanmu padaku."

***

Sabrina tidak tahu pergi ke mana dua rekannya itu.

'Mungkin Darren dan Kanaya memang membutuhkan waktu untuk berdua,' tukas Sabrina pelan.

Namun, berada sendirian di kantor juga tidak menyenangkan. Yang lain juga sedang sibuk menangani kasus masing-masing. Setelah berpikir beberapa saat, ia memutuskan untuk menelepon Luca.

"Adrian ke sana? Apa lagi yang dia inginkan? Aku tahu ini bukan urusanku, tetapi aku tidak suka dia ke sana dan mengganggu kalian," tukas Luca.

"Kurasa dia ingin kembali pada Kanaya," sahut Sabrina pelan.

"Apa dia tidak merasa bersalah, setelah semua yang dia lakukan?"

"Mungkin dia baru menyadari bahwa sesungguhnya ia masih mencintai Kanaya."

"Apa Kanaya akan memberi kesempatan?"

"Aku tidak tahu. Itu adalah pilihan Kanaya, dia yang berhak memutuskan, tetapi jika aku adalah Kanaya, aku tidak akan pernah memaafkan orang yang telah menipu dan menyembunyikan rahasia dariku."

Ucapan Sabrina membuat Luca tertegun lama.

"Halo, Luca!" panggil gadis itu sekali lagi. Tetap tidak ada sahutan, setelah itu justru terdengar nada sambungan telah terputus.

***

Reina melihat Luca yang diam sembari menatap ponsel di tangan.

"Kamu kenapa? Ada masalah?" tegurnya pelan.

Pemuda itu menghela napas panjang, kemudian duduk di kursi. Reina ikut duduk di sampingnya. Beberapa saat, mereka berdua hanya diam.

"Itu tadi Sabrina," ucap Luca pelan mengawali pembicaraan.

Reina hanya mengangguk. Ia merasa Luca belum selesai berbicara. Dugaannya tidak meleset.

"Ia mengatakan bahwa dia tidak akan memaafkan orang yang berbohong dan menyembunyikan rahasia darinya. Apa itu artinya dia akan membenciku?" lanjut pemuda itu sembari menatap Reina.

"Padahal aku tidak bermaksud berbohong. Hanya saja, aku takut. Aku takut jika dia tahu yang sebenarnya, maka hubungan kami akan berakhir," ucap Luca lagi dengan suara semakin lirih.

"Aku mengerti," jawab Reina.

"Kadang sulit bagi orang untuk menerima kebohongan, apalagi itu dari orang yang kita sayangi, tetapi kamu harus percaya satu hal, Luca. Suatu saat nanti, Sabrina pasti bisa mengerti dan menerima hal itu. Dia akan memaafkan kamu. Mungkin butuh waktu, tapi percayalah, dia pasti akan menerimamu kembali."

Raut wajah Luca berubah cerah.

"Benarkah?" ujarnya antusias.

Reina mengangguk, meski di dalam hati ia sendiri tidak yakin. Ia hanya tidak ingin melihat kemuraman di wajah Luca.

***

Kanaya terus teringat kata-kata Darren. Dia sendiri masih bimbang dengan perasaan yang mulai tumbuh pada pemuda itu.

"Bagaimana?" tanya Pak Boby. Mereka sedang rapat dan beliau menanyakan pendapat Kanaya. Sebagai detektif senior, tentu dia berharap wanita itu bisa memberi masukan untuk kemajuan kasus yang mereka tangani.

"A-ku ... aku tidak tahu. Aku juga masih bingung," jawab Kanaya pelan.

Pak Boby menghela napas panjang. Beliau tahu Kanaya sedang tidak fokus. Hal seperti ini sama sekali tidak dia harapkan.

"Kanaya!" tegurnya dengan suara keras.

"Kasus ini harus ditangani dengan serius! Ada pembunuh yang masih berkeliaran di luar sana! Tidak ada waktu untukmu memikirkan hal yang tidak penting!"

"Iya, Pak! Maafkan saya, Pak! Saya akan lebih sungguh-sungguh untuk menangani kasus ini!" jawab Kanaya tegas.

Pak Boby hanya mengangguk. Rapat dibubarkan. Kanaya menghela napas lega. Ia tidak habis pikir mengapa dirinya menjadi sekacau ini hanya karena kata-kata Darren.

***

Hari sudah menjelang malam. Reina sedikit cemas karena Luca tadi pamit untuk keluar sebentar mengantar pesanan yang tertunda, tetapi hingga sekarang pemuda itu belum juga kembali.

'Ke mana dia? Apa terjadi sesuatu?' duganya semakin khawatir.

Di tempat lain, Luca tengah mengawasi kediaman Pak Wira. Tangan mengepal erat. Ia berjanji kepada Reina untuk menunda pembalasan dendam, tetapi tadi saat mengantar pesanan, tanpa sengaja dia melewati rumah lelaki paruh baya itu. Kemarahan Luca hampir tidak teredam, apalagi mengingat peristiwa yang menimpa Gio dan Pak Nurdin.

'Ini saat yang tepat. Aku harus melakukannya sekarang!' tukasnya dalam hati.

***

Pak Wira merasa tenang. Hidupnya kembali damai. Tidak sia-sia ia menyusun rencana itu. Senyum licik masih menghias wajah waktu teringat peristiwa hari itu.

***

Mata Pak Nurdin mengerjap terbuka. Ia terkejut saat mendapati dirinya tengah terikat di sebuah kursi putar yang biasa diduduki Pak Wira.

"Apa yang terjadi? Mengapa Anda melakukan ini setelah semua pengabdianku pada Anda?" tukas pria itu sembari menatap Pak Wira.

Pimpinannya itu hanya tersenyum tenang.

"Apa kau betul-betul setia padaku?" tukas Pak Wira setelah menatap Pak Nurdin beberapa saat.

Serta-merta, Pak Nurdin mengangguk.

"Kalau begitu, ini juga bukti kesetiaanmu padaku. Kau harus mati agar aku bisa hidup dan menangkap orang yang akan membunuhku," ujar Pak Wira.

Pak Nurdin diam tidak mengerti. Sesaat kemudian, dia mulai paham saat melihat pisau terhunus di tangan atasannya itu.

"Ti-dak, Pak! Ja-ngan! Saya mohon!" pinta Pak Nurdin dengan nada memelas, tetapi Pak Wira tetap tidak tersentuh. Dengan cepat, ia menghunjamkan pisau yang dibawa ke tubuh anak buahnya yang setia tersebut.

"Agar aku bisa hidup, kau harus mati!" desisnya.

Mata Pak Nurdin membelalak tidak percaya. Di penghujung napasnya, ia teringat pada Reina, putri yang telah dia campakkan, dan teman-temannya yang telah dia khianati dan tinggalkan. Penyesalan kini membayang, tetapi semua sudah terlambat.

'Mungkin ini hukuman yang harus aku terima,' pikir Pak Nurdin sebelum sang waktu berhenti berputar untuknya.

Pak Wira yang mengawasi rumah kediamannya dari jauh melihat sosok pemuda berpakaian serba hitam datang. Setelah beberapa saat, ia segera menelepon polisi.

'Kena kau sekarang! Kau tidak akan bisa membunuhku seperti kau membunuh teman-temanku. Kau tahu kenapa? Karena aku lebih cerdas dari mereka,' tukas lelaki itu sembari tersenyum angkuh.

Ia makin lega saat mendengar pembunuh yang mengincar nyawanya meninggal karena bunuh diri. Kini dia betul-betul aman. Tidak ada lagi yang akan mengusik dirinya.

***

Pak Wira bersenandung pelan sembari menatap foto-foto kesuksesan dirinya. Siapa sangka dirinya yang dulu pekerja kasar yang harus bersusah-payah mencari uang, kini menjadi seorang pengusaha yang disegani?

'Dan aku akan terus bertahan di posisi ini. Tidak akan ada yang bisa menjatuhkan,' ujarnya.

Ia terkejut saat berbalik dan mendapati seseorang berdiri di belakangnya.

"Siapa kau?" tukasnya.

"Sang Maut. Apa kau benar-benar berpikir bisa lolos dariku?"

"Apa?"

Pak Wira berniat melarikan diri, tetapi langkah tua tersebut tidak bisa bergerak cepat.

Sosok tersebut segera menangkap dan membanting beliau ke lantai. Lelaki itu menjerit kesakitan.

"Jangan khawatir!" ujar sosok itu sembari mengeluarkan sebuah pasak dan menghunus di depan mata sang calon korban.

"Tidak! Jangan! Tidak!" pinta Pak Wira.

Sosok di hadapannya tersenyum dingin dan segera mendekatkan pasak tersebut ke mata Pak Wira.

"Aaakkkhhh!!!" jerit Pak Wira keras sebelum semua berganti sunyi.