Luca keluar dari ruangan tersebut. Pak Hardiman ternyata memang orang yang sangat kejam. Luca diciptakan untuk menyingkirkan lawan-lawan bisnisnya, itulah yang dikatakan lelaki itu saat Luca bertanya mengapa ia dilatih untuk tidak mengenal cinta dan belas kasihan.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Sabrina yang sudah menanti. Luca hanya diam dan langsung memeluk gadis itu.
"Aku sangat beruntung karena aku memilikimu," tukas pemuda itu sembari membelai pelan rambut Sabrina.
Sabrina menepuk-nepuk pelan punggung Luca untuk menenangkannya
"Benar, kau memiliki aku, tidak ada yang perlu kau cemaskan sekarang," ujarnya sambil tersenyum.
***
"Jadi dia tutup mulut soal pembunuh itu?" tukas Kanaya saat mereka berempat sudah kembali ke kantor.
Luca mengangguk.
"Manusia macam apa dia? Dia bahkan lebih kejam dari seorang pembunuh biasa," sergah wanita itu.
"Dia memang seperti itu. Dia tidak akan bertahan lama jika dengan mudah mengakui kejahatan dan memberitahu kita tentang pembunuh yang sedang berkeliaran," sahut Luca.
"Apa kamu tidak tahu siapa dia? Mungkin dia juga berasal dari tempat yang sama denganmu," desak Kanaya sembari menatap Luca. Pemuda itu diam sesaat, kemudian menggeleng pelan.
"Aku tidak terlalu yakin. Banyak anak yang direkrut oleh mereka dan aku hanya mengingat sebagian masa kecilku. Aku bahkan melupakan Gio, jika dia tidak mengingatkanku lebih dulu," tukas Luca.
Kanaya diam, dia mengerti mungkin Luca tanpa sadar mengunci ingatan untuk melupakan kenangan pahit, ia tidak ingin memaksa, tetapi pembunuh itu juga harus ditangkap secepatnya.
"Tetapi ada satu hal yang pasti,' ucap Luca tiba-tiba.
"Pembunuh ini gila. Organisasi sudah berhasil menciptakan pembunuh yang mungkin mereka sendiri tidak bisa mengendalikan."
Semua diam menatap pemuda itu. Luca segera melanjutkan.
"Pembunuh itu berbeda denganku dan Gio. Dia akan terus membunuh tanpa peduli siapa yang menjadi korban. Aku ... kurasa dia psikopat yang sesungguhnya. Ia membunuh karena dia menyukai itu."
Kanaya masih bersidekap menatap Luca.
"Kuharap kau salah, tetapi sepertinya kau memahami dia lebih daripada kami," ujarnya.
"Mungkin karena aku hampir sama seperti dia," sahut Luca singkat.
***
Kanaya dan Sabrina pergi untuk menemui Pak Hardiman untuk mencari tahu tentang pembunuh itu. Mereka yakin lelaki paruh baya itu pasti tahu. Hanya saja, entah dia mau atau tidak membuka mukutnya.
"Bagaimana jika dia mencoba tawar-menawar dengan kita? Kau tahu 'kan kita tidak boleh melepaskan dia. Pak Hardiman juga seorang pembunuh meski dia menggunakan orang lain untuk melakukan itu," tukas Sabrina. Ia nampak sedikit gelisah dan cemas.
"Kita tidak boleh menyetujuinya," sahut Kanaya.
"Luca sudah memperingatkan kita bahwa lelaki tua itu orang yang sangat licik. Kita tidak boleh terkecoh dan menerima tawarannya begitu saja."
Sabrina hanya mengangguk. Ia berharap semua akan berjalan lancar.
***
Orang yang mereka temui sedang duduk sendirian di ruang interogasi. Setelah dinyatakan pulih, dia langsung dibawa dari rumah sakit ke tempat tersebut. Seulas senyum muncul di bibirnya. Ia yakin dirinya akan lolos.
'Mereka membutuhkan bantuanku untuk menemukan pembunuh itu. Lihat saja! Aku pasti bisa memperdaya mereka. Aku akan membuat mereka mau tidak mau membebaskanku, setelah itu aku pasti akan bisa membalas Luca,' tukasnya dalam hati.
Wajahnya berubah marah. Tangannya tergenggam erat hingga buku-buku jarinya memutih. Semua yang terjadi padanya adalah kesalahan Luca. Pemuda itu telah mengkhianati dia, padahal dirinyalah yang menciptakan Luca.
'Seekor anjing tidak seharusnya menggigit pemiliknya,' tukasnya lagi.
'Luca, aku tidak membiarkanmu menggigitku. Kesalahanmu sudah terlalu besar, karena itu kau harus disingkirkan.'
Ia lalu mengambil air mineral yang berada di atas meja. Membuka dan meneguknya. Mendadak, wajahnya berubah pasi. Bola mata membesar seolah tidak percaya. Tidak lama, ia kejang-kejang dan mulutnya mengeluarkan darah berwarna hitam.
'Aku tidak percaya mereka melakukan ini padaku,' tukasnya dalam hati.
***
Sabrina dan Kanaya menggeleng tidak percaya saat jenazah Pak Hardiman diangkut keluar.
"Bagaimana bisa hal ini terjadi di dalam penjara?" keluh Kanaya.
Wanita berpakaian serba hitam tersebut menatap sekeliling dengan curiga. Pasti ada orang yang sengaja melakukan ini. Mungkin petugas penjara ada yang menerima suap.
Sabrina menutup telepon di ponselnya. Ia bergegas menghampiri Kanaya.
"Dokter Mastopo dan Hendra juga mengalami nasib yang sama. Begitu pula anak buah Pak Hardiman yang lain. Saat ini, hanya Hendra yang bertahan hidup dan berada dalam kondisi kritis di rumah sakit," tuturnya.
"Apa kau sudah menelepon Luca?" tanya Kanaya.
"Mungkin dia tahu sesuatu tentang peristiwa ini."
Sabrina menggeleng. Dia segera menekan beberapa angka di ponselnya untuk menghubungi Luca.
***
Luca termenung di rumah mungil itu. Tadi ada laporan pembunuhan yang masuk. Darren kemudian mengajaknya, karena menemukan pesan bertinta darah di tembok kamar korban.
'SHADOW'
Itulah yang tertulis di sana. Beberapa bagian tulisan nampak tidak terlalu jelas, karena ada bagian yang mengalir ke lantai.
Ponsel yang diberikan Sabrina padanya berdering, tetapi tidak dia abaikan. Matanya hanya terpaku pada tulisan di dinding. Ia lalu teringat ucapan Pak Hardiman saat itu.
"Kamu pasti akan menyesal karena mencari tahu siapa pembunuh itu!"
Awalnya dia mengira kata-kata lelaki itu hanya sebuah ancaman, tetapi mungkin itu adalah kebenaran.
Ponsel Darren berdering. Pemuda itu segera mengangkat.
"Iya, dia ada bersamaku," sahutnya kepada Sabrina yang berada di seberang.
"Apa yang terjadi? Kenapa kau mengajak dia pergi ke TKP?" tanya gadis itu.
"Ada pembunuhan terjadi lagi dan mungkin Luca tahu siapa pembunuh itu," jawabnya pelan.
***
Sabrina dan Kanaya bergegas menyusul ke tempat Darren dan Luca berada. Darren benar. Saat mereka tiba, Luca nampak duduk dengan tatapan mata kosong di luar rumah korban.
"Ada apa? Kenapa dia seperti itu?" tanya Sabrina.
"Aku juga tidak tahu. Sedari tadi Luca hanya diam meski aku bertanya ada apa," jawab Darren pelan.
"Biar aku yang bertanya padanya," ujar Sabrina.
Darren dan Kanaya mengangguk setuju dan bergegas pergi menjauh.
Sabrina duduk di samping Luca.
"Kau kenapa?" tanyanya dengan lembut.
Pemuda itu hanya menggeleng sembari menghela napas panjang.
"Tidak ada apa-apa," cetusnya pelan.
"Tidak mungkin tidak ada apa-apa. Pasti ada sesuatu bukan?"
Luca tetap menggeleng. Dia bahkan bangkit berdiri. Sabrina ikut berdiri dan menatap pemuda itu dengan cermat.
"Bukankah ada sesuatu yang ingin kau sembunyikan? Luca, kau harus memberitahuku kalau ingin membantu kami. Kau harus mengatakannya agar para korban tidak terus berjatuhan," desak Sabrina.
"Memangnya aku peduli?" desis Luca pelan. Nada suaranya terdengar dingin. Baru kali ini, Sabrina mendengar Luca berbicara dengan nada seperti itu dan ia sangat terkejut. Ia tahu pemuda yang dicintainya itu dibesarkan dengan cara yang salah. Akan tetapi, Luca yang dia kenal bukanlah orang yang tidak berperasaan.
***
Mereka berempat kembali ke kantor. Sepanjang perjalanan Luca hanya diam. Begitu pula Sabrina. Saat tiba, pemuda itu bahkan bergegas masuk tanpa bicara apa-apa.
"Ada apa dengannya?" tanya Kanaya.
Sabrina hanya diam dan menyusul masuk. Dia sendiri tidak tahu kenapa Luca bersikap seperti itu.
"Luca! Tunggu!" panggil Sabrina saat mereka berada di dalam kantor. Pemuda itu berjalan cepat.
"Tunggu sebentar! Aku mau bicara!" panggil Sabrina sekali lagi sambil bergegas menyusul. Luca tetap berjalan tanpa menggubris.
"Luca! Tunggu!" ucap Sabrina yang masih mengikuti. Akhirnya, ia berhasil meraih tangan pemuda itu.
"Ada apa, Luca? Kenapa kau begitu marah? Apa ada yang salah?" tanya gadis itu sekali lagi dengan napas terengah.
"Kau tidak tahu apa yang salah? Semua ini salah. Sabrina, ini adalah salah. Pertemuan kita, juga cinta kita ini salah," ucap Luca sembari bergegas.
Namun gadis di depannya itu segera mencegah ia pergi.
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti," ujarnya.
Tiba-tiba, Luca mendorongnya ke tembok dan mencekik leher gadis itu dengan kuat.
"Lu-ca, a-pa … yang …?" tanya Sabrina sembari memukul-mukul tangan pemuda itu.
"Apa kau tidak juga mengerti? Aku sama seperti pembunuh itu!" ujar Luca keras.
"Ti-dak, kau ... ber-be-da," ucap Sabrina dengan susah-payah.
"Luca!" seru Kanaya yang melihat kejadian itu. Pemuda itu segera mendorong Sabrina hingga terjatuh dan bergegas pergi.
Gadis itu duduk sambil terbatuk-batuk.
"Dia kenapa bertingkah seperti itu?" tanya Kanaya sembari membantu Sabrina berdiri.
"Kasus ini membuatnya terpukul dan mengingat masa lalu. Dia merasa dirinya sama seperti pembunuh itu. Mungkin juga ia mengenalnya, sehingga itu membuatnya semakin tertekan," ujar Sabrina sembari menatap ke arah kepergian Luca.
"Biar aku bicara padanya," tukas Kanaya.
"Tapi …."
"Tidak apa, aku akan bersabar, lagipula dia merasa seperti itu kepadamu. Hal itu akan membuat dirinya semakin tertutup. Tetapi aku adalah orang luar. Dia bisa bicara padaku," ujarnya.
Sabrina masih ragu. Dia tahu betul Kanaya pernah begitu antipati kepada Luca, tetapi ucapan wanita itu juga ada benarnya.
"Baiklah, cobalah untuk berbicara baik-baik padanya!" putus gadis itu akhirnya.
"Jangan khawatir! Pacarmu itu tidak akan kuapa-apakan," ujar Kanaya sembari tersenyum kecil.
***
Kanaya menyodorkan gelas berisi minuman kepada Luca. Pemuda itu hanya menerima dalam diam.
"Kau pasti tahu aku pernah tidak menyukaimu. Menaruh curiga, bahkan menyuruh Sabrina untuk menjauh darimu. Namun, dia selalu percaya padamu. Sampai akhir, dia tetap percaya padamu, meski semua orang bilang kau pembunuh, dia tetap ingin mempercayaimu," tukas wanita itu.
Luca masih diam. Kanaya kembali melanjutkan.
"Entah sudah berapa kali, aku menasehati dia untuk melupakanmu, tetapi aku tahu dia tidak pernah bisa. Saat kau menghilang jatuh ke dalam jurang, Sabrina sangat sedih dan terpukul. Semangatnya kembali saat kau ternyata masih hidup dan dengan dirimu berada di sini, dia sangat bahagia."
Kanaya lalu bangkit berdiri.
"Sabrina tidak pernah menghakimi masa lalumu, Luca, jadi jangan terus menyalahkan dirimu atas apa yang terjadi di masa lalu. Kau memang bersalah, tetapi semua itu sudah berlalu dan waktu itu, kau juga tidak punya pilihan, jadi sekarang ini kesempatan untukmu memperbaiki kesalahan yang pernah kaulakukan dengan membantu kami menolong orang-orang yang mungkin menjadi korban," tukas wanita itu lagi.
Luca masih tetap diam dan tidak beranjak dari duduknya, meski Kanaya telah lama pergi.
***
Ruangan itu nampak gelap. Sabrina masih duduk dengan tatapan mata menerawang.
"Apakah itu sakit?" tanya Luca yang berdiri di ambang pintu.
Sabrina menoleh sembari menghapus air mata yang tidak disadari mengalir dari tadi.
"Aku minta maaf," ujar pemuda itu lagi.
"Masuklah," ucap gadis itu pelan.
Luca bergegas menyalakan lampu, kemudian duduk di samping Sabrina. Tangannya terulur menyentuh leher gadis itu.
"Maafkan aku, itu pasti menyakitkan," ucapnya pelan.
"Benar, tetapi aku lebih takut kau pergi begitu saja dan menghilang lagi karena merasa bersalah," sahut gadis itu.
Pemuda itu tersenyum kecil.
"Aku tidak punya tujuan selain tempat ini," ucapnya.
"Terserahlah, tetapi saat ini aku belum memaafkanmu. Aku tidak suka kau selalu saja membuatku cemas. Bisakah kau membuatku sehari saja tidak memikirkanmu?" tanya Sabrina.
"Kurasa bisa, kalau kau berhenti mencintaiku, maka kau tidak perlu memikirkanku," sahut Luca enteng.
"Kenapa kau bicara seperti itu?"
"Apa ada yang salah? Menurut buku yang kubaca seperti itu," jawab pemuda itu lagi.
Sabrina menatap Luca sembari bertopang dagu.
"Jadi, selama ini kau mempelajari semuanya?" tanyanya.
"Benar, dari buku dan film, Reina yang memberikan kepadaku," jawab pemuda itu lagi tanpa rasa bersalah.
Sabrina menggeleng. Ia ingin marah, tetapi semua itu bukan sepenuhnya kesalahan Luca. Seperti anak kecil, pemuda itu juga masih belajar untuk mengerti tentang perasaan.
"Lalu kau menggunakan semua itu untuk memikatku?" tanya Sabrina lagi.
Pemuda itu mengangguk.
"Tapi lalu semua berubah. Aku tidak tahu apa itu, tetapi menurut apa yang kupelajari itulah cinta. Aku juga tidak menyangka memiliki perasaan seperti itu kepadamu. Dulu aku begitu yakin tidak akan merasakan apa pun, tapi Reina benar, semua telah berubah. Dan semua itu karena perasaanku kepadamu," ucap Luca.
"Dari buku mana itu?" tanya Sabrina lagi dengan nada menggoda.
"Tidak dari mana-mana," sahut Luca sambil memasang wajah cemberut.
"Itu tulus perasaanku padamu."
Sabrina tertawa.
"Aku percaya padamu. Kau pasti jatuh cinta padaku, karena aku memang memiliki pesona, karena itu sebaiknya kau mempertimbangkan masak-masak sebelum menjeratku. Sekarang kita berdua justru berada dalam jerat yang sama," ujarnya sembari memeluk pemuda itu.
Tangannya meraih tangan Luca dan menggenggam erat.
"Luca, apa pun yang kau katakan, aku akan tetap mencintaimu. Apa pun yang pernah terjadi di masa lalu, perasaanku tidak akan pernah berubah, jadi jangan pergi atau menghilang lagi," ucapnya.
Luca hanya mengangguk. Sabrina tersenyum sembari bersandar di bahu pemuda yang dicintainya itu.
***
Keesokan hari, di ruang rapat, mereka semua sudah berkumpul.
"Aku sudah memutuskan untuk memberitahu kalian tentang tulisan SHADOW di dinding kamar itu. Shadow itu adalah aku," tukas Luca.
Mereka yang berada di ruangan itu terperanjat.
"Dari mana kau tahu?" tanya Sabrina.
"Dia orang yang kukenal dan dia tahu aku bersama kalian, karena itu dia mengirimkan pesan itu."
"Apa kau yakin kalau dirimu adalah orang yang dimaksud olehnya?" tanya gadis itu lagi.
Luca menghela napas panjang dan menggeleng.
"Aku tidak yakin, tetapi hanya aku yang punya julukan itu," ucapnya pelan.
"Orang yang kaucurigai itu, apa kau tahu di mana dia berada sekarang?" tanya Kanaya menengahi. Setidaknya, kali ini mereka mungkin menemukan petunjuk tentang pembunuh gila itu.
Luca menggeleng.
"Aku tidak tahu di mana dia sekarang. Aku bahkan tidak tahu bahwa dia masih hidup," ucap pemuda itu.
"Siapa dia?" tanya detektif wanita itu lagi.
Kepala Luca menunduk. Dia tidak segera menjawab, lalu perlahan ia menghela napas dan kembali menatap mereka yang masih menunggu jawaban darinya.
"Kakakku, Arvand."