Chereads / lover secret / Chapter 30 - tiga puluh

Chapter 30 - tiga puluh

*Flashback On*

Bocah lelaki itu hanya menangis saat bangunan itu roboh.

"Ibu! Kakak!" panggilnya lirih.

Orang di belakangnya menepuk bahu pemuda itu pelan.

"Kita pergi sekarang, Luca! Teman-temanmu yang lain sudah menunggu," ujarnya sembari ke arah mobil di mana ada beberapa duduk di kursi belakang dan melihat ke arahnya melalui jendela.

*Flashback Off*

***

"Jadi, maksudmu kakakmu itu sudah meninggal? Kalau begitu, bagaimana bisa kau bilang kalau pembunuh itu dia?" tanya Kanaya sembari menatap Luca yang masih berdiri.

"Aku juga tidak ingin percaya, tetapi SHADOW itu julukanku. Dia selalu memanggilku begitu saat masih kecil dulu, karena aku selalu meniru dia. Dulu, dia adalah idola bagiku.

Luca terdiam sejenak.

"Karena itu, kubilang aku sama seperti dia," lanjutnya lirih.

Sabrina menggeleng.

"Kalian tidak sama. Kau bahkan tidak tahu bahwa dia masih hidup," ujarnya pelan.

"Tetapi, kami berdua sama-sama pembunuh yang mengambil nyawa orang lain," sahut Luca.

"Itu karena kalian dibesarkan dengan cara seperti itu," jawab Sabrina.

Luca diam. Perlahan dia menggeleng.

"Ini bukan masalah kami dibesarkan, tetapi sejak awal memang ada yang salah dengan Arvand dan aku mengikuti dia seperti bayangan," tuturnya.

"Apa maksudmu?"

"Arvand menyukai penderitaan, maksudku saat melihat orang lain menderita, dia akan bahagia. Dulu sewaktu kecil, dia sering memukul hewan atau anak yang lebih lemah darinya. Bukan hanya memukul, dia juga menyiksa mereka

Tidak jarang, baju dan rambutnya berlumur darah. Dulu, aku menganggap itu keren dan aku ingin seperti dia. Arvand lalu mengajariku cara menyiksa mereka semua," ucapnya pelan.

"Bagaimanapun, dia adalah kakakmu. Kau pasti memuja dan mengaguminya," tukas Kanaya.

"Kadang apa yang kulakukan belum cukup baginya, Arvand akan mengambil pisau itu dari tanganku dan menyiksa mereka sendiri," ujar Luca lagi.

"Apa ada anak yang pernah tewas karena ulah kakakmu itu?" tanya Kanaya lagi.

"Aku tidak tahu, tetapi sebelum tempat kami hancur, ada beberapa anak yang telah menghilang, tapi aku tidak yakin apa benar Arvand yang melakukan semua itu."

"Kurasa tujuan organisasi berhasil, mereka mendapatkan psikopat sebagai mesin pembunuh," ucap Darren. Semua menatap ke arahnya. Detektif muda itu merasa tidak enak dan berdehem pelan.

"Aku minta maaf untuk perkataanku barusan," tukasnya sembari melihat ke arah Luca.

"Tidak apa," sahut pemuda itu.

"Kurasa keluargaku memang berantakan."

***

"Kenapa berkata seperti itu?" tanya Sabrina saat rapat itu telah berakhir kepada Luca.

"Darren pasti tidak bermaksud menyinggungmu."

"Aku tahu, hanya saja aku memang merasa seperti itu," sahut Luca.

Kanaya dan Darren bergegas menghampiri.

"Soal Arvand, apa kau tidak bisa menduga di mana dia berada?" tanya Kanaya pada pemuda itu.

Luca diam dan menggeleng.

"Aku benar-benar tidak tahu. Aku sama sekali tidak bermaksud melindunginya, tetapi kami tidak pernah berhubungan dan selama ini aku mengira dia sudah meninggal, jadi …."

"Baiklah, kami mengerti. Kami sama sekali tidak menaruh curiga padamu. Hanya saja pembunuh ini harus segera ditangkap!" potong Kanaya cepat.

Wanita itu segera bergegas. Darren ikut bersamanya setelah menepuk pundak Luca dan tersenyum kecil.

'Aku tahu mereka mengharapkan aku tahu sesuatu, tetapi benar-benar tidak tahu di mana Arvand berada,' tukas Luca sambil menggeleng.

***

Pembunuhan kembali terjadi seperti sebelumnya si pelaku meninggalkan tulisan berdarah di dinding. Kali ini pesannya adalah 'TEMUI AKU, SHADOW'

Luca tercenung melihat pesan tersebut. Ia semakin yakin bahwa itu adalah Arvand, tetapi masalahnya, dia tidak tahu di mana saudara laki-lakinya itu.

Sabrina bergegas menghampiri.

"Aku minta maaf," gumam Luca pelan.

Gadis itu menggeleng.

"Itu bukan salahmu," ucapnya pelan kepada pemuda itu.

"Tetap saja, seandainya aku tahu di mana dia berada, hal ini tidak akan terjadi," tukas Luca sambil menggeleng.

Ia lalu bergegas keluar dari kamar tempat wanita itu ditemukan meninggal mengenaskan.

"Luca!" panggil Sabrina bergegas menyusul.

"Tinggalkan aku sendiri!" sahut pemuda itu.

Gadis itu kembali hendak menyusul, tetapi Kanaya segera menghalangi sambil menggeleng.

"Biarkan dia sendiri! Tidak akan terjadi apa-apa padanya. Dia hanya butuh waktu untuk menenangkan diri," tukas wanita itu.

Di luar, Luca terus bertanya-tanya dan berpikir keras di mana kemungkinan Arvand berada.

'Dari pesan yang ditinggalkan, jelas itu tempat kenangan kami. Seharusnya aku tahu tempat tersebut, tapi di mana itu?' sergah pemuda itu gusar.

***

Shelly baru saja tiba di rumah dan sedang melihat berita di televisi. Ada berita tentang Kanaya yang sedang menyelidiki kasus pembunuhan tengah marak saat ini. Melihat wajah wanita itu, membuat Shelly teringat pada suaminya.

'Apa mungkin Adrian masih menemui Kanaya? Apa mereka sedang bersama saat ini? Pernikahan ini bukan pernikahan impian, tetapi aku harus mencoba untuk mempertahankan. Aku tidak boleh menyerah dan kalah,' gumamnya dalam hati.

Suara ketukan di pintu mengejutkan Shelly. Hari sudah malam.

'Mungkin itu Adrian,' duganya.

'Akhirnya dia pulang juga. Mungkin masih ada harapan untuk kami."

Pria itu memang sudah berhari-hari tidak pulang, tetapi kini pria itu sudah kembali. Hal itu membuat Shelly sangat gembira. Tanpa pikir panjang, dia berlari ke depan dan membuka pintu.

Dirinya kini tertegun melihat sosok yang berdiri di ambang pintu tersebut.

"Kau? Mau apa ke sini?" tanyanya panik.

"Halo, Shelly, aku merindukanmu," ucap orang itu sambil menyeringai. Ia lalu melirik perut Shelly yang berukuran besar.

"Bagaimana kabarmu dan anak kita?" tanya sosok itu lagi.

"Dia bukan anakmu. Dia adalah anakku dengan suamiku!" tegas Shelly. Gadis itu nampak ketakutan. Ia berusaha menutup pintu, tetapi sang tamu tidak diundang berusaha menahan. Shelly terdorong mundur dan pintu terbuka lebih lebar. Orang itu lalu bergegas masuk.

"Aku selalu ingin tahu tentang anak kita," ujarnya.

"Sudah kubilang, ini bukan anakmu! Dia bukan anakmu, Arvand!" tegas Shelly sekali lagi.

***

Adrian bergegas menghampiri saat mendengar ada suara bising dari dalam rumah. Ia terkejut saat mendengar suara seorang pria yang mengatakan bahwa anak yang dikandung Shelly adalah anaknya.

"Jadi dia bukan anakku?" tanya Adrian yang berdiri di ambang pintu. Pria itu dan Shelly melihat ke arahnya dengan ekspresi berbeda. Istrinya yang masih belia itu nampak panik dan terkejut, sedangkan pria yang mengaku sebagai ayah dari anak yang dikandung Shelly justru nampak tenang.

"Aku tidak menyangka! Aku benar-benar tidak menyangka! Kau sudah menipuku, Shelly!" teriak Adrian marah.

"Maafkan aku, Adrian, tapi aku bisa menjelaskan semua," tukas sang istri.

Pria itu menggeleng sembari mengibaskan tangan.

"Tidak perlu, kau tidak usah menjelaskan apa pun. Aku sudah paham sekarang. Kau hanya memanfaatkanku. Mulai sekarang, anggap saja hubungan kita telah berakhir," ujarnya sembari bergegas kembali keluar.

"Adrian! Tunggu, Adrian!" seru Shelly sembari bergegas mengejar, tetapi Arvand menahannya.

"Lepaskan aku! Biarkan aku pergi!" pintanya pada pria itu.

"Dia sudah tahu semuanya. Haruskah kubunuh dia sekarang?" bisik Arvand di telinga perempuan muda tersebut.

***

Shelly hanya diam. Arvand sudah pergi, mungkin menyusul Adrian.

'Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus menelepon polisi?' ujarnya bertanya-tanya dalam keraguan.

'Jika aku melakukannya, maka aku akan kehilangan semua. Anakku akan dikenal sebagai anak seorang pembunuh, tetapi bagaimana dengan Adrian? Meskipun hubungan kami sekarang di ujung tanduk, mana bisa kubiarkan seseorang menghabisi nyawa suamiku?' tukasnya lagi.

Wanita muda itu segera meraih ponsel.

***

Adrian mengemudikan mobil dengan cepat.

"Ini semua salah Shelly! Dia sudah menipuku mentah-mentah! Seharusnya aku dulu tidak pernah meninggalkan Kanaya! Hanya Kanaya yang tulus mencintaiku! Aku benar-benar bodoh! Aku akan kembali padanya dan menjelaskan semua," geram pria itu.

Tiba-tiba, sebuah mobil mendului dan menghadang laju kendaraan.

"Apa-apaan lagi ini?" gerutu Adrian sembari menginjak rem, hingga mobil berhenti.

Di luar, nampak Arvand bergegas turun dari mobil dan melangkah menghampiri dengan tenang.

Adrian terkejut saat melihat pria yang mengaku menjadi ayah dari anak di kandungan Shelly, mengetuk kaca jendela mobil Adrian.

"Ada apa?" tanya Adrian kepada pria itu.

"Ayo kita bicara, kurasa Shelly telah sama-sama menipu kita. Aku bahkan tidak kalau dia sudah menikah. Dia bilang kalau dirinya mencintaiku dan akan menungguku kembali," ucap Arvand tenang.

Adrian berpikir sejenak. Ia sekali melihat kepada Arvand. Entah mengapa, raut wajahnya mengingatkan dia dengan seseorang, tetapi dia tidak ingat siapa orang itu.

Arvand masih menunggu. Adrian lalu mengangguk dan membuka pintu. Pria yang berada di luar tersebut bergegas masuk ke dalam mobil.

***

Dini hari, Kanaya baru akan pulang bersama Darren. Keduanya memang lembur untuk menyelesaikan kasus bersama Sabeina dan Luca, tetapi tetap belum ada titik terang.

Tiba-tiba, salah seorang anak buahnya datang membawa kabar.

"Ada seorang pria ditemukan tewas semalam," ujarnya.

"Dan kelihatannya dia ...."

Kata-katanya terhenti dan menatap Kanaya.

"Dia? Dia kenapa? Siapa dia? Apa aku mengenalnya?" desak wanita itu panik. Ketakutan kembali membuncah dalam diri. Bayangan kehilangan sosok Kayla seolah kembali terulang.

Petugas muda di depannya itu nampak ragu. Darren segera merangkul bahu Kanaya untuk menenangkan wanita itu. Sabrina dan Darren yang masih di dalam segera keluar saat mendengar suara histeris Kanaya.

"Ada apa?" tanya Sabrina cemas. Ia segera merangkul Kanaya.

"Tolong beritahu kami, siapa yang meninggal?" ucap Darren tegas.

Petugas itu masih nampak ragu, tetapi kemudian dia mengangguk.

"Adrian, dialah yang ditemukan meninggal," ucapnya pelan nyaris tidak terdengar. Namun, itu sudah cukup untuk .mengguncang Kanaya.

"Apa? Tidak! Tidak mungkin! TIDAK!" jerit wanita itu keras dan jatuh tidak sadarkan diri di pelukan Darren.

***

Luca termenung menatap tulisan itu. Tulisan yang dibuat menggunakan darah dan kali ini adalah darah Adrian. Dituliskan di kening pria itu.

Pemuda itu menatap kosong jenazah Adrian. Ada bekas sayatan di lehernya, juga beberapa luka tusuk. Tulisan 'SHADOW' di kening jelas diukir menggunakan pisau. Yang membuat Luca tidak mengerti adalah alasan Adrian menjadi sasaran.

'Apakah karena dia saling mengenal atau ada alasan lain?' batinnya bertanya-tanya.

***

Shelly datang sembari menjerit histeris dan menangis. Perempuan muda itu segera memeluk dan menciumi jasad sang suami. Setelah beberapa saat, Shelly seolah baru menyadari ada orang lain di sana. Dia terperanjat saat melihat Luca. Terlebih sekarang dirinya menyadari mengapa dia begitu tertarik dan terobsesi dengan pemuda itu.

'Dia mirip dengan Arvand. Apa mungkin Luca, adik Arvand?'

Wanita muda itu teringat yang diceritakan Arvand soal adiknya.

'Luca juga seorang pembunuh. Tidak salah lagi, dia pasti adik Arvand,' ujarnya dalam hati.

Melihat Shelly hanya diam, Luca segera menghampiri.

"Ada apa? Apa semua baik-baik saja atau mungkin kau tahu sesuatu?" tanyanya.

Tetapi Shelly justru mundur dengan ketakutan.

"Ti-dak! Tidak apa-apa! Pergi kau dari sini! Pasti kau senang melihat Adrian seperti ini! Mungkin kau yang sudah membunuhnya! Dasar pembunuh!" tukasnya sembari bergegas keluar.

"Hei kau, bicara yang sopan! Dasar wanita murahan!" sergah Sabrina tidak terima. Akan tetapi, Luca segera datang dan melerai mereka. Shelly bergegas keluar dari ruangan.

"Dia kenapa sih, begitu dendam padamu?" ujar Sabrina masih tidak terima.

"Tapi itu kenyataan kalau aku memang seorang pembunuh," sahut Luca pelan.

"Jangan berkata seperti itu lagi! Semua itu sudah terjadi di masa lalu! Kau tidak boleh terus mengingatnya, ini a untuk d semua," ujar gadis itu.

Luca mengangguk.

"Aku tidak tahu mengapa, tapi kurasa ada yang disembunyikan oleh Shelly. Dia ingin memancing amarahku untuk menutupi semua itu," ucapnya.

"Penggoda itu benar-benar tidak bisa dipercaya!" desis Sabrina. Luca segera merangkul bahu gadis itu untuk meredam amarahnya.

***

Kanaya menatap kosong jenazah Adrian. Setelah sadar dari pingsan, dia langsung ke tempat penyimpanan jenazah di rumah sakit. Proses otopsi sudah selesai dilakukan.

Pria itu pernah menjadi bagian terindah dalam hidupnya. Menggoreskan kenangan susah dan senang. Pernah bersatu dalam ikatan pernikahan penuh cinta dan terutama, pria tersebut telah memberi dia kesempatan menjadi ibu dari seorang gadis kecil bernama Kayla, meski akhirnya, kesempatan itu direnggut juga olehnya.

"Kalau ingin marah atau memaki, aku akan menerimanya, karena ini semua memang salahku," ujar Luca pelan. Pemuda itu berdiri tidak jauh sembari bersidekap.

"Kalau aku mencoba lebih keras, mungkin Arvand sudah tertangkap dan hal ini tidak akan terjadi."

Kanaya menggeleng sembari terisak pelan.

"Bagaimana bisa itu semua menjadi salahmu? Kau dan kakakmu sudah terpisah sejak kalian masih kecil. Wajar saja kalau kau tidak tahu apa-apa tentangnya. Ini semua bukan salahmu, tetapi salah dia," sahutnya.

Pemuda itu hanya mengangguk. Kanaya kembali menatap jenazah Adrian. Lelaki itu berulang kali mengajaknya kembali rujuk, seandainya dia menurut, mungkin hal seperti ini tidak akan terjadi.

"Jangan salahkan dirimu sendiri," ujar Darren pelan.

"Yang terjadi padanya bukan salahmu atau salah Luca, tetapi salah Arvand. Pembunuh itu yang telah menghabisi Adrian. Tugas kita adalah menangkap dia, agar bisa menuntut balas untuk kematian Adrian."

Kanaya hanya diam dan mengangguk. Perlahan, dia mengusap air matanya sembari bersandar di pelukan Darren.

***

Tubuh Shelly gemetar saat tiba di rumah. Dia cemas jika Arvand kembali datang. Entah apa yang diinginkan pria itu darinya. Ia lalu melihat ke cermin besar yang tergantung di dinding. Perutnya yang telah membesar.

'Anak ini! Arvand akan kembali untuk anak ini! Tidak, aku tidak boleh membiarkan itu terjadi! Anak ini harus menjadi anak Adrian, bukan anak seorang pembunuh!' tukas Shelly dalam hati. Ia lalu bergegas mengemas pakaiannya di dalam tas besar. Dirinya tidak peduli lagi untuk mengurus pemakaman Adrian. Hanya satu di pikirannya, dia harus pergi sejauh mungkin dari Arvand.