Shelly membuka pintu rumah dan terkesiap melihat Arvand berdiri di hadapannya. Lelaki itu nampak marah saat melihat tas besar di tangan perempuan muda tersebut.
"Kau pikir bisa melarikan diri? Jangan harap! Kau tidak akan ke mana-mana dengan membawa anakku!" seru Arvand.
"Arvand, kumohon, Arvand! Biarkan aku pergi!" pinta Shelly sambil menangis.
"Tidak akan pernah! Apa kau lupa dengan janjimu, Shelly? Kau sendiri yang bilang tidak akan pernah meninggalkanku!" tukas Arvand.
Wanita itu masih berusaha untuk pergi, tetapi Arvand langsung mencekal erat tangannya serta membawa Shelly kembali masuk ke dalam serta mengunci pintu.
"Arvand," pinta Shelly sekali lagi.
"Kumohon biarkan aku pergi!"
"Baiklah, aku akan melakukannya, tapi kau harus memberikan apa yang kuinginkan!"
"Luca, aku tahu tentang Luca. Dia adikmu, bukan?"
Arvand tertawa sembari menggeleng.
"Benar, dia adikku, tapi bukan itu yang kuinginkan. Aku tidak membutuhkan bantuanmu untuk menghubungi Luca. Adikku itu, kau juga pernah menggodanya, bukan?" sergahnya sembari menatap tajam.
"Bu-kan seperti itu, kau salah-paham," jawab Shelly dengan suara bergetar karena ketakutan.
Arvand kembali menggeleng.
"Dasar pembohong! Kau ingin lepas dariku, bukan? Kalau begitu, berikan apa yang menjadi milikku! Berikan anakku sekarang!" gertaknya.
"Ta-pi … tapi anak ini belum cukup umur," jawab Shelly lemah.
"Aku tidak peduli! Kau akan melahirkan anak itu sekarang, lalu aku akan pergi bersamanya!" seru Arvand sembari kembali menarik tangan Shelly. Gadis itu berusaha meronta. Paras wajahnya menunjukkan penyesalan karena dirinya terlibat dengan seorang pria seperti Arvand.
***
*Flashback On*
Hari sudah menjelang malam. Shelly masih sendiri menunggu Adrian di sebuah taman, tetapi pria itu belum datang juga.
"Apa dia akan membiarkanku menunggu seharian hanya karena ini ulang tahun Kayla?" gumamnya kesal.
Saat itulah, dia melihat seseorang melangkah ke arahnya. Awalnya, dia sempat mengira itu adalah Adrian, tetapi ternyata bukan. Pria itu tinggi dan tampan. Matanya tajam dan indah. Sosok rupawan itu kemudian mengajak dia berkenalan, tentu saja Shelly tidak menolak. Lelaki bertubuh tegap tersebut kemudian memperkenalkan diri sebagai Arvand.
Tentu saja Shelly tidak menolak. Dia lalu diam-diam menjalin hubungan dengan pria itu, meski begitu dia tetap tidak mau melepaskan Adrian.
Semua berjalan lancar di awal. Dia merasa bahagia. Ada dua pria yang mencintainya. Namun, semua hanya permulaan. Shelly lalu tahu rahasia Arvand saat pria itu datang dengan membawa tas berisi pisau berlumuran darah. Gadis itu tidak sengaja membuka tas tersebut. Saat itulah, dia tahu pria yang dicintainya itu adalah seorang pembunuh.
Arvand mengancam dia. Itu sebabnya Shelly memilih tutup mulut. Pria itu bilang dia melakukan semua itu demi adiknya. Tidak lama setelahnya, Shelly tahu dia hamil dan Arvand menghilang. Shelly justru bersyukur, dia berharap Arvand tidak pernah kembali meski masih ada cinta untuk pria itu. Tidak lama setelah itu, dia bertemu Luca.
*Flashback Off*
***
Shelly menyadari bukan Luca yang dia cintai, tetapi Arvand. Dia belum bisa melupakan pria itu, karena itu dia terobsesi memiliki Luca.
"Arvand benar, Luca hanyalah bayangan dia,' tukas gadis itu pelan. Ia tertegun saat melihat Arvand mengeluarkan beberapa suntikan dari dalam tasnya.
"Apa yang mau kaulakukan?" tanya gadis itu ketakutan.
"Aku akan membuatmu melahirkan anak itu sekarang!" sahut Arvand.
"Tidak! Tidak! Kau tidak boleh melakukannya! Kau hanya akan membunuhnya!" teriak Shelly sembari bergegas hendak keluar, tetapi Arvand segera kembali menangkapnya. Sia-sia gadis itu meronta, dia kalah kuat. Tidak lama, Arvand sudah mengikat tali pada tangan dan kakinya.
"Kumohon, lepaskan aku, Vand," pinta Shelly lemah. Tenaganya seolah terkuras habis, tetapi Evan seperti tidak peduli. Ia melanjutkan rencana sembari bersenandung pelan.
***
Sabrina kesal. Hari ini adalah hari pemakaman Adrian, tetapi Shelly tidak hadir. Yang lebih menjengkelkan Luca bersikeras untuk pergi ke rumah wanita muda tersebut. Pemuda itu begitu yakin ada yang tidak beres dengan Shelly.
"Kau bahkan tidak menyia-nyiakan waktu untuk datang ke rumahnya, bahkan saat Adrian baru saja dimakamkan. Kau yakin tidak ada apa-apa di antara kalian?" tanyanya.
"Kau ini begitu pencemburu," keluh Luca kesal.
"Kalau kubilang ada sesuatu, pastilah ada yang disembunyikan. Percayalah padaku, aku sangat ahli membaca hal itu dan tidak pernah salah."
"Bagaimana bisa? Apa organisasi yang mengajarkan semua itu?"
Luca menoleh dan mengangguk.
"Benar, aku mempelajari itu dari mereka. Calon korban, tempat, dan waktu eksekusi, aku harus memahami semua itu, kalau tidak kami akan gagal," jawabnya.
"Dan mereka pasti mengajarkan itu bukan hanya padamu, tetapi pada pasukan pembunuh yang mereka miliki, termasuk kakakmu."
Luca mengangguk.
"Kakakku seperti pembunuh psikopat yang dibekali amunisi untuk terus membunuh. Aku cemas, jangan-jangan dia mengincar Shelly," sahutnya pelan.
***
Rumah bercat putih di kompleks perumahan elit tersebut nampak sepi saat Luca dan Sabrina tiba. Rumah-rumah di samping juga nampak sepi. Begitu pula jalan yang terlihat lengang, meski hari baru menjelang sore.
Sabrina segera mengetuk pintu rumah berulang kali, tetapi tidak ada yang membuka. Bahkan, tidak ada yang menjawab dari dalam.
"Shelly mungkin sedang pergi. Ke mana dia di hari pemakaman suaminya?" gerutu Sabrina sembari merutuk nama gadis itu.
"Luca, sebaiknya kita …," ujarnya sambil berbalik, tetapi tidak seorangpun di sana.
"Ke mana dia? Kenapa meninggalkan aku sendirian?" dumel Sabrina sembari kembali menuju mobil, tetapi kendaraan itu juga kosong.
Sabrina kembali ke rumah itu dan tertegun melihat Luca membuka pintu dari dalam.
"Kau ini dari mana saja? Pergi nggak bilang-bilang!" ujarnya.
"Sebaiknya kau telepon ambulans sekarang, aku menemukan Shelly!" jawab pemuda itu.
***
Darren dan Kanaya baru selesai menghadiri pemakaman Adrian, saat mendapat kabar dari Sabrina. Mereka berdua segera bergegas. Kanaya menggeleng tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada Adrian dan Shelly sampai sepertinya pembunuh itu mengincar mereka.
"Apa yang terjadi?" tanya Kanaya saat tiba di rumah sakit.
"Apa ada hal buruk yang terjadi pada Shelly?"
"Menurut dokter yang menangani, Shelly mengalami pendarahan hebat dan bayi dalam kandungannya tidak ada," sahut Sabrina pelan.
"Apa? Tapi bagaimana bisa? Siapa yang begitu tega? Apa mungkin itu Arvand?" tanya Kanaya bertubi-tubi.
Shelly mengangguk.
"Kurasa itu memang dia. Pembunuh itu bukan mengincar Adrian atau Shelly, tetapi bayi tersebut," ujarnya.
"Apa maksudmu? Kenapa dia menginginkan bayi itu?"
Sabrina hanya diam. Namun, Luca yang baru saja keluar dari ruangan untuk menemui dokter menjawab,
"Shelly bukan mengandung anak Adrian, tetapi anak Arvand, karena itu kakakku mengambilnya."
Kanaya nampak begitu terperanjat.
"Bagaimana bisa? Apa kau yakin?"
Luca mengangguk.
"Tidak ada alasan untuk Arvand menginginkan anak tersebut, kecuali itu adalah buah hatinya," tandasnya mantap.
***
Kanaya terkesiap mendengar itu.
"Tidak mungkin, mana mungkin Shelly menjalin hubungan dengan Arvand dan sampai sejauh itu?" gumamnya pelan.
"Lagipula, alasan pernikahan Shelly dan Adrian, bukankah karena gadis itu mengandung anak Adrian?"
"Shelly pernah mengatakan bahwa itu anakku, lalu dia sempat juga bilang itu anak Adrian. Semua itu adalah kebohongan dia," sahut Luca.
"Aku harus bertemu dengan Shelly," sahut Kanaya singkat.
***
Shelly masih tergolek lemah di tempat tidur. Matanya menatap sekeliling dan segera menyadari dirinya berada di rumah sakit. Dirinya selamat, tetapi tidak dengan anaknya. Arvand telah membuat dia melahirkan bayi itu sebelum waktunya. Air mata menitik. Ini semua balasan setimpal untuk perbuatannya, tetapi bagaimanapun bayinya tidak bersalah.
Pintu kamar terbuka dan dia melihat Kanaya berjalan masuk. Hatinya merasa tidak enak, ia telah banyak menyakiti wanita itu bahkan merebut suaminya.
"Bisa beritahu aku apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Kanaya kepadanya. Nada suaranya begitu lembut. Tidak terlihat kemarahan di sana, meski dia sudah membuat luka di hati wanita tersebut.
"Aku … aku tidak tahu apa yang terjadi. Luca, aku ingin bicara dengan dia," sahutnya.
"Apa itu benar bahwa anakmu itu …?"
Gadis itu hanya mengangguk sembari berurai air mata.
"Be-ritahu Luca, dia harus menyelamatkan keponakannya. A-ku … tidak tahu apa yang akan dilakukan Arvand padanya," pintanya.
Pintu kembali terbuka dan Luca bergegas masuk.
"Ku-mohon temukan keponakanmu," pinta Shelly sekali lagi saat melihat pemuda itu.
"Aku janji akan menemukannya," jawab Luca sembari meraih tangan Shelly.
Perempuan muda itu tersenyum. Wajahnya makin pucat.
"Terima kasih, Luca. Maaf, aku selalu membuat begitu banyak masalah untukmu," ucapnya lemah.
"Tidak usah dipikirkan, aku akan membawa anakmu kembali," jawab Luca.
Shelly hanya mengangguk sembari tersenyum dan memejamkan mata.
"Aku percaya padamu. Kau pasti bisa menemukan dia."
Shelly kembali tidak sadarkan diri. Luca dan Kanaya bergegas keluar dari kamar tersebut.
***
"Apa kau tahu ke mana kira-kira Arvand membawa anak itu?" tanya Kanaya saat mereka sudah kembali ke kantor.
Luca menggeleng, meski begitu dia nampak berpikir keras.
"Dia tidak mungkin kembali ke organisasi sambil membawa anak itu," ucapnya pelan.
"Jadi, dia selama ini pasti bersembunyi di luar dan tempat itu, dari petunjuk yang ditinggalkan adalah tempat itu adalah tempat yang juga kutahu. Masalahnya adalah letak tempat itu."
"Kau mungkin pernah berada di sana bersamanya atau mungkin tempat itu sangat berarti bagi Arvand," sahut Sabrina.
Luca masih diam. Tidak lama, ia seperti bergumam seorang diri,
"Rumah kami sudah lama hancur. Aku berpisah dengan dia saat kami masih kecil."
Ia lalu bangkit berdiri.
"Kurasa dia berada di tempat dekat rumah kami dulu," cetusnya sembari bergegas. Yang lain segera mengikuti.
***
Mereka tiba di sebuah tempat yang hanya berupa reruntuhan. Setelah dihancurkan, rupanya tempat itu justru menjadi lahan sengketa dan akhirnya tidak terurus. Banyak rerumputan dan tumbuhan liar di daerah tersebut.
Luca nampak termenung menatap bsngunan itu. Dulu, di masa kecilnya, tempat itu pernah menjadi tempat terindah yang disebut rumah.
Sabrina menepuk pelan bahu pemuda itu.
"Aku tahu ini pasti berat untukmu, tapi, kau harus berusaha untuk mengingat semua. Kita harus menemukan anak Shelly. Bayi itu belum cukup umur. Semakin lama kita menemukannya, dia mungkin berada dalam bahaya," ujarnya. Dia tidak ingin mendesak Luca, tetapi dirinya juga tidak memiliki pilihan lain.
Luca tersenyum pahit sambil mengangkat bahu.
"Aku bahkan tidak bisa mengingat seperti apa wajah mereka. Orang tuaku dan orang-orang yang tinggal di sini. Semua hanya tinggal kenangan samar. Itulah yang membuatku merasa sedih. Aku lupa seperti apa orang-orang yang pernah berarti untukku. Semua hanya kenangan samar," ucapnya.
"Aku mengerti," jawab Sabrina sambil memeluk pemuda itu.
***
Mereka menjelajah di tempat itu. Sesampai di sebuah tempat yang ditumbuhi padang ilalang, Luca kembali diam sembari menatap sekeliling. Dia ingat bahwa ini adalah tempat dirinya dan yang lain dulu bermain. Tanah lapang tersebut sudah banyak berubah.
Kanaya dan Darren menghampiri mereka berdua. Tadi semua berpencar untuk mencari tahu tentang tempat tersebut. Kanaya bahkan memanggil dan mengerahkan anak buah.
"Tidak ada apa pun di sini, kecuali tempat yang terbengkalai. Apa kau yakin tidak ada tempat lain yang mungkin dituju kakakmu?" tanya Kanaya.
Luca diam sejenak dan melihat sekeliling. Dia lalu kembali berjalan.
"Ada sebuah bangunan dekat sini. Mungkin dia berada di sana," ujarnya sambil terus berjalan.
"Apa kalian berdua sering ke tempat itu?" tanya Kanaya sembari mengikuti.
"Arvand mengajar kami di tempat itu."
"Maksudnya?"
"Dulu yang tinggal di sini adalah keluarga yang kurang mampu. Anak-anak mereka banyak yang tidak sekolah, jadi Arvand mengajari mereka semua."
"Apa kau juga belajar di sana?" tanya Sabrina.
"Awalnya tidak, karena aku lebih suka bermain, tetapi Arvand selalu mengajakku."
"Pasti karena itu dia dengan mudah mendapat korban anak kecil," tukas Kanaya.
Luca hanya mengangguk. Waktu itu dia masih kecil dan tidak memikirkan teman-temannya yang menghilang satu per satu.
***
Bangunan itu nampak kuno dan tua. Beberapa bagian terlihat runtuh karena lapuk dan ditumbuhi lumut. Tidak mungkin rasanya ada orang yang tinggal di dalamnya.
"Tempat ini kosong sejak dulu. Entah siapa yang membangun, tetapi lalu ditinggalkan begitu saja. Arvand lalu menjadikan tempat ini seperti sekolah untuk mengajar anak-anak," jelas Luca.
"Meski aku yang membawa kalian ke sini, aku tidak menduga kalau bangunan ini masih berdiri," lanjutnya lagi sembari kembali melangkah.
"Ayo kita masuk," gumamnya sembari membuka pintu yang tidak terkunci.
Decit bunyi gesekan logam pintu yang berkarat terdengar keras, tetapi tidak menyurutkan langkah mereka berempat untuk bergegas masuk.
***
"Hati-hati," bisik Darren sembari membantu Kanaya berjalan. Dia melihat sekeliling. Beberapa bagian bangunan di atas kepala mereka tidak lagi terpasang kokoh. Bagian tersebut bisa saja jatuh sewaktu-waktu dan menimpa mereka.
Di depan, Luca terus berjalan. Sesekali dia juga berhenti seperti berusaha mengingat sesuatu.
Luca sampai di depan sebuah pintu. Perlahan tangannya meraih dan memutar handel pintu. Dia seperti mengalami dejavu. Kenangan dirinya sewaktu kecil sedang memutar gagang pintu tersebut seolah muncul nyata di hadapannya. Setelah pintu terbuka, Luca bergegas masuk.
"Selamat datang, adikku," seru suara di dalam mengejutkan Luca. Pemuda itu segera menyorotkan senter ke sekeliling karena ruangan tersebut cukup gelap.
"Aku senang kau datang. Akhirnya kau bisa menemukan aku. Sayangnya, kau tidak datang seorang diri seperti yang kuharapkan. Jadi, aku tidak punya pilihan lain, kecuali menghabisi mereka yang ikut bersamamu."