"Aku juga mencemaskan hal lain," ucap Luca pelan.
"Soal Kanaya?" tanya Sabrina.
Pemuda itu mengangguk.
"Itu salah satu alasan juga kenapa aku merahasiakannya. Aku melihat hubungan mereka dekat. Kanaya pasti akan amat terpukul jika tahu Ayah Adrian terlibat dalam kasus ini."
"Tidak ada rahasia yang bisa disembunyikan selamanya, Luca. Suatu saat rahasia tersebut juga pasti akan terkuak. Meski sekarang Kanaya kembali dilukai oleh orang yang dia percaya dan hormati, tetapi dia wanita yang kuat. Lihat saja peristiwa yang menimpa dia, tetapi dia tetap selalu bangkit. Karena itu, aku sangat kagum dan hormat padanya," tutur gadis itu.
Percakapan mereka terhenti saat melihat Darren yang menghampiri dengan tergesa.
"Di mana Kanaya?" tanya pemuda itu.
"Dia masih berada di kantor Pak Dewandra. Sebaiknya kamu menyusul ke sana. Dia pasti membutuhkanmu," jawab Sabrina. Pemuda itu mengangguk dan bergegas.
"Sekarang aku semakin tidak cemas," ucap Sabrina lagi sembari melihat ke arah Darren pergi.
"Karena ada orang yang mencintai dan melindungi Kanaya."
***
Para wartawan ternyata telah berkerumun di halaman. Saat melihat Sabrina dan Luca, mereka segera menghampiri.
"Semua sudah teratasi. Kasus ini sedang kami tangani. Soal Pak Dewandra, dia baik-baik saja. Akan tetapi kami akan menyelidiki kasus ini lebih lanjut, karena ternyata Pak Dewandra memang terlibat dalam kejahatan serius," ujar Sabrina pada mereka.
"Benarkah? Kejahatan apa yang beliau lakukan? Apa dia terlibat?" tanya seorang wartawan sembari mengalihkan kamera kepada Luca.
Sabrina menoleh sekilas kepada pemuda di sampingnya itu.
"Kejahatan yang telah melukai banyak orang. Membuat banyak orang kehilangan yang berharga. Kami tidak bisa memberitahukan banyak saat ini. Harap bersabar menunggu pengumuman resmi," tuturnya sembari mengajak Luca pergi.
***
Kanaya masih berdiri menatap pria di depannya itu.
"Beritahu aku, Ayah. Kenapa Ayah tega melakukannya? Ayah juga melihat apa yang terjadi pada Adrian, juga Kayla. Dan semua itu karena perbuatan Ayah," ucapnya dengan suara penuh amarah.
"Kamu tidak akan mengerti. Ayah juga tidak menduga semua akan menjadi seperti ini," sahut lelaki yang masih duduk di kursinya. Wajahnya sedikit memperlihatkan kesedihan.
"Benarkah? Tapi jika Ayah memang menyesal, bukankah Ayah seharusnya berhenti? Kenapa Ayah masih mengincar Luca? Ayah bahkan berniat mencelakakan kami!"
"Luca terlalu banyak tahu tentang organisasi. Ayah tidak punya pilihan lain kecuali membungkam mulutnya."
"Apa karena itu Ayah juga berencana melakukan hal yang sama kepada kami? Karena Luca memberitahu semua tentang organisasi kepada kami?"
"Seharusnya hal itu memang tetap menjadi rahasia yang tidak pernah terungkap. Semua ini terjadi karena Reina. Gadis pembawa masalah itu yang menyebabkan semua berantakan. Baguslah dia sudah mati."
Kanaya menatap tidak percaya kepada lelaki itu. Kata-kata semacam itu tidak pernah dia dengar sebelumnya dari sosok ayah mertuanya. Beliau selama ini selalu begitu lembut dan kebapakan, tetapi ternyata semua itu topeng untuk menipu orang-orang, termasuk dirinya.
"Lalu benarkah Ayah sungguh-sungguh menyesal? Kelihatannya Ayah tidak peduli meski Adrian dan Kayla telah menjadi korban."
"Ayah memang sedih karena mereka meninggal, tetapi tetap saja Ayah harus bertahan. Bertahun-tahun Ayah merintis usaha, tidak mungkin dibuang begitu saja. Lagipula mereka yang tiada tidak mungkin kembali. Ayah tidak mau terkurung dalam kesedihan. Hal itu bisa membawa kerugian. Perusahaan bisa bangkrut dan Ayah jatuh miskin. Ayah tidak mau hal itu terjadi," tutur lelaki itu kalem seolah mencoba memberi pengertian kepada Kanaya.
Namun mana bisa Kanaya mengerti? Lelaki itu ternyata lebih peduli uang dan keuntungan. Ia tidak peduli pada keluarganya sendiri.
"Ternyata uang jauh lebih penting untuk Ayah, hingga tidak segan mengorbankan orang lain, termasuk putra dan cucu Ayah sendiri," gumamnya pelan.
"Benar. Aku memang orang yang seperti itu. Aku tidak peduli pada kalian. Uang itu segalanya. Kau tidak tahu apa-apa, karena tidak pernah merasa kekurangan dan kelaparan. Sedang aku merintis semua dari bawah. Mana bisa kubiarkan hancur begitu saja?" gertak lelaki itu sembari balas menatap Kanaya tajam.
"Kanaya …," panggil Darren yang bergegas masuk saat mendengar teriakan itu.
"Tenangkan dirimu, Kanaya," ucap pemuda itu lagi sembari merangkul pundak Kanaya yang gemetar.
"A-pa Ayah tidak merasa semua ini adalah karma?" tanya Kanaya dengan air mata menetes.
"Ayah telah menghancurkan kehidupan begitu banyak orang. Sekarang putra dan cucu Ayah yang menanggung hukuman karena dosa Ayah."
"Ayah tidak bersalah. Bukan Ayah yang membunuh mereka, tetapi semua terjadi karena Luca dan Reina. Jika mencari penyebab, salahkan saja mereka. Ayah tidak menjadikanmu untuk bisa menangkap Ayah, tetapi untuk membela Ayah di saat seperti ini. Semua ini salah Luca dan Reina. Coba saja mereka tidak melarikan diri, masalah tidak akan serunyam ini."
***
"Kanaya, kau tidak apa-apa?" tanya Sabrina sembari bergegas menghampiri. Sementara petugas telah membawa ayah Adrian untuk diperiksa lebih lanjut.
Wanita itu mengangguk.
"Aku tidak apa-apa. Memang peristiwa ini membuatku terpukul, tetapi aku baik-baik saja sekarang. Setidaknya aku tahu bahwa musuh mungkin tidak terduga dan bisa saja dia orang terdekatku," gumam Kanaya sembari melihat ke arah mobil tahanan yang membawa mantan mertuanya.
"Kau harus tetap kuat, Kanaya, karena kau memiliki kami, teman-temanmu. Kami tidak akan mengkhianatimu," ujar Sabrina diiringi anggukan Darren.
Kanaya mengangguk sembari tersenyum. Kehadiran merekalah yang selama ini memberi kekuatan baginya. Dia tahu Sabrina dan yang lain selalu menganggap wanita yang kuat, tetapi sebenarnya kehadiran mereka yang membuat dia bisa bertahan.
'Tanpa kalian, aku mungkin sudah lama hancur,' gumam wanita itu dalam hati.
"Oh ya, di mana Luca? Aku ingin bicara dengannya," pinta Kanaya.
***
Luca membawa secangkir kopi dan memberika kepada Kanaya. Mereka baru saja kembali ke kantor. Saat ini, Darren dan Sabrina sedang menangani interogasi terhadap ayah Adrian.
"Ada apa? Sabrina bilang kau ingin bicara padaku?" tanya pemuda itu seraya duduk di hadapan Kanaya.
"Kau benar-benar beruntung, Luca. Setelah membuat begitu banyak kekacauan, masih saja bisa lolos," ucap Kanaya.
Luca hanya mengangkat bahu.
"Mungkin. Bisa dibilang seperti itu," sahutnya.
"Tapi, mengapa aku merasa kau sengaja melakukannya?"
"Apa maksudmu?"
Kanaya tertawa kecil sambil menggeleng.
"Ayolah, Luca, jangan seperti ini. Bukankah kita semua sudah sepakat tidak akan ada rahasia lagi?" ujarnya.
"Aku benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan ini."
"Benarkah? Bagaimana kalau kuperjelas? Kau sengaja ke sana, melakukan penyanderaan dan sebagainya. Lalu berharap kami tidak akan tahu? Itu benar-benar tidak mungkin. Kau pasti sudah memikirkan semua masak-masak," tukas Kanaya.
Luca tersenyum sambil mengangkat bahu.
"Pantas saja Sabrina begitu mengidolakanmu, ternyata kau memang pintar," ucapnya.
"Jadi, bagaimana? Apa semua berjalan sesuai rencanamu?"
"Tentu saja. Seperti yang kau bilang, aku sudah menyusun semua dengan sempurna," sahut Luca lagi sembari menyeringai.
***
"Bagaimana bisa kau merancang ini? Kau bahkan tidak memberitahu Sabrina. Kau tahu dia sangat mencemaskanmu?" sergah Kanaya emosi.
"Aku tahu. Hanya saja jika aku memberitahu dia. Dia pasti akan melarang aku terlibat. Kau lihat sendiri betapa cemasnya dia padaku. Melarangku bekerja sebagai informan, juga berkata akan melindungiku," jawab Luca seraya mengangguk.
Kanaya diam sambil menghela napas panjang.
"Bagaimanapun juga aku berterima kasih padamu," ujar wanita itu akhirnya.
"Kasus ini terkuak lagi berkatmu. Kau melakukan ini pasti, selain untuk menjaga kami, juga karena khawatir kami tidak akan percaya padamu jika kau memberitahu kami secara langsung."
Luca hanya mengangguk.
"Baiklah, aku akui semuanya, karena sudah terkuak. Aku memang memikirkan rencana ini karena itu. Selain itu untuk memenuhi keinginan terakhir Arvand. Dia ingin aku melakukan balas dendam untuknya karena itu dia meninggalkan pesan untukku," ucapnya.
"Kurasa dia masih ingin kau menjadi bayangannya."
Pemuda itu kembali mengangguk.
"Sekarang bagaimana perasaanmu setelah semua ini? Kau pasti terpukul saat tahu Pak Dewandra …."
"Benar," ucap Kanaya sambil mengangguk.
"Tetapi setidaknya sekarang kasus ini semakin menemukan titik-terang. Adrian dan Kayla mungkin selama ini sedih dan tidak tenang mengetahui kejahatan beliau, tetapi mereka kini bisa damai di sana. Dan mungkin aku juga akan bisa membuka lembaran baru hidupku."
Pemuda di sampingnya itu tersenyum dan mengangguk.
"Baguslah. Jangan sampai Darren menunggu terlalu lama," ucap Luca seraya meletakkan gelas kopinya di atas meja dan bangkit berdiri.
Kanaya juga ikut bangkit berdiri.
"Sabrina benar, kamu adalah pemuda yang baik, Luca. Terima kasih karena sudah berusaha melindungi kami semua," ujarnya sembari mengulurkan tangan kanannya. Luca balas menjabat uluran tangan itu.
"Aku juga," sahutnya singkat sembari tersenyum.
"Senang bisa bekerjasama denganmu, Luca. Aku harap kau bisa terus membantu," ujar Kanaya.
"Meski begitu, aku tidak mau kau melakukan ini lagi. Sebelum bertindak nekat, pikirkan tentang Sabrina. Dia sudah seperti adikku sendiri. Aku tidak mau dia sedih karena memikirkan kemungkinan dirimu berada dalam bahaya."
"Baiklah. Aku berjanji padamu. Namun, kau juga harus berjanji untuk segera menerima Darren. Pemuda itu tulus mencintaimu. Kau tidak seharusnya membiarkan dia menunggu terlalu lama," sahut Luca. Kanaya hanya tersenyum dan mengangguk.
***
Luca kemudian menemui Sabrina yang baru saja keluar dari ruang interogasi.
"Bagaimana? Apa dia mengakui sesuatu?" sergah pemuda itu. Sabrina menggeleng.
"Tidak. Dia tetap bungkam dan sekarang justru dibawa ke rumah sakit, karena berusaha membunuh dirinya sendiri. Dia bilang menyesal telah membuat Adrian dan Kayla meninggal, karena itu ia berniat menyusul mereka," tutur Sabrina.
"Tapi, ada satu hal yang tidak kumengerti. Kalian, orang-orang dari organisasi selalu memilih jalan kematian setiap kali rencana berantakan. Apakah memang seperti itu ajaran yang didapat di dalam sana?" tanya gadis itu lagi.
Luca mengangguk.
"Memang begitulah yang mereka ajarkan. Kami siap membunuh orang, tetapi juga siap untuk mati di saat rencana gagal," sahutnya.
"Mengerikan," gumam Sabrina pelan.
"Tapi bagaimana ini? Jika dia tetap bungkam, kita kembali menemui jalan buntu."
"Jangan khawatir. Dia sudah memberikan informasi itu padaku. Aku tidak mau ada rahasia lagi, jadi aku akan mengatakan semua kepada kalian," ujar Luca sembari tersenyum kecil.
***
"Jadi bagaimana? Tidak ada informasi yang berhasil dari Pak Dewandra?" tanya Pak Boby saat memanggil Kanaya ke ruangan kantornya.
"Benar, tetapi saat bersama Luca, Pak Dewandra sempat memberi informasi tentang pelaku utama di balik kasus ini. Masalahnya dia bukan orang yang mudah ditangani."
"Maksudmu?"
"Pak Yan Rasyid. Kata Luca, nama itulah yang disebut oleh Pak Dewandra padanya."
"Maksudmu Pak Yan Rasyid yang pejabat dan calon menteri itu?" tanya pria itu sembari memajukan tubuh. Kasus ini benar-benar menarik. Siapa sangka di balik semua ada orang besar yang terlibat?
"Benar, tetapi kita tidak bisa percaya hal itu begitu saja. Selain itu, karena masalah yang terjadi akibat Luca bertindak sendiri, kurasa sekalipun terlihat beliau pasti sudah waspada."
"Tetap saja, kita tidak bisa berdiam diri. Kita harus menyelidiki keseluruhan kasus ini. Jika sampai sesuatu terjadi, mungkin kita pula yang akan menanggung seluruh akibatnya," tukas sang pimpinan.
"Tapi jika kita melakukan kesalahan, reputasi kita juga akan jatuh. Kalau dia memang terlibat, bukti yang kita cari tidak akan mudah ditemukan. Jika kita menahan dia tanpa bukti, dia bisa berbalik menuntut kita dan selanjutnya nama baik kantor ini pasti buruk,"
Pak Boby tertawa kecil.
"Apa kau takut, Aya? Biasanya kau selalu maju tanpa peduli siapa lawanmu. Apa kali seorang berkedudukan tinggi membuatmu gemetar ketakutan?" tanyanya.
Wanita itu tersenyum dan menggeleng. Tangannya meraih cangkir berisi kopi yang sudah mendingin sejak tadi. Setelah meneguk sesaat, dia kembali meletakkan cangkir tersebut di meja yang berada di hadapannya.
"Aku tidak takut. Aku hanya ingin memberitahu Anda resikonya, karena aku dan yang lain akan tetap mengusut ini meski tanpa persetujuan Anda."
"Aku senang semangatmu itu, Aya. Dan siapa bilang aku tidak setuju? Aku akan tetap mendukungmu meski reputasi kita dipertaruhkan. Aku mau kebenaran itu terkuak, Aya."
Pria kemudian bangkit berdiri. Kanaya juga ikut beranjak dari duduknya.
"Baiklah, Aya, lakukan perintahku. Selidiki kasus ini sampai tuntas. Tangkap siapa pun pelakunya, meski dia raja atau dewa sekalipun, hukum akan tetap berlaku," ujarnya seraya menepuk pelan pundak anak buahnya itu.
"Musuh kali ini tidaklah mudah, kalian harus berhati-hati," lanjutnya lagi.
"Dan soal Luca, awasi dia. Dia itu cerdas, tetapi tidak mengerti prosedur, karena tidak terlatih di bidang ini. Jangan sampai dia bertindak sembarangan lagi dan membuat semua orang dalam bahaya."
Kanaya mengangguk mengerti dan segera pamit mohon diri.
***
Sabrina dan Luca sedang duduk berdampingan di bangku dekat gudang penyimpanan yang sepi. Gudang itu sudah lama tidak terpakai karena sudah penuh sesak oleh berkas-berkas serta barang sitaan. Karena itu jarang ada orang pergi ke tempat tersebut.
"Apa kamu masih marah?" tanya Luca. Sedari tadi, Sabrina bersikap dingin padanya. Meski waktu penangkapan Pak Dewandra, gadis itu tampak mencemaskannya. Namun, kini Sabrina justru terlihat kesal.
"Aku 'kan sudah meminta maaf," gumam pemuda itu lagi.
Sabrina menggeleng.
"Apa kamu pikir itu cukup? Aku sangat mengkhawatirkanmu, tapi kamu malah bertindak seenaknya sendiri. Apa kamu tidak memikirkan aku sebelum bertindak? Bagaimana kamu bisa begitu ceriboh? Kamu ingin mati tanpa berkata apa pun padaku?" sergahnya sembari mengusap air mata yang menitik.
"Sabrina," desah Luca sembari menarik napas panjang.
"Baiklah, aku berjanji tidak akan melakukannya lagi. Bagaimana? Apa sekarang kamu sudah tidak marah padaku?"
"Bagaimana aku bisa percaya padamu? Kamu selalu mengingkari janji yang kamu buat sendiri.
Luca merengkuh tubuh gadis itu dalam pelukan dan mencium bibirnya lembut.
"Kali ini aku sungguh-sungguh. Aku berjanji tidak akan menyimpan rahasia atau melakukan hal berbahaya seorang diri. Aku minta maaf soal yang terjadi. Kamu bisa memaafkan aku, bukan?" tanya pemuda itu pelan.
Sabrina hanya mengangguk. Kali ini dia yang bertindak mencium pemuda itu lebih dulu.