Chereads / lover secret / Chapter 38 - tiga delapan

Chapter 38 - tiga delapan

Sosok berjubah putih dan mengenakan masker tersebut berjalan tenang di lorong rumah sakit. Dia lalu segera masuk ke kamar tempat Pak Dewandra dirawat. Petugas yang berjaga tidak menghalangi atau menaruh curiga. Tangannya bergerak mengambil salah satu bantal yang tergeletak di tempat tidur dan hendak membekapkan ke wajah lelaki paruh baya itu.

"Hei kau!" tegur Luca yang tiba-tiba muncul di belakangnya. Sosok itu berbalik dan hendak melawan. Namun, Luca kemudian meninju wajah orang itu dengan keras sehingga tergeletak tidak sadarkan diri.

"Ah, sial. Kalian masih saja sama. Saling menghabisi untuk menjaga rahasia. Benar-benar melelahkan," gumam pemuda itu.

Ia kemudian berjalan mendekat ke arah Pak Dewandra.

"Seharusnya kau mati saja di tanganku. Setidaknya aku tidak perlu menolongmu," ucapnya.

Pintu terbuka. Kanaya dan Sabrina bergegas masuk.

"Luca," tegur Sabrina keras.

"Kenapa kau melakukan ini? Apa kau lupa dengan yang kita rencanakan? Bukannya menangkap dia untuk bisa diinterogasi, kau malah membuatnya pingsan."

"Maaf," sahut pemuda itu sembari tersenyum.

"Tapi tadi dia melawan dan aku hanya membela diri."

"Sudahlah, kalian jangan bertengkar. Sekarang dia dibawa saja ke kantor," ujar Kanaya sembari mengangguk. Beberapa petugas segera menghampiri orang yang tidak sadarkan diri itu dan membawanya keluar.

***

Sabrina masih saja terlihat kesal. Sejak awal dia sudah menentang rencana ini.

"Aku akan bersembunyi di sana untuk melindungi dia," ucap Luca kala itu saat mereka membicarakan kemungkinan Pak Dewandra diserang di rumah sakit.

"Organisasi tidak pernah melepaskan seorangpun. Jika salah seorang dari mereka tertangkap, pilihannya hanya satu. Kematian. Terserah mau bunuh diri atau dibunuh. Mereka pasti tahu kalau usaha bunuh diri itu gagal dan beliau dirawat di rumah sakit, jadi mereka akan datang untuk membunuh," tutur Luca.

"Aku tahu," ujar Kanaya.

"Hal ini sudah berulangkali terjadi. Saat ini kau dan Pak Dewandra sama-sama saksi kunci dari kasus ini. Seharusnya kau tidak ke sana. Itu bisa saja berbahaya."

"Ada hal lain yang harus kutuntaskan dengan Pak Dewandra. Kalian percaya saja padaku," sahut Luca seraya menyeringai senang.

***

"Menuntaskan? Menuntaskan apa? Ini pasti tipu dayamu lagi. Selain menonjok orang hingga pingsan, tidak ada hal lain yang kalian bicarakan," ucap Sabrina saat mereka keluar dari rumah sakit.

"Apa kau tidak dengar tadi, Pak Dewandra bersedia menjadi saksi untuk kasus ini?"

"Tentu saja dia bersedia. Kau berkata telah menyelamatkan dia. Selanjutnya kau berkata lagi padanya, akan melemparkan dia dari atap rumah sakit. Dia pasti takut padamu. Bagaimanapun juga, beliau seorang pengusaha, bukan pembunuh."

"Seharusnya dia tidak perlu takut kalau benar-benar ingin mati."

"Ah sudahlah, percuma bicara denganmu. Asal tahu saja, bukan begini cara kerja kami, kau masih harus banyak belajar. Kesaksian di bawah ancaman tidak bisa diterima," tutur Sabrina panjang lebar.

"Baiklah, aku memang salah, tapi karena aku tidak bekerja di kantor kalian, kurasa itu tidak masalah."

"Luca!" teriak Sabrina kesal.

Pemuda itu tersenyum dan meraih tubuh gadis itu. Ia lalu memeluknya dari belakang.

"Aku minta maaf selalu membuatmu cemas, tapi aku akan berusaha untuk menjadi lebih baik," bisiknya.

Beberapa orang yang lalu-lalang keluar dan masuk ke rumah sakit menoleh dan melihat mereka seraya menggelengkan kepala.

"Luca, sudah ah. Jangan berbuat kayak gini, deh. Malu tuh dilihat banyak orang," ujar Sabrina dengan raut bersemu dadu.

"Kenapa malu? 'Kan mereka pasti sudah menduga kalau kita ini sepasang kekasih yang dimabuk asmara."

"Luca, apa yang kamu tonton dan baca belakangan ini?"

"Darren yang meminjamkan padaku. Katanya untuk merayu kamu saat sedang marah," jawab pemuda itu polos.

"Akh dasar!" dumel Sabrina seraya melepaskan diri dari pelukan Luca dan bergegas. Luca segera mengikuti.

'Ada-ada saja Darren itu, padahal dia sendiri belum bisa mendapatkan Kanaya,' gumam Sabrina dalam hati.

***

Luca berjalan mondar-mandir seorang diri di kantor. Kanaya dan yang lain sedang berangkat untuk melakukan penggeledahan di rumah dan kantor Pak Yan Rasyid. Pria yang kemarin dihajarnya tetap bungkam meski pertanyaan diajukan. Dia malah menantang mereka untuk membunuhnya. Membujuknya menyerah juga percuma. Dia hanya orang bayaran yang Luca sendiri ragu terlibat dengan organisasi.

"Mereka sengaja menyewa orang luar agar rahasia di dalam tetap aman," tukas Luca saat rapat.

"Kurasa mereka sudah tidak lagi meremehkan kita dan bertindak semakin hati-hati."

"Kamu benar," sahut Kanaya.

"Tapi kita harus tetap melanjutkan sesuai prosedur yang ada."

Luca kembali duduk dengan cemas.

'Mereka belum juga kembali. Jika ini gagal, maka semua akan berantakan,' gumamnya dalam hati.

Pemuda itu menggeleng.

"Seharusnya mereka membiarkan aku mengatasi ini dengan caraku," ujarnya.

"Sesuai prosedur, mereka hanya akan gagal."

***

Kanaya dan timnya melakukan penggeledahan. Tidak ada yang aneh di rumah dan perusahaan yang dimiliki Pak Yan Rasyid. Yang ditemukan hanyalah setumpuk berkas tentang perusahaan.

"Kalian akan merasakan balasan karena telah mencoreng nama baik kami. Kami tidak terima ini. Kami pasti akan menuntut kalian," kata seorang manajer yang bekerja di perusahaan tersebut seraya menatap Kanaya tajam.

"Kita lihat saja nanti siapa yang akhirnya akan jatuh," sahut Kanaya tanpa gentar.

***

"Jadi kalian tidak menemukan apa pun yang mencurigakan?" tanya Pak Boby saat anak buahnya itu kembali ke kantor.

Kanaya mengangguk.

"Beberapa file masih terus diperiksa, tetapi sejauh ini tidak ada yang janggal," jawabnya.

"Mereka pasti sudah bersiap dan menyingkirkan semua," gumam lelaki paruh baya itu pelan.

"Kenapa kita tidak melakukan ini sesuai caraku? Jika kalian tidak terus menahanku, maka aku pasti ke sana sendiri dan bertanya kepada Pak Yan Rasyid. Aku bisa memaksa dia mengaku bahwa dirinya memang pemimpin organisasi," sahut Luca.

Sabrina menggeleng dan mengajak Luca keluar dari ruangan tempat mereka biasa mengadakan rapat.

"Ikut aku!" desisnya. Pak Boby dan yang lain melihat kepada mereka.

"Sabrina …."

"Ikut aku sekarang!" tegas gadis itu lagi seraya menggamit tangan Luca.

***

Mereka telah berada di luar sekian lama. Hari yang semula benderang telah berganti temaram, tetapi semenjak tadi Sabrina hanya diam.

"Aku hanya ingin kita cepat menuntaskan kasus ini," ucap Luca. Pemuda itu sadar Sabrina pasti marah lagi padanya. Dirinya telah berjanji untuk tidak bertindak sembrono lagi, tetapi tetap saja dia tidak bisa bersabar dan menunggu kemungkinan bukti yang mungkin telah musnah akan muncul.

"Aku ingin dia segera tertangkap dan aku bisa segera meresmikan hubungan denganmu," ujar Luca lagi.

Pemuda itu lalu meraih tangan Sabrina dan menggenggam erat. Mata hitamnya bertemu dengan netra bening gadis itu.

"Sabrina, aku ingin menikah denganmu, tapi sebelum kasus ini sepenuhnya selesai, aku tidak bisa tenang, mereka pasti akan mencari cara untuk meneror kita," tutur Luca pelan.

Gadis itu tersenyum kecil.

"Aku bersedia menikah denganmu, tetapi kau tidak boleh bertindak bodoh. Aku menikah karena ingin merengkuh kebahagiaan bersamamu, bukan mencemaskanmu setiap saat. Apa kau mengerti?" ucapnya.

Luca mengangguk. Mereka berdua lalu berpelukan.

'Luca, aku ingin menjagamu. Bukan dirimu yang terus menjagaku, karena dirimu sangat berarti untukku,' bisik Sabrina dalam hati.

***

"Bagaimana? Kau berhasil lagi membujuk dia?" tanya Kanaya saat dirinya dan Sabrina berada di kantin. Luca dan Darren sedang mengantri untuk memesan makanan.

Sabrina yang tampak melamun mengangguk. Tatapannya tertuju kepada Luca. Pemuda itu harus terus diawasi agar tidak bertindak semaunya. Itulah yang diperintahkan Pak Boby kepada mereka.

"Luca memang cerdas. Kasus ini tidak akan mengalami kemajuan sepesat ini jika bukan karena dia. Jujur aku ingin merekrut dia untuk bekerja pada kita, tetapi sekarang bukan saat yang tepat. Dia harus belajar untuk mengendalikan emosinya dulu. Belajar untuk menahan diri agar tidak membunuh setiap penjahat yang ditemui," tutur Pak Boby saat memanggil Kanaya dan Sabrina ke ruangannya.

"Sabrina, aku tahu kau dan Luca terlibat hubungan asmara, aku tidak akan melarang. Justru aku akan memintamu untuk terus mengawasi dia. Kurasa hanya dirimu yang bisa mengendalikan dirinya," ucap pimpinan mereka itu lagi. Sabrina hanya mengangguk.

'Aku akan melakukannya meski tanpa disuruh, karena aku tidak mau terjadi sesuatu pada Luca. Aku ingin bisa selalu bersama dengannya dan melindungi dia. Kuharap Luca mau mengerti bahwa aku sangat mencintai dia dan tidak mau dia menghancurkan hidupnya demi aku,' ucap Sabrina dalam hati.

Deheman keras Kanaya membuat gadis itu terbangun dari lamunan. Wanita yang duduk di depannya itu tersenyum sambil menggeleng.

"Luca sudah melamarku," ucap Sabrina pelan.

"Karena itu, aku harus bisa menjaga dia. Aku tidak mau terjadi sesuatu padanya."

Raut wajah Kanaya berubah cerah.

"Dia sudah melamarmu? Wah baguslah. Selamat, ya? Seharusnya kau jangan bermuram-durja lagi. Aku tahu perasaan Luca tulus padamu. Dia pasti tidak keberatan jika kau memintanya untuk tidak bertindak sembarangan lagi," ujarnya.

"Justru dia buru-buru agar kasus ini bisa segera selesai agar kami dapat secepatnya menikah. Aku takut dia bertindak bodoh lagi."

Kanaya mengangguk sambil tersenyum.

"Aku tahu, tapi kamu jangan cemas, aku dan Darren akan ikut membantu mengawasi Luca."

"Lalu bagaimana denganmu? Kapan kamu dan Darren akan menikah juga?" tanya Sabrina tiba-tiba. Kanaya tertegun. Begitu pula Darren yang kembali sambil membawa makanan dan mendengar jelas pertanyaan Sabrina.

***

"Jadi mereka berani berbuat sejauh itu? Benar-benar membuat malu. Berani betul mereka melakukan penggeledahan di rumah dan perusahaanku!" seru Pak Yan Rasyid dengan penuh amarah.

Orang di depannya yang melaporkan hal itu hanya menunduk. Dia tahu persis seperti apa lelaki paruh tersebut jika sedang marah. Tendangan dan pukulan pasti akan melayang pada mereka yang dianggap tidak becus bekerja. Beberapa orang yang sempat bekerja pada beliau ada yang dikabarkan menghilang dan tidak terdengar kabarnya. Hanya saja karena memiliki jabatan tinggi, jadi tidak ada yang berani mengusik. Semua senyum ramah dan kebaikan yang ditunjukkan di depan publik hanyalah topeng kepalsuan untuk menutupi sosok beliau yang sebenarnya.

"Kita bisa menuntut mereka jika Anda menginginkannya. Saat kita menuntut jumlah yang besar, kantor detektif itu pasti akan pailit dan tidak bisa berkutik lagi."

Pak Yan tertawa terbahak. Dia kemudian menggeleng.

"Tidak, tidak, biarkan saja mereka. Aku ingin tahu mereka bisa bertindak sejauh apa. Saat mereka sudah merasa menang, barulah kita beri pukulan. Itu akan terasa lebih menyenangkan," ucapnya. Dia lalu kembali melihat ke layar. Gambar sosok Luca terdapat di sana.

'Kamu bisa mengalahkan orang-orangku, tetapi kamu tidak akan bisa mengalahkan aku. Sebaliknya justru aku yang akan menghancurkan kamu, Pengkhianat,' ucapnya pelan.

'Jadi jangan merasa menang. Selama ini yang kamu hadapi hanya orang-orang bodoh. Sedang aku lebih pintar dari mereka semua."

***

Surat pemanggilan untuk Pak Yan Rasyid telah resmi dikeluarkan. Karena tidak ditemukan bukti setelah penyelidikan menyeluruh selesai. Jadi mereka hanya bisa mengandalkan kesaksian Pak Dewandra. Mereka telah mengirimkan surat itu dan kini hanya bisa menunggu sambil berharap cemas.

"Dia pasti datang karena merasa kesal dan marah kepada kita," ucap Kanaya kepada rekan-rekannya.

"Meski bukan untuk kasus organisasi, dia akan datang karena penggeledahan yang telah kita lakukan."

"Tetapi dasarnya hanya kesaksian saja. Itu sangat lemah," ucap Darren pelan.

"Aku tahu, tetapi aku penasaran bagaimana reaksinya setelah bertemu kita. Karena itu, kita melakukan penggeledahan lebih dulu untuk memancing dia keluar. Jika tidak, mungkin dia tidak akan pernah menginjakkan kaki di kantor kita ini," jawab wanita itu sambil tersenyum tenang.

***

Pak Yan Rasyid berusaha memendam amarah dan datang memenuhi panggilan. Setelah menempuh perjalanan tidak berapa lama, dia tiba di kantor tersebut. Para wartawan tiba-tiba berdatangan dan mengajukan pertanyaan.

"Aku tidak bersalah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ini hanya kesalahpahaman. Aku datang untuk meluruskan masalah ini," ucap lelaki itu kepada kerumunan awak media seraya bergegas masuk ke dalam kantor tersebut.

Setelah berbicara dengan mereka, beliau bergegas masuk ke dalam kantor.

Dari dalam, Kanaya dan yang lain mengawasi semua itu. Jendela kaca bening yang berada di bagian depan kantor memperlihatkan dengan jelas kejadian di luar.

"Bagaimana bisa ada begitu banyak wartawan? Kita tidak memberitahu mereka tentang kasus ini. Apa salah satu dari kita telah membocorkannya?" ujar Darren bertanya-tanya.

Kanaya menggeleng.

"Kurasa Pak Yan sendiri yang membocorkan. Dia begitu yakin dirinya bisa lolos dari kasus ini dan balik mempermalukan kita," ujarnya.

Dugaan detektif wanita itu tidak salah. Pak Yan yang baru saja masuk berbicara dengan suara pelan kepada pengacara yang mendampinginya,

"Rencana hebat. Kita bisa memukul mundur dan mempermalukan orang-orang tidak tahu diri ini."

Pria yang bersamanya tersebut hanya mengangguk sambil tersenyum kecil.

***

Luca yang berada di dalam bergegas keluar saat mendengar kabar kedatangan Pak Yan Rasyid. Tadi Sabrina menyuruh dia masuk ke dalam dan menunggu hingga proses interogasi selesai. Kekasihnya itu mungkin cemas jika Luca akan membuat masalah dan justru mengacaukan investigasi. Namun Luca tidak bisa hanya berdiam diri dan menunggu. Dia harus keluar dan menatap langsung sang lawan yang selama ini telah bersembunyi dengan begitu baik.

Pak Yan sedikit terkejut saat bertemu pandang dan berpapasan dengan Luca. Meski begitu, ia bisa menyembunyikannya dengan baik.

'Jadi, benar dia berada di sini untuk membantu orang-orang bodoh ini? Dia kira dengan bersama mereka, bisa menjatuhkanku? Tidak disangka dirinya berubah bodoh setelah bergabung dengan mereka. Sia-sia organisasi melatih dia dengan begitu keras,' ujarnya dalam hati sambil menyeringai.

'Ternyata dia bernyali datang ke sini,' gumam Luca dalam hati. Matanya masih menatap tajam pria paruh baya itu. Beliau justru bergegas menghampiri pemuda itu sambil tersenyum tenang. Orang-orang yang berada di sana berubah tegang. Kanaya mengendikkan kepala memberi isyarat kepada Sabrina agar gadis itu mengajak kekasihnya menjauh dari sana. Mereka harus menjaga agar suasana tetap kondusif dan tidak berubah kacau karena Luca tidak bisa menahan diri.