Suasana di luar rumah sakit ternyata sudah menjelang siang. Kanaya melangkah tergesa. Tidak jauh di belakang, Luca segera mengejar.
"Kanaya, tunggu!" seru pemuda itu sekeras mungkin. Tidak berapa lama, dia sudah menyusul wanita itu.
"Mau apa kau? Apa kau ingin menghalangiku? Bukankah ini yang selalu kauinginkan? Bertindak dan membunuh penjahat itu. Aku akan melakukannya sekarang. Aku akan membunuh orang yang menghancurkan hidupku!" ujar Kanaya dengan penuh rasa amarah.
"Kau ingin membunuhnya? Baik kalau begitu biar aku yang melakukannya. Aku dulu sering membunuh orang. Tidak masalah bagiku sekarang kalau harus membunuh lagi. Apalagi dia itu seorang penjahat keji. Namun kau berbeda denganku, Kanaya. Senjata di tanganmu bukan untuk membunuh, tetapi untuk membasmi kejahatan. Aku pernah membaca, seorang pembunuh akan dihantui mimpi buruk seumur hidupnya. Aku tidak pernah mengalami itu, tetapi tetap saja catatan kasus itu masih ada. Aku tidak bisa menghapusnya. Bahkan saat aku sekarang bersama Sabrina, sebutan mantan pembunuh masih tetap melekat padaku."
Pemuda itu diam sesaat.
"Apa kau akan tetap membunuh mereka? Bagaimana dengan Darren? Bagaimana saat dia bangun dan mengetahui wanita yang dicintainya berubah menjadi pembunuh karena dia? Bagaimana dengan Sabrina yang selalu menjadikanmu panutan? Bagaimana …?" Luca berhenti sejenak. Dia tampak ragu. Wanita di depannya hanya diam dengan mata berkaca-kaca.
"Bagaimana dengan Kayla? Dia pasti akan merasa sangat kecewa," gumam pemuda itu pelan. Kanaya tetap diam, tetapi air mata mengalir makin deras. Orang-orang tampak menoleh ke arah mereka.
"Kanaya!" panggil Sabrina yang ternyata menyusul keluar.
"Masuklah. Operasi Darren sudah selesai. Dokter bilang dia baik-baik saja!"
Kanaya segera berlalu. Sabrina menemui Luca.
"Kau berhasil membujuknya. Hebat, biasanya Kanaya sangat keras kepala," ujar gadis seraya mengacungkan jempol.
Luca merangkul gadis itu sambil tersenyum.
"Apa yang berarti bagimu, itu juga sangat penting untukku," bisiknya di telinga Sabrina.
***
Kondisi Darren mulai membaik, meski begitu Kanaya masih terlihat cemas.
"Dasar bodoh! Kenapa berbuat seperti itu? Apa kau tidak tahu aku sangat mencemaskanmu?" tukas Kanaya seraya terisak saat pemuda itu membuka mata. Seulas senyum tampak di wajah yang masih terlihat pucat tersebut.
"Aku akan melindungimu, Kanaya. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu melindungimu," ujarnya sambil mengulurkan tangan dan menyentuh pipi gadis itu.
***
Sabrina baru saja pulang dari rumah sakit. Tadinya Luca ingin mengantar dia. Namun gadis itu menolak. Kekasihnya itu pasti juga lelah.
"Aku bisa menjaga diri," ujarnya bersikeras saat Luca menyatakan maksudnya.
"Tapi sekarang terlalu berbahaya. Kamu lihat sendiri yang terjadi pada Darren dan Kanaya. Penjahat itu sedang mengincar kita. Kamu lupa dengan yang dikatakan Pak Dewandra?" tegas pemuda itu.
Tentu saja Sabrina masih ingat. Betapa pria paruh baya itu tampak pasi dan ketakutan. Dengan suara bergetar, dia meminta mereka melupakan kasus tersebut.
"Dia akan membunuh kalian semua," ujar beliau.
Sabrina tahu lelaki itu pasti ketakutan setelah mendapat ancaman dan nyaris dibunuh, tetapi dia bukan orang yang takut pada ancaman. Bahkan Darren juga menghendaki mereka terus maju.
'Aku bukan orang yang lemah. Aku bisa menjaga diri,' ucap gadis itu berulang kali kepada dirinya sendiri. Dia sudah sering menghadapi ancaman dan teror, jadi masalah inipun hanya hal biasa baginya.
Gadis itu berjalan perlahan di halaman rumah. Dia sadar ada sosok yang tengah bersembunyi di kegelapan mengawasi dirinya. Sosok berpakaian serba hitam dan bertopeng tersebut segera keluar dari persembunyian dan menyerang Sabrina dari belakang. Sabrina segera berkelit dan balas menyerang. Namun ternyata orang itu tidak sendiri. Dia juga membawa anak buah. Dalam sekejap, mereka semua mengepung Sabrina, tetapi gadis itu telah siaga.
Sabrina hampir saja mengalahkan mereka. Orang-orang itu sama sekali bukan lawan yang seimbang baginya. Namun, dia terlambat menyadari saat salah seorang dari yang menyerangnya mengeluarkan suntikan dan menyuntikkan cairan tersebut pada lehernya.
Gadis itu melangkah sempoyongan. Kepalanya pusing dan pandangan mulai kabur. Meski begitu dia tetap berusaha bertahan. Akan tetapi, tidak lama semua berubah gelap dan dia jatuh tidak sadarkan diri.
Orang-orang itu segera membawa Sabrina pergi dengan mobil.
***
Luca merasa cemas karena Sabrina tidak juga bisa dihubungi. Dia khawatir sesuatu benar terjadi pada gadis itu. Tadi Sabrina berjanji untuk menelepon setelah tiba di rumah. Tanpa pikir panjang, Luca segera menuju ke tempat tinggal kekasihnya tersebut.
Rumah itu tampak gelap dan kosong. Suasana di sekeliling juga sepi. Namun meja yang jatuh dan patah serta pot bunga yang pecah mengisyaratkan ada perkelahian di tempat tersebut.
'Pasti sesuatu telah terjadi,' gumam Luca dalam hati.
'Penjahat itu telah membawa Sabrina.'
Dugaan pemuda itu tidak salah. Tidak berapa ponselnya berdering.
"Kekasihmu ada bersama kami. Jika kau mau dia selamat, maka kau dan Pak Dewandra harus datang ke tempat yang kemarin. Jangan lupa untuk membawa rekaman suara itu," ujar suara di seberang.
Raut wajah Luca berubah marah.
'Aku akan menyelamatkan Sabrina dan membunuh mereka semua,' tekadnya.
***
"Aku tidak mau," tolak Pak Dewandra saat Luca menemuinya.
"Bukankah aku sudah bilang sebelumnya, ini terlalu berbahaya. Kalian saja yang terus bersikeras. Sekarang kalian ingin aku menyerahkan nyawa demi gadis itu? Tidak. Aku tidak mau!"
"Jadi kamu menolak?" tanya Luca. Pria itu mengangguk.
"Dia bukan siapa-siapa aku, jadi untuk apa aku berkorban untuknya? Meskipun dia keluargaku, aku juga tidak mau pergi," ujarnya.
"Kalau begitu tidak ada alasan buatmu untuk hidup," ujar Luca sembari mengambil pistol yang berada di tangan Kanaya dan menodongkan di kepala pria itu.
"Ka-mu … ka-mu ti-dak akan berani," ucap Pak Dewandra seraya melihat Kanaya yang hanya berdiri diam.
"Ada petugas di sini."
"Kamu mau bertaruh sekali lagi denganku? Aku tidak peduli, meski ada Kanaya di sini," ujar Luca. Pemuda itu lalu menoleh sekilas kepada Kanaya.
"Kurasa dia juga tidak peduli karena kau sudah membunuh Adrian dan Kayla."
Luca bersiap mengokang senjata dan menarik pelatuk.
"Tung-gu … tunggu sebentar. Baiklah, aku mau. Aku akan ikut denganmu," ujar Pak Dewandra.
"Aku tidak menyangka. Untuk seseorang yang pernah berkata berani untuk mati serta mencoba untuk bunuh diri, ternyata kau sangat pengecut," ucap Luca sambil tersenyum dingin.
***
"Apa kau benar-benar akan menembak jika dia tidak bersedia? Sabrina pasti tidak akan setuju dengan hal itu," tukas Kanaya saat dia dan Luca meninggalkan ruangan tersebut.
"Sabrina tidak berada di sini. Nyawanya bergantung pada hal ini. Tapi aku justru ingin bertanya padamu. Kenapa kau tadi hanya diam? Kau juga menginginkan kematian dia bukan?" sahut Luca.
"Aku bukan dirimu!" tegas Kanaya.
"Benar, tapi aku bisa melihatnya. Wajahmu itu menyimpan amarah dan dendam padanya. Kau juga menginginkan dia mati," sahut Luca sambil menyeringai.
Kanaya tertegun. Dirinya memang tidak bisa memungkiri kebencian yang masih bersarang dalam dirinya.
***
Semua sudah dipersiapkan. Luca dan Pak Dewandra tiba di tempat yang dijanjikan.
"Kalian cepat kemari!" perintah seorang bertopeng yang berdiri di belakang Sabrina.
"Dan kau, gadis manis, cepat ke sana," lanjutnya sambil mendorong Sabrina hingga nyaris terjatuh.
Netra gadis itu menatap Luca cemas, tetapi Luca hanya mengangguk saat mereka berjalan berpapasan.
"Tembak mereka!" teriak salah seorang penjahat.
"Menunduk!" seru Luca yang dengan cepat meraih Sabrina dan mereka berdua tiarap di tanah. Rentetan peluru terdengar bising di atas mereka.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Luca. Sabrina mengangguk. Dia lalu merasakan cairan hangat merembes di tangannya.
"Luca, kamu …?" ujarnya cemas.
"Aku baik-baik saja," sahut Luca cepat. Mereka lalu melihat ke arah Pak Dewandra yang tengkurap tidak bergerak di atas tanah.
Seseorang melangkah mendekat sambil membuka topeng. Dia tidak lain adalah Pak Yan Rasyid.
"Belum mati juga rupanya," ujar beliau.
"Kenapa begitu sulit untuk membunuhmu?"
"Kau tidak akan semudah itu membunuhku," sahut Luca sambil tertawa.
"Benarkah? Tapi kali ini aku pastikan kau benar-benar mati," ujar lelaki itu sambil mengeluarkan pistol dan menodongkan di kening Luca.
"Tidak seperti orang-orang bodoh itu. Aku akan membunuhmu tepat langsung di hadapanku."
"Luca!" teriak Sabrina panik, tetapi pemuda yang berada di depannya tersebut tidak peduli.
"Lakukan saja kalau kau berani!" ujar Luca sekali lagi.
"Luca, jangan!" ucap Sabrina dengan mata berkaca-kaca sambil menggeleng.
"Sudah terlambat, Gadis Manis. Namun kau jangan khawatir setelah membunuh dia, kau akan segera menyusul. Kalian berdua bisa bersama di alam baka," ujar Pak Yan sambil terbahak.
Lelaki itu bersiap mengokang senjata dan menarik pelatuk, saat tiba-tiba lampu menyala satu per satu dan menyorot ke arah mereka. Suasana yang semula remang-remang berubah terang benderang.
"Apa yang …?" seru lelaki itu sambil menghalangi mata dengan tangan karena silau.
"Bagian mana yang tidak kau mengerti? Riwayatmu sekarang sudah tamat!" sahut Kanaya yang keluar dari salah satu mobil dan menodongkan pistol ke arah pria itu.
Tindakan itu diikuti oleh anak buahnya yang juga keluar dari mobil masing-masing seraya menodongkan pistol.
"Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak akan tertangkap! Aku tidak boleh tertangkap!" teriak Pak Yan sekeras mungkin.
Dia lalu kembali mengarahkan pistol ke arah Luca.
"Kalian tidak bisa menangkapku atau aku akan menembaknya!" ancamnya.
"Kau sudah terdesak sekarang. Sekalipun kau membunuhku, mereka akan tetap menangkapmu. Mereka bilang kau sangat pintar, tapi ternyata begitu mudah untuk menjebakmu," tukas Luca sambil menyeringai.
"Jadi kalian merencanakan ini semua? Kalian pikir aku bodoh? Ini sebuah kesalahan dan ini semua karenamu. Itu sebabnya aku akan tetap membunuhmu. Kau adalah sumber masalah. Kau yang menyebabkan semua ini terjadi. Kematianmu pasti sangat menyenangkan!" serunya.
Dia kembali mengokang senjata dan terus menatap Luca. Tanpa disadari Sabrina berdiri di belakangnya dan memukul dia sekeras mungkin dengan sepotong kayu.
"Kau! Dasar gadis kurang ajar!" ujar pria itu sambil berbalik dan hendak menembak Sabrina.
Letusan peluru terdengar nyaring di telinga dan tepat mengenai dada pria itu. Dia ambruk seketika. Darah mengalir deras di atas tanah.
Kanaya masih menodongkan pistolnya dan berjalan mendekati Luca serta Sabrina.
"Kalian tidak apa-apa?" tanyanya. Mereka berdua mengangguk. Di belakang, petugas yang lain yang lain segera menangkap penjahat yang tersisa. Kanaya lalu memeriksa Pak Yan dan Pak Dewandra.
"Mereka berdua sudah meninggal. Mereka melawan dan berusaha melarikan diri saat ditangkap, jadi aku terpaksa menembaknya," ujar Kanaya seraya pada anak buahnya yang mengikuti.
Sabrina segera menghampiri Luca dan memapah pemuda itu.
"Apa kau baik-baik saja? Bagaimana lukamu?" tanya gadis itu cemas.
Luca tersenyum dan menggeleng.
"Aku baik-baik saja. Kau sendiri? Apa kau terluka?" tanyanya sambil membelai pelan wajah gadis itu.
"Aku baik-baik saja," jawab Sabrina sambil ikut tersenyum.
"Baguslah kalau begitu," ujar Luca. Kemudian pemuda itu jatuh tidak sadarkan diri.
"Luca, Luca, bangunlah!" jerit Sabrina.
"Luca, jangan bercanda. Kau pasti baik-baik saja."
"LUCA!" teriak Sabrina sekali lagi saat kekasihnya itu tidak kunjung membuka mata.
***
Darren tertawa sambil menoleh ke arah Luca.
"Kita pastilah dua orang bodoh yang sama-sama tertembak karena melindungi orang yang kita cintai," ujarnya.
"Meski begitu, apa kau menyesal?" sahut pemuda di sampingnya itu.
Darren menggeleng. Wajahnya berubah serius.
"Tidak. Aku sama sekali tidak menyesal. Jika hal yang sama terjadi lagi, aku pasti akan melakukan hal yang sama. Meski akhirnya harus mati, aku akan tetap melindungi Kanaya," ujarnya.
"Aku juga akan mempertaruhkan nyawa untuk melindungi Sabrina," sahut Luca.
Pintu kamar rumah sakit tersebut dibuka dari luar.
"Tidak akan kami biarkan hal itu terjadi itu," ujar Kanaya yang masuk bersama Sabrina.
"Jika nanti berhadapan dengan penjahat keji, kami yang akan melindungi kalian," lanjut Sabrina. Keduanya menatap Luca dan Darren dengan kesal.
Luca meraih dan menggenggam tangan Sabrina erat sambil tersenyum. Begitu pula Darren.
***
Luca menggandeng tangan Sabrina. Keduanya berjalan menyusuri taman. Nuansa senja sore itu benar-benar tampak membuai netra para penikmatnya. Lukisan awan seolah menari di langit.
"Semua sudah selesai sekarang. Kejahatan organisasi sudah terbongkar. Mereka yang tersisa telah ditangkap dan seluruh tempatnya telah ditutup," ujar Sabrina pelan.
"Aku tahu. Aku juga ada di sana sewaktu kalian menangkap mereka semua," sahut Luca.
Sabrina diam sesaat.
"Kanaya dan Darren akan segera menikah. Mereka resmi mengadopsi Rian," ujar gadis itu lagi.
"Aku juga tahu hal itu. Aku adalah paman Rian. Aku yang setuju mereka mengadopsi keponakanku."
Sabrina kembali diam sesaat. Sebenarnya dia sengaja mengatakan semua itu untuk mengingatkan Luca akan janji yang pernah dibuat. Namun kelihatannya cara itu tidak berhasil.
Tiba-tiba Luca meraih tangan Sabrina dan memasangkan cincin di jemari gadis itu.
"Aku mau kau segera menjadi istriku," ucapnya sambil tersenyum. Sabrina ikut tersenyum dan memeluk pemuda itu.
Pemuda itu melihat sebuah mobil berwarna biru gelap tengah mengawasi dirinya dan Sabrina.
"Apa yang harus kita lakukan pada mereka?" tanya sang pengemudi kepada penumpang yang duduk di kursi belakang.
"Luca sudah menghancurkan apa yang pernah aku dan rekan-rekanku bangun bersama. Untung namaku tidak tercantum di sana. Namun aku tidak mau mencari masalah lagi dengannya. Kurasa melepas dia adalah pilihan yang terbaik."
Orang di balik kemudi mengangguk.
"Ayo kita pergi dari sini," ujar orang yang di belakang. Sang pengemudi mengangguk. Kendaraan tersebut bergerak menjauh. Dari spion terlihat Luca berjalan mendekat dan melambaikan tangan.
"Apa kau mengenal mereka?" tanya Sabrina yang bergegas menyusul.
"Hanya seorang teman lama yang ingin menyapa," sahut Luca sambil tersenyum dan merangkul bahu gadis itu. Keduanya kembali menikmati senja yang sekejap lagi akan berakhir.
Tamat.