Chereads / lover secret / Chapter 40 - Empat puluh

Chapter 40 - Empat puluh

Keesokan hari, kantor detektif dihebohkan dengan kabar menghilangnya Pak Dewandra dari rumah sakit. Para petugas yang berjaga mengaku tidak tahu-menahu karena mereka sedang terlelap. Rupanya ada yang telah membius mereka. Kamera keamanan di rumah sakit juga tidak menunjukkan apa pun. Begitu pula para staf dan pekerja rumah sakit mengaku tidak tahu ke mana Pak Dewandra pergi.

"Susuri semua tempat yang biasa dikunjungi beliau, juga kamera jalan raya serta kamera di luar rumah sakit. Tanyai pula orang-orang yang kemarin malam berada di rumah sakit. Seseorang menghilang. Tidak mungkin tidak ada yang tahu," tukas Kanaya cepat. Wanita itu lalu menyadari sesuatu. Dia lantas menoleh kepada Sabrina.

"Di mana Luca?" tanyanya.

"Aku ke rumahnya pagi ini, tetapi kosong. Kurasa dia tidak pulang semalam. Aku sudah mencoba menelepon ponselnya, tetapi tidak aktif," jawab gadis itu. Raut wajahnya juga terlihat panik.

Kanaya menggeleng.

'Apa mungkin Luca kembali terlibat kasus ini dan menculik Pak Dewandra? Tapi apa motifnya? Setelah mengetahui kesaksian dari beliau, Pak Dewandra tidak berguna lagi untuknya. Apa mungkin ini adalah jebakan?' gumam Kanaya dalam hati.

"Kanaya," panggil Sabrina pelan. Menyadarkan wanita itu.

"Kerahkan semua personil untuk juga mencari Luca. Kurasa jika kita tahu keberadaan Luca, kita juga akan menemukan Pak Dewandra. Cepat bertindak sebelum terlambat!" sergah Kanaya lagi. Anak buahnya mengangguk patuh dan segera bergegas.

"Kenapa berkata seperti itu? Apa kau pikir Luca terlibat lagi?" tanya Sabrina pelan.

"Kau lebih tahu dariku bagaimana Luca. Dia memanfaatkan setiap peluang untuk menjatuhkan dan kali inipun sama," sahut Kanaya sembari bergegas.

"Kita harus secepatnya menemukan dia, Sabrina!"

***

Perkelahian terjadi tidak terelakkan. Mereka saling memukul dan menendang. Setelah beberapa saat, orang-orang berbadan besar tersebut terkapar di tanah dengan luka cukup parah. Luca bergegas menghampiri Pak Dewandra.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya. Lelaki paruh baya itu tubuhnya gemetar, meski begitu dia mengangguk.

"Kita pergi dari sini sekarang," ujar Luca lagi.

"Kita harus secepatnya kembali ke kantor detektif untuk menyerahkan apa yang kita dapat."

"TIDAK!" teriak lelaki paruh baya di depannya itu keras sambil mengibaskan tangan Luca yang memapah dirinya. Dia juga berlari pergi dari situ.

"Pak Dewandra, tunggu!" seru Luca sambil bergegas mengejar.

"Aku tidak mau kembali, Luca. Kau lihat sendiri. Musuh kita, mereka orang yang berbahaya. Kenapa kita tidak pergi saja dan melupakan semua ini?" ujarnya.

"Pak …."

"Tidak! Aku tidak mau mendengar apa-apa lagi. Aku hanya ingin tetap hidup, Luca. Lupakan saja kesepakatan kita. Sebaiknya kau juga melupakan semua dan melanjutkan hidupmu. Kalau tidak, mungkin kalian semua akan hancur," ujar lelaki itu sambil kembali bergegas.

Pria itu terus saja berlari. Dia masuk ke salah satu ruangan di tempat kumuh yang terlihat gelap dan kosong. Setelah beberapa saat, dia memutuskan untuk bersembunyi di balik tumpukan tinggi kardus dan kaleng bekas yang telah berkarat.

'Aku harus tetap bersembunyi di sini beberapa saat. Luca sudah terluka. Pasti akan sulit untuk menemukanku. Harusnya aku tidak setuju saat Luca membujukku bekerja sama untuk menangkap penjahat itu. Pak Yan pasti tidak akan melepaskanku,' ujarnya dalam hati.

Pria yang sedang berjongkok tersebut terkesiap ketakutan saat mengintip dari celah dan melihat bayangan seseorang berjalan masuk.

'Apakah itu Luca? Dia pasti sangat marah. Dia tidak boleh menemukanku,' gumamnya dalam hati.

Jantungnya berdebar keras tatkala sosok itu berjalan pelan ke tempat persembunyiannya.

***

Kanaya dan yang lain sudah mencari Luca di berbagai tempat. Mereka bahkan kembali mendatangi kantor Pak Yan, tetapi pemuda itu tidak ada di sana. Begitu pula Pak Dewandra. Yang ada justru mereka nyaris berkelahi dengan penjaga keamanan di perusahaan tersebut.

"Sebaiknya kalian pergi dari sini. Jangan membuat keributan lagi," ujar seorang petugas yang berbadan besar.

"Kanaya, kita pergi saja," gumam Darren pelan.

"Kurasa Luca dan Pak Dewandra tidak berada di sini."

Detektif wanita itu mengangguk setuju. Dia segera memanggil kembali anak buahnya untuk keluar dan meninggalkan tempat itu.

"Aya, tenanglah," ucap Darren lagi.

"Jika kita bertindak sembrono, mereka mungkin akan balas menuntut kita dan kita mungkin tidak akan bisa menyelidiki kasus ini lagi."

Kanaya hanya mengangguk. Meski begitu dia belum bisa tenang. Pikirannya melayang kepada Sabrina yang pasti mencemaskan Luca.

Karena hari sudah gelap, Darren memutuskan untuk mengantar Kanaya pulang.

"Kenapa pulang? Pekerjaan kita 'kan belum selesai," ujar wanita itu saat mobil mereka melintasi jalan menuju ke rumahnya.

"Kau harus beristirahat, Kanaya. Kau pasti lelah dan kurang tidur," sahut Darren sambil tersenyum kecil.

"Aku baik-baik saja. Mana bisa aku pulang dan beristirahat sedang banyak hal yang kucemaskan?"

Darren meraih tangannya dan mencium pelan.

"Untuk malam ini saja, kau harus memenuhi permintaanku dan beristirahat. Lihatlah dirimu. Wajahmu tampak kuyu dan pucat, juga ada lingkaran hitam di matamu. Kau boleh giat menangkap penjahat, tapi jangan sampai kelelahan seperti ini," ucap pemuda itu seraya membelai pelan rambut Kanaya. Wanita itu hanya tersenyum dan mengangguk.

'Darren memang sosok yang baik dan penuh perhatian. Harusnya aku memberi kesempatan agar kami lebih dekat lagi. Darren tidak akan menyakitiku seperti yang dilakukan Adrian. Mungkin kami bisa bahagia hingga maut memisahkan,' ujar Kanaya dalam hati.

'Benar, aku harus memberi dia kesempatan!'

Tanpa terasa mereka sudah tiba di depan rumah Kanaya. Mobil berhenti di halaman depan. Darren bergegas keluar dan membuka pintu mobil untuk wanita itu. Mereka berdua berjalan sambil bergandeng tangan di halaman. Senyum bahagia tersungging di wajah keduanya. Tiba-tiba, Darren melihat sebuah mobil melaju kencang. Jendela belakang kendaraan tersebut terbuka. Moncong senapan keluar dan menembakkan sejumlah peluru.

"Kanaya, awas!" teriak Darren sambil memeluk wanita yang dicintainya itu dan menunduk menghindari terjangan peluru.

Mobil bercat hitam tersebut kembali melaju dan bergegas pergi. Beberapa kaca jendela pecah serta dinding berlubang terkena tembakan tampak jelas di rumah tersebut.

"Darren, kita sudah aman. Mereka sudah pergi," gumam Kanaya pelan menyadari Darren masih saja memeluknya.

"Darren," panggilnya sekali lagi saat pemuda itu tidak kunjung menyahut.

Bruk!

Pemuda itu tiba-tiba ambruk di tanah dan bergelimang darah.

"Darren!" teriak Kanaya ketakutan.

"Darren, bertahanlah. Darren, kau harus bertahan," ucap wanita itu sambil menangis dan menggenggam erat tangan pemuda itu.

Tangan Darren terulur dan menghapus air mata di wajah Kanaya. Ada senyuman lemah di wajah pemuda tersebut sebelum dia tertelan dalam kegelapan.

"Darren! Tidak, Darren! Kau harus bertahan! Demi aku, kau harus tetap bertahan!" seru Kanaya sambil memeluk erat pemuda itu. Di kejauhan, suara sirene terdengar mendekat dan semakin nyaring.

***

Sabrina masih berada di kantor. Dia begitu cemas. Apalagi belum ada kabar apa pun tentang keberadaan Luca.

'Bagaimana kalau benar terjadi sesuatu padanya? Pak Dewandra sering memperingatkan kami bahwa Pak Yan adalah orang berbahaya yang bisa menyingkirkan musuh tanpa jejak. Bagaimana kalau Luca …? Tidak, tidak, aku harus tetap tenang," ujarnya sambil menggeleng.

'Luca sangat pandai. Dia tidak akan terluka semudah itu. Dia pasti baik-baik saja. Benar, aku harus tetap yakin bahwa dia baik-baik saja,' lanjutnya.

Suara dering ponsel membuat dia sedikit terkejut. Saat menerima, gadis itu semakin terperanjat. Di seberang, suara Kanaya terdengar terisak dan tidak jelas memberitahu padanya bahwa Darren berada di rumah sakit.

***

Pak Dewandra masih terus bersembunyi. Saat sosok yang mencarinya tidak lagi terlihat, dia mengira sosok tersebut telah pergi. Lelaki itu menarik napas lega. Namun, dia terkejut dan ketakutan saat seseorang menarik tubuhnya dari belakang.

"Luca, maafkan aku. Aku hanya ketakutan. Kumohon, jangan sakiti aku!" pintanya. Sosok itu mendorong Pak Dewandra hingga terjatuh dengan keras di lantai kusam yang berdebu.

"Luca!" seru Pak Dewandra sambil berbalik. Dia terkejut saat menyadari sosok di hadapannya bukanlah Luca.

"Kau …." ucap lelaki itu sambil merangkak mundur ketakutan.

"Si-apa kau?"

"Aku adalah orang yang datang untuk membunuhmu," sahut sosok itu sambil menghunus pisau dan menyeringai.

***

Sabrina bergegas menuju ke rumah sakit. Dia melihat Kanaya sedang duduk seorang diri di lorong sambil menangis. Wajah dan penampilan rekannya itu tampak berantakan. Bahkan ada bercak darah di pakaiannya, tetapi Kanaya seperti tidak peduli atau tidak menyadari hal tersebut.

Sabrina segera menghampiri dan memeluk rekannya itu.

"Kanaya, apa yang terjadi? Bagaimana bisa …?" tanyanya pelan sambil menepuk punggung wanita itu untuk menenangkannya.

"Aku tidak tahu. Semua terjadi begitu cepat. Aku bahkan tidak sempat untuk melihat pelakunya. Aku tidak tahu, Kanaya. Seharusnya aku melakukan sesuatu atau mengejar mereka, tetapi aku tidak bisa berpikir jernih. Aku tidak bisa memikirkan apa pun saat melihat Darren tergeletak di depanku. Saat aku melihat darah terus mengalir keluar dari tubuhnya, semua seolah gelap. Sabrina, apa aku salah? Aku bahkan tidak tahu siapa yang menembak Darren," ujar Kanaya sambil terus terisak.

"Tidak, kau tidak salah. Tenanglah," bujuk Sabrina sambil terus memeluk sahabatnya itu.

'Kanaya pasti sangat terpukul hingga dia menjadi seperti ini. Dulu dia juga seperti ini waktu kehilangan Kayla. Tidak ada yang akan menyalahkan dia. Semua orang pasti akan terpuruk saat melihat orang yang dicintai terluka di hadapannya. Bagaimana jika Luca juga mengalami hal yang sama, tetapi berada di suatu tempat dan tidak ditemukan?' tukas gadis itu dalam hati.

'Aku tidak boleh berpikir seperti itu. Sekarang yang terpenting, aku harus menghibur dan menenangkan Kanaya.'

"Bagaimana keadaan Darren sekarang?" tanya Sabrina lagi.

Kanaya menggeleng sesaat.

"Dokter memberitahuku lukanya cukup parah. Ada tiga peluru menembus tubuhnya dan dia kehilangan banyak darah. Aku takut, Sabrina. Aku sangat takut kehilangan dia. Aku baru saja berniat membuka hatiku untuk menerima dia sepenuhnya. Jika terjadi sesuatu padanya, maka aku pasti akan menyesal seumur hidup. Menyesal mengapa aku tidak menerima perasaan dia dari awal, bahkan meragukan dirinya," ujarnya pelan.

"Tidak ada yang perlu disesali, Kanaya. Aku yakin Darren pasti baik-baik saja. Dia pasti akan bertahan demi dirimu. Cinta yang kalian miliki akan membuat dia mampu untuk bertahan," hibur Sabrina.

"Kuharap juga begitu, tapi …."

Gelengan kepala gadis di sampingnya menghentikan kata-kata Kanaya.

"Kamu tidak boleh ragu, Kanaya. Sebaiknya kita sekarang berdoa saja agar Darren segera pulih," ucap Sabrina sambil tersenyum. Kanaya diam dan perlahan mengangguk.

'Aku juga akan berdoa agar Luca baik-baik saja,' lanjut Sabrina dalam hati.

***

Pak Dewandra memejamkan mata ketakutan setelah melihat pisau yang terhunus tersebut mengarah ke tubuhnya.

Klang!

Suara bising tersebut membuat beliau kembali membuka mata dan bernapas lega saat melihat Luca berdiri di hadapan orang yang akan membunuhnya.

"Aku juga tidak menyukai dia dan ingin membunuhnya," ujar Luca sembari menunjuk Pak Dewandra.

"Tapi saat ini aku memiliki urusan yang belum selesai dengannya, jadi kau tidak kuijinkan untuk membunuhnya."

Orang yang berdiri di hadapan pemuda itu tentu tidak peduli. Dia segera menyerang Luca. Pak Dewandra diam menyaksikan semua itu. Dalam hati, ia berharap Luca bisa menang. Setidaknya saat ini dia bisa baik-baik saja seperti perkataan Luca. Namun jika nanti Luca benar-benar berniat membunuh dia.

'Aku harus bergerak lebih dulu dan membunuh dia,' ujar Pak Dewandra dalam hati.

Orang yang berhadapan dengan Luca sama sekali bukan tandingan yang seimbang dengan pemuda itu. Dalam beberapa serangan, Luca berhasil menghajar dia dan membantingnya ke tanah, hingga tidak sadarkan diri. Luca kemudian segera menghampiri Pak Dewandra.

"Ayo kita pergi dari sini. Meski saat ini kita ingin saling membunuh, sebaiknya kita segera kembali ke kantor," ucap pemuda itu.

Pak Dewandra menatap heran bercampur kaget. Luca tahu dia berencana membunuhnya?

"Tidak usah terlalu terkejut seperti itu. Ini semua berkat kalian. Aku terlatih untuk mengetahui rahasia dan maksud tersembunyi hanya dengan melihat mimik wajah. Bukankah itu hal yang menarik? Aku bahkan bisa melihat kebohongan kalian," ujar Luca seraya menyeret pria itu pergi.

***

Sudah beberapa jam berlalu, tetapi dokter masih belum keluar juga dari ruang operasi. Hal itu membuat Kanaya semakin cemas. Sabrina yang berada di samping berusaha menghibur dan menguatkan hati wanita itu.

"Ada apa ini? Bagaimana bisa hal ini terjadi?" ujar Luca yang tiba-tiba muncul. Dia baru saja dari kantor untuk menyerahkan bukti yang didapat dengan bantuan Pak Dewandra. Saat itulah, ada petugas yang memberitahu dirinya bahwa Darren ditembak di depan rumah Kanaya.

"Sudah kubilang padamu, musuh kali ini berbahaya. Dia bukan hanya akan melukaimu, tetapi juga orang-orang di sekelilingmu. Dia akan menyakiti mereka satu per satu," ujar Pak Dewandra sebelum Luca pergi.

Sabrina tertegun saat melihat pemuda itu. Ia lalu bergegas menghampiri.

"Kau ini dari mana saja?" tanyanya kesal.

"Selalu saja menghilang."

"Aku membuat kesepakatan dengan Pak Dewandra dan dia membantuku mendapatkan bukti untuk menyeret Pak Yan ke penjara. Bukankah itu yang kalian butuhkan?" ujar Luca.

"Sekarang itu sudah tidak penting lagi," tukas Kanaya sambil bergegas bangkit berdiri. Raut wajahnya terlihat marah.

"Sabrina, berjagalah di sini. Aku ada urusan," ujarnya sambil segera melangkah menjauh.

"Kanaya, tunggu!" panggil Sabrina.

"Kau mau ke mana?"

Gadis itu hendak menyusul, tetapi Luca menahan tangannya.

"Jangan ke mana-mana. Kau di sini saja. Biar aku yang menyusul dia," ucap pemuda itu.

"Baiklah, tolong susul dia. Aku cemas dia akan melakukan sesuatu," tukas Sabrina cepat.