Sabrina datang ke kantor untuk meminta ijin. Hari ini dia hanya ingin menemani Luca. Baginya bersama pemuda itu lebih penting. Apalagi setelah kasus terakhir, tidak ada kasus lagi yang begitu menyita perhatian.
"Jadi kau akan mengambil cuti?" tanya Kanaya yang menemui Sabrina saat dia keluar dari ruangan Pak Boby. Gadis di depannya itu mengangguk dengan penuh semangat.
"Benar, aku ingin menghabiskan waktu bersama Luca. Selama ini kami bahkan nyaris tidak memiliki saat untuk bersama seperti sepasang kekasih. Berjalan-jalan atau menonton film, kami sudah lama tidak melakukan itu. Kurasa sekarang saatnya sebelum ada lagi kasus yang menyita perhatian," jawabnya sembari tersenyum.
"Lalu bagaimana dengan pekerjaan itu?"
"Luca sudah menolak."
"Pasti kamu yang melarang bukan?"
Sabrina mengangguk.
"Aku ingin melindungi orang yang kucintai," ujarnya.
"Baiklah, aku mengerti," sahut Kanaya akhirnya sembari ikut tersenyum.
"Kau juga harus melakukannya. Menghabiskan waktu berdua dengan Darren," ujar Sabrina lagi kemudian bergegas berlalu. Kanaya masih tertegun. Meski hubungan dengan Darren dekat, dia belum bisa memantapkan hati untuk memilih pemuda itu. Saat ini, dia masih belum yakin jika perasaan Darren akan bertahan selamanya.
'Hatinya mungkin juga akan berubah. Seperti Adrian, saat bertemu gadis muda dan cantik,' ucapnya dalam hati.
***
"Jadi kita mau ke mana dulu?" tanya Sabrina sembari melajukan mobilnya.
"Ke mana pun kau ingin pergi. Aku akan ikut," sahut pemuda di sampingnya itu. Sabrina tertawa kecil mendengarnya.
"Dari mana lagi kau belajar kata-kata itu?" tanyanya.
Luca menggeleng.
"Aku tidak akan memberitahumu, tetapi aku sungguh-sungguh. Ke mana kau pergi, aku akan bersamamu," ucapnya.
"Baiklah, karena terserah aku, kita belanja saja dulu," ujar Sabrina sembari melajukan mobilnya menuju sebuah pertokoan.
***
Semburat sentuhan lembayung di langit tampak seperti lukisan indah yang tercipta sempurna. Beberapa orang tampak menikmati keindahan sore itu, baik dengan keluarga maupun dengan pasangan.
Luca dan Sabrina juga terlihat begitu terpesona oleh warna jingga di kaki langit tersebut. Mereka berjalan berdua sambil bergandeng-tangan dan senyum merekah.
Berbagai wahana permainan yang tersedia di tempat yang tidak seberapa luas itu telah mereka coba.
"Kita makan yuk. Aku lapar nih," ajak Luca setelah mereka berjalan-jalan agak lama. Sabrina menggeleng.
"Kita beli es krim saja," ujarnya.
"Tapi kenapa hanya membeli es krim? Kenapa kita tidak membeli nasi saja?"
"Karena aku akan memasak untukmu hari ini."
"Benarkah?" tanya Luca seolah menyiratkan ketidakpercayaan.
"Tentu saja. Kalau tidak untuk apa kita tadi ke toko? Oh ya, kenapa kau ragu seperti ini? Apa kau pikir aku tidak mau memasak untukmu?"
"Bukan begitu. Hanya saja …."
"Kenapa? Oh, aku tahu sekarang, kau pikir aku tidak bisa masak. Benar 'kan?" sergah Sabrina cepat.
"Ya, jujur saja, aku meragukan hal itu," sahut Luca sembari meraih tangan Sabrina.
"Tangan yang terbiasa memegang pistol dan menghajar penjahat. Mana bisa memotong sayuran dan memasak?" lanjutnya sambil tersenyum.
"Kau ini benar-benar keterlaluan. Baiklah, biar kuberi kau pelajaran. Jangan pernah berbicara seperti itu lagi pada gadis yang kaucintai. Itu sangat menyebalkan," ujar Sabrina.
"Baiklah, aku tidak akan berbicara seperti itu lagi padamu."
"Maksudku, …."
"Sabrina, kau tahu dengan jelas bahwa hanya dirimu yang aku cintai," ucap Luca sembari memeluk gadis itu.
"Benarkah? Kalau begitu, bisa belikan aku es krim sekarang?"
"Apa pun untukmu pasti aku penuhi," sahut Luca sambil kembali tersenyum.
***
"Ih belepotan tuh, kayak anak kecil aja," tukas Luca saat mereka sedang menikmati es krim. Keduanya sedang duduk di sebuah kursi taman yang agak jauh dari keramaian.
"Biarin," sahut Sabrina asal. Dia masih agak kesal karena Luca meragukan kemampuan dia memasak.
Pemuda itu mendekat dan membersihkan jejak es krim tersebut dengan lembut dan mencium pipi gadis itu.
"Nah sekarang sudah bersih. Jadi jangan marah lagi," ujarnya.
"Kamu ini apa-apaan sih," keluh Sabrina kesal. Pemuda di sampingnya hanya mengangkat bahu sembari tertawa lebar.
'Kebahagiaan kecil ini kuharap akan menjadi kenangan yang bertahan untuk selamanya,'
***
Kanaya masih sibuk menata berkas-berkas yang ada di dalam lemari. Tiba-tiba Darren menghampiri dan segera membantu.
"Kau tidak perlu membantuku. Aku bisa melakukannya sendiri," ucap Kanaya.
"Aku dengar Sabrina pergi dengan Luca. Hubungan mereka tampak semakin mesra. Sedang kita kapan, Aya? Kau tidak pernah memberi kesempatan untukku. Bahkan kau selalu membatasi diri," ucap pemuda di sampingnya itu.
"Aku tahu, tetapi Darren, aku belum siap. Aku belum bisa untuk menjalin hubungan yang serius. Aku mohon padamu. Beri aku waktu. Aku memang memiliki rasa untukmu, tetapi aku ragu untuk melangkah bersamamu," jelas wanita itu.
"Aku tahu. Aku akan sabar menunggu sampai dirimu siap menerima aku sepenuhnya. Satu hal yang kau tahu, Kanaya. Aku bukan Adrian. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, karena hatiku sudah memilih untuk mencintaimu dan itu tidak akan pernah berubah," ucap Darren sembari menatap Kanaya penuh arti.
Sejenak kemudian, pemuda itu berlalu pergi. Kanaya hanya diam menatap sedih ke arah Darren.
'Beranikah aku melangkah? Sabrina bahkan bisa melakukannya. Meski Luca memiliki masa lalu kelam, tetapi Sabrina tetap melangkah maju. Sedang aku justru tidak berani, karena masa laluku sendiri,' gumam Kanaya dalam hati.
***
"Kamu benar-benar memasak?" gumam Luca sembari melihat-lihat pekerjaan Sabrina.
"Tentu saja. 'Kan sudah kubilang aku akan memasak untukmu," ujar gadis itu.
"Sekarang kamu duduk saja dan tunggu masakan ini matang."
Sabrina kemudian sibuk memotong-motong sayuran, sedangkan Luca duduk di meja dapur yang terletak tidak jauh.
"Auh …," pekik Sabrina sembari melihat jarinya yang berdarah terkena pisau. Luca segera berlari menghampiri.
"Tuh 'kan, sudah kubilang. Jangan masak. Tetap saja ngotot. Jadi terluka, 'kan?" omel pemuda itu.
"Luca, ini 'kan hanya luka kecil. Kamu saja terlalu membesar-besarkan," ujar Sabrina.
Pria itu tidak menjawab. Justru bergegas keluar dan kembali membawa kotak obat. Dengan lembut, dia menempelkan plester di jari Sabrina.
"Luca, kamu tidak perlu berlebihan dan panik seperti ini," ucap Sabrina lagi sembari menyentuh wajah pemuda itu.
"Aku tidak mau melihatmu terluka, Sabrina. Kau orang yang paling berarti untukku," sahut Luca sembari merengkuh gadis di hadapannya tersebut dan mencium bibirnya lembut.
"Aku sangat mencintaimu, Sabrina dan aku akan selalu melindungimu," bisiknya lagi.
***
Hari sudah larut dan Sabrina telah lama pulang. Luca kembali melihat ke luar jendela. Mobil hitam itu masih ada di sana. Tadi seharian, kendaraan tersebut terus saja mengikuti dia dan Sabrina. Hal itu benar-benar membuat dia cemas. Namun, mereka hanya mengawasi. Sabrina mungkin tidak menyadari keberadaan mereka.
"Tunggulah beberapa hari lagi. Setelah ini, aku akan membereskan kalian semua," gumamnya pelan sembari menutup tirai.
***
Sabrina kembali datang ke rumah Luca keesokan hari. Mereka pergi keluar untuk menonton bioskop. Setelah itu, mereka mampir ke sebuah restoran.
Iringan musik klasik dan beberapa pasangan tampak berdansa dengan mesra di restoran bergaya klasik tersebut. Ornamen-ornamen penghias restoran juga membuat suasana semakin romantis. Lampu yang agak redup benar-benar menjadi surga bagi para pecinta yang tengah dimabuk asmara.
"Ayo kita berdansa," ucap Sabrina tiba-tiba.
Luca tampak sangat terkejut. Tangannya yang menyendok makanan terhenti di udara.
"Apa katamu?" ujarnya seolah tidak percaya dengan yang diucapkan Sabrina.
"Ini mungkin tidak biasa. Seorang gadis yang mengajak pemuda berdansa, tetapi aku ingin melakukannya. Denganmu," ucap gadis itu dengan nada suara tidak bisa ditawar lagi.
"Itu … itu … aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak pernah mempelajari itu sebelumnya. Pasti hanya akan memalukan," sahut Luca pelan.
Sabrina tertawa pelan. Baru kali ini ia melihat pemuda di hadapannya tampak begitu gugup. Biasanya Luca selalu terlihat tenang, meski berada dalam masalah.
"Tidak masalah. Aku juga sudah lama tidak berdansa. Pasti juga akan canggung. Kau juga tidak perlu khawatir, karena aku akan mengajarimu," sahut Sabrina lagi.
"Kau pernah berdansa? Dengan siapa saja? Apa dengan Arya juga pernah?"
Sabrina tertawa terbahak mendengar kata-kata pemuda itu.
"Kenapa? Apa kau cemburu?" tukasnya.
"Aku tidak suka membayangkan kau bersama lelaki lain. Apalagi bersama Arya. Sewaktu aku menghilang, kau sempat hampir kembali padanya."
"Dengan siapa aku sebelumnya, itu tidak lagi penting. Karena aku sudah memilihmu untuk menjadi pria yang kucintai," ujar Sabrina sembari meraih dan menggenggam erat tangan pemuda itu.
Luca memang berbeda dengan pemuda lain yang pernah berhubungan dengannya.
'Terkadang perlu untuk bertindak lebih dulu padanya,' ucap Sabrina dalam hati.
"Tapi sampai kapan? Kau pasti akan berpindah hati lagi jika bosan padaku," ujar Luca.
"Tidak akan. Dulu hatiku belum yakin untuk memilih salah satu dari mereka, tetapi sekarang hatiku telah yakin untuk memilih dirimu sebagai kekasih untuk selamanya," ujar gadis itu sembari tersenyum.
"Tapi kenapa kau memilihku? Kau 'kan tahu masa laluku begitu buruk. Aku pernah membunuh orang. Aku bukan orang baik, Sabrina," ujar Luca pelan seraya menatap gadis itu dengan rasa ingin tahu.
"Karena aku percaya padamu, Luca. Aku percaya kau adalah orang baik. Jadi jangan pernah menghakimi dirimu sendiri atas masa lalu. Karena bagiku, kau adalah orang yang sangat baik. Itu sebabnya aku mencintaimu."
Luca tersenyum mendengar itu. Dia segera berdiri dan memeluk gadis itu.
'Sabrina begitu tulus padaku. Bagaimana bisa aku berpikir untuk pergi darinya? Tetapi masalah itu harus segera kutuntaskan. Aku tidak mau jika ada yang membuat Sabrina terluka,' ucap Luca dalam hati.
"Jangan banyak bertanya lagi. Ayo sekarang kita berdansa," ajak Sabrina lagi.
***
Sabrina tersenyum dalam perjalanan pulang. Dansa ia dan Luca memang tidak mulus, tetapi dia senang bisa berada begitu dekat dengan pemuda itu. Saat lengan kokoh Luca merengkuh pinggangnya di lantai dansa. Ingin rasanya dirinya berada dalam pelukan pemuda itu dan menyandarkan diri pada bahu Luca untuk selamanya.
"Maaf, dansaku buruk," gumam Luca yang duduk di sampingnya pelan.
"Kakimu pasti sakit karena terinjak berulang kali olehku."
"Tidak apa-apa. Aku senang bisa berdansa denganmu. Aku ingin selamanya tetap seperti ini. Bahagia menghabiskan waktu bersamamu," ucap gadis itu sambil tersenyum.
"Itu tidak mungkin bukan?" sahut Luca. Tatapan pemuda itu menerawang ke luar jendela.
"Kenapa? Apa karena pekerjaanku?" tanya Sabrina sembari menoleh sekilas ke arah Luca.
"Bukan. Hanya saja aku merasa takut, Sabrina. Aku takut semua ketenangan ini hanya sementara dan akan datang badai besar mengguncangkan kehidupan kita," jawab pemuda itu pelan.
Sabrina tersenyum sembari menggenggam tangan Luca.
"Kalaupun ada badai besar. Ada aku yang selalu bersamamu. Kau tidak sendirian, Luca. Ada aku. Yang lain juga pasti akan membantu. Kita akan menghadapi badai bersama," ucapnya.
Luca hanya diam.
'Tetapi aku tidak mau melibatkan kalian lagi. Terutama dirimu, Sabrina. Badai ini harus aku hadapi seorang diri," desahnya dalam hati.
***
Keesokan hari Sabrina datang ke kantor sembari menebar senyuman. Ia tampak ceria dan bersemangat.
"Kau terlihat sangat bahagia," ujar Kanaya.
"Apa itu artinya kencan kalian berhasil?"
"Tentu saja. Semua sangat menyenangkan. Kami menghabiskan waktu bersama. Aku bahkan memasak untuk Luca dan berdansa dengannya. Semua terasa begitu sempurna," jawab Sabrina sambil tetap tersenyum.
"Kau memasak? Apa kau bisa masak?" gumam Kanaya.
"Ah, kau ini sama saja seperti Luca. Meragukan aku. 'Kan sebelum ini aku sudah banyak berlatih," ujar Sabrina kesal.
Kanaya hanya tertawa kecil.
"Lalu bagaimana denganmu dan Darren?" tanya Sabrina tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
"Kapan kalian akan berkencan seperti kami?"
Kanaya hanya diam. Begitu pula dengan Darren yang duduk tidak jauh dari mereka. Pemuda itu hanya menoleh sekilas ke arah Kanaya kemudian kembali sibuk dengan pekerjaannya.
"Sebaiknya kalian segera melakukannya jika kalian memang saling mencintai. Jika tidak, kalian pasti akan menyesal," ujar Sabrina sembari tersenyum dan menatap kedua orang itu bergantian.
***
Darren menghampiri Kanaya saat mereka sedang istirahat siang.
"Aku tahu kau mungkin belum siap, tetapi bisakah kau mempertimbangkan untuk pergi berkencan denganku?" tanya pemuda itu.
Kanaya hanya diam. Darren menghela napas panjang.
"Aku minta maaf," ucapnya lagi.
"Sepertinya aku terlalu lancang. Hanya saja aku memikirkan ucapan Sabrina dan tidak ingin menyesal nanti."
Darren hendak berlalu, tetapi kemudian dia mendengar suara Kanaya.
"Aku mau pergi denganmu," ucap wanita itu. Darren tertawa lebar. Dia segera berbalik dan memeluk erat Kanaya.
***
Darren memang sudah merencanakan kencan dengan Kanaya. Namun karena kasus baru, rencana keduanya terpaksa ditunda.
Kasus kali ini adalah pemukulan seorang wanita di tempat umum. Kanaya, Sabrina, dan Darren segera berangkat menyelidiki. Kasus tersebut menjadi tanggung jawab mereka karena sang penjahat sudah berulang kali melakukan kejahatan serupa, tetapi tidak pernah tertangkap.
***
Luca mengawasi dari warung di depan kantor saat ketiga orang pergi. Hatinya dipenuhi keraguan.
'Haruskah aku melakukan ini? Tetapi jika aku berdiam diri, mungkin semua orang akan berada dalam bahaya. Namun bagaimana dengan Sabrina? Dia selalu bilang percaya padaku. Apakah aku harus mengkhianati kepercayaan dia sekali lagi?' gumamnya dalam hati.
Dia lalu melihat ke arah mobil hitam yang masih mengikuti.
'Aku tidak punya pilihan. Aku harus melakukannya. Maafkan aku, Sabrina,' ujar pemuda itu sembari melangkah menuju kantor.
***
"Dia kemari pasti untuk menemui kekasihnya. Gadis detektif itu," ucap salah seorang yang berada dalam mobil. Dirinya sedang menelepon seseorang.
"Apa yang harus kami lakukan sekarang?"
"Jangan bertindak gegabah. Kalian awasi saja dia. Hati-hati. Jangan sampai ketahuan," perintah orang di seberang.
"Jangan khawatir. Dia tidak akan tahu."
Namun saat menoleh, para penumpang mobil tersebut terkejut melihat Luca berdiri di samping kendaraan mereka sembari tertawa menyeringai.