Chereads / lover secret / Chapter 36 - tiga enam

Chapter 36 - tiga enam

Sabrina dan Kanaya kembali ke rumah Luca. Mencoba mencari jejak ke mana-mana pemuda itu pergi. Sayangnya tidak ada satupun petunjuk yang ditinggalkan.

Sabrina mendesah putus asa.

"Luca mungkin melakukan ini karena kita menutup kasus organisasi," gumamnya sembari memasukkan kertas-kertas yang berserakan di dalam laci.

Kanaya menggeleng.

"Menurutku tidak demikian. Kasus itu ditutup karena kita tidak lagi memiliki petunjuk. Dan Luca memilikinya. Dia tahu dirinya tengah diincar. Dia juga tahu siapa yang mengincarnya. Mungkin Arvand yang memberitahu secara rahasia, tetapi Luca sengaja menyembunyikan dari kita," ucap wanita itu.

"Seharusnya aku tahu sejak awal. Pantas saja sikap dia berubah aneh," ujar Sabrina.

"Aku memang bodoh."

"Jangan salahkan dirimu sendiri. Kurasa sejak awal Luca memang berencana tidak memberitahu kita. Dia ingin mengatasi semua ini sendiri."

"Lalu kedua orang itu? Kalau Luca sudah tahu tentang orang yang menyuruh mereka, kenapa dia masih menghajar mereka hingga babak-belur?"

"Semua itu untuk memberi pesan pada organisasi bahwa dia akan bisa mengalahkan mereka."

"Kau benar dan ini semua membuatku semakin cemas. Di mana kira-kira Luca berada sekarang?"

***

Pemuda yang sedang mereka bicarakan sedang mengendarai sebuah mobil yang baru saja disewa. Ada sebuah kertas bertuliskan nama dan alamat di tangan. Kertas itulah yang ditinggalkan Arvand padanya.

'Aku akan segera tiba di sana, Kak dan membuat perhitungan dengan mereka yang membuat hidup kita menjadi seperti ini,' gumam Luca dalam hati.

Kertas itu kemudian diremas pelan dengan penuh amarah.

***

Ponsel Kanaya berdering. Wanita itu segera menerima.

"Baiklah, aku segera ke sana," ucapnya mengakhiri percakapan.

"Ada apa, Kanaya?" tanya Sabrina.

"Ada perampokan di perusahaan ayah mertuaku, tetapi anehnya pelakunya hanya satu orang dan ciri-cirinya mirip seperti Luca."

"Apa maksudmu? Kenapa Luca merampok tempat itu?"

"Aku juga tidak mengerti, tapi mungkin saja salah. Sebaiknya kita pergi ke sana dulu untuk memastikan."

***

Perjalanan tersebut tidak seberapa jauh. Kerumunan orang berkumpul di depan. Mereka tidak lain adalah para pekerja di perusahaan itu. Rupanya mereka yang menelepon polisi. Karena salah seorang petugas mengenal tempat itu adalah milik ayah Adrian karena itu mereka menelepon Kanaya. Mungkin mereka tidak tahu perceraian Adrian dengan Kanaya, karena hubungan Kanaya dengan ayah mertuanya masih terbilang baik. Wanita itu sering mengunjungi beliau.

"Apakah dia orang yang kalian lihat?" tanya Kanaya sembari menunjukkan foto Luca yang berada di ponsel kepada salah seorang yang berada di sana.

"Benar, Nyonya. Pria gila itu datang membawa pistol dan mengancam kami semua untuk keluar dari kantor. Hanya tinggal dia dan pimpinan yang tersisa di dalam. Mungkin dia datang untuk merampok kami," jawab orang tersebut.

"Ini benar-benar tidak mungkin," ucap Kanaya saat kembali menemui Sabrina.

"Semua mengira ini adalah perampokan, tetapi kurasa masalahnya tidak sesederhana itu. Untuk apa Luca datang jauh-jauh kemari hanya untuk merampok?"

"Kanaya, apa mungkin … apa mungkin ayah mertuamu terlibat dengan organisasi?" tanya Sabrina pelan. Dia takut menyinggung perasaan Kanaya. Wanita itu sudah menganggap ayah Adrian sebagai ayahnya sendiri. Bahkan saat bercerai dengan Adrian, lelaki paruh baya itu datang untuk mendukung mantan menantunya itu.

"Tidak mungkin. Pasti terjadi sesuatu. Mungkin organisasi mengancam Luca untuk melakukan ini," jawab Kanaya lugas.

***

Luca berdiri di balik jendela besar dan melihat ke halaman luar.

'Kanaya dan Sabrina. Apa yang sedang mereka lakukan di sini? Apa polisi menelepon mereka? Atau mereka kemari karena pria tua ini ayah Adrian? Padahal mereka adalah orang terakhir yang kuharap tahu tentang ini. Namun rahasia ini memang rasanya tidak mungkin bisa disembunyikan, karena Kanaya terhubung dengan pria ini. Apa sebaiknya kuurungkan saja niatku untuk membunuh dia?' ujar Luca ragu.

'Jika aku melakukannya, maka aku dan mereka akan menjadi musuh seumur hidup.'

"Kenapa? Kau ragu setelah melihat wajah kekasihmu dan mantan menantuku? Apa kau pikir setelah melakukan semua ini mereka akan memaafkanmu? Tidak. Mereka pasti akan memusuhimu dan mengejarmu untuk dimasukkan ke dalam penjara. Cinta yang selama ini kaubanggakan akan berakhir saat kekasih tersayangmu itu memborgolmu dengan tangannya sendiri," tutur pria yang saat ini bersamanya.

"Aku tidak peduli. Mereka sudah berada di sini. Sebenarnya aku ingin menutup semua ini dari mereka dan mengakhiri ini sendiri," ujar Luca sembari berbalik dan menatap lelaki itu.

"Kau mau tahu kenapa?" ujar pemuda itu lagi.

"Karena aku ingin menuntaskan ini menjadi dendam pribadi di antara kita. Di sisi lain, aku tidak ingin Kanaya tahu bahwa orang yang selama ini dekat dengannya adalah pengkhianat yang tega membunuh putra dan cucunya sendiri."

"Aku sama sekali tidak menghendaki hal itu. Itu adalah hal yang paling menyakitkan bagiku. Dan semuanya terjadi karena kegilaan kalian."

"Kami memang gila, tapi kau adalah orang yang memanfaatkan kegilaan kami," desis Luca sembari menatap tajam.

***

"Kanaya, aku akan masuk ke dalam dan mencoba untuk menenangkan Luca," ucap Sabrina. Dia tidak sabar lagi dan khawatir Luca mungkin akan terluka atau melukai orang lain.

"Tapi, Sabrina …."

Wanita itu tampak keberatan.

"Apa kau yakin kau bisa melakukannya?" tanya Kanaya akhirnya.

"Aku harus mencoba. Bagaimana denganmu, Kanaya? Apa kau akan menunggu di luar sini?"

"Aku juga akan masuk. Ayo kita cari tahu ada apa ini sebenarnya."

Kanaya lalu menoleh kepada Darren.

"Aku sangat mempercayai ayah Adrian. Beliau orang yang baik dan terhormat. Kasus ini mungkin salah-paham atau ada yang mengancam Luca sehingga bertindak seperti ini. Tolong selidiki rumah Luca sekali lagi, juga rumah lamanya, termasuk rumah sakit dokter Mastopo yang telah ditutup.

"Selain itu, geledah rumah mantan ayah mertuaku. Cari tahu tentang kemungkinan dia terlibat dalam organisasi," perintahnya.

Darren hanya mengangguk dan bergegas pergi.

"Kanaya," tegur Sabrina pelan saat melihat rekannya itu masih berdiri termangu.

"Aku berharap ini semua hanya salah-paham, Sabrina. Aku benar-benar berharap Luca keliru dan Ayah tidak terlibat semua ini," ucap Kanaya pelan.

"Kita belum tahu pasti. Ada kemungkinan beliau memang tidak bersalah dan Luca yang salah tentang semua ini."

'Tapi firasatku buruk, Sabrina. Firasatku terus saja mengatakan ada yang salah dengan semua ini,' sahut Kanaya dalam hati.

***

Luca mengintai melalui kamera pengawas dan melihat Kanaya dan Sabrina berjalan memasuki gedung.

"Kau harus menghentikan semua ini. Belum terlambat untuk mengubah keadaan," bujuk ayah Adrian.

"Kau benar. Jadi kurasa aku harus membunuhmu sekarang," sahut Luca sembari menodongkan pistol di kening lelaki itu.

"Ka-u … kau tidak bisa melakukannya. Kau tidak bisa membunuhku," tukas pria tersebut.

Luca tersenyum tipis melihat tubuh di depannya gemetar. Peluh juga bercucur deras.

"Siapa bilang aku tidak bisa membunuhmu? Kau tahu berapa banyak orang yang kubunuh karena organisasi yang kaubuat? Sekarang waktunya kau untuk mati," desisnya membisikkan kata demi kata tersebut pada telinga orang di hadapannya.

***

"Baiklah, aku tahu aku salah. Aku minta maaf padamu. Kumohon jangan bunuh aku," ucap lelaki bertubuh kurus itu.

"Kau benar. Rasanya terlalu mudah untukmu jika mati begitu saja," ucap Luca sembari memasukkan pistol ke dalam saku.

Ayah Adrian baru saja menarik napas lega, saat Luca tiba-tiba memukulnya dengan keras, sehingga beliau jatuh ke lantai.

***

Suara jeritan kesakitan tersebut membuat Kanaya dan Sabrina mempercepat langkah untuk segera tiba di ruangan tempat Luca menyandera ayah Adrian.

Sementara di ruangan itu, Luca tengah memberikan hantaman bertubi-tubi kepada pria tersebut.

Bruk!

Lelaki itu ambruk dan tergeletak di lantai.

"Sekarang, apa aku harus menghajarmu lagi hingga kau memohon agar aku membunuhmu?" tanya Luca sembari meraih kerah pria itu dan mengepalkan tinju.

"A-ku … aku akan memberimu informasi yang menarik jika kau melepaskan aku," ujar lelaki itu. Dia lalu mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Luca.

"Kau pikir informasi itu cukup untuk bisa menyelamatkan nyawamu?" sergah pemuda itu sembari menyeringai.

Ia lalu mengambil pisau buah yang disimpan dalam saku.

"Aku berubah pikiran soal menembakmu. Menghajarmu hingga mati juga terlalu menguras tenaga. Kurasa aku akan mengukir sesuatu di wajahmu," ucapnya. Ia lalu kembali tersenyum dan mendekatkan pisau itu pada wajah orang di depannya.

Brak! Pintu didobrak dari luar dan terbuka lebar. Kanaya dan Sabrina masuk sembari menodongkan pistol di tangan mereka.

"Luca, jangan berbuat nekat! Letakkan pisau itu sekarang!" perintah Kanaya.

"To-long aku, Menantu. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan orang gila ini. Dia tiba-tiba datang dan menerobos masuk ke dalam kantor sambil membawa senjata," pinta ayah Adrian dengan suara bergetar.

"Luca, letakkan pisau itu sekarang. Jika tidak, kami terpaksa akan menembakmu," ujar Kanaya lagi.

"Orang gila ini teman kalian? Bagaimana bisa? Tapi bagaimanapun kalian harus menyelamatkanku. Dia berkata akan membunuhku," ujar ayah Adrian lagi.

Luca terbahak. Ia lalu dengan santai berdiri dan duduk di kursi.

"Kalian sedang apa sebenarnya? Semula semua menarik, tetapi sekarang berubah menjadi membosankan. Permainan ini tidak menarik lagi," ucapnya.

"Luca, tenanglah. Jangan seperti ini," pinta Sabrina pelan. Dia tidak tahu harus berkata apa, tetapi dia yakin pemuda itu melakukan semua ini pasti ada alasannya.

Senyum menghliang dari wajah Luca. Raut mukanya berubah dingin

"Aku … kurasa aku akan tetap membunuhnya. Dia sudah menyebabkan banyak penderitaan. Setelah itu kalian boleh membunuhku," ujarnya sembari Kanaya dan Sabrina bergantian.

"Kenapa berkata seperti itu? Bukankah kau sudah berjanji untuk menjaga dirimu? Apa kau tahu dirimu adalah orang yang paling berarti untukku? Dengan mudahnya kau berkata agar kami membunuhmu. Hal itu membuatku sangat terluka. Kau sudah menyakitiku, Luca," ucap Sabrina dengan mata berkaca-kaca.

"Sabrina, aku minta maaf karena aku tidak bisa menepati janji itu. Aku benar-benar merasa bersalah padamu. Tapi aku ingin menghentikan ini sampai di sini. Organisasi harus hancur. Aku juga termasuk salah satu dari mereka, jadi aku juga harus …."

"Tidak!" potong Sabrina cepat.

"Apa kau lupa kau memiliki aku? Bagaimana perasaanku jika kehilangan dirimu?"

"Sabrina, aku melakukan semua ini demi kalian. Dia ini," ujarnya sembari menunjuk Ayah Adrian.

"Tidak akan berhenti. Meski putra dan cucunya meninggal, dia tetap berencana untuk menghabisi kita semua."

"Kenapa kalian tidak segera menangkapnya, malah bertengkar di sini? Apakah karena dia teman kalian? Dia datang kemari untuk membunuhku, bahkan aku tidak tahu kenapa dia melakukannya. Kami tidak saling mengenal. Aku bahkan tidak tahu apa yang dia bicarakan," cetus Ayah Adrian yang masih tampak ketakutan.

"Aku tahu, Ayah. Sabrina, bawa Luca pergi dari sini sekarang!" perintah Kanaya.

"Aku tidak mau," tolak Luca.

"Kalian boleh menembakku, tapi aku belum selesai berurusan dengannya," ucapnya sambil menunjuk Ayah Adrian sekali lagi.

"Urusan ini sekarang menjadi urusanku, karena dia adalah kenalanku. Kami pernah menjadi satu keluarga," sahut Kanaya sambil menatap Luca tajam. Wanita itu kemudian memberi isyarat kepada Sabrina.

"Sabrina, bawa Luca pergi dari sini," ucapnya.

"Luca, kamu harus ikut denganku sekarang," ucap Sabrina seraya melangkah menghampiri pemuda itu.

"Aku tidak mau. Aku harus membunuh dia lebih dulu," sahut pemuda itu sembari mengendikkan bahu ke arah ayah Adrian.

"Luca, ikut aku sekarang!" perintah Sabrina dengan suara lebih tegas.

Pemuda itu lalu melirik sekilas ke arah Kanaya. Dia menghela napas panjang dan mengangguk.

"Baiklah, aku akan ikut denganmu," ujarnya.

Sabrina terlihat lega. Mereka berdua kemudian bergegas keluar dari ruangan itu.

***

"Lega aku sekarang. Untung dia segera pergi dari sini. Pemuda gila itu berbicara ngawur, Kanaya. Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa maksud ucapannya," tukas ayah Adrian sembari kembali duduk di kursi.

Kanaya masih tetap diam dan menatap lelaki paruh baya.

"Ada apa, Aya? Kenapa kamu diam? Jangan-jangan kamu percaya perkataan dia? Aya, temanmu itu sudah tidak waras. Sebaiknya kamu hati-hati dan menjauh darinya."

"Dia atau Anda yang tidak waras, Pak Dewandra?" sahut Kanaya pelan.

"Apa maksudmu? Ayolah, Aya. Bagaimana bisa kau lebih percaya temanmu itu? Kau pasti belum lama mengenal dia. Dia itu gila, Aya, sedang aku, kau telah lama mengenalku. Kau juga pasti tahu aku tidak mungkin melakukan hal yang dia tuduhkan," tutur pria itu.

"Ternyata selama ini aku salah menilai," sahut Kanaya sembari tertawa sini.

"Aku seorang detektif, tetapi aku tidak menyadari bahwa ternyata ada orang yang begitu jahat di dekatku.

***

Sabrina memasang borgol di tangan Luca.

"Jadi kamu akan menahanku sekarang?" tanya pemuda itu.

"Benar. Aku akan menahanmu, agar kamu tidak lagi berkeliaran dan berbuat seenaknya. Tidak lagi membahayakan diri sendiri untuk melidungi aku dan yang lain," sahut Sabrina emosi.

"Sabrina, aku …."

"Apa kau pikir aku bodoh? Apa kau pikir aku dan yang lain tidak akan tahu rencanamu?" potong gadis itu cepat.

"Kau ingin mengakhiri organisasi untuk melindungi kami, karena kau tahu mereka mengincar kami. Kau juga ingin mengakhiri hidupmu sendiri. Luca, tidak bisakah kau percaya kepada kami?"

"Aku minta maaf. Tadinya kupikir ini akan lebih baik."

"Lebih baik?" sahut Sabrina sembari mendengus kesal.

"Tidak ada yang baik dari semua ini, Luca. Apa kau tahu betapa aku sangat mencemaskanmu? Kau selalu meminta aku untuk percaya padamu. Aku sudah melakukannya. Sampai sekarangpun aku tetap percaya padamu, tetapi kau. Justru kau yang tidak percaya padaku."

"Maafkan aku, Sabrina. Aku hanya ingin melindungimu. Aku takut kau terluka."

"Apa kau bodoh? Kau lupa siapa kekasihmu ini? Aku seorang detektif, Luca. Aku bukan gadis lemah. Aku bisa melindungi diriku sendiri dan aku juga bisa melindungimu," ujar gadis itu sekali lagi sambil menangis karena emosi.

"Maafkan aku, Sabrina," pinta Luca sekali lagi. Gadis itu hanya diam dan merengkuhnya dalam pelukan.