Chereads / lover secret / Chapter 33 - tiga tiga

Chapter 33 - tiga tiga

Suasana pemakaman Shelly berlangsung sederhana. Hanya mereka berempat yang hadir di sana. Kanaya lalu berjongkok dan meletakkan setangkai bunga mawar putih di pusara.

"Beristirahatlah yang tenang, Shelly. Kami pasti akan mengasuh putramu sebaik mungkin. Kami juga akan memberitahu dia tentang dirimu dan Adrian. Betapa kalian sangat baik dan meyayangi dia. Soal masa lalu yang pernah terjadi, aku sudah memaafkanmu," ucap wanita itu sembari tersenyum. Ia lalu memperbaiki kerudungnya dan bangkit berdiri.

"Aku juga sudah memaafkanmu, Shel. Terima kasih sudah pernah mencintaiku," ujar Luca sembari menatap pusara tersebut.

***

Kanaya juga melayat ke tempat Adrian.

"Aku juga sudah memaafkanmu. Beristirahatlah dengan tenang. Meski sebelum ini kita telah berpisah dan telah dipisahkan keabadian, aku akan selalu mengingatmu dan cinta kita sebagai bagian terindah dalam hidupku. Terima kasih sudah memberi kesempatan untukku menjadi seorang ibu dari Kayla," ucap wanita itu pelan. Darren menghampiri Kanaya dan memeluk wanita itu. Membiarkan dia menangis di pelukan sembari menatap pusara di hadapan.

'Adrian, aku tahu perasaanmu kepada Kanaya sangat dalam. Kumohon padamu beri aku kesempatan dan kepercayaan untuk bisa menjaga dia. Aku berjanji akan membahagiakan dia dan tidak akan pernah menyakiti hatinya,' ucapnya dalam hati.

***

Saat pergi ke makam Kayla, Kanaya kembali berurai air mata. Perasaan rindu dan kesedihan yang selama ini ditahan seolah meluap tanpa bisa lagi terbendung.

Semua tentang Kayla, tawa dan keceriaan gadis kecil itu masih melekat erat di benak Kanaya. Wanita itu masih terkadang sulit untuk percaya bahwa buah hatinya memang sudah pergi untuk selamanya.

Ada saat-saat dan malam-malam kala mencari keberadaan Kayla di penjuru rumah, hingga akhirnya kesadaran dirinya kembali bahwa memang Kayla sudah tidak ada.

***

Luca berdiri menatap pusara Arvand. Dia tidak ikut ke makam Adrian dan Kayla. Rasa bersalah membuat dirinya melangkah ke tempat kedua orang itu. Dia tahu Kanaya sudah tidak menyalahkan dirinya, tetapi tetap saja semua terasa berat. Apalagi ada hal lain yang masih dia sembunyikan.

'Apa ini keputusan yang benar, Arvand? Semoga saja semua menjadi jelas setelah ini dan tidak ada lagi nyawa terbuang sia-sia,' ucap pemuda itu dalam hati.

"Kau masih di sini," ujar Sabrina sembari bergegas menghampiri.

"Kau selalu bilang semua baik-baik saja, tapi ternyata dirimu pasti juga terpukul."

"Bagaimana keadaan Kanaya?" tanya Luca tanpa menoleh. Jujur dirinya merasa takut, di saat dia dan Sabrina semakin dekat, seolah gadis itu juga bisa mengetahui setiap hal yang disembunyikan.

"Dia wanita yang kuat. Hidupnya sudah melalui banyak hal, jadi dia pasti bisa bertahan, apalagi Rian ada dalam pengawasannya," sahut gadis yang kini berdiri di sampingnya tersebut. Rian adalah anak dari Shelly. Seperti keinginan terakhir wanita muda itu, mereka memberikan nama Adrian untuknya.

"Apa Kanaya bisa mengurus anak itu dengan baik? Bagaimanapun Rian adalah anak dari orang-orang yang pernah menyakitinya," ujar Luca pelan.

"Kanaya adalah wanita yang sangat baik. Mungkin dia tegas, tetapi dirinya bukan tipe pedendam. Sebenarnya, jika kau mengenal dia lebih jauh, Kanaya sosok yang lembut dan keibuan," tutur Sabrina. Dia lalu menoleh dan menatap Luca.

"Kau percaya 'kan pada penilaianku?" tanyanya.

Luca mengangguk.

"Tentu aku percaya. Aku juga makin yakin Kanaya bisa membesarkan Rian dengan baik dan Darren juga akan menjadi ayah yang baik untuknya," ucapnya sembari menggenggam tangan Sabrina.

"Kau juga jangan lepas tangan. Ingat, kau adalah paman dari Rian," ucap gadis itu lagi.

Luca hanya diam dan kembali mengangguk. Tidak ingin menceritakan kecemasannya akan ketenangan yang hanya sementara dan mungkin akan berlalu dalam sekejap.

***

Luca menatap tidak percaya.

"Apa maksud kalian? Kenapa kasus ini ditutup begitu saja?" sergah pemuda itu cepat saat keesokan hari mereka kembali berkumpul di kantor.

"Karena tidak ada perkembangan. Semua buntu setelah Arvand meninggal. Tidak ada jejak apa pun yang ditinggalkan oleh kakakmu itu," jawab Kanaya.

"Tapi seharusnya kita tidak berhenti. Organisasi tidak akan bubar begitu saja hanya karena kematian Arvand. Tempat itu masih ada dan akan terus beroperasi jika kita tidak menghentikan."

Sabrina meraih tangan Luca dan segera mengajak pemuda itu keluar. Ia tidak ingin kalau misalnya Luca dan Kanaya berdebat sengit atau kembali bertengkar dan bermusuhan. Dua orang yang paling dicintainya harus bisa hidup dengan rukun, karena dia tidak ingin lagi kehilangan salah satu dari mereka.

"Aku mengerti perasaanmu, tetapi kita tidak bisa bergerak tanpa petunjuk dan Arvand tidak meninggalkan apa pun untuk kita," ujar gadis itu.

Luca menoleh dan menatap tajam Sabrina.

"Ada apa? Apa Arvand meninggalkan sesuatu padamu?" tanya gadis di sampingnya itu.

Luca diam sembari menghela napas panjang, lalu perlahan ia menggeleng.

"Tidak," jawab pemuda itu akhirnya.

"Bersabarlah," ucap Sabrina lagi.

"Jika memang ada petunjuk, kita pasti bisa menemukannya. Saat ini, kita hanya berharap pembunuhan tidak kembali terjadi."

Luca mengangguk dan memeluk gadis itu erat.

'Maafkan aku, Sabrina. Demi kebaikanmu dan yang lain, aku merahasiakan sesuatu dari kalian. Kuharap kalian tidak pernah tahu yang sebenarnya,' ujar Luca dalam hati.

***

Hari-hari selanjutnya semua kembali damai. Teror pembunuhan tidak lagi terjadi.

Kanaya sedang menyeduh kopi sembari menghampiri Sabrina.

"Aku tahu ini terdengar kasar, tetapi kasus terdahulu sudah ditutup dan Luca bukan petugas resmi. Dia tidak bisa terus berada di sini. Sedari awal, dia adalah warga sipil yang hanya membantu memecahkan kasus. Jadi, sebaiknya dia tidak lagi ikut dalam kasus terbaru yang sedang kita tangani," ujar wanita itu.

Sabrina mengangguk.

"Aku akan membicarakan dengan Luca," ujarnya.

"Tapi, aku benar-benar merasa tidak enak. Sepertinya kita membuang dia begitu saja, padahal pengungkapan kasus pembunuhan berantai dan organisasi, semua berkat dia," sahut Kanaya sembari duduk dan meletakkan kopi di meja yang berada di hadapannya.

"Tenang saja. Aku akan bicara baik-baik pada Luca. Aku yakin dia pasti mengerti," ujar Sabrina sembari tersenyum.

***

"Jadi aku dipecat?" tanya Luca saat Sabrina mengajaknya bertemu di luar kantor.

"Bukan begitu. Kuharap kau jangan marah, tetapi ini semua adalah peraturan kantor. Pak Boby juga menyarankan hal yang sama. Ia yang menyuruh Kanaya menyampaikan itu padamu, tetapi dia merasa tidak enak dan meminta bantuanku," tutur Sabrina.

"Baiklah, aku tidak masalah," ucap Luca membuat Sabrina menarik napas lega.

"Tetapi kau harus menemani aku."

"Maksudmu?" tanya gadis itu dengan wajah kebingungan.

"Temani aku mencari rumah. Kurasa aku tidak bisa lagi tinggal di kantor ini," sahut Luca sembari tersenyum.

"Kau mau, 'kan melakukannya?"

Sabrina ikut tersenyum dan mengangguk.

Tanpa mereka sadari, sebuah mobil diparkir tidak jauh dari tempat Luca dan Sabrina berdiri. Si penumpang di kursi belakang membuka jendela dan melihat keduanya dengan wajah marah.

"Kalian sudah menghancurkan aku. Aku juga akan membalas menghancurkan kalian," gumamnya pelan dengan tangan tergenggam erat.

***

Rumah sederhana bercat putih tersebut terletak tidak jauh dari kantor tempat Sabrina bekerja. Di rumah itulah, Luca akan tinggal.

"Bagaimana?" tanya Sabrina sembari menatap pemuda di sampingnya tersebut.

"Lumayan," jawab Luca pelan.

"Kamu kenapa? Apa kamu tidak suka? Apa rumahnya kurang bagus?" tanya Sabrina lagi.

Dia merasa semenjak tadi Luca terlihat muram. Pemuda itu menggeleng.

"Tidak apa-apa," ujarnya.

"Hanya saja aku tidak suka karena harus berpisah denganmu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu? Penjahat di luar sana sangat kejam dan aku tidak ada untuk melindungimu."

"Aku bisa menjaga diri," jawab Sabrina.

"Aku ini seorang detektif, bukan gadis sembarangan."

"Soal pakaian yang kupinjam dari Darren, …."

"Tidak apa-apa. Darren sudah bilang. Dia memberikan itu untukmu."

"Terima kasih, ya. Kalian orang-orang baik. Senang bisa bertemu dengan kalian."

"Ck, kau ini bicara apa? Aku ini kekasihmu. Kanaya dan Darren juga sekarang sahabatmu, jadi kau tidak perlu sungkan lagi."

Luca hanya mengangguk mendengar ucapan Sabrina.

'Karena itu, aku akan berusaha melindungi kalian,' ucapnya dalam hati.

Pemuda itu lalu mengantar Sabrina keluar. Gadis itu pamit hendak kembali ke kantor.

"Hati-hati. Jaga dirimu dan jangan berkeliaran. Jangan membuat aku cemas," tutur Sabrina sembari menggenggam erat tangan Luca.

Pemuda di hadapannya itu mengangguk dan mengecup ringan pipi Sabrina. Hal tersebut tidak ayal membuat wajah gadis itu bersemu merah. Dia berbalik dan bergegas pergi. Luca masih tersenyum menatap kepergian Sabrina dan melambaikan tangan pada gadis itu.

Raut wajahnya berubah saat dia masuk kembali ke dalam rumah. Luca kemudian menuju ke jendela samping dan mengintip ke arah luar. Mobil bercat hitam itu masih ada di sana.

'Sabrina kelihatannya tidak menyadari bahwa mobil tersebut mengikuti mereka. Itu lebih baik. Orang-orang itu mungkin dari organisasi. Mereka mengawasi dia. Jika Sabrina menyadari keberadaan mereka, nyawanya akan berada dalam bahaya,' ucap Luca dalam hati.

'Masalah ini harus aku bereskan sendiri. Sabrina tidak boleh lagi terlibat. Aku tidak mau dia terluka.'

***

Sabrina kembali ke kantor. Meski begitu perasaannya masih tidak tenang dan gelisah. Luca seperti menyembunyikan sesuatu darinya, itu saja yang terus terlintas di pikiran.

"Kamu ada masalah apa lagi?" tanya Kanaya sembari duduk di samping rekannya itu.

"Apa Luca marah karena harus keluar dari tim?"

"Entahlah, dia seperti menyembunyikan sesuatu, tetapi tidak mau mengatakan apa pun padaku," jawab Sabrina pelan sembari bertopang dagu.

"Kalau begitu mengapa kau tidak bertanya langsung padanya?"

"Aku merasa tidak enak. Mungkin benar katamu, dia kesal karena harus keluar dari tim."

"Menurut pengamatan aku, Luca sangat hebat dalam pekerjaan kita ini. Bagaimana kalau tawarkan dia tetap bekerja di sini sebagai informan lapangan?" usul Kanaya.

Sabrina sontak menggeleng.

"Tidak. Tidak boleh. Itu terlalu berbahaya. Aku tidak mau terjadi sesuatu padanya," ucapnya tegas.

"Tetapi menurutku Luca yang terbaik. Dia berpengalaman, bahkan jauh lebih baik dari para agen yang kita miliki. Dia memiliki kemampuan dan keahlian di atas rata-rata. Pak Boby juga sepakat dengan ini," ujar Kanaya cepat.

"Tetap saja. Sehebat apa pun dia, aku tidak mau lagi Luca berada dalam bahaya," sergah Sabrina sembari menggeleng. Ia tidak sanggup membayangkan jika sampai Luca terluka atau justru kehilangan pemuda itu untuk kali kedua.

***

Sepulang kerja, Sabrina mampir ke rumah Luca. Dilihatnya pemuda itu sedang duduk santai di kursi teras sembari menyesap. Gadis itu lega, karena wajah Luca tidak setegang tadi. Kekasihnya itu kini terlihat lebih rileks.

"Untunglah kau baik-baik saja," ucap Sabrina sembari meraih dan menggenggam erat tangan pemuda itu.

"Aku tadi sempat cemas. Kukira kau marah dan sedih, karena harus pergi dari kantor," lanjut gadis itu lagi seraya ikut duduk di kursi.

"Tidak. Hanya saja aku sedikit merasa kesepian saja. Tidak menyenangkan seorang diri setelah sekian lama selalu bersama dengan kalian," jawab Luca seraya menyunggingkan seulas senyum.

Sabrina diam sejenak. Luca yang melihat itu segera kembali bertanya,

"Ada apa? Kelihatannya justru ada yang mengganggu pikiranmu."

"Kanaya menyarankan agar kau bekerja sebagai informan kami. Pak Boby juga telah setuju. Hanya saja …."

Gadis itu menghentikan ucapannya. Dia kembali diam dan menggigit bibir pelan.

"Kenapa?" tanya Luca sembari menatap gadis itu dengan penuh perhatian.

'Dia begitu mencemaskanku. Dan aku malah menyembunyikan sesuatu darinya?' gumamnya pelan dalam hati.

'Dia pasti kecewa dan marah jika tahu yang sebenarnya."

"Aku tidak setuju. Luca, aku tidak mau kau sampai terluka lagi. Jika terjadi sesuatu lagi padamu, aku mungkin tidak bisa bertahan lagi," tandas Sabrina cepat.

"Sabrina, tidak akan terjadi apa-apa padaku. Pekerjaan itu memang cocok untukku. Aku tahu kemampuanku dan aku bisa menjaga diri. Jadi kau tidak perlu cemas," ujar Luca sembari tersenyum kecil dan mengacak rambut gadis itu pelan.

Sabrina kembali meraih dan mencekal tangan Luca erat.

"Tetap saja aku tidak mengijinkan. Itu bisa menjadi sangat berbahaya. Kumohon, Luca, berjanjilah padaku, kau tidak akan menerimanya," pintanya sungguh-sungguh.

"Baiklah, aku tidak akan menerimanya. Sekarang kau tidak perlu cemas lagi."

Sabrina mengangguk sembari menghela napas lega. Luca masih tersenyum sembari meraih dan memeluk gadis di sampingnya itu.

'Maafkan aku, Sabrina. Aku telah berbohong. Aku tidak menerima karena ada hal lain yang harus kulakukan,' bisik Luca dalam hati.

"Aku tidak akan bekerja di sana, tapi kau harus mau memenuhi permintaanku," ujar Luca lagi.

"Apa itu?"

"Aku ingin kita pergi berjalan-jalan. Berdua saja. Sudah begitu lama kita tidak pergi berdua. Aku ingin bersamamu ke suatu tempat. Hanya aku dan kamu," ucap Luca sembari menatap gadis itu.

Sabrina mengangguk sambil tersenyum lega. Baginya yang penting Luca tidak lagi berada dalam bahaya. Apa pun yang diminta pria itu, pasti akan dia coba untuk memenuhi.

Bagi Luca sendiri, ini mungkin saat terakhir dia bisa bersama Sabrina. Menjalin hubungan layaknya sepasang kekasih. Sebelum perpisahan yang mungkin menyakitkan, dia ingin memberi kenangan terindah untuk gadis itu.

***

"Kapan kita akan menyerang dia?" tanya seorang pria kepada lelaki di sampingnya yang lebih tua dan tampak berwibawa. Mereka berdua sedang melihat foto Luca yang terpasang di dinding.

"Kita harus menahan diri untuk sementara. Dia tidak bodoh, bahkan menurutku lebih pintar daripada Gio maupun Arvand. Jika tebakanku benar, saat ini dia sudah tahu tentang kita dan waspada. Karena itu, kita harus berdiam diri untuk sementara waktu dan memberikan serangan di saat tidak terduga," jawab lelaki tersebut sembari bergegas menjauh.

"Yang pasti aku tidak akan pernah melepaskan dia. Semua yang dia lakukan, harus dibayar dengan mahal, lanjutnya lagi.

***

Hari sudah larut. Mata Luca masih terbuka lebar menatap langit malam yang gulita, karena mendung menutup purnama dan ratusan bintang.

'Ini hanya masalah waktu. Aku atau mereka yang menyerang lebih dulu. Dan kali ini, aku yang akan lebih dulu menyerang mereka,' tekadnya dalam hati.