"Kau tidak boleh membunuh sispa pun!" sahut Luca keras. Ia tidak ingin ada lagi yang terluka karena ulah Arvand.
"Adikku, apa kau lupa yang telah kuajarkan padamu? Terlalu banyak bergaul dengan mereka, ternyata membuat dirimu jadi lemah," sahut Arvand.
"Kurasa mungkin aku benar-benar harus menghabisi mereka."
"Jangan melukai mereka! Juga jangan membunuh orang lain lagi! Kumohon, Kak, hentikan semua ini! Sudah terlalu banyak orang yang meninggal karena kita! Tangan kita telah bermandikan darah mereka. Aku takut, Kak, suatu saat kita tidak bisa lagi menanggung dosa ini, jadi kumohon, Kak, berhenti dan serahkan dirimu," pinta Luca sekali lagi. Suasana masih benar-benar gelap. Dia tidak tahu di mana Arvand, tetapi dari suaranya, kakaknya itu berdiri tidak jauh darinya.
Tidak ada sahutan, yang terdengar setelah beberapa saat adalah suara tangis seorang bayi.
"Itu anakmu, 'kan, Kak? Karena itu, demi dia, kumohon berhentilah menyakiti orang tidak bersalah," pinta Luca lagi.
"Justru aku harus terus membunuh demi dia. Agar orang-orang kotor di dunia menjijikkan ini tidak bisa menyentuhnya," sahut Arvand.
"Lalu apa sebutan anak seorang pembunuh yang ingin kau berikan pada anakmu? Kak, kau harus berhenti," pinta Luca lagi.
"Kak! Kakak!" panggil Luca berulang kali, tetapu tidak ada sahutan. Suasana bahkan berubah sepi. Tangisan bayi terdengar semakin samar.
"Luca!" panggil seseorang dari luar. Tidak lama lampu ruangan menyala benderang. Bangunan tua yang nyaris runtuh itu ternyata memiliki generator.
Pemuda itu memejamkan mata sesaat karena silau, setelahnya dia melihat Sabrina dan yang lain bergegas menghampiri.
"Kau di sini rupanya. Tadi kami sempat mencari-carimu, karena tiba-tiba menghilang di depan kami," ujar kekasihnya itu.
"Maaf," ucap Luca pelan.
"Aku hanya tiba-tiba teringat ruangan ini dan tidak sempat memberitahu kalian."
"Kami bisa menemukanmu karena mendengarmu memanggil kakak berulang kali dengan suara keras. Apa Arvand tadi ada di sini?" tanya Sabrina. Pemuda itu diam. Jika dia memberitahu mereka Arvand tadi berada di tempat itu, mereka mungkin akan mengikuti ke pintu samping yang berada di ruangan itu. Satu-satunya pintu untuk Arvand keluar.
Kakaknya itu bukan orang bodoh. Dan mendengar perkataannya tadi, besar kemungkinan dia telah menyiapkan perangkap untuk Sabrina dan yang lain. Gadis yang dicintainya itu mungkin berada dalam bahaya. Begitu pula teman-temannya.
Akan tetapi, jika dia berkata tidak, maka anak Shelly akan berada dalam bahaya. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Arvand kepada bayi mungil itu. Namun, dirinya sudah berjanji kepada Shelly untuk membawa kembali anaknya.
"Luca, ada apa?" tanya Sabrina lagi.
"Dia ada di sini bukan?"
Tanpa berkata apa-apa, Luca bergegas menuju pintu samping. Saat yang lain hendak mengikuti, dia berbalik dan berkata cepat,
"Kalian tunggu di sini!"
Pemuda itu lalu bergegas keluar.
Di dalam ruangan tersebut, Sabrina justru merasa cemas. Ia hendak menyusul Luca, tetapi Kanaya segera menghentikan.
"Ada sesuatu yang terjadi. Kelihatannya Luca tidak ingin kita terlibat, karena menempatkan kita dalam bahaya," tukas Kanaya.
"Lalu, apa kita harus membiarkan Luca pergi seorang diri? Dia mungkin berada dalam bahaya!" seru Sabrina panik.
"Bukan itu yang kucemaskan. Kelihatannya Arvand tidak berniat mencelakai Luca. Jika dia ingin melakukannya, pasti sudah dilakukan sewaktu mereka berdua berada di sini. Bagaimanapun Luca adalah adiknya. Yang lebih mengkhawatirkan adalah bayi itu. Arvand mungkin juga tidak berniat melukainya, tetapi kondisi bayi tersebut rentan karena belum cukup umur," jelas Kanaya.
"Aku mengerti. Karena itu, kita tidak bisa hanya berdiam di sini!" sahut Sabrina lagi.
Arvand dan Luca mungkin saja kakak-beradik, tetapi tetap saja. Dia tidak mempercayai Arvand. Pembunuh keji itu mungkin saja bertindak nekat jika merasa terpojok dan balik melukai Luca, meski Luca adalah adik kandungnya sendiri.
Kanaya mengangguk.
"Aku mengerti, karena itu, siapkan senjata. Kita harus bersiaga dengan berbagai kemungkinan," ujarnya.
Sabrina balas mengangguk.
***
Suasana di malam ternyata sudah pekat, padahal tadi mereka berangkat kemari, hari masih belum terlalu malam. Langit tertutup tebal mendung yang menghalangi bias purnama. Kerlip taburan bintang yang biasa membentang seluas gulita juga tidak terlihat.
Luca berjalan pelan menembus tinggi belukar. Beberapa pohon dan tanaman rambat yang menjalar menjadi pagar penghalang yang mempersulit untuk melangkah.
Pemuda itu kembali menyorotkan senter di tangan. Dari tadi dia tidak melihat sosok Arvand.
'Apa mungkin dia pergi ke arah yang berbeda?' duganya.
Akan tetapi, baru saja dia berpikir seperti itu dan akan kembali untuk mencoba arah lain, sosok yang dicarinya tersebut berdiri tidak jauh darinya sambil menggendong seorang bayi.
Sosok Arvand jauh berbeda dengan apa yang diingatnya sewaktu kecil dulu. Bahkan jauh berbeda dengan yang dibayangkan Luca selama ini. Namun, senyum itu masih tetap sama. Senyum yang menunjukkan keangkuhan dan kepuasan karena rencana dia berhasil.
"Luca, adikku, akhirnya kita bisa bertatap muka langsung. Sudah lama aku ingin bertemu denganmu seperti ini," ucap Arvand. Tangannya menekan sebuah saklar dan beberapa lampu kecil menerangi tempat tersebut.
"Luca, apa kau ingat tempat ini? Dulu aku sering mengajakmu ke sini untuk mengajarimu sesuatu. Sesuatu yang tidak disukai orang-orang bodoh yang tinggal di tempat kita. Bahkan orang tua kita sendiri melarang keras, tetapi kita berdua sangat menyukainya. Benar 'kan, Luca?" tanya Arvand sembari menyeringai.
***
Bayangan masa lalu itu menyeruak di benak Luca. Pisau yang berlumur darah. Tubuh seorang gadis kecil yang tergeletak di tanah. Mayat hewan yang berserakan dan berbau busuk.
"Kau bohong! Aku tidak pernah menyukai itu!" sahut Luca. Pemuda itu membungkuk sembari memegang kepalanya yang terasa sakit. Sosok-sosok yang telah tiada itu seolah muncul di hadapannya dengan wajah dan tubuh berlumur darah. Bau busuk dan anyir menusuk hidung.
"Apa kau lupa dengan semua yang terjadi? Aku memang membunuh mereka, tetapi kau tidak pernah puas. Kau bahkan menyiksa mereka, bahkan setelah mereka tiada. Kau juga menyuruhku melakukan hal yang sama. Dan kau tahu, Luca, kau benar. Semua itu terasa lebih menyenangkan," ujar Arvand lagi.
Luca hanya diam tidak menjawab. Kepalanya masih tetap menunduk dan badannya juga tetap membungkuk.
Sabrina dan yang lain datang serta menodongkan senjata kepada mereka berdua.
"Benarkah itu? Benarkah apa yang dia katakan?" tanya gadis itu sembari menatap Luca yang masih tetap menunduk diam.
Tiba-tiba Arvand bergerak cepat. Ia merebut pistol Sabrina yang berdiri di sampingnya dan menodong kepala gadis itu.
"Jangan ada yang bergerak!" teriaknya saat petugas lain, termasuk Darren dan Kanaya langsung menyiagakan pistol mereka dan menodongkannya kepada pria itu.
"Luca!" panggil Arvand kepada adiknya itu.
"Beritahu aku sekarang! Apa yang harus kulakukan padanya? Haruskah aku langsung membunuh kekasihmu ini atau menguliti dia perlahan-lahan?"
Luca kembali berdiri tegak sembari tersenyum menyeringai.
"Lakukan saja apa yang kau inginkan," jawabnya datar.
***
Semua diam terpaku mendengar kata-kata Luca. Hanya Arvand yang tertawa senang. Namun, tidak lama Luca kembali berbicara.
"Lakukan saja apa yang kauinginkan," ulangnya sekali lagi.
"Tetapi, saat kau melakukannya, aku pastikan akan membunuhmu dengan tanganku sendiri. Aku tidak pernah membunuh atau menyiksa hewan atau orang sewaktu kita masih kecil. Kaulah yang melakukan semuanya!"
"Apa kau lupa kau bahkan pernah memukulku karena tidak menuruti perintahmu? Kau juga marah saat aku gemetar memegang pisau dan tidak melakukan keinginanmu dengan benar!" teriak Luca emosi. Amarah tampak jelas tergurat di wajahnya.
Arvand tertawa terbahak, lalu menggelengkan kepala.
"Bagaimana rasanya? Bukankah menyenangkan mengingat semua kenangan indah itu?" tanyanya.
"Kau sudah gila!" teriak Sabrina sembari berbalik menyerang pria itu. Dia memuntir tangan Arvand yang memegang pistol. Kanaya juga bertindak cepat menghampiri untuk mengambil bayi yang masih berada di gendongan Arvand.
Melihat anaknya berpindah ke gendongan Kanaya, membuat Arvand berang. Dia segera menendang Sabrina hingga jatuh dan kembali menodong dengan pistol yang tidak berhasil diambil kembali oleh Sabrina.
Saat dia masih mengawasi Sabrina, seseorang tiba-tiba datang dan menonjok perutnya dengan keras. Ia terkejut saat melihat Luca berdiri tepat di hadapannya.
"Sudah kubilang, bukan?" desis adiknya itu dengan suara dingin.
"Jika kau melukai dia sedikit saja, aku sendiri yang akan membunuhmu. Aku dulu mungkin seorang pengecut yang takut padamu dan ingin menjadi seperti dirimu, tetapi sekarang tidak lagi. Aku akan melindungi gadis yang kucintai dan orang-orang yang kusayangi."
Arvand tertawa.
"Kau tidak akan bisa menang dariku, Luca. Lihat saja, aku pasti membunuh semua yang kausayangi. Seperti dulu, waktu aku membunuh teman-temanmu. Waktu itu, kau tidak bisa berbuat apa-apa dan sekarang juga sama. Kau tidak akan bisa melindungi mereka, kecuali kau membunuhku," jawab Arvand sambil menyeringai.
Luca berteriak marah dan langsung menghajar Arvand bertubi-tubi. Darren dan yang lain segera melerai. Para petugas segera menangkap Arvand, tetapi dia melawan dan melarikan diri.
Sebuah tembakan dilepaskan Kanaya dan mengenai kaki Arvand. Namun, dia masih tetap berusaha lari. Kanaya kembali menembak dan mengenai punggung pria itu. Arvand jatuh telungkup berlumuran darah.
Luca bergegas menghampiri dan melihat tubuh kakaknya yang tergeletak diam tersebut dengan tatapan kosong. Dia tidak mengerti mengapa kakaknya yang pembunuh hebat justru akhirnya memilih jalan yang sama seperti Gio, yaitu mengakhiri hidupnya.
Luca merasa, sejak awal, Arvand sudah merancang semua itu untuk tujuan yang mungkin sulit dipahami oleh semua orang, termasuk Luca sendiri.
***
Ambulans dan tim paramedis tiba untuk membawa jenazah Arvand ke rumah sakit. Kanaya bergegas menghampiri Luca.
"Aku minta maaf semua harus berakhir seperti ini," ucapnya. Pemuda itu hanya mengangguk. Ia lalu bergegas kembali ke ruangan yang berada di bangunan kuno. Tempat ia dan Arvand bertemu tadi.
Luca kemudian mencari ke setiap sudut ruangan. Tadi dia tidak sempat melihat, juga tidak terpikir olehnya bahwa Arvand akan melakukan hal yang sama seperti Gio. Lalu pemuda itu melihatnya, selembar kertas yang dilipat dan diselipkan di bawah kaki meja.
***
Sabrina masuk ke dalam ruangan tersebut untuk menemui Luca. Tadi dia cemas saat melihat pemuda itu bergegas pergi, karena itu dia segera mengikuti.
'Mungkin Luca terpukul atas kematian Arvand. Ya, seburuk apa pun Arvand, tetap saja pria itu adalah kakaknya,' duga gadis itu.
Langkah Luca begitu cepat, sehingga dia sempat tertinggal dan kehilangan jejak. Namun, ia lalu menduga Luca kembali ke ruangan di rumah tua itu. Tempat pertemuannya dengan Arvand. Dugaannya ternyata sama sekali tidak salah. Ia segera menghampiri saat melihat Luca hanya berdiri termangu.
"Kamu tidak apa-apa, 'kan?" tegur Sabrina saat berdiri di dekat pemuda yang dicintainya itu sembari menyentuh lengan Luca pelan.
Pemuda itu hanya mengangguk sembari tersenyum tipis untuk menenangkan hati Sabrina.
"Aku tahu kau pasti berduka, karena bagaimanapun dia adalah kakakmu, tapi kuharap kau mengerti. Kita tidak bisa lagi melepaskan dia. Yang diharapkan adalah dia menyerahkan diri baik-baik, tetapi dia justru melarikan diri, bahkan setelah kakinya tertembus peluru. Kanaya tidak punya pilihan selain melakukan itu. Kuharap kalian tidak berselisih lagi, karena kalian orang-orang yang sangat berarti untukku," ujar Sabrina seraya menggenggam erat tangan pemuda itu.
Luca tetap tersenyum dan kembali mengangguk.
"Tidak apa, aku mengerti. Aku tidak akan menyalahkan Kanaya. Arvand sudah membunuh banyak orang. Dia harus dihentikan dan mungkin hanya cara ini yang bisa menghentikannya," jawabnya sembari memeluk gadis yang sedang bersamanya itu.
***
Kanaya dan yang lain telah selesai menangani semua di tempat Arvand bersembunyi tersebut. Ia beserta rekan-rekannya berencana kembali ke kantor. Namun, di tengah perjalanan ponsel Kanaya berdering. Kabar tidak baik datang dari rumah sakit tempat Shelly dirawat. Kondisi perempuan muda tersebut memburuk dan ingin bertemu dengan mereka.
Saat tiba di kamar Shelly, wanita yang terbaring lemah dengan wajah pucat tersebut tampak tersenyum kecil saat melihat mereka.
Kanaya bergegas menghampiri dan menggenggam tangan Shelly. Sabrina juga mendekat sembari membawa bayi dalam gendongan. Perlahan, gadis detektif itu meletakkan sang bayi di samping Shelly. Mata perempuan itu nampak berkaca-kaca saat menatap wajah anaknya.
"Anakmu laki-laki, Shel. Tadi dokter sempat memeriksanya, ia sehat dan baik-baik saja. Kurasa Arvand telah menjaga dia dengan baik," ucap Sabrina pelan. Tidak ada gunanya mencemaskan Shelly dengan memberitahu bahwa kondisi bayinya sempat memburuk dan menjalani pemeriksaan beberapa saat. Hal itu hanya akan membuat Shelly cemas.
"Terima kasih," ujar perempuan yang tengah tergolek lemah tersebut. Ia tersenyum dan membelai lembut wajah anaknya.
"Bagaimana dengan Arvand?" tanyanya kemudian.
"Dia sudah meninggal," jawab Luca pelan.
"Aku minta maaf," ujar Shelly sembari menatap pemuda itu.
"Ini bukan salahmu. Semua ini adalah kesalahan Arvand," jawab Luca lagi.
Shelly diam sesaat, kemudian kembali berbicara,
"Aku juga minta maaf tidak memberitahu kalian soal Arvand. Juga bahwa aku tidak bisa melarang pria itu membunuh Adrian. Semua karena aku takut. Aku cemas dengan nasibku dan anak ini nanti. Aku ingin dia tetap menjadi anak Adrian, bukan anak Arvand. Bukan anak seorang pembunuh," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
"Kami mengerti. Sekarang beristirahatlah, pulihkan dirimu agar bisa menjaga anakmu," ujar Luca.
"Aku tidak bisa melakukannya. Aku akan menerima hukuman dari semua perbuatan jahatku. Saat aku bertemu dengan Adrian dan Arvand di sana, aku juga akan berlutut meminta maaf pada mereka."
"Jangan berkata seperti itu! Kau harus bertahan demi putramu!" seru Luca. Yang lain hanya diam dengan mata berkaca-kaca.
"Luca, kau harus menjaga keponakanmu. Kalian juga. Aku … titip dia pada kalian. Be-rikan nama Adrian padanya," ucap Shelly dengan suara semakin lemah.
Jemari tangan yang menggenggam tangan Luca terlepas dan terkulai di tempat tidur. Wajah nan ayu itu tersenyum damai dengan mata terpejam untuk selamanya.
"Shelly!" panggil Luca berulang kali. Namun, dokter yang dipanggil oleh Darren dan datang memeriksa perempuan muda itu menggeleng. Shelly telah tiada dalam keabadian.