Sabrina berjalan mondar-mandir di halaman. Entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang salah. Dokter Mastopo dan Hendra seolah mengarahkan mereka kepada Luca. Lalu Luca, entah ke mana perginya pemuda itu. Kini dia tidak tahu siapa yang benar-benar bisa dipercaya.
"Sabrina!" tegur Kanaya. "Kita harus tetap fokus. Kamu masih ragu dengan semua kebenaran ini?"
"Entahlah, aku masih merasa ada yang aneh."
"Aku tahu memang sulit menerima kenyataan bahwa orang yang kita cintai telah membohongi kita, tetapi sampai kapan kau akan terus seperti ini?"
Sabrina hanya diam mendengar perkataan rekannya. Kanaya memang benar, tetapi ia ingin mendengar langsung pengakuan dari Luca. Ia ingin tahu apa yang akan dikatakan pemuda itu.
Dering ponsel mengejutkan Sabrina. Ia segera mengangkat.
"Luca?" tanya Kanaya pelan. Sabrina hanya mengangguk.
***
Luca diam beberapa saat. Ia tidak tahu apa ini keputusan yang tepat. Reina masih tidak setuju, meski tahu mereka tidak memiliki pilihan lain.
"Tidak perlu melacakku! Aku akan memberitahu kalian keberadaan kami. Kami menyerah!" ucap Luca pelan.
Di seberang, Sabrina termangu. Ia tidak mengerti mengapa Luca tiba-tiba memutuskan menyerah setelah melarikan diri dan keberadaannya tidak diketahui.
Tidak lama, terdengar bunyi pesan masuk. Pesan dari Luca yang memberitahukan alamat dirinya dan Reina.
"Kita harus waspada!" ucap Kanaya. "Ini mungkin jebakan!"
***
Reina memeluk tubuhnya yang gemetar. Ia tahu mereka tidak punya pilihan lain, tetapi tetap saja, dia tidak ingin kembali.
"Kamu bisa pergi sebelum mereka datang," tukas Luca pelan.
"Mana bisa aku pergi? Jika pergi, kita harus melakukannya bersama," sahut Reina.
Luca hanya diam dan kembali duduk. Kini mereka hanya bisa menunggu.
***
Suara sirene terdengar membahana memecah hari yang telah malam di perkampungan sepi tersebut.
"Masih belum terlambat bagimu untuk pergi, Reina," tukas Luca.
"Sudah kubilang, kita hadapi bersama. Aku akan pergi, jika kau juga pergi. Karena kau memutuskan tinggal, maka aku juga akan tetap tinggal," sahut gadis itu mantap.
***
Sabrina dan yang lain bergegas masuk ke dalam rumah sembari menodongkan pistol masing-masing. Namun, mereka justru bingung karena Luca dan Reina sama sekali tidak melawan.
Keduanya duduk dengan tenang seolah menunggu untuk ditangkap.
"Apa lagi rencana mereka?" bisik Kanaya pelan saat melihat mobil yang membawa Luca dan Reina pergi.
"Mungkin mereka ingin kita percaya bahwa mereka tidak bersalah," sahut Darren sembari mengangkat bahu.
"Kita tidak boleh tertipu!" seru Kanaya sembari menatap Sabrina yang sedari tadi hanya diam.
***
Dokter Mastopo menelepon Pak Hardiman, karena mereka belum diijinkan membawa Luca.
"Biar saja dulu! Kita harus bersabar! Terlalu buru-buru justru akan membuat mereka curiga! Mereka tidak memiliki pilihan karena kita mempunyai ijin resmi dari pengadilan. Mereka akan memberikan Luca dan Reina pada kita. Sebaiknya kalian kembali dulu sekarang!" sahut atasan mereka itu.
"Satu hal lagi, Luca dan Reina, kenapa mereka menyerahkan diri?"
"Kurasa mereka akhirnya menyadari bahwa tidak akan pernah bisa lepas dari kita. Satu umpan sudah cukup memberi mereka pesan bahwa mereka tidak punya pilihan lain kecuali kembali pada kita," sahut Pak Hardiman sembari tertawa pongah.
"Aku hanya cemas. Kurasa Luca merencanakan sesuatu."
"Akulah yang menciptakan dia. Dia tidak akan bisa melawanku."
***
Luca menatap sekeliling ruang bercat kelabu tersebut. Untuk kesekian kalinya, ia berada ruangan tersebut. Dulu karena Shelly, sekarang ini. Ia sedikit cemas dengan Reina. Entah apa yang terjadi pada gadis itu karena mereka ditempatkan di ruang terpisah. Meski Reina cukup cerdas, tetapi mudah untuk panik dan cemas.
'Semoga semua baik-baik saja,' bisik Luca pelan. Jika tidak, Reina justru akan membuat rencana yang telah disusun berantakan.
Pintu ruangan tersebut terbuka. Luca tersenyum kecil saat melihat Sabrina yang bergegas masuk.
***
Beberapa saat sebelumnya, Kanaya sempat melarang Sabrina menemui Luca. Ia takut pemuda itu kembali memanfaatkan Sabrina.
"Aku hanya ingin tahu kenapa dia melakukan itu," ujar gadis itu pelan.
"Apa pun alasannya, itu tidak membenarkan pembunuhan yang dilakukan," tukas Kanaya.
"Kau benar, tetapi tetap saja aku ingin tahu. Ini demi diriku sendiri."
Kanaya hendak berbicara lagi, tetapi Darren menggeleng. Akhirnya, ia mengalah dan membiarkan Sabrina bertemu dengan Luca.
***
Sabrina dan Luca hanya diam dan saling berpandangan beberapa saat. Gadis itu lalu membuka map di depannya.
"Katakan padaku, kenapa kau membunuh mereka?" ujar Sabrina pelan.
Luca hanya diam menatap Sabrina.
"Jawab pertanyaanku! Kenapa kau membunuh mereka?" ulang gadis itu sekali lagi.
Luca menghela napas panjang.
"Jangan seperti ini, Sabrina! Jangan memaksa dirimu sendiri! Kau tidak cukup kuat saat ini. Lihatlah wajahmu saja sangat pucat!" sahut pemuda itu.
Tangan Sabrina gemetar. Bibirnya bergetar menahan tangis.
"A-pa ... a-pa kau selalu seperti ini? Memanfaatkan perasaan musuh sebagai kelemahan dan menjatuhkan mereka?" tanya gadis itu lagi.
"Lalu dirimu, apa kau selalu seperti ini? Kau bahkan tidak bisa menanyakan pertanyaanmu dengan baik," sahut Luca.
Sabrina hanya diam. Tubuhnya gemetar saat dia berdiri dan nyaris terjatuh. Luca segera membantu, tetapi gadis itu segera menepis tangannya. Ia kembali berdiri tegak dan bergegas keluar ruangan.
***
Kanaya duduk di hadapan Reina. Ia sedikit merasa bersimpati pada gadis itu, karena dimanfaatkan oleh Luca.
"Kenapa kalian menyerah? Bukankah kalian sudah melarikan diri?" ucapnya mengawali pertanyaan.
"Ini usul Luca. Jika kami tidak menyerah, mereka akan terus membunuh," jawab Reina singkat.
"Mereka? Tidak ada orang lain, hanya Luca ...."
"Itu yang mereka inginkan. Itu juga yang kau inginkan. Sejak awal, kau membenci Luca. Kau begitu mempercayai instingmu dan yakin bahwa dia penjahat. Kau pasti sangat ingin hal itu terbukti, sehingga tidak memikirkan kemungkinan lain," tutur Reina.
"Apa maksudmu?"
"Percuma bicara padamu! Kau tidak akan percaya! Satu hal yang harus kau tahu, Luca tidak bersalah dan fail pembunuhan yang ditunjukkan padamu, memang Luca yang melakukannya, tetapi itu terjadi saat dia masih sangat muda dan hanya menuruti perintah mereka," ucap Reina lagi.
"Nona, kurasa Luca telah sangat mempengaruhimu," ujar Kanaya lagi.
"Karena itu, kubilang percuma bicara padamu! Kau hanya meyakini apa yang ingin kauyakini!" tukas Reina. Ia lalu menatap tajam wanita itu.
"Tidak ada yang mempengaruhiku! Aku yang justru mempengaruhi dia. Bukan Luca yang membawa lari diriku, tetapi aku yang membawa dia pergi dari sana, agar mereka tidak terus memanfaatkan dia," ucapnya.
Kanaya menghela napas panjang dan bergegas keluar.
"Ada apa dengan gadis itu?" ujarnya saat bertemu Darren.
"Dia benar, Kanaya. Kamu begitu yakin bahwa Luca bersalah. Bahkan kamu tidak bisa menilai kasus ini dari sudut lain," ujar pemuda itu.
Kanaya hendak menjawab, tetapi Darren menggeleng.
"Cobalah untuk berpikir jernih, Kanaya! Kenapa kamu begitu ingin Luca bersalah? Mungkin egomu yang selama ini berbicara. Kamu ingin pendapatmu selalu benar," lanjut Darren.
"Bukan seperti itu!" seru Kanaya keras. Air mata mengalir di wajah dan tubuhnya yang gemetar ambruk ke lantai.
***
"Aku pernah mempercayai seseorang dan karena itu, aku justru kehilangan orang yang mempercayaiku," tukas Kanaya pelan.
"Aku mempercayai mantan suamiku dan akhirnya dia justru mengkhianatiku. Di saat aku percaya, justru aku merasa kehilangan," lanjut wanita itu lagi.
Suasana taman yang gelap menyamarkan air mata wanita itu. Tempat yang selalu ramai saat siang itu kini sepi karena hari hampir fajar. Darren sengaja mengajak Kanaya ke situ, karena tempat itu dekat dengan kantor mereka dan agar dia bisa menenangkan diri.
"Aku mengerti," ucap Darren pelan. "Maafkan aku telah bersikap seperti itu sebelumnya, tetapi apa kau juga tidak percaya padaku?"
"Aku takut untuk percaya," ujarnya sambil menatap pemuda itu. "Saat ini, hanya Sabrina yang aku percaya, karena itu aku sangat ingin melindungi dia. Aku tidak ingin Luca melukai dia. Maafkan aku!"
Darren tersenyum kecil.
"Tidak apa, tidak masalah meski sekarang kau belum percaya padaku, aku akan tetap berusaha," ujarnya.
"Lalu apa kau percaya pada mereka? Luca dan Reina?" tanya Kanaya.
Darren menggeleng.
"Tidak, aku juga tidak percaya, tetapi aku tidak ingin menghakimi mereka. Suatu saat, semua pasti akan terbuka. Tidak ada kebohongan yang bisa bertahan selamanya."
***
Sabrina menghela napas berulangkali untuk menenangkan diri. Dia harus tenang agar dapat mengetahui yang sebenarnya terjadi.
Setelah beberapa saat, ia kembali masuk ke dalam ruangan. Lagi-lagi Luca tersenyum saat melihatnya.
"Kenapa kau terus tersenyum seperti ini? Apa kau yakin dirimu bisa lolos?" tukas Sabrina.
Luca menggeleng dan tertawa kecil.
"Aku senang melihatmu dan kurasa kau sudah membaik," ujarnya.
"Baiklah, jawab pertanyaanku! Pembunuhan berantai yang terjadi belakangan ini, apa kau yang melakukan?"
"Tentu!"
Sabrina terkejut mendengar jawaban Luca, tetapi pemuda itu segera melanjutkan.
"Tentu, tapi itu dulu, saat aku dipenuhi dendam, tentu aku sudah membunuh mereka, tetapi aku tidak bisa melakukannya."
"Apa maksudmu?"
"Sama seperti Gio, aku dibesarkan dan dilatih di organisasi. Mereka adalah tuan aku. Mereka yang menentukan siapa yang harus kubunuh. Saat itu, mereka bilang aku belum cukup terlatih dan harus membunuh lebih banyak orang lagi," tuturnya.
"Apa kau pikir aku akan percaya dengan cerita semacam itu?"
Luca menggeleng.
"Tidak, aku tahu kau tidak akan percaya. Mereka sangat pintar. Jika kau menaruh curiga, maka mereka akan datang menghabisimu. Jadi, pilihan terbaik adalah kau jangan percaya!"
***
Kanaya duduk di kursi berhadapan dengan Sabrina dan Darren. Mereka bertiga sudah lelah dengan kasus ini, tetapi mereka ingin segera menuntaskannya.
"Mereka terus saja mengatakan soal organisasi aneh itu. Padahal kita sudah memeriksa. Tempat itu hanyalah rumah sakit jiwa yang dikelola oleh dokter Mastopo. Lagipula, tempat semacam itu tidak mungkin ada, kecuali di film," tukasnya sembari menghela napas panjang.
"Yang aku heran, Reina juga mengatakan hal yang sama, seolah dia dicuci otak oleh Luca atau mungkin penyakit jiwa itu menular," lanjutnya lagi.
Sabrina hanya diam.
'Kanaya benar, tempat semacam itu pasti tidak ada. Luca hanya ingin mengacaukan pikiranku,' putusnya.
"Sabrina, maafkan aku!" tukas Kanaya saat Darren memberi isyarat.
"Aku tidak bermaksud menyinggungmu, tetapi Luca itu ...."
"Tidak apa," potong Sabrina cepat. "Aku tahu ada yang salah dengan Luca. Aku minta maaf karena tidak pernah mendengarmu dan aku sama sekali tidak tersinggung. Mulai sekarang, aku akan mencoba melupakan dia."
"Bagus! Kau pasti bisa melupakannya dan mendapat cinta yang lebih baik. Jangan lupa kami akan selalu mendukungmu!" ujar Kanaya.
'Benar, aku tidak boleh patah semangat! Aku memiliki Kanaya dan Darren, sahabat yang selalu ada untukku,' ujar Sabrina dalam hari.
***
Pak Boby memanggil Kanaya, Sabrina dan Darren ke ruangannya. Di dalam ada beberapa pria memakai pakaian putih.
"Mereka kemari untuk menjemput Luca dan Reina," tukas atasan mereka itu.
"Sebaiknya kalian segera siapkan laporan dan tutup kasus ini!"
"Tetapi, Pak, penyelidikan belum usai. Luca bahkan belum mengakui keterlibatan dengan pembunuhan itu," kilah Sabrina.
"Dia tidak akan pernah mengaku. Semua adalah siasat licik dia untuk mengulur waktu. Kuharap kalian tidak lagi terkecoh," ucap salah seorang dari pria itu.
"Mereka benar," ucap Pak Boby, "bagaimanapun Luca dan Reina adalah tanggung jawab mereka. Serahkan Luca dan Reina pada mereka!"
Sabrina dan yang lain terpaksa setuju.
"Ada yang tidak beres," ujar Kanaya saat mereka bertiga keluar dari ruang atasan mereka tersebut.
"Kenapa mereka begitu terburu-buru? Sepertinya ada sesuatu yang salah."
***
Reina tertegun dan menggeleng saat orang-orang itu membawa ia dan Luca pergi.
"Luca, aku takut! Aku tidak mau kembali!" ujarnya saat mereka berdua dipaksa masuk ke dalam mobil.
Luca hanya diam. Ini di luar perkiraan, tadi ia mengira Sabrina dan yang lain akan menahan dia dan Reina. Setidaknya, mereka akan aman, tetapi mereka justru dikirim kembali ke organisasi.
"Kau jangan khawatir, Nona! Kau tidak akan kembali bersama kami! Hanya Luca yang kembali! Sedang kau, kau harus mati karena telah berkhianat!" ujar salah seorang pria sembari tertawa menyeringai. Reina menoleh dan menatap Luca cemas.
***
Sabrina termangu di meja kerja. Kasus itu telah diputuskan ditutup, tetapi ia merasa ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang ditutupi oleh Luca, Reina, dan rumah sakit jiwa itu.
Sabrina ingat kata-kata Luca soal organisasi. Gadis itu segera menggeleng.
'Tidak! Aku tidak boleh terpengaruh lagi. Kanaya benar, selama ini Luca hanya memanfaatkan aku,' ujarnya dalam hati.
Suara ketukan di meja membuat ia terkejut. Gadis itu segera menengadah dan bertatapan dengan Arya.
"Kau? Sedang apa kau di sini?" sergahnya cepat sembari bangkit berdiri.
"Kita akan makan-makan di luar," tukas Kanaya yang berdiri tidak jauh.
"Daripada kau sendirian, aku mengundang Arya. Dia nanti juga bisa mengantarmu pulang."
Wanita itu lalu bergegas menghampiri Darren yang sudah memakai jaket dan berdiri di ambang pintu menanti mereka.
'Jadi ini kencan ganda? Kanaya pasti mengatur ini. Tetap saja, aku tidak suka harus pergi dengan Arya,' tukas Sabrina pelan.
***
Tinju Luca menghantam keras orang di sampingnya. Ia juga menyerang orang yang di depan. Reina ikut membantu dengan memukul yang di sebelahnya dengan tongkat besi yang diambil Luca dari lawan.
Mobil melaju tidak terkendali, karena Luca juga menyerang pengemudi. Kendaraan tersebut berhenti setelah menabrak pohon besar.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Luca saat melihat kening Reina yang berdarah. Gadis itu mengangguk.
"Ki-ta harus segera pergi dari sini!" tukas Reina.
Mereka berdua keluar dari mobil dan berlari menuju hutan, yang tadinya akan digunakan sebagai tempat untuk mengeksekusi Reina.
"Kita harus pergi sejauh mungkin sebelum orang-orang organisasi datang ke sini," tukas Luca sembari memapah Reina yang berjalan sedikit lambat dan sempoyongan.