Chereads / lover secret / Chapter 26 - Dua enam

Chapter 26 - Dua enam

"Dasar bodoh! Pekerjaan kecil saja, kalian tidak bisa melakukan dengan benar!" teriak Pak Hardiman marah. Wajahnya merah padam dan tangan menggenggam telepon dengan erat.

"Apa pun yang terjadi, kita harus temukan mereka!" ucapnya lagi sembari menutup telepon. Beliau kemudian menoleh kepada orang di sampingnya.

"Kerahkan beberapa orang! Aku ingin ciptaanku yang berharga kembali!" perintahnya. Orang itu hanya mengangguk patuh.

'Luca, Reina, kalian pikir kalian bisa lolos dariku? Tidak! Tidak akan pernah!' tukasnya sembari tersenyum kecil.

***

"Kita tidak bisa seperti ini terus! Kau harus pergi tanpaku, Luca! Aku sudah tidak kuat lagi!" ucap Reina.

Pandangannya mulai mengabur. Langkah kaki juga semakin lemah.

"Aku tidak akan meninggalkanmu! Kita pasti bisa pergi dari sini!" tukas Luca sembari setengah menyeret tubuh Reina.

Mereka melangkah di pinggir sebuah jurang.

Suara berisik langkah banyak orang terdengar tidak jauh di belakang.

"Kau harus pergi, Luca atau kita akan tertangkap!"

"Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu!" tegas pemuda itu.

"Maafkan aku, Luca!" ujar Reina sembari bersimbah air mata dan mendorong pemuda itu sekuat tenaga, hingga jatuh ke dalam jurang.

Terdengar keras suara orang tercebur di dalam air. Reina berlutut di pinggir tempat Luca jatuh.

"Maafkan aku, Luca! Aku ingin kau tetap hidup. Aku sangat mencintaimu dan ini adalah pengorbananku," ucapnya pelan.

Di belakang gadis itu, orang-orang berdatangan dan salah seorang di antaranya menodongkan pistol di kepala Reina.

"Di mana Luca?" tukas salah seorang dari mereka.

"Kalian sudah terlambat! Aku tidak akan mengembalikan dia pada kalian! Dia adalah bukti kejahatan kalian yang suatu saat nanti akan terungkap pada dunia!" sahut Reina sembari menatap nyalang.

"Gadis bodoh!" ujar orang yang menodong kepala Reina sembari menarik pelatuk. Bunyi letusan senjata memekakkan telinga.

Reina roboh bersimbah darah. Seuntai senyum menghias wajah. Setidaknya, ia telah mengorbankan nyawa demi pemuda yang seumur hidup selalu ada di hatinya.

***

Sabrina dan yang lain sedang makan malam di restoran saat mereka mendengar kabar bahwa Luca dan Reina telah melarikan diri.

Gadis itu segera bergegas, tetapi Arya segera menghalangi.

"Kau nampak lelah, aku akan mengantarmu pulang," ucap pemuda itu.

"Ini adalah pekerjaanku sebagai detektif," sahut Sabrina tajam.

"Kau yakin bukan karena Luca? Kau pasti mencemaskan dia!"

"Arya, kau benar! Aku lelah! Yang membuatku lelah adalah terus saja berdebat denganmu! Sudah sekian tahun dan kau masih saja belum berubah. Kau tetap tidak memahami pekerjaanku!" sergah Sabrina keras. Ia sudah kehilangan kesabaran dengan Arya yang selalu memaksakan keinginan, seolah Sabrina adalah pelayan yang harus patuh padanya.

"Aku minta maaf," ujar Arya.

"Aku hanya mencemaskanmu."

Sabrina tidak menjawab dan malah memilih pergi dari tempat itu. Kanaya segera menyusul.

Darren tersenyum dan menepuk pundak Arya pelan.

"Kau harus bersabar dan mengerti dia. Itu saranku jika kau memang ingin mendapatkannya kembali," ujarnya.

Arya hanya mengangguk sembari menghela napas panjang.

Di luar, Sabrina merasa kesal kepada diri sendiri. Kejadian yang baru saja kembali mengingatkan dia kepada Luca.

'Orang yang begitu mengerti aku, ternyata tidak lebih dari seorang pembunuh,' keluhnya dalam hati.

Kanaya yang menyusul Sabrina hanya diam di samping gadis itu. Ia tidak ingin membuat sahabatnya itu semakin emosi. Wanita itu tahu Sabrina belum sepenuhnya melupakan Luca dan menerima kembali Arya.

***

Perjalanan menuju hutan tempat Luca dan Reina melarikan diri ditempuh dengan cepat oleh Darren.

Setiba di lokasi, mereka telah menerima kabar bahwa Reina telah tewas tertembak di bagian kepala.

"Bagaimana bisa?" tukas Sabrina kepada seorang petugas polisi.

"Tentu saja bisa, Luca yang melakukannya, dia sendiri yang membunuh Reina dan itu semua karena kecerobohan kaljan," tukas dokter Mastopo yang juga berada di lokasi sembari bertolak-pinggang.

"Apa maksudmu? Bagaimana bisa itu menjadi kesalahan kami?" sergah Sabrina cepat. Matanya menatap tajam lelaki paruh baya tersebut.

"Pistol itu, Luca pasti mencuri dari kalian atau kau yang memberikan. Kudengar kalian memiliki hubungan istimewa."

"Kau!" teriak Sabrina marah.

"Jangan bicara sembarangan!"

Merasa suasana memanas, Kanaya segera menengahi.

"Kendaraan kalian untuk apa melewati jalan ini? Setahu aku, ini bukan jalan menuju rumah sakitmu," tukasnya sembari menoleh kepada lelaki itu. Sabrina tetap menatap tajam dengan penuh amarah.

"Apa ini? Kalian menaruh curiga pada kami? Kalian kira kami sengaja melepaskan Luca dengan membawa dia ke sini? Tuduhan kalian benar-benar keterlaluan! Kami akan memperkarakannya!" sergah Hendra yang sejak tadi hanya berdiri diam di samping dokter Mastopo.

"Tempat praktekku tidak jauh dari sini. Sudah tugasku untuk memeriksa Luca sebelum membawa dia kembali. Gangguan jiwanya bisa saja bertambah parah dan mungkin akan melukai pasien dan perawat di situ. Menjaga keselamatan mereka adalah tanggung jawabku," jelas  sang dokter pada akhirnya.

"Lalu di mana Luca sekarang? Apa kalian sudah menemukan dia?" tanya Sabrina kepada para petugas.

"Seorang warga yang tinggal dekat sini berkata mendengar suara letusan disusul dengan bunyi keras jatuh ke air. Kemungkinan ia melompat ke jurang setelah menembak Reina," tutur salah seorang petugas tersebut.

"Benar-benar gila! Itulah Luca yang sebenarnya! Dia sangat nekat dan tidak berpikir panjang!" ucap dokter Mastopo.

Sabrina dan yang lain hanya  diam dan bergegas pencarian ke area tempat Luca diduga menjatuhkan diri.

***

Mata gadis itu nampak sembab. Kanaya mengangsurkan sebotol air mineral padanya. Sudah seharian penuh mereka mencari Luca, bahkan nyaris tanpa istirahat.

"Pulanglah!" tukas Kanaya pada Sabrina. "Kau butuh istirahat! Jika seperti ini, kau hanya akan jatuh sakit! Kami akan langsung mengabari saat menemukan Luca."

Sabrina menggeleng. Ia tidak akan bisa tenang sebelum Luca ditemukan. Kanaya menatap iba sembari menghela napas panjang. Meski kini segala tentang Luca telah terkuak, tetapi itu tidak membuat perasaan Sabrina berubah.

Kanaya dapat melihat jelas betapa dalam rasa cinta Sabrina kepada Luca. Mungkin ia ingin menemukan pemuda itu bukan untuk mengungkap kasus pembunuhan, tetapi lebih untuk memastikan bahwa Luca baik-baik saja.

***

Sabrina duduk seorang diri dalam kegelapan rumah. Tubuhnya  terasa penat. Tadi Kanaya memaksa dia untuk pulang. Rekannya itu nampak cemas. Sabrina terpaksa menurut karena tidak ingin Kanaya terus mengkhawatirkan dia.

Meski begitu, setiba di rumah, dia tidak bisa beristirahat. Bayangan sosok Luca selalu muncul setiap dia mencoba memejamkan mata.

Dering ponsel yang berbunyi berulangkali tidak dihiraukan. Dia tahu pasti itu adalah Arya. Pemuda itu terus saja mengganggu tanpa mau mengerti.

Perlahan, ia kembali menyesap minuman pahit yang terdapat di dalam cangkir bermotif tersebut. Berharap kafein dalam cairan hitam tersebut dapat membantu menenangkan jiwa. Namun, justru membuat dirinya semakin teringat pada Luca yang pernah berceloteh panjang-lebar tentang bahaya kafein. Air mata kembali menitik di paras manis itu.

***

Hari berlalu, Luca tidak juga ditemukan. Padahal tim pencari sudah menyisir sepanjang perairan. Terbersit dugaan Luca sudah tewas dan tubuhnya hanyut ke lautan atau mungkin dimakan binatang laut.

Sabrina tertegun menatap kosong tempat Luca jatuh. Dia ingin mereka terus mencari hingga Luca ditemukan, tetapi ia tahu mereka semua sudah berupaya sekuat tenaga menemukan pemuda itu.

Perasaan hampa kini menggelayut hati gadis muda tersebut. Walau tahu, Luca seorang pembunuh, hatinya tetap saja bersedih kehilangan pemuda yang pernah menjadi cinta dalam hatinya.

"Sabrina," panggil Kanaya lirih sembari menepuk bahu rekannya itu.

"Kita harus pergi sekarang!"

"Mengapa?" tukas Sabrina lirih. "Mengapa dia hadir di hidupku dan pergi dengan cara seperti ini?"

"Mengapa, Kanaya? Mengapa?" teriak Sabrina kemudian menangis tersedu. Wanita di sampingnya tersebut hanya diam dan memeluknya. Membiarkan Sabrina menumpahkan segala air mata kesedihan dan kekecewaan di pundak sang sahabat.

***

Arya datang ke kantor tempat Sabrina bekerja. Sikap gadis itu tetap saja dingin padanya, tetapi ia tidak peduli. Keinginan hanya satu. Ingin kembali menjalin hubungan dengan sang mantan kekasih.

Sabrina membuang buket mawar putih yang baru diberikan Arya ke keranjang sampah. Pemuda itu tertegun. Sudah berhari-hari ia datang membawa bunga tersebut dan Sabrina selalu membuangnya.

"Ayo ikut aku!" tukas Arya pelan sembari mencekal erat tangan gadis itu.

"Kamu mau apa?" tukas Sabrina sembari balas menatap tajam.

"Aku hanya ingin berbicara denganmu atau kamu ingin kita bicara di sini, tidak masalah kalau itu yang kamu mau," ujar pemuda itu.

Kanaya bergegas menghampiri untuk melerai ketegangan tersebut.

"Apa yang kaulakukan? Tidak seharusnya kau memaksa seperti itu!" tegur wanita itu.

Sabrina bangkit berdiri. Ia tidak ingin masalah bertambah panjang. Arya memang selalu memaksakan keinginan, karena itu dirinya tidak pernah ingin kembali kepada pemuda itu. Ia tidak pernah menghargai keinginan Sabrina.

"Ikut aku sekarang!" desisnya pelan. Wajah Arya tersenyum penuh kemenangan, menyangka ia telah berhasil. Segera ia membuntuti langkah gadis itu.

Di belakang, Kanaya mendengus kesal. Dulu ia mengira Arya pemuda yang baik, tetapi kini dia merasa tertipu. Lagi-lagi instingnya salah dan ia merasa tidak tenang karena melibatkan Sabrina dengan pemuda yang tidak baik.

"Tenanglah!" ucap Darren yang berdiri di belakangnya.

"Sabrina pasti bisa mengatasi itu."

***

Taman itu seharusnya tempat yang romantis dan indah, kalau saja suasana hati Sabrina tidak buruk seperti sekarang.

Dulu, ia pernah menyukai sikap Arya itu, tetapi lama-lama, ia tidak tahan juga. Pemuda itu terlalu mengekang, bahkan melarang keinginan Sabrina menjadi detektif, padahal itu adalah cita-cita gadis itu, hingga kata putus yang menjadi pilihan. Dan kini ia mencoba kembali. Masih dengan sifat yang sama.

"Sebaiknya kau jangan datang lagi! Aku tidak bisa lagi menyukaimu. Hatiku, perasaanku, sudah sejak lama berubah," tukas Sabrina cepat.

"Kenapa? Kenapa kau tidak bisa lagi mencintaiku? Apa karena dia? Kau belum bisa melupakan dia, bukan? Padahal dia tidak lebih dari seorang pembunuh," sahut Arya.

Dengan tidak sabar, ia meraih dan memutar tubuh Sabrina, sehingga mereka berdua saling berhadapan.

"Katakan! Jawab pertanyaanku! Apa kau masih mencintai dia?" ujarnya sembari menatap langsung manik mata gadis itu.

Sabrina hanya diam. Arya melangkah mundur sembari tertawa miris.

"Aku tidak percaya ini! Kau masih mencintai dia, bahkan meski tahu dia itu gila. Bahkan setelah ia tiada, kau masih belum melupakan dia!" sergahnya.

"Arya, ini tidak ada hubungannya dengan Luca," jawab Sabrina lirih.

Ada secercah rasa tidak enak menyusup dalam hati, di balik semua tingkah laku posesifnya, sebenarnya Arya pemuda yang baik.

"Sudahlah, jangan berbohong lagi! Dia sudah mati, tetapi masih ada di hatimu. Bagaimana? Bagaimana aku bisa mengalahkan sosok dia? Aku bahkan tidak bisa berkelahi langsung dengannya. Aku tidak bisa mengatakan pada dia untuk pergi dari hatimu. Aku tidak bisa bersaing dengan bayangan dari pria yang sangat kaucintai," ujar Arya pelan.

Ia kemudian diam dan menghela napas panjang. Sabrina juga diam. Sore yang menghias hari berubah cerah dengan semburat lembayung mewarnai mega. Mereka berdua terpaku seolah menikmati indah ciptaan Sang Kuasa.

"Tetapi aku tidak akan menyerah," ucap Arya lirih.

"Dia sudah tidak ada. Suatu saat kau juga pasti bisa melupakan dia. Aku akan terus menunggu hingga saat itu tiba, dan untuk itu, biarkan aku tetap di sampingmu!"

***

Di waktu bersamaan, Pak Hardiman juga tengah menatap senja yang sama.

"Apa dia sudah ditemukan?" tanya beliau pada pria di samping yang selalu setia mengawal ke manapun.

Lelaki itu menggeleng.

"Tidak, tim pencari juga sudah menarik pasukan. Mungkin Luca memang sudah tewas," sahutnya sembari tetap menunduk.

Pria paruh baya yang sudah bertahun menjadi atasannya tersebut tertawa. Awalnya pelan, kemudian semakin keras.

"Apa kamu pikir Reina sebodoh itu? Dia tidak akan mendorong Luca ke jurang, jika tahu pemuda yang dicintainya itu akan tewas," sahutnya.

Anak buahnya itu diam sesaat.

"Jadi, maksud Anda dia masih hidup?" ucapnya pelan.

"Tentu saja Luca masih hidup. Reina mendorong dia agar Luca tidak tertangkap oleh kita. Gadis muda itu tahu persis kemampuan Luca. Begitu pula aku, aku tahu persis kemanpuan ciptaanku itu," sahut Pak Hardiman mantap.

Ia kemudian berbalik dan menatap anak buahnya itu.

"Cari dia! Cari dia sampai ketemu! Jangan pernah berhenti! Kita harus menemukan dia sebelum para detektif pengganggu itu! Semua akan kacau jika ia bertemu mereka!" perintahnya.

Pria yang sedari tadi menemani tersebut mengangguk patuh dan bergegas pergi.

'Luca, Luca, Luca, jangan harap kau bisa lepas dariku!' tukas Pak Hardiman marah. Tangannya gemetar saat mencengkeram sebuah cangkir kertas yang telah kosong, hingga hancur.

***

Terowongan yang sepi tersebut nampak gelap. Hanya ada beberapa pengemis dan pemulung yang tengah terlelap setelah beradu nasib untuk mengais rejeki dari satu ke tempat lain.

Langkah pemuda itu terseok dan pelan. Sekujur tubuh terasa sakit. Ia tahu ada beberapa bagian tubuh yang terluka, tetapi dia tidak bisa ke mana-mana. Mereka akan menangkap saat melihat dia.

Diputuskan untuk duduk di tempat kosong tanpa alas. Beberapa orang berpakaian lusuh di dekatnya menoleh, tetapi mereka tidak peduli dan kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mungkin di mata mereka, ia juga seorang gelandangan tanpa tempat bernaung.

Pemuda itu termangu sembari menyantap roti yang tadi dipungut di jalan. Entah siapa yang membuang, mungkin tidak sengaja terjatuh atau sudah rusak, ia tidak peduli, perutnya terlalu lapar untuk mengurus hal kecil seperti itu. Toh dia sudah terbiasa memakan barang semacam itu semenjak kecil.

'Apa yang harus aku lakukan sekarang?' tukas pemuda itu dalam hati. Ia tidak mau hanya bersembunyi dan berdiam diri.