Chereads / lover secret / Chapter 27 - Dua tujuh

Chapter 27 - Dua tujuh

Kondisi Luca sudah mulai fit setelah beristirahat sejenak. Ia lalu mendekati seorang lelaki tua yang duduk tidak jauh darinya.

"Pak, Anda mau mendapat uang banyak?" tanyanya.

Pria tua itu mendengus seraya menatap lelaki muda itu dari atas ke bawah.

"Apa ini? Kau sedang mengejekku atau mungkin ini acara televisi?" tukasnya sembari meludah.

Luca menggeleng.

"Bukan, Pak, tetapi jika Anda menelepon seseorang dan berkata menemukanku, ia akan memberi uang yang sangat banyak kepada Anda, tetapi ingat Anda harus mengatakan yang aku suruh, begitu pula yang lain," tuturnya.

Orang-orang itu nampak tertarik dan memaksa si pria tua untuk melakukan apa yang disuruh Luca.

Lelaki itu masih ragu, tetapi desakan orang-orang membuat dia tidak bisa menolak.

"Awas kau jika sampai menipuku!" ancamnya seraya menatap Luca tajam dan bergegas.

Pemuda itu hanya mengangguk sembari menguntai senyum.

***

Pak Hardiman duduk di ruangan kantor yang dihiasi berbagai lukisan ornamen tersebut sembari menghisap cerutu. Tempat tersebut tidak seberapa besar.

Sofa mahal impor yang kini menjadi alas duduk tersebut biasa memberi dia kenyamanan, juga lukisan-lukisan tersebut memberi ketenangan. Namun, kini beliau merasa gelisah.

'Semua ini gara-gara Luca. Ke mana sebetulnya dia pergi?' gumamnya dalam hati. Hal itu membuat ia kesal dan marah. Tidak ada ketenangan, karena biasanya rencana dia berjalan lancar.

Seorang lelaki bertubuh tegap berjalan masuk dan membisikkan sesuatu. Pak Hardiman terbahak mendengar kabar dari anak buahnya itu.

'Luca, Luca, kau memang tidak akan pernah bisa lepas dariku!' serunya.

***

Mobil hitam itu berhenti di dekat terowongan. Mereka kemudian bertanya kepada si pria tua yang disuruh Luca serta memberikan sejumlah uang.

Tidak berapa lama, sekelompok orang berpakaian serba hitam datang mendekati Luca dan membawa pemuda itu yang tengah terbaring tidur.

***

"Apa yang terjadi? Bagaimana bisa dia menjadi seperti ini?" sergah Pak Hardiman dengan nada marah. Ia terus menatap Luca yang sedari tadi menangis dan tertawa sendiri.

"Dia pasti berpura-pura, bukan?" tukasnya sembari menatap dokter Mastopo.

"Luca pemuda yang sangat pintar. Dia pasti sudah merencakan semua ini."

Sang dokter menggeleng pelan.

"Aku tidak tahu pasti. Kita harus mengawasi dan mengobservasi dia. Kebohongan tidak akan bertahan lama. Jika dia memang hanya berpura-pura, hal itu pasti segera terbongkar," tukasnya seraya ikut menatap Luca.

Pak Hardiman bergegas menghampiri Luca yang sedang duduk di bangku taman rumah sakit jiwa tersebut.

"Aku tahu kau hanya berpura-pura. Entah permainan apa yang sedang kau mainkan, tetapi rencana burukmu tidak akan bisa menghancurkan aku," desisnya mengancam.

Luca hanya tertawa mendengar itu. Tatapannya liar ke segala arah tanpa menyimak ucapan lelaki paruh baya tersebut.

***

Luca tahu dirinya sedang diawasi dengan ketat. Pak Hardiman dan anak buahnya bukan orang yang mudah dibodohi. Karena itu, ia harus tetap berpura-pura tidak waras sampai menemukan bukti untuk kejahatan mereka.

'Waktu itu tidak akan lama. Cepat atau lambat, mereka pasti segera tahu aku menipu mereka. Sebelum itu terjadi, aku harus bergerak cepat keluar dari sini dan mencari cara untuk membalaskan dendam Reina,' ucapnya dalam hati.

Ingatan Luca berputar ke hari di mana ia dan Reina ke hutan. Gadis itu mendorong dia jatuh untuk melepaskannya dari Pak Hardiman yang terus mengincar. Setelah masuk ke dalam air, ia langsung berenang dan tidak lama dikejutkan oleh suara tembakan.

Ia kemudian bersembunyi agar tidak ditemukan dan mendengar bahwa Reina telah tewas. Awalnya, pemuda itu tidak percaya. Namun, saat melihat kabar di televisi tentang kabar tertembaknya Reina, ia menjadi percaya. Kabar lain juga menyebut ia yang menembak gadis yang selalu menemani itu dengan kejam. Para polisi dan anak buah dokter Mastopo bahkan bekerja sama untuk mencari dia.

Berita kembali tersiar saat ia tidak kunjung ditemukan. Mereka yang menemukannya akan diberi uang yang cukup banyak dengan menghubungi rumah sakit jiwa milik dokter Mastopo. Saat itulah, Luca merancang rencana dan pergi ke terowongan untuk menemui para gelandangan.

Semua berjalan sesuai rencana. Ia cuma harus menunggu saat untuk menghancurkan Pak Hardiman yang telah membuat Reina tewas.

***

Sabrina bergegas setelah mendapat telepon bahwa Luca telah ditemukan. Dia pergi bersama Darren dan Kanaya, Arya bahkan memaksa untuk ikut pergi bersama mereka.

Tidak berapa lama, Sabrina sudah tiba di rumah sakit jiwa milik dokter Mastopo tersebut. Hatinya terasa miris saat melihat Luca tidak bisa mengenali dirinya. Pemuda itu terus saja tertawa-tawa sendiri sembari berlari di dekat mereka.

"Apakah dia bisa sembuh?" tanya Sabrina pelan. Tatapan matanya nampak berkaca-kaca saat dia melihat sosok Luca.

Sang dokter yang berdiri menemani hanya menggeleng pelan.

"Kami tidak tahu. Ia masih membutuhkan perawatan lebih lanjut," ucapnya.

Sabrina hanya mengamgguk. Mereka kemudian bergegas kembali. Saat mobil mulai melaju, ia terkesiap saat melihat di spion mobil bayangan sosok Luca tersenyum dan melambai pada mereka. Sekilas pemuda itu terlihat normal.

"Sekalipun dia sembuh, itu tidak mengubah fakta bahwa dia adalah seorang pembunuh berdarah dingin," tukas Arya sembari menoleh kepada Sabrina.

Gadis itu hanya diam. Ia mengalihkan pandangan sore hari di luar jendela.

'Benar, dan itu juga tidak mengubah kenyataan bahwa aku masih sangat mencintai dia,' serunya dalam hati.

***

Malam hari, Luca termenung sendiri di kamar. Saat tadi Sabrina berkunjung, betapa ingin memeluk dan melepas rindu dengan gadis itu. Ia sedikit kecewa saat melihat Arya juga berada di sana, bahkan menggenggam erat tangan gadis itu.

'Andai aku tidak sedang bersandiwara untuk membongkar kebusukan tempat ini, pasti sudah kupatahkan tangan lelaki itu!' geramnya marah.

Namun, kali ini ia harus mengalah dan bersandiwara, meski begitu ia tetap tidak lupa dengan sorot sedih di raut wajah Sabrina.

'Ia masih memiliki perasaan padaku, meski mungkin sudah tidak mempercayaiku lagi. Tunggulah sebentar lagi, Sabrina! Aku akan menunjukkan kebenaran kepadamu!' tukas Luca penuh tekad.

***

Gadis muda itu melangkah semakin cepat. Kepanikan serta ketakutan nampak jelas di wajah. Sosok itu bergerak cepat. Menyergap dan menghabisi dia di kegelapan malam.

Tubuh jelita itu kini tergeletak tidak bernyawa di tengah tanah lapang dengan mata yang ditusuk paku dan leher nyaris putus. Sabrina, Kanaya, serta Darren diam mengamati. Hari masih fajar saat mereka mendapat kabar tentang pembunuhan tersebut.

Ketiganya tidak habis pikir.  Luca sudah dikurung di rumah sakit jiwa, tetapi pembunuhan sadis masih terus terjadi dan yang menjadi korban adalah gadis muda yang tidak ada kaitan dengan pembunuhan balas dendam Luca.

"Apa mungkin Luca meloloskan diri untuk membunuh mereka?" ucap Kanaya pelan. Ia juga nampak ragu.

"Tidak mungkin, anggota kita sudah ke sana dan memeriksa, dia masih ada di sana. Lalu kamera pengawas juga menunjukkan tidak ada yang keluar-masuk semalam di tempat itu. Ia mungkin bisa keluar, tetapi untuk masuk lagi tanpa terekam dan diketahui, rasanya itu tidak mungkin," sahut Darren.

Sabrina diam sesaat mendengar ucapan rekannya itu.

"Kalau begitu, apa itu artinya ada pembunuh lain?" ujarnya pelan.

Hari berlalu. Larut malam kembali tiba. Sabrina tetap berads di kantor. Kasus pembunuhan yang kembali meneror membuat dia tidak tenang. Bagaimana jika firasatnya benar dan ada pembunuh lain yang bebas berkeliaran?

Arya kembali datang menjemput, tetapi gadis itu menolak.

"Aku sibuk," ucapnya sembari mengambil tumpukan map di lemari dan membukanya.

"Aku tidak bisa pulang sekarang."

"Kenapa?"

Sabrina mengangkat wajah dan menatap pemuda itu.

"Kasus pembunuhan yang baru terjadi harus diselesaikan sesegera mungkin," ujarnya.

"Apa itu memang alasannya? Atau hanya alasanmu untuk menghindar dariku?"

"Apa maksudmu?"

Arya mendengus sembari tertawa sinis.

"Kau tidak ingin bersamaku, karena itu kau membuat kasusmu sebagai alasan!" serunya.

"Arya, bukan begitu, tapi kasus ini ...."

"Cukup, Sabrina! Cukup!" seru pemuda itu memotong kata-kata Sabrina dan membuat rekan-rekan gadis itu melihat ke arah mereka. Kanaya hendak menghampiri, tetapi Darren menghalanginya sembari menggeleng.

"Kenapa, Sabrina? Kenapa kau belum bisa melupakan dia? Apa pembunuh itu lebih baik dariku?" tukas Arya sembari menatap Sabrina tajam. Gadis itu hanya diam.

'Apakah salah jika memang aku belum bisa melupakan Luca?' tukas Sabrina dalam hati.

'Perasaan yang sudah ada tidak akan bisa terhapus dengan mudah.'

***

Darren mengantar Kanaya pulang seperti biasa. Wanita itu nampak masih kesal kepada Arya. Dulu ia yang menyuruh Sabrina kembali kepada pemuda itu dan kini ia nampak menyesal.

"Sabrina pasti bisa mengatasi Arya. Dia bukan anak kecil yang harus terus kau lindungi," ujarnya.

Kanaya hanya mengangguk. Di depan rumah, ia bergegas turun. Tanpa disangka Adrian menunggu di teras.

"Untuk apa lagi kau ke sini?" tegur Kanaya dingin. Darren yang ikut keluar dari mobil hanya berdiri diam di sampingnya.

"Kanaya, aku benar-benar serius ingin kembali padamu. Hubunganku dengan Shelly adalah sebuah kesalahan besar. Pernikahan kami tidak lebih dari sebuah bencana. Karena itu, kumohon jangan berhubungan lagi dengannya!" ujarnya sembari menoleh sekilas ke arah Darren.

***

Shelly diam di rumah. Mata bulat nan indah itu menerawang menatap langit-langit kamar. Di tempat yang seharusnya dipenuhi cinta dan kehangatan hanya ada kebekuan.

Cinta yang dulu pernah begitu indah itu kini telah padam menghilang. Mungkin karena sesungguhnya ia dan Adrian tidak pernah benar-benar saling mencintai.

'Adrian hanya ingin lari dari pernikahan tidak bahagia, sedang aku hanya mencari pelampiasan,' ucapnya pelan. Sekarang, bahkan meski telah larut, suaminya itu belum juga pulang.

'Mungkin ia pergi ke tempat Kanaya,' duganya sembari menghela napas panjang dan menyentuh perut yang membuncit.

Sama sekali tidak ada kedamaian di rumah tangga mereka. Hanya pertengkaran yang rasanya tanpa akhir. Baik dia dan Adrian sama-sama saling menyalahkan karena merasa terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.

'Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa aku harus mengaku kalah dan membiarkan Adrian pergi?' keluhnya.

***

"Aku akan mengurus semua. Setelah Shelly melahirkan, aku akan menceraikan dia dan kembali padamu. Aku baru sadar bahwa kau adalah istri terbaik, Kanaya, dan aku masih sangat mencintaimu," tukas Adrian sembari meraih dan menggenggam tangan Kanaya erat.

Kanaya segera mengibaskan tangan Adrian.

"Maaf, Adrian, aku tidak bisa kembali padamu," ujarnya pelan.

"Kenapa? Bukankah kau hanya berbohong saat berkata memiliki hubungan dengannya? Waktu itu, aku sempat marah, tetapi setelah kupikirkan, kau sengaja melakukan semua itu. Kau sengaja mendekati dia. Kanaya, aku tahu betul kau bukan orang yang mudah melupakan hubungan, apalagi kita sudah menikah bertahun-tahun," tuturnya.

"Kau benar, kita sudah menikah bertahun-tahun dan tidak mudah untuk melupakanmu, tetapi aku telah berusaha dan aku tidak mau lagi terjebak dengan pernikahan semu. Adrian, selama kita menikah, kita sama-sama tidak bahagia. Haruskah kita mengulangi itu?"

"Tetapi aku bisa memperbaiki semua. Kumohon, Kanaya, beri aku kesempatan kedua," pintanya sembari berlutut. Namun, Kanaya tetap menggeleng. Matanya nampak berkaca-kaca.

"Ma-afkan aku, Adrian, aku tidak bisa. Aku sudah sangat tersakiti di pernikahan kita. Aku tidak bisa kembali padamu!" ucapnya tegas dan berlalu masuk ke dalam rumah.

***

'Jika manusia memiliki perasaan, ia tidak akan menyakiti hati orang yang dia cintai. Apakah aku tidak berperasaan karena telah membuat Sabrina menangis?' ucap Luca pelan. 

Ia berjalan pelan menuju taman. Langkah kakinya lalu berhenti saat mendengar sesuatu yang menarik.

"Apa yang terjadi? Kenapa mereka bisa membiarkan dia bebas? Para detektif itu pasti akan kembali menyelidiki kita. Kudengar mereka bahkan sudah kemari. Jika rahasia tentang organisasi sampai bocor, kita semua akan hancur!" teriak Pak Hardiman dengan suara penuh amarah.

Luca tidak mendengar jawaban.

'Apa dia sedang berbicara di telepon?'

Namun, tidak berapa lama, terdengar suara.

"Mereka tidak bisa mengendalikan dia, Pak. Ia adalah hewan buas yang bertindak seenak sendiri. Tidak bisa dikontrol."

Lagi semua berubah sunyi.

'Mungkin Pak Hardiman sedang berpikir untuk memecahkan masalah,' duga Luca.

"Kita harus mengatasi ini. Pembunuh itu harus kita dapatkan kembali. Dia harus menurut pada kita, karena kita adalah tuannya," sahut Pak Hardiman akhirnya.

Luca tersenyum kecil.

'Kena kau!' bisiknya.

***

Pak Mastopo sibuk mencari ponsel miliknya. Tadi dia meletakkan benda itu di meja saat memeriksa pasien.

Pak Hardiman yang baru saja datang nampak makin gusar melihat ruangan yang berantakan.

"Ada apa lagi ini?" ujarnya.

"Ponsel saya tidak ada. Tadi saya sibuk memeriksa pasien dan ...."

Perkataan pria itu berhenti, seperti teringat sesuatu.

"Ada apa?" sergah Pak Hardiman tidak sabar.

"Luca. Tadi Luca datang ke sini dengan seorang perawat. Pasti dia yang mengambil," ujarnya.

Tidak berapa lama, Hendra bergegas masuk.

"Para penjaga sedang mengejar Luca. Mereka melihat dia melompat tembok untuk keluar dari sini!" lapornya.

Brak!

Pak Hardiman menggebrak meja dengan marah.

"Sudah kuduga ... sudah kuduga akan seperti ini. Luca hanya menipu kita. Selama ini dia tidak gila. Tangkap dia! Kerahkan semua orang! Apa pun yang terjadi kalian harus menangkap dia! Ia tidak boleh dibiarkan lolos!"

***

Napas Luca terengah. Telapak kakinya terasa nyeri karena berlari tanpa alas. Ia tidak pernah berpikir begitu cepat bisa mendapatkan bukti untuk membongkar kejahatan organisasi.

Tadi, sewaktu datang ke ruangan dokter Mastopo, ia memang sengaja mengambil ponsel tersebut. Jika sampai ketahuan, ia bisa kembali berpura-pura masih sakit. Tidak disangka alat itu justru berguna. Tadinya, ia ingin merekam dan mengirim langsung kepada Sabrina, tetapi kemudian berubah rencana.

Jika dia melakukan itu, Pak Hardiman pasti bisa menyangkal. Pria paruh baya itu tidak bodoh. Ia harus mencari cara lain.

Dilihatnya sebuah telepon umum dan ia segera bergegas.

'Bagus! Ini saatnya membongkar semua dan untuk kali ini, Pak Hardiman akan masuk dalam perangkap,' ucapnya sambil tersenyum kecil.