Sabrina, Kanaya, dan Darren bergegas menuju ke rumah Pak Wira. Mereka terkejut saat mendengar lelaki itu telah tewas. Meski telah menduga ada pembunuh kedua, mereka tidak menyangka pembunuh tersebut akan beraksi begitu cepat.
Para detektif itu juga telah waspada dan mengerahkan bantuan untuk memperketat penjagaan kepada Pak Wira, tetapi ternyata mereka tetap kecolongan.
Para petugas yang berjaga juga tidak waspada. Hari itu, Pak Wira terlihat senang dan mereka pergi meninggalkan dia seorang diri. Kelihatannya, hal itu sudah dinanti oleh pembunuh untuk menghabisi nyawa Pak Wira.
***
"Siapa yang melakukan hal sekeji ini?" ujar salah seorang petugas forensik.
"Mata beliau bahkan ditusuk sebelum saat masih hidup. Setelah itu, barulah dia dibunuh dan lehernya digorok dengan pisau."
Kanaya dan Darren hanya diam. Saat ini, masalah pribadi mereka harus disingkirkan dulu. Kasus pembunuhan tersebut harus menjadi prioritas yang segera mereka tangani.
***
Reina terkejut saat mendapati berita kematian Pak Wira di televisi.
'Luca, kenapa dia ceroboh sekali?' tukasnya.
Tidak berapa lama, terdengar suara pintu dibuka dari luar.
"Luca, apa yang terjadi? Apa yang kaulakukan?" sergah Reina sembari berjalan menghampiri. Luca menggeleng. Wajahnya nampak pasi. Tubuh juga gemetar.
"Aku tidak tahu! Aku tidak tahu!" ucapnya berulangkali.
"Luca! Luca! Lihat aku!" ujar Reina karena tatapan Luca nampak liar.
"Apa kau membunuh Pak Wira?"
"Aku berniat melakukannya. Benar-benar akan melakukannya! Tetapi ada orang lain di sana! Orang lain yang telah membunuh Pak Wira dan merebut kesempatanku!"
"Luca, itu tidak penting! Yang terpenting sekarang dia sudah mati!" ucap Reina sembari tersenyum menenangkan.
Luca akhirnya mengangguk setuju.
"Iya, kau benar! Yang penting dia sudah mati!"
***
"Sabrina, sebaiknya kau melihat ini!" ucap Darren pelan. Pria muda itu sedang melihat rekaman kamera pengaman yang diputar oleh seorang petugas.
Sabrina bergegas menghampiri dan tertegun melihat sosok yang sangat dia kenal berdiri di samping sebuah pohon besar yang terletak di luar rumah. Meski memakai topi, tetapi Sabrina sangat mengenali sosok itu. Luca.
"Sudah kubilang, bukan? Dia itu mencurigakan. Kurasa dia memang pembunuh kedua," tukas Kanaya yang juga sedang melihat rekaman. Mereka semua langsung mengenali dia sebagai Luca, kekasihnya.
"Pasti ada salah-paham. Aku akan mencoba menelepon dia," tukas Sabrina pelan.
"Sabrina!" tegur Kanaya keras. "Penjelasan apa lagi yang kau buktikan? Apa kau masih tidak yakin bahwa Luca terlibat semua ini? Sejak awal, ini semua hanya bagian dari rencana. Dia tidak benar-benar mencintaimu."
***
Pak Hardiman sedang menatap televisi.
"Kurasa sudah waktunya menjemput seseorang untuk pulang," ucapnya pelan.
Pria lebih muda yang berdiri di sampingnya hanya diam.
"Persiapkan semua! Kita akan segera menjemput dia!" tukas Pak Hardiman lagi. Seulas senyum kemudian menghias wajahnya.
***
Sabrina berusaha menelepon Luca, tetapi pemuda itu tidak membalas. SMS juga sama.
Hingga esok hari, gadis itu masih terus mencoba menelepon Luca.
"Dia tidak akan mengangkat. Semua sudah jelas. Dia sudah membunuh Pak Wira," tukas Kanaya.
Sabrina menggeleng. Ia masih ingat Luca meminta dia untuk percaya padanya. Untuk kali ini, dia benar-benar ingin percaya kepada pemuda itu.
"Kau masih tidak yakin? Semua sudah terbukti, Sabrina. Dia benar-benar telah menipumu."
Darren yang berada di dalam segera keluar dan menemui mereka berdua yang berada di halaman.
"Ada yang ingin bertemu kalian. Dia bilang dirinya mengenal Luca. Kurasa sebaiknya kita temui mereka," tukasnya.
Sabrina masih terlihat ragu, tetapi Kanaya segera membujuk.
"Ayo kita dengar yang sebenarnya tentang Luca! Kau juga pasti ingin tahu, bukan?" tukas wanita itu. Sabrina hanya mengangguk.
***
Seorang pria berambut kelabu dengan tubuh kurus dan berwajah tirus memperkenalkan diri sebagai dokter Mastopo dan di sampingnya adalah asistennya yang bernama Hendra, sosok berpenampilan klimis dengan kacamata bundar.
Dokter Mastopo membuka map di atas meja setelah dipersilakan duduk oleh Kanaya.
"Aku mendapat laporan kalau ada yang melihat pemuda ini berkeliaran di sekitar sini," tukasnya sembari menunjukkan sebuah foto kepada Kanaya.
Wanita itu mengangguk.
"Benar, nama dia Luca, bukan?" ujarnya.
Pria paruh baya itu mengangguk.
"Dia itu pemuda yang berbahaya. Dia melarikan diri saat mendapat perawatan untuk gangguan jiwa di rumah sakit kami."
"Maksud Anda?"
"Dia itu seorang psikopat."
***
Sabrina menggeleng tidak percaya.
"Anda jangan mengada-ada! Jika Anda berbohong, Anda bisa dihukum berat!" ucapnya.
'Nona, kelihatannya Anda mengenal Luca. Dia memang pandai mengambil hati seseorang. Selain itu, ia juga memiliki wajah yang tampan. Tidak heran banyak yang terkecoh. Mereka tidak menyadari bahwa di hadapan mereka adalah pembunuh berbahaya," tutur dokter Mastopo panjang-lebar.
"Tidak! Apa pun yang terjadi aku tidak bisa percaya pada Anda!" tegas Sabrina sembari bergegas keluar dari ruangan.
***
Kanaya segera menyusul rekannya itu.
"Sabrina, jangan seperti ini! Kau harus berpikir jernih!" ujarnya.
"Mereka itu pembohong, Kanaya. Mereka ...."
"Tidak ada alasan untuk mereka berbohong, Sabrina. Kau juga pasti menyadari itu," potong Kanaya cepat.
"Kau harus menerima kenyataan bahwa selama ini Luca telah berbohong."
Sabrina diam dan menghela napas panjang. Perlahan, dia mengangguk. Mereka berdua kemudian kembali masuk ke dalam.
Hendra memberikan selembar kertas kepada mereka.
"Itu adalah nama orang-orang yang telah dibunuh Luca. Karena gangguan jiwa yang diderita, ia tidak bisa dipenjara. Karena itu, ia ditahan dan mendapat perawatan di rumah sakit jiwa. Siapa sangka dia justru melarikan diri?" tutur dokter Mastopo.
Sabrina tertegun diam.
'Luca, mengapa kau tidak juga menghubungi aku? Berikan penjelasan! Beritahu aku dan yang lain bahwa semua ini salah! Bahwa kau tidak bersalah! Bahwa kau bukan seorang pembunuh! Benar 'kan Luca?' tukasnya dalam hati.
***
"Aku harus menemui Sabrina! Aku akan menjelaskan semua! Dia pasti percaya padaku! Dia sudah berjanji!" cetus Luca sembari bergegas.
Mereka mendengar semua yang berada di kantor detektif berkat alat penyadap yang diam-diam dipasang Reina. Gadis itu sudah menduga hal ini akan terjadi. Karena itu, ia memasang alat tersebut.
"Mereka akan langsung menangkapmu! Tidak ada yang akan percaya padamu!" tukas Reina sembari mencekal lengan pemuda itu.
"Sabrina akan percaya ...."
"Tidak, Luca!" geleng Reina tegas. "Dia tidak akan percaya, karena begitu banyak bukti untuk meragukanmu. Ia tidak punya alasan untuk tetap percaya padamu!"
"Itu tidak mungkin! Dia sudah berjanji untuk percaya padaku!"
"Luca, orang-orang itu, Pak Mastopo dan Hendra membawa begitu banyak bukti, bahkan sekalipun Sabrina mau, ia tidak bisa menyangkal bukti-bukti itu," ujar Reina pelan.
Pemuda di sampingnya diam sesaat.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" desahnya nyaris tidak terdengar.
"Kita tidak punya pilihan lain, kecuali pergi."
"Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak akan meninggalkan Sabrina!" tegas Luca bersikukuh.
***
Dokter Mastopo kemudian menunjukkan foto seseorang lagi yang mereka kenal.
"Reina? Bukankah dia adik Luca?" tukas Sabrina.
Lelaki yang duduk di depan mereka tertawa. Asistennya juga tersenyum kecil.
"Kalian sudah benar-benar tertipu. Gadis ini bukan adik, tetapi kekasih Luca. Lebih tepatnya, gadis yang termakan mulut manis pemuda itu," tukas dokter Mastopo.
"Jadi, Reina adalah salah satu perawat di rumah sakit kami. Luca adalah salah satu pasien yang menjadi tanggung jawabnya. Entah bujukan atau kata-kata apa yang membuat Reina terpengaruh dan bersedia untuk pergi bersama Luca," lanjut Hendra.
Sabrina diam. Ia lalu teringat raut sedih yang pernah dilihat di wajah Reina.
'Jadi itu karena perasaan cemburu dan kecewa karena Luca telah mempermainkan dia? Bukan hanya itu, pemuda itu bahkan menyebut dia sebagai adiknya,' ujar Sabrina dalam hati. Ia iba pada nasib Reina yang begitu mencintai Luca, sehingga mau dimanfaatkan oleh pemuda itu. Ia juga hampir mengalami nasib yang sama.
"Jadi bagaimana? Apa kalian sudah percaya pada kami?" tanya dokter Mastopo.
"Tidak!" tandas Sabrina mantap.
***
"Apa maksud Anda? Setelah semua percakapan kita, Anda masih belum percaya pada kami?" tukas Hendra sembari menatap Sabrina tajam.
"Aku tidak bisa percaya hanya dengan beberapa lembar kertas dan dokumen. Aku akan menemui Luca dan bertanya langsung tentang kebenaran ini!" tegas Sabrina sembari bergegas. Mereka yang lain segera mengikuti.
"Kebenaran apa lagi yang kamu butuhkan, Sabrina?" tukas Kanaya yang mengikuti gadis itu menuju mobil. Sabrina tidak menjawab. Kanaya hendak bertanya lagi, tetapi Darren menggeleng sembari menghalangi langkahnya.
"Jangan bertanya lagi! Sebenarnya Sabrina sudah mempercayai bahwa Luca memang bersalah. Hanya saja dia butuh waktu untuk menerima semua itu. Mungkin sulit karena selama ini dia begitu mencintai pemuda itu," ucapnya sembari memegang pundak Kanaya untuk menenangkannya.
Wanita itu diam dan mengangguk sembari menghela napas panjang. Meski selama ini menaruh curiga kepada Luca, ia tidak ingin melihat Sabrina terluka.
***
Sabrina dan yang lain tiba di rumah Luca. Diketuk berulangkali tetap tidak ada yang menjawab.
"Mungkin mereka sudah tahu dan melarikan diri. Luca bukan orang bodoh. Ia pasti juga sudah mengawasi kalian," ujar dokter Mastopo.
Tidak punya pilihan lain, petugas lalu membuka paksa pintu rumah. Tidak ada siapa pun di dalam. Semua perabot tertata rapi. Namun, pakaian di lemari juga tidak ada. Semua kosong.
"Lihat ini!" tukas Kanaya sembari menunjuk beberapa foto yang tertempel di dinding sebuah kamar. Foto-foto itu adalah para korban pembunuhan berantai yang mereka tangani. Semua disilang dengan tanda merah.
Sabrina tertegun menatap gambar-gambar itu. Ternyata semua benar. Luca memang terlibat dalam kasus pembunuhan tersebut.
***
"Sial!" teriak Reina keras. "Karena terburu-buru, aku jadi lupa menyingkirkan foto-foto itu! Sekarang sudah terlambat untuk kembali! Para polisi pasti telah berada di rumah!" lanjutnya sembari memacu mobil bercat putih itu secepat mungkin.
Dengan gesit, kendaraan beroda empat tersebut melaju dan berkelok cepat di jalan yang tidak terlalu ramai.
Luca hanya diam. Pemuda itu sejak tadi tidak bicara sepatah katapun. Entah apa yang dipikirkannya, Reina tidak bisa menebak. Tatapan Luca hanya menatap lurus ke depan.
***
Seorang petugas bergegas masuk dan memperlihatkan rekaman kamera pengawas lalu-lintas. Sebuah mobil putih nampak melaju agak cepat, tetapi si pengendara terlihat jelas. Dia adalah Reina dan Luca ada di sampingnya.
"Segera kerahkan semua personil untuk mengejar dan mengepung mobil itu! Kami akan menyusul!" seru Kanaya memberi perintah. Para anak buah mengangguk patuh.
Seulas senyum muncul di wajah dokter Mastopo.
"Setelah dia tertangkap, tolong serahkan kepada kami!" tukasnya.
"Tidak!" tegas Sabrina dengan suara cukup keras.
"Dia adalah tersangka kasus pembunuhan yang selama ini kami incar. Mana bisa kami serahkan begitu saja?"
"Tetapi dia itu pasien kami."
"Kalian tidak bisa menjaga dia, sehingga lolos dari pengawasan. Kami tidak bisa mempercayakan lagi dia kepada kalian!" sergah Sabrina cepat.
"Sabrina, mereka benar! Luca adalah tanggung jawab mereka," ucap Kanaya.
"Nona, kami tahu ini salah kami. Peristiwa ini terjadi akibat keteledoran kami. Karena itu, kami akan bertanggung jawab," tukas Hendra.
Detektif muda itu kembali diam.
'Aku hanya ingin bertemu dan bertanya langsung kepada Luca, kenapa dia tega melakukan ini?' tukasnya dalam hati.
***
Mobil bercat putih itu berhenti di suatu tempat. Setelah itu, Reina dan Luca melanjutkan perjalanan sembari berjalan kaki.
"Kita aman untuk sementara di sini," tukas Reina saat mereka tiba di suatu tempat yang terpencil dan jauh dari pemukiman.
Mereka kemudian masuk ke dalam runah kumuh yang sudah lama tidak dihuni.
"Aku menemukan tempat ini saat sedang keluar. Aku sudah mempersiapkan jika kedok kita terbongkar," lanjut gadis itu lagi.
Luca tetap diam. Reina duduk di sebuah kursi sembari menghela napas panjang.
"Sampai kapan kau akan tetap bersikap seperti ini? Setelah semua terkuak, kau pikir Sabrina akan tetap percaya padamu?"
Lagi-lagi Luca hanya diam. Ia lalu meraih ponsel, tetapi dengan cepat Reina mengambil benda itu dari tangannya.
"Apa yang kaulakukan?" tukasnya marah. Ia tidak menyangka Luca akan bertindak ceroboh.
"Kurasa kita harus menyerah," jawab pemuda itu pelan.
***
Mobil bercat putih tersebut ditemukan pihak berwajib dalam keadaan kosong.
"Kita terlalu lambat!" ujar dokter Mastopo.
"Itu sebabnya, mereka bisa melarikan diri."
Sabrina hanya menggeleng sembari menghela napas panjang. Lelaki paruh baya itu selalu saja menyalahkan mereka sejak awal. Padahal, Luca dan Reina semula lolos karena kesalahannya, tetapi ini bukan waktu bagi mereka untuk saling menyalahkan.
Seorang petugas berlari menghampiri dan melaporkan penemuan mayat seorang wanita di dekat situ.
"Luca sudah tahu kita memburunya. Dia marah dan menggila," tukas Hendra pelan.
***
"Tidak!" geleng Reina.
"Aku tidak mau menyerah! Kau juga tahu apa yang akan terjadi jika kita menyerah. Kita akan dikirim kembali ke organisasi dan entah apa yang akan mereka lakukan pada kita."
"Jika kita tidak menyerah, entah apa yang akan mereka lakukan! Cepat atau lambat, orang lain akan menjadi korban!" tandas Luca.
"Tapi jika kita menyerah, semua akan sia-sia. Kita sudah berusaha sejauh ini untuk bisa lepas dari mereka dan kau ingin menyerah?"
Luca hanya diam. Ia menatap kosong ke luar jendela. Reina menyalakan televisi kuno yang berada di sudut ruangan. Meski berdebu tebal, alat elektronik itu masih bisa menyala dengan baik.
Reina tertegun saat melihat berita kematian seorang wanita dan dugaan bahwa Luca yang dalam pelarian menjadi pelaku utama.
"Sudah kubilang, 'kan? Mereka akan melakukan apa pun untuk mendapatkan kita kembali. Jika kita tidak menyerah, entah berapa banyak lagi orang yang akan mereka bunuh," ucap Luca pelan sembari menoleh dan menatap gadis itu.