Kanaya merasa kesal dan marah kepada Sabrina. Lagi-lagi gadis itu melepaskan Luca begitu saja. Perasaan pada pemuda tersebut pasti begitu dalam, sehingga Sabrina percaya pada setiap kata yang keluar darinya.
"Kenapa kamu melakukannya? Luca itu hanya berbohong. Dia tahu soal Gio dan rencana pembunuhan tersebut! Aku yakin orang kedua itu adalah Luca," sergahnya kepada Sabrina.
"Aku percaya Luca tidak terlibat," tukas gadis itu sembari menatap Kanaya.
"Kau begitu ungin menemukan pembunuh kedua, bukan? Kalau begitu, ayo kita cari dengan teliti, bukan asal tuduh seperti ini!"
"Kau itu sudah diperdaya. Luca telah membohongimu dan cintamu padanya pasti telah membuatmu buta!"
"Benarkah? Kalau kau begitu yakin Luca bersalah, sekarang jelaskan padaku mengapa dia mengaku dirinya mengenal Gio! Dia pasti tahu kalau dia akan dicurigai. Kalau begitu, bukankah lebih baik dia tutup mulut? Toh, Gio sudah tidak ada. Meski dia mengaku tidak mengenal, tidak ada yang akan membantah pernyataannya itu," tutur Sabrina sembari bergegas pergi. Ia tidak suka Kanaya selalu saja mencari-cari kesalahan Luca.
"Kau itu sudah salah menilai!" tukas Kanaya.
"Tenangkan dirimu, Kanaya!" tukas Darren sembari menghalangi Kanaya yang hendak menyusul Sabrina.
"Dia juga sedang emosi. Tidak ada gunanya menyusul dia sekarang!"
"Tetapi dia tidak mau mendengar aku. Dia selalu begitu percaya pada Luca dan pemuda itu memanfaatkan hal tersebut."
"Aku tahu, tetapi kata-kata Sabrin ada benarnya, Luca pasti tahu dia akan dicurigai, tetapi tetap mengaku, bahwa ia mengenal Gio. Bukankah akan lebih baik dia menyangkal?"
Kanaya diam sesaat.
"Kamu juga percaya padanya?" ujarnya sembari menatap Darren tidak percaya.
"Bukan begitu, aku ...."
"Aku tahu sekarang. Inilah rencana licik Luca. Membuat kita saling terpecah! Seharusnya aku sudah menduga dari awal, dia bukan musuh yang mudah untuk dihadapi."
***
Reina kembali menatap Luca. Pemuda itu tengah menyusun kotak-kotak yang hendak diantar pada pelanggan.
"Ada apa?" tanyanya. Hari sudah beranjak siang, tetapi sedari tadi, ia melihat Reina terus saja gelisah, sehingga hampir menghanguskan kue yang tengah dipanggang.
"Apa kau yakin itu langkah yang tepat? Dengan berkata jujur, bukankah mereka akan semakin curiga padamu?" ujar gadis itu.
"Aku tidak punya pilihan. Semua terlihat jelas di video tersebut. Menyangkal akan membuat Sabrina dan yang lain makin curiga, tetapi untunglah aku bisa membalikkan keadaan dan membuat Sabrina kembali percaya lagi."
"Lalu, apa langkah kita selanjutnya? Bagaimana dengan Pak Wira?"
"Bersabarlah!" tukas Luca sembari tersenyum kecil. "Kita pasti akan membalas dia. Untuk saat ini, kita harus menahan diri dulu dan meyakinkan Sabrina untuk kembali percaya pada kita. Gadis itu akan berguna untuk kita."
Reina menghela napas panjang dan mengangguk.
***
Adrian memarkir mobilnya tidak jauh dari kantor Kanaya. Dilihatnya sang mantan istri keluar dari kantor sembari mengobrol dengan pemuda yang waktu itu menemani dia di pesta pernikahannya. Rasa sesal dan cemburu menyusup di benak Adrian.
Dulu, ia berpikir dirinya akan bahagia bersanding dengan Shelly. Nyatanya, gadis itu hanya peduli untuk menghabiskan uang. Hampir setiap hari istrinya itu keluar entah ke mana. Setiap ditanya, hanya ada pertengkaran di antara mereka. Akhirnya, Shelly selalu menyalahkan Adrian dan mempertanyakan cinta lelaki itu padanya.
'Andai saja Shelly tidak mengandung anakku, aku pasti sudah kembali kepada Kanaya. Mungkin masih ada kesempatan, yang diinginkan Shelly bukan aku. Mungkin aku bisa membayar dia agar pergi dari hidupku,' tukas Adrian dalam hati.
Di tempat lain, Shelly juga merasa sedih. Semua ini tidak seperti yang direncanakan. Ia tidak pernah benar-benar mencintai Adrian, begitu pula sebaliknya. Semua hanya karena gengsi dan sakit hati.
'Tapi sebenarnya untuk apa gengsi itu? Untuk apa memamerkan pernikahan ini? Untuk menyakiti Kanaya? Untuk menunjukkan pada gadis yang menghinaku dulu bahwa aku juga bisa dicintai? Pada akhirnya, aku dan Adrian hanya saling melukai, karena kami tidak pernah benar-benar saling mencintai.' ujar gadis itu dalam hati.
Minuman tersebut tersaji di depannya dan habis dalam sekali teguk. Hatinya masih gamang antara bertahan atau pergi.
***
Senja itu semakin merah karena cuaca sore menjelang malam terbilang cerah. Sabrina terkejut melihat Luca menunggu di depan kantor. Mereka tidak membuat janji sebelumnya. Latar awan jingga membuat pria muda tersebut laksana lukisan.
"Hai," sapa Sabrina sembari bergegas menghampiri. Ia benar-benar tidak menyangka. Meski Luca berkata tidak marah, tetapi ia menyangka pemuda itu pasti kesal.
'Muncul di depan kantor seperti ini, artinya pemuda itu siap menghadapi Kanaya yang selalu berpikiran buruk. Itu semua dia lakukan demi aku,' tukas Sabrina sembari tersenyum kecil.
"Ada apa?" tegur Luca sambil menatap Sabrina.
"Kau pikir aku tidak berani lagi datang kemari?"
Gadis itu menggeleng sembari menggamit tangan Luca.
"Aku senang kau di sini."
Dari kejauhan, Kanaya menatap kesal. Ia yakin Luca sengaja terus memperdaya Sabrina yang mencintainya.
***
"Kita mau ke mana?" tanya Sabrina untuk kesekian kalinya.
Luca memarkir mobil yang dikendarai di tepi sebuah taman yang nampak sepi dan kurang terawat.
"Tempat ini ...," tukas Sabrina bingung. Untuk apa Luca mengajak dia ke situ?
"Tempatnya memang buruk dan terabaikan, tetapi aku ingin kita bisa berbicara dengan tenang," sahut Luca. Ia kemudian bergegas keluar dari mobil. Sabrina segera menyusul.
***
Luca dan Sabrina berjalan bergandeng-tangan. Beberapa kali pemuda itu menunduk untuk menyingkirkan akar atau rumput liar yang menghalangi jalan. Sabrina diam tidak mengerti. Jika ini tempat favorit Luca, mengapa begitu suram?
"Gio dan aku dulu pernah bermain di sini. Saat itu, tempat ini masih buka dan ramai," ucap Luca pelan. Pandangannya menerawang lurus ke depan.
"Saat itu, kami begitu bahagia. Duka seolah tidak pernah menyentuh kami. Gio yang cengeng selalu menangis saat kami kerjai. Tetapi, dia tetap saja meminta perlindungan saat diganggu anak lain," lanjutnya.
"Pasti berat untukmu kehilangan dia seperti itu," tukas Sabrina mencoba menghibur.
"Aku hanya terkejut. Setelah terpisah darinya, ia tumbuh menjadi seorang pembunuh."
"Waktu dan keadaan bisa mengubah seseorang. Gio tidak punya keluarga, benar 'kan?"
Luca hanya mengangguk.
"Setelah semua selesai diurus, kau bisa mengurus pemakaman dia dengan layak," ucap Sabrina lagi.
"Tapi aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang membuat Gio berubah menjadi pembunuh? Alasan di balik pembunuhan dan dendam yang dia miliki," lanjut Sabrina lagi. Ia tahu tidak seharusnya bertanya saat Luca masih berduka, tetapi dia tidak memiliki pilihan. Motif pembunuhan harus diungkap dan hanya Luca yang tahu semua tentang Gio.
"Kehidupan Gio telah dihancurkan oleh mereka. Mereka menghancurkan rumahnya dan membunuh orang tua Gio," tukas Luca dengan penuh amarah.
"Setelah itu, Gio dikirim ke panti asuhan. Itulah yang dia ceritakan padaku."
***
*Flashback On*
Anak-anak itu berjajar seperti pasukan. Kepala tertunduk dan mata sembab. Mereka baru saja kehilangan rumah dan orang tua. Sekelompok orang tiba-tiba datang dan membawa mereka kemari.
Pak Hardiman tersenyum sembari mengitari anak-anak tersebut. Rambut hitam klimisnya tersisir rapi ke belakang, membuat dia terlihat terpelajar dan bisa dipercaya. Tidak ada yang tahu bahwa di dalam pikirannya, mereka semua adalah aset.
"Bawa dia kemari!" ujarnya sembari menunjuk bocah kurus berkacamata yang berpakaian lusuh. Sisa-sisa debu masih menempel di wajah.
"Aku tidak mau!" ujar anak itu sembari menggeleng dan merinding ketakutan, tetapi ia tidak kuasa melawan saat para pria dewasa bertampang sangar menyeret maju.
"Jangan sakiti dia!" teriak anak lain yang bertubuh lebih besar sembari mendorong orang-orang itu.
Karena melawan, beberapa pukulan mendarat pada wajah si bocah bongsor. Hampir semua menangis terisak ketakutan, kecuali satu anak, dan dia berhasil menarik perhatian Pak Hardiman.
Bocah lelaki bertubuh kurus tersebut menatap lurus ke depan dengan tatapan datar. Tidak ada ekspresi takut maupun sedih di wajah.
Pak Hardiman berjalan mendekat.
"Siapa namamu?" tanyanya.
"Luca," jawab anak lelaki tersebut singkat.
"Baiklah, sudah kuputuskan!" seru Pak Hardiman menengahi keributan.
"Kalian boleh membawa yang lain, tetapi karena aku pemilik aset terbesar, maka aku memutuskan untuk memilihnya." lanjutnya sembari berdiri di belakang Luca dan memegang erat kedua bahu anak itu.
"Dia pasti bisa menjadi ciptaan yang kuiinginkan."
***
Saat itu, Luca tidak tahu apa artinya. Namun, ia kemudian tahu hidupnya sudah diprogram ulang. Kekerasan dan kekejaman itu yang diajarkan padanya. Pukulan demi pukulan diterima saat ia berani membantah.
Cinta dan kasihan hanya membuat dia tersiksa. Hingga akhirnya, perasaan tersebut hilang darinya. Ia tidak ubahnya sebuah boneka yang hanya menuruti perintah. Di saat ada yang harus dibunuh, ia akan membunuh tanpa belas kasihan. Saat ia bertanya tentang dendam, Pak Hardiman hanya menjawab belum saatnya. Dia terus saja menggunakan pemuda itu untuk membunuh orang yang mengancam diri.
Di saat pemuda itu tertangkap, maka surat pernyataan gangguan jiwa sudah dipersiapkan. Luca dibebaskan dan dibawa kembali ke tempat Pak Hardiman yang kemudian bernama organisasi.
Reina yang adalah sahabat kecil Luca, tentu tidak rela pemuda itu diperlakukan seperti itu. Ia sempat bertaruh dengan Pak Hardiman saat berkeinginan membawa Luca pergi.
"Ia tidak akan bisa bertahan di dunia luar. Dia itu bukan manusia," tukas pria paruh baya tersebut.
"Hanya sebuah mesin ciptaan."
Namun, Reina tidak bergeming. Ia justru semakin berani, hingga akhirnya nekat membawa Luca pergi, meski pemuda itu sempat menolak.
"Mengapa aku harus pergi? Ini tempat tinggalku. Kita juga hidup nyaman di sini," ujarnya waktu Reina mengantar obat untuknya. Gadis itu baru saja memberitahu rencana mereka untuk pergi dari tempat tersebut.
"Ini bukan hidup, Luca. Kita harus pergi dari sini dan aku akan menunjukkan seperti apa kehidupan yang sebenarnya. Aku akan mengembalikan semua yang mereka ambil. Maukah kamu percaya dan ikut denganku?" tanya Reina penuh harap.
Luca mengangguk setuju. Meski ia tidak sepenuhnya maksud Reina. Ia percaya kepada gadis itu. Ia percaya Reina tidak akan mencelakai dia atau bermaksud buruk.
*Flashback Off*
***
Luca termenung mengingat semua kenangan itu. Dulu dia mengira kehidupan. Saling memangsa dan membunuh. Sampai akhirnya Reina membawa dia keluar dan memperlihatkan dunia yang sesungguhnya.
Juga gadis di sampingnya itu, yang semula hanya ingin dia manfaatkan, tetapi justru mengenalkan dia pada hal baru yang asing bernama cinta dan ia menyukainya.
"Kenapa menatapku seperti itu?" ujar Sabrina.
Perlahan, tangan Luca terangkat. Jemarinya menyentuh wajah berparas manis tersebut. Begitu lembut. Betapa ingin ia melindungi wajah itu agar tidak terluka. Tetapi bagaimana jika ia yang malah melukainya? Tangan tersebut turun seketika. Terlalu banyak rahasia dan kebohongan dalam hubungan mereka.
"Kamu kenapa?" tegur Sabrina lagi. Sekejap tadi, ia merasakan lembut belaian kekasihnya itu di wajah, tetapi selanjutnya Luca langsung seperti merasa bersalah dan menjauh.
"Tidak apa. Aku hanya takut kamu nanti juga akan kecewa dan meninggalkan aku," sahut Luca.
Gadis itu berbalik dan menatap Luca. Meraih kedua tangan pemuda itu dan menggenggam erat.
"Tidak akan! Aku tidak akan pernah meninggalkanmu," ujarnya sembari tersenyum.
Tangan hangat pemuda itu menangkup wajah dan mengecup bibirnya lembut.
***
Kanaya berdiri ragu di halaman rumah. Ia ingin pergi ke rumah Sabrina untuk memastikan rekannya yang tengah dimabuk cinta itu baik-baik saja, tetapi dia ragu.
'Bagaimana kalau Sabrina justru marah padaku karena terlalu ikut campur?' tukasnya dalam hati.
Tadi Darren juga mengatakan agar dia tenang, tetapi bagaimana bisa tenang jika keraguan pada Luca semakin besar? Ia merasakan ada sebuah rahasia penting yang disembunyikan pemuda itu. Rahasia yang ingin ditutupi dari semua orang dan semua itu berkaitan dengan kasus yang mereka tangani.
Sayangnya, mereka tidak mempunyai bukti langsung keterlibatan Luca, jika mereka memilikinya, pemuda itu pasti sudah mendekam di penjara sekarang.
Kanaya terkejut dengan kehadiran sebuah mobil yang berhenti di depan rumah. Lebih terkejut lagi saat melihat Adrian keluar dari kendaraan tersebut dan bergegas menghampiri.
"Mau apa kau ke sini?" tukas Kanaya gusar. Ia tidak menyangka mantan suaminya itu berani datang ke rumah.
"Katakan padaku, Kanaya! Katakan padaku kau akan menerimaku lagi, maka aku akan meninggalkan Shelly sekarang juga. Aku akan berpisah dengannya!" ujar pria itu sembari menggenggam tangan Kanaya erat. Tatapan matanya penuh permohonan.
***
Darren tersenyum kecil sambil menatap martabak keju yang berada di kursi penumpang. Ia dengar dari Sabrina bahwa itu makanan favorit Kanaya. Tadi Kanaya terlihat sedang galau, karena itu ia membeli makanan tersebut dan bergegas melajukan mobilnya ke rumah Kanaya.
Senyum Darren menghilang saat melihat Adrian sedang berlutut sembari menggenggam tangan Kanaya.
'Mereka mungkin akan rujuk. Apa aku masih punya kesempatan?' tukas Darren pelan.
***
Kanaya yang melihat mobil Darren segera melepaskan tangan dari Adrian dan berlari menghampiri.
"Kau ada di sini? Aku sudah menunggumu dari tadi," tukasnya melalui jendela yang terbuka.
Darren hanya diam dan bergegas keluar. Ia juga menyerahkan martabak keju tersebut kepada Kanaya. Wanita itu terlihat begitu senang dan menggamit lengan pemuda itu.
Adrian yang melihat itu sangat marah dan bergegas kembali ke mobil.
Deru kendaraan tersebut terdengar keras, saat mobil milik Adrian meluncur pergi dengan kecepatan tinggi.
Setelah Adrian pergi, Kanaya langsung melepas tangannya yang bergelayut di lengan Darren.
"Maafkan aku!" ucapnya lirih, tetapi tiba-tiba Darren memeluk pinggang Kanaya dan menarik wanita itu mendekat.