Luca berjalan mendekat ke arah rumah. Ia dikejutkan dengan kehadiran sosok yang tiba-tiba muncul di depannya.
"Kau? Siapa kau?" tegurnya.
"Kita akan membicarakan ini, jika kau ikut aku ke rumah itu," jawab orang tersebut.
Luca menggeleng.
"Tidak! Aku tidak mau!" tolaknya.
"Kalau begitu, tidak ada gunanya kita bicara," ujar orang tersebut sembari bergegas menuju ke rumah yang diincar.
***
Pak Wira yang sedang bersiap untuk tidur terkejut saat melihat ada orang lain di kamar. Ia ingin pergi keluar dan memanggil pertolongan, tetapi orang itu bergerak cepat dan langsung mengunci pintu kamar.
"Sekarang juga kau akan mati!" teriak sosok tidak ia kenal tersebut dengan penuh amarah.
Pak Wira berusaha menghindar dari sergapan orang tersebut, tetapi sosok itu bergerak lebih cepat. Ia tergeletak tidak berdaya saat orang itu mengikat tangan dan kakinya.
***
Luca masih belum mengenali sosok tersebut, tetapi dia tahu dirinya harus menghentikan orang tersebut. Dia bergegas menyusul masuk ke dalam rumah melalui jendela yang sebelumnya dilalui si pembunuh.
Saat orang tersebut menghunus pisau untuk menusuk tubuh Pak Wira, Luca segera menendang tubuh orang itu. Kehilangan keseimbangan, sosok tersebut terdorong mundur. Pisau yang dibawa jatuh berdentang di lantai.
"Apa yang kau lakukan? Apa kau sudah gila?" teriak orang itu.
"Aku tidak mau kau membunuh dia!" tukas Luca sembari menunjuk ke arah Pak Wira.
"Apa? Ternyata kabar itu benar, kau sudah gila!" ucap sosok itu lagi.
"Aku ingin kau berhenti! Balas dendam ini, pembunuhan ini, harus diakhiri. Organisasi tidak membantu kita, mereka hanya menjadikan kita alat untuk membunuh orang lain."
Orang di hadapan Luca itu mendengus dan tertawa. Ia menatap pemuda itu dengan tatapan tidak percaya.
"Benar-benar tidak bisa dipercaya! Seorang pembunuh yang selama ini dibanggakan oleh organisasi ternyata hanya orang yang lemah," tukasnya dengan nada mengejek.
Luca menggeleng.
"Terserah apa katamu! Yang jelas kau tidak boleh membunuh dia," ucapnya.
Orang di depannya itu kembali mendengus keras sembari bergegas menuju ke jendela.
Ia kemudian berbalik dan menatap Luca.
"Aku kecewa padamu, Lucky. Kupikir kau akan membantuku," ujarnya sambil bergegas keluar jendela.
Luca termenung sesaat, kemudian bergegas menyusul keluar. Kini dia ingat siapa temannya itu.
***
Anak-anak kecil itu berlarian di taman yang gersang. Ayunan-ayunan di sana sudah memudar warna catnya dan hamya diperbaiki ala kadar. Meski begitu, itu adalah surga bermain untuk anak-anak kecil berpakaian lusuh tersebut.
Seorang bocah lelaki berkacamata nampak berlari menghampiri bocah lelaki lain yang berjongkok sembari mengaduk tanah.
"Lucky! Tolong aku!" teriak bocah bermata emoat tersebut dengan napas terengah-engah, tetapi anak lelaki yang tengah bermain tanah tersebut tidak peduli. Dia kesal temannya itu selalu memanggil dia dengan nama Lucky, padahal Luca sangat menyukai nama pemberian sang ibu.
Beberapa anak remaja bertubuh bongsor datang menghampiri. Mereka langsung menyerang dan mendorong si kacamata hingga terjatuh.
Tanpa aba-aba, Luca kecil langsung berdiri dan menghamburkan tanah pada remaja yang telah mendorong temannya.
"Jika kalian berani mengganggu Gio, kalia akan berhadapan denganku!" ancamnya.
***
Pak Wira yang tersadar segera menelepon polisi. Kanaya, Sabrina, serta Darren segera bergegas pergi saat mendengar kabar penyerangan tersebut, karena Pak Wira adalah rekan dari korban-korban sebelumnya, maka mereka menduga kasus itu berkaitan.
"Waktu itu, aku belum sepenuhnya sadar. Kepalaku pusing dan pandanganku sedikit berkunang-kunang tetapi aku melihat mereka ada dua orang dan mereka bertengkar sendiri. Aku tidak terlalu mendengar jelas apa yang mereka perdebatkan, tetapi sepertinya mereka tidak sepaham akan suatu hal, kemudian mereka berdua pergi," tuturnya pada ketiga detektif tersebut.
Sabrina dan yang lain menggeleng bingung. Bukan hanya satu, kini mereka harus mengejar dua pembunuh?
"Ada hal lain yang aneh," tukas Kanaya sembari menatap rekan-rekannya satu per satu.
"Tidak ada catatan pembunuh mengunjungi korban sebelumnya. Ia datang dan langsung membunuh, tapi kenapa kini dia malah pergi meninggalkan Pak Wira?"
"Mungkin dia ingin mengaburkan kasus. Membuat kita bingung. Metode pembunuh berantai biasanya memiliki pola yang sama, tetapi kurasa pembunuh ini berbeda dan tidak bisa diduga. Kita bahkan tidak akan tahu kalau ini kasus berantai, jika kita tidak mendapat informasi bahwa para korban saling mengenal," ujar Darren.
Sabrina mengangguk.
"Kurasa kita harus tetap menjaga Pak Wira. Beliau masih belum lepas daei bahaya. Pembunuh itu bisa saja kembali untuk menuntaskan yang belum selesai."
***
"Gio? Gio yang melakukan semua itu?" tanya Reina sekali lagi dengan nada tidak percaya. Padahal Luca sudah mengatakan hal yang sama sedari tadi.
Tentu sulit bagi Reina untuk mempercayai hal tersebut. Seingat dia, Gio adalah anak lelaki cengeng yang selalu bersembunyi di belakang Luca. Tidak jarang bocah lelaki kurus berkacamata tersebut menjadi bahan ledekan teman-teman, termasuk Reina.
'Siapa yang menyangka kini si cengeng tersebut adalah pembunuh sadis yang belakangan menebar teror?' tukas Reina dalam hati.
"Kurasa takdir memang mempermainkan kita," ucap Luca pelan.
"Anak lelaki yang dulu begitu penakut, kini menjadi sosok yang ditakuti."
"Lalu bagaimana? Apa kau bisa membujuk dia? Meski kita sudah belasan tahun tidak bertemu, Gio tetap teman kita. Aku tidak ingin jika hal buruk menimpa dia," tukas Reina.
"Aku sudah berusaha, tetapi kita semua memiliki dendam itu. Aku, kau, dan juga Gio. Dia tidak akan melepaskan Pak Wira," jawab Luca pelan.
Reina hanya diam. Sebenarnya, dia merasa senang Gio masih hidup, tetapi ia juga takut dendam dan kebencian pada akhirnya akan menghancurkan hidup teman kecilnya itu.
***
Analisa kamera pengawas tidak membuahkan hasil. Semua rekaman di hari kejadian, baik di rumah Pak Wira maupun sekitar, rusak parah dan tidak bisa diperbaiki.
"Pembunuh itu begitu teliti. Tidak mungkin dia melewarkan satu hal pun yang membuat dia tertangkap," tukas Kanaya. Mereka masih merapatkan kasus tersebut dengan sasaran berubah menjadi dua pelaku.
Sebuah denting pengingat pada ponsel terdengar berbunyi dari telepon genggam milik Kanaya. Ekspresi wanita itu yang tadi penuh semangat mendadak berubah muram.
"Ada apa?" tegur gadis itu saat melihat mendung di wajah Kanaya.
"Aku ... aku baru ingat, kalau besok hari pernikahan Adrian dan Shelly," jawab Kanaya pelan. Sibuk dengan kasus, membuat wanita itu lupa dengab pernikahan yang telah beeakhir.
Sabrina segera meneluk erat sahabatnya.
"Lupakan dia, Kanaya! Lelaki yang tidak bisa bertanggung-jawab dan hanya bisa melempar kesalahan, tidak pantas untuk ditangisi," bisiknya pelan.
Darren datang dan membawa es krim untuk kedua rekannya tersebut.
"Ini! Kalian tidak usah sedih lagi dan tetap semangat!" ucapnya.
Sabrina tersenyum, tetapi Kanaya justru menatap kesal.
"Apa kau pikir aku anak kecil?" tukasnya. "Mantan suamiku akan menikah lagi, tetapi kau malah memberiku es krim," gerutunya sambil berlalu. Darren hanya berdiri bingung. Tawa Sabrina semakin lebar, mengingat dia yang mengusulkan hal itu kepada Darren.
"Kau mengerjai aku bukan?" tanya Darren sembari menatap lekat Sabrina.
"Tidak, aku benar-benar mengira cara itu akan berhasil, tapi ternyata gagal total," sahutnya sembari bertopang dagu.
"Ya sudahlah, aku tidak menyalahkanmu, yang terpenting, kita tetap menemani Kanaya. Saat ia membutuhkan, kita ada untuknya," tukas Darren. Sabrina hanya mengangguk.
Kanaya yang diam-diam mendengar pembicaraan tersebut tersenyum. Teman-temannya begitu peduli. Ia beruntung memiliki mereka.
***
Ruangan tersebut sangat luas. Karpet merah tebal terdapat di bagian lantai. Di dinding bercat putih tergantung lukisan mosaik berukuran besar. Pak Wira berdiri di ruangan tersebut dan menatap ke luar jendela. Pemandangan di seberang jendela menampakkan bangunan-bangunan gedung yang menjulang serta awan biru tidak terlalu terlihat karena terhalang gedung-gedung pencakar langit tersebut.
Lelaki paruh baya itu kemudian menatap ke bawah. Pada rentetan mobil yang berderet seperti semut. Dulu, ia tidak pernah membayangkan bisa berdiri di atas sini. Kehidupan telah mengajarkan dia untuk menghancurkan kehidupan orang lain untuk meraih sukses.
'Aku tidak mau kehilangan semua ini. Orang lain harus mati menggantikan aku,' tukasnya dalam hati.
Dia berbalik tepat di saat pintu terbuka dan Pak Nurdin berjalan masuk.
'Dia begitu setia padaku, hingga mengkhianati keluarga dan temannya. Dia pasti mau melakukan ini,' ujar Pak Wira lagi sembari melihat pria yang sudah bekerja untuknya belasan tahun tersebut dan tersenyum.
***
Acara resepsi pernikahan Adrian dan Shelly berlangsung mewah. Sebagai pengusaha sukses, Adrian ingin merayakan hari tersebut dengan meriah untuk membungkam orang-orang yang berbicara buruk tentang hubungan dia dengan Shelly.
Gadis yang sangat dicintainya itu berdiri di samping. Nampak begitu anggun dan jelita dalam tatanan gaun pengantin berwarna kuning gading.
'Aku memang beruntung bisa mendapatkan Shelly,' ujarnya sembari berulangkali menoleh kepada sang istri.
Senyuman juga terlukis di wajah Shelly, tetapi berbeda dengan Adrian, gadis itu tidak benar-benar bahagia. Hubungan yang hanya main-main baginya, justru berakhir dengan pernikahan.
Adrian tertegun saat melihat kedatangan Kanaya. Wanita itu menghampiri dia dan Shelly, kemudian mengulurkan tangan untuk mengucap selamat. Begitu pula pemuda yang bersamanya. Ia tidak kenal dengan lelaki muda itu, tetapi kelihatannya cukup dekat dengan Kanaya.
Perasaan tidak tenang membuncah dalam diri Adrian. Ia benar-benar ingin tahu siapa pemuda itu dan ada hubungan apa dengan sang mantan istri.
Shelly sadar, semenjak kedatangan Kanaya, Adrian terus saja mengamati wanita itu. Beberapa tamu juga menyadari hal yang sama. Gadis itu beranjak bangkit berdiri dan pergi dengan marah. Adrian yang kebingungan segera menyusul istri barunya itu.
"Kamu kenapa tiba-tiba pergi begitu saja? 'Kan nggak enak sama tamu undangan," tegur Adrian
"Kau terus saja melihat Kanaya. Apa kau ingin mempermalukan aku? Apa kau tahu yang dibicarakan orang-orang tentang kau dan Kanaya?" tukas Shelly sambil menatap tajam lelaki itu.
"Aku ... aku minta maaf. Aku juga tidak tahu kenapa aku tidak bisa berhenti melihat dia," ucap Adrian lirih.
"Mungkin di dalam hatimu, di balik amarah dan kekecewaanmu, kau masih mencintai Kanaya."
***
Sabrina menyandarkan kepala di kursi sembari membaca laporan. Belum ada titik terang keberadaan pembunuh membuat dia nyaris frustasi. Seharusnya mereka mencari di setiap lubang tikus di kota ini, tetapi tanpa petunjuk pasti, itu seperti mencari jarum di ribuan tumpuk jerami. Yang bisa dilakukan hanya membaca laporan dan berharap sesuatu mungkin terlewat. Sesuatu yang penting, yang bisa menjadi petunjuk untuk menangkap si pembunuh.
Darren dan Kanaya sedang pergi ke pernikahan Adrian. Sebenarnya, ia juga ingin hadir di sana, sekedar untuk memberi dukungan kepada Kanaya, tetapi ia tidak ingin pergi sendiri.
Ia sudah menelepon Luca, tetapi pemuda itu menolak, karena tidak ingin terjadi pertengkaran dan baku-hantam di pesta. Sabrina tahu Luca tidak akur dengan Adrian dan Shelly. Bahkan, nampaknya terjadi konflik serius di antara ketiga orang tersebut. Namun, tidak seorangpun memberitahu dia apa yang terjadi.
Akhirnya, Sabrina juga tidak pergi dan menenggelamkan diri pada laporan. Ia juga ingin Darren dan Kanaya memiliki waktu berdua. Sabrina ingin Kanaya bisa menemukan pengganti Adrian yang bisa membuatnya bahagia dan Darren orang yang tepat untuk itu.
***
Luca menggeleng tidak percaya sembari menatap layar ponsel. Gio kembali menghubungi dia untuk bekerja sama menghabisi Pak Wira. Dia pikir Gio tidak akan kembali menghubungi, semua karena dia telah menghalangi niat Gio.
Hari masih belum terlalu larut saat Luca tiba di tempat mereka berjanji untuk bertemu. Namun, purnama yang tertutup mendung kelabu membuat suasana seolah ikut berubah kelam dan sepi.
"Aku sudah mengawasi rumah dan melihat kalau semenjak pulang, Pak Wira tidak keluar lagi. Kita bisa masuk dan membunuh dia dengan cepat," tukas Gio menjelaskan saat Luca datang.
"Gio, aku minta kepadamu untuk berhenti! Berhenti berbuat seperti ini dan membunuh! Berhenti membalas dendam!" pinta Luca.
Pemuda berjas kelabu tua di sampingnya tersebut tertawa.
"Aku senang kau akhirnya ingat padaku, sahabat, tetapi aku tidak bisa berhenti. Pak Wira harus mati. Aku tidak mengerti kenapa seorang Luca bisa jadi selemah ini," ujarnya sembari tertawa mengejek.
"Aku tidak peduli dengan apa yang kaukatakan," tukas Luca cepat.
"Tetapi aku tidak mau kau membunuh dia."
Kedua pemuda tersebut sama-sama tidak mau mengalah dan terlibat dalam perkelahian. Hingga akhirnya, Gio berhasil mendorong dan menendang Luca dengan keras, sehingga pemuda itu terjatuh.
"Aku tidak mau berkelahi dan melukaimu, Luca, jadi kalau kau tidak mau bekerja sama, sebaiknya kau pergi dari sini!" seru Gio sembari bergegas.
Luca mengusap darah di mulut dan segera menyusul. Apa pun yang terjadi, dia harus mencegah Gio.
***
"Apa yang kamu lakukan?" seru Luca sembari menghampiri Gio yang berdiri diam di sebelah kursi putar di belakang meja persegi. Kursi tersebut menghadap ke belakang.
"Aku tidak melakukan apa pun. Dia sudah seperti ini saat aku datang. Tadi, kupikir itu Pak Wira," ucap Gio.
"Paman Nurdin," desis Luca. "Bagaimana bisa jadi seperti ini?" seru Luca sembari menatap jenazah yang diikat di kursi dengan leher nyaris putus tersebut.
"Paman Nurdin? Tunggu sebentar, kamu mengenal dia?" tukas Gio sembari meraih lengan Luca.
"Tentu saja, dia ayah Reina. Apa kamu ingat dengan Reina?"
Gio diam dan mengangguk. Tentu saja dia ingat pada gadis kecil itu, yang selalu bermain dengan anak-anak cowok.
"Tapi kenapa beliau bisa berada di sini? Bukankah seharusnya waktu itu semua tewas?"
"Reina sendiri baru tahu kalau ayahnya masih hidup. Selama ini dia bekerja pada Pak Wira," sahut Luca.
"Itu artinya dia telah berkhianat!" sergah Gio marah. Luca mengangguk lemah.
"Meski begitu, aku telah berjanji pada Reina untuk melepaskan ayahnya, tapi sekarang ...."
"Bukan aku!" tandas Gio. "Bukan aku yang melakukan semua ini! Dia bukan Pak Wira, untuk apa aku membunuhnya? Kamu harus percaya padaku, Luca!"
Luca tidak segera menjawab karena dia mendengar suara sirene yang semakin mendekat pada rumah tersebut. Pemuda itu bergegas menuju jendela dan mengintip melalui sela tirai.
"Sial! Kurasa ini jebakan! Para polisi sedang menuju ke sini sekarang!" serunya.