Chereads / lover secret / Chapter 19 - Sembilan belas

Chapter 19 - Sembilan belas

Reina menatap Luca tanpa berpaling, saat pemuda itu menceritakan semua. Pertemuan dengan Pak Hardiman serta permintaan lelaki paruh baya itu untuk membantu.

"Kau tidak boleh melakukannya!" tandas Reina sekali lagi.

"Meski dia tidak memintamu membunuh, tetapi tetap saja itu melibatkanmu dalam masalah. Jika sampai ketahuan, maka semua akan hancur. Sabrina mungkin akan membencimu."

"Jika aku menolak, dia akan membunuhmu atau membuka rahasiaku pada Sabrina, aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Lagipula teman kita itu, aku ingin bertemu dengannya," tukas Luca pelan.

Reina masih menggeleng, meski dia sendiri juga ingin tahu. Semenjak dipisahkan saat mereka masih kecil, mereka tidak pernah bertemu lagi. Organisasi sengaja melakukan itu untuk melatih mereka secara tersembunyi. Teman-temannya, ia merindukan mereka. Bagaimanapun mereka adalah kepingan masa lalu yang pernah menjadi bagian dari hidupnya yang dulu pernah sempurna.

"Orang itu bernama Pak Wira. Katanya, Pak Wira dulu yang menghancurkan langsung tempat tinggal kita. Organisasi menyembunyikan itu dan tidak memberitahu kita," tukas Luca tanpa menyadari Reina yang sedang melamun. Kata-kata pemuda itu membuat dia terkejut.

"Pak Wira?" ujarnya sekali lagi tidak yakin.

Luca mengangguk.

"Kenapa? Kau tahu tentang dia? Apa organisasi sudah membocorkan?"

"Tidak," geleng Reina. "Mana mungkin mereka melakukan itu saat tahu mereka bisa memanfaatkan untuk mengendalikan kita?"

Gadis itu kemudian mengeluarkan selembar foto dan meletakkan di atas meja.

"Apa dia orangnya?" tanyanya pelan. Serta-merta Luca mengangguk saat melihat foto tersebut.

"Apa yang terjadi?" desaknya.

"Kenapa kamu menyimpan foto Pak Wira?"

Reina mengeluarkan selembar foto lagi.

"Kau ingat siapa ini?" tanyanya pelan.

Luca mengamati foto Pak Wira yang sedang bersama seorang pria paruh baya bertubuh agak tambun.

"Pa-man Nurdin?" ucapnya tidak yakin.

Reina mengangguk dengan mata berkaca-kaca.

"Ayahku masih hidup, Luca dan ia bekerja pada lelaki itu. Jika Pak Wira adalah sasaran selanjutnya, mungkin nyawa ayahku juga dalam bahaya."

***

Sabrina menemani Kanaya pulang.

"Kurasa lebih baik kau menginap di rumahku saja," tukas Sabrina. Ia benar-benar cemas. Kondisi wanita yang duduk di kursi penumpang tersebut terlihat begitu memprihatinkan.

Kanaya hanya mengangguk.

'Mungkin lebih baik aku bersama Sabrina, agar pikiran tidak semakin kalut.'

"Kau tidak menanyai Luca lagi?" tanya Kanaya tiba-tiba.

Sabrina menggeleng.

"Tidak ada apa pun, kecuali dia bersikap sok tahu. Memberitahu kami tentang tindakan yang akan diambil pembunuh itu setelah meninggalkan taman," tukasnya sedikit kesal.

Kanaya diam. Ia tidak ingin berdebat dengan Sabrina, tetapi mungkin Luca memang tahu tentang pembunuh itu.

***

"Luca!" tukas Reina sembari meraih dan menggenggam tangan pemuda itu erat-erat saat Luca bangkit berdiri.

"Ayahku mungkin berkhianat. Ia juga meninggalkan semua orang demi dirinya sendiri, tetapi tetap saja, aku tidak ingin beliau terluka. Tolong, Luca! Tolong selamatkan ayahku!"

Luca mengibaskan tangan Reina dengan kasar.

"Bagaimana? Bagaimana aku bisa melakukannya? Pembunuh itu juga kita ingin membalas dendam, tetapi ternyata ayahmu juga ada di sana. Bersama orang yang menghancurkan hidup kita. Membuat aku, kamu, juga yang lain menjalani kehidupan dikendalikan organisasi, lalu kamu ingin aku melepas dia? Aku tidak bisa, Reina! Aku masih bisa melepas Pak Wira, tetapi aku pasti akan membunuh pengkhianat yang membuat hidup kita hancur!" desisnya marah.

Reina tersedu menatap punggung Luca yang bergegas berlalu.

***

Hari masih terlampau pagi. Mentari bahkan masih bersembunyi di peraduan. Isak tangis tersebut terdengar lirih, tetapi membuat Sabrina tidak bisa kembali terlelap.

Bergegas, ia bangkit dari tidur dan keluar dari kamar. Ia lalu menuju ke kamar tamu yang terletak bersebelahan dan kini ditempati Kanaya. Semalam, setelah tiba di kediaman Sabrina, mantan rekannya itu tidak banyak bicara. Sabrina tidak mau bertanya dan membuat Kanaya makin tertekan. Ia langsung mengantar wanita itu ke kamar tamu.

"Kanaya, kamu kenapa? Apa semua baik-baik saja?" tanya Sabrina sembari bergegas menghampiri. Gadis itu duduk di samping Kanaya.

Wanita yang lebih tua darinya itu hanya diam. Perlahan, ia menggeleng dan memberikan ponsel kepada Sabrina. Kening Sabrina berkerut tidak mengerti. Namun saat melihat gambar dan tulisan di telepon genggam tersebut, barulah dia paham.

Di ponsel itu, termuat foto-foto kemesraan Adrian dengan Shelly. Tidak hanya itu, ada pula lampiran undangan pernikahan keduanya.

"Lupakan dia, Kanaya!" tukas Sabrina. "Dia tidak pantas kamu tangisi. Kamu harus kembali menjadi wanita kuat seperti sebelumnya, demi Kayla. Ia selalu memujamu, bukan? Ia pasti tidak suka melihat ibunya seperti ini."

"Sabrina, aku minta maaf, ternyata selama ini kamu benar. Adrian sudah membohongi aku, tetapi tetap saja, aku tidak menyangka dia akan berbuat seperti ini hanya beberapa hari setelah kepergian Kayla."

"Kita semua bisa dibodohi dan dibutakan oleh cinta," jawab Sabrina pelan.

"Lalu bagaimana dengan Luca? Apa kau tidak merasa dia juga membodohimu? Aku tidak asal bicara. Hanya saja, aku merasa Luca memiliki banyak rahasia. Itu membuatku cemas, kalau rahasia tersebut mungkin akan melukaimu," tukas Kanaya.

Sabrina tersenyum kecil sembari menggenggam tangan Kanaya.

"Aku mencoba untuk percaya. Aku tahu itu mungkin beresiko, tetapi aku ingin percaya padanya," ujarnya.

"Ayo kita bersiap!" tukas Sabrina tiba-tiba. Kanaya nampak bingung.

"Kau harus kembali bekerja, Kanaya! Lupakan Adrian dan temukan pembunuh Kayla!"

***

Darren terkejut saat melihat Sabrina datang bersama Kanaya. Apalagi penampilan wanita itu kini terlihat lebih baik daripada semalam.

"Hai, kau sudah baik-baik saja?" sapanya sembari tersenyum ramah. Kanaya mengangguk ringan dan mengucapkan terima kasih. Meski baru saling kenal, Kanaya merasa Darren sosok yang baik.

"Aku sudah berbicara dengan Pak Boby. Beliau setuju kamu kembali dalam tim," tukas Sabrina kepada Kanaya.

"Terima kasih, Sabrina. Kamu selalu ada dan membantuku," ujar Kanaya sembari tersenyum tulus.

Darren meringis.

"Apa ini artinya aku disingkirkan dengan cepat? Ini bahkan belum 24 jam," ujarnya.

"Kamu tetap bekerja di sini. Mulai sekarang, kita bertiga adalah rekan," tegas Sabrina.

"Dan kamu juga harus menjaga Kanaya."

***

Mata Luca terbuka lebar. 'Hari sudah pagi ternyata,' gumamnya pelan sembari berjalan dan membuka jendela.

Terngiang kata-kata dan permintaan Reina semalam membuat dia gelisah.

Semenjak kecil, Reina selalu mengikuti dia dan yang lain untuk bermain, agar tidak diabaikan, karena dia anak perempuan.

Meski kadang para bocah lelaki itu kesal, tetapi lama-lama mereka juga akrab dengan Reina. Gadis kecil itu mau saja diajak bermain lumpur atau layangan, bahkan memanjat pagar dan mencuri mangga. Sejak itulah, Reina menjadi bagian dari mereka. Namun, kemudian tragedi tersebut terjadi dan membalikkan hidup mereka semua.

'Dan semua itu terjadi karena Paman Nurdin, ayah Reina sendiri. Gadis yang selama ini menjadi sahabat dan begitu baik padaku. Apa yang harus kulakukan?' seru Luca dalam hati. Kali ini, ia benar-benar ragu akan tindakan yang harus diambil.

***

Kanaya dan Sabrina sedang istirahat siang di kantin. Darren masih sibuk memilih-milih pesanan di meja kasir.

"Kamu itu tadi bicara apa sih?" tegur Kanaya setengah berbisik kepada Sabrina.

"Yang mana?" tanya gadis itu sembari mengaduk dan menyuap sup yang dipesan.

Beberapa petugas lewat dan menyapa mereka ramah. Setelah orang-orang itu berlalu pergi, Kanaya baru kembali melanjutkan pembicaraan.

"Yang tadi. Apa maksud kamu bilang sama Darren buat menjaga aku?" tukasnya cepat.

"Yah 'kan kita rekan satu tim. Tidak ada salahnya bukan saling menjaga?" sahut Sabrina enteng.

Kanaya mengangguk sambil mendengus.

"Awas saja ya kalau kamu punya maksud lain!" ujarnya.

Sabrina hanya tersenyum kecil. Kanaya berhenti berbicara karena Darren sudah kembali dan memberikan sepotong kue keju padanya. Senyum di wajah Sabrina makin lebar melihat itu, sedang Kanaya balik melotot padanya.

***

Sabrina masih saja tertawa waktu ia keluar dengan Kanaya untuk melakukan penyelidikan dan mengambil hasil forensik.

"Itu sama sekali tidak lucu," tukas Kanaya kesal.

"Ayolah, Kanaya, kamu harus mulai membuka hatimu! Darren pria yang baik, kok," ujar Sabrina.

"Kalau dia lelaki yang baik, kenapa bukan kau saja yang berkencan dengannya?"

"Darren bukan tipeku dan kau juga sudah tahu di hatiku sudah ada Luca," sahut Sabrina.

"Aku juga tidak mau. Darren terlalu muda untukku. Daripada kekasih, ia hanya cocok menjadi adik!"

"Cinta itu tidak memandang usia. Lagipula, kesetiaan dan kedewasaan seseorang tidak bisa diukur dengan itu," tukas Sabrina bijak.

Kanaya hanya menggeleng. Mereka sudah tiba di tempat analisis bukti. Percakapan pribadi berakhir dan kembali kepada pekerjaan. Namun, lagi-lagi keduanya kembali kecewa, tidak ada bukti penting yang ditemukan. Pelaku yang begitu cermat bahkan tidak meninggalkan jejak sedikitpun pada barang-barang Kayla juga kursi roda Pak Iwan.

'Apa kami bisa menangkap dia atau pembunuhan ini akan terus terjadi?' tukas Sabrina dalam hati. Ia tidak ingin putus asa, tetapi kasus ini membuat dirinya merasa mereka semua berada dalam permainan si pembunuh.

***

Keributan kembali terjadi saat kedua detektif tersebut kembali ke kantor. Keluarga Pak Iwan ternyata masih tidak terima dan kembali berniat menyerang Kanaya. Para wartawan juga berkumpul untuk meliput. Begitu pula dengan beberapa orang yang ikut berorasi menyerang Kanaya.

"Lihat! Dia bilang akan bertanggung jawab, bahkan mengundurkan diri dari pekerjaan, tetapi dia malah kembali dan bersikap seolah tidak ada apa-apa!" teriak seorang lelaki melalui mikrofon sembari menunjuk ke arah Kanaya.

"Dia tidak peduli nasib korban dan keluarga. Bagaimana dia bisa menangani kasus? Dia hanya mementingkan karir dan kedudukan sebagai detektif ternama!" teriak yang lain.

Para wartawan mulai maju dan menyorongkan perekam kepada Kanaya.

"Hentikan semua ini! Kalian menghambat pekerjaan kami!" tukas Sabrina. Akan tetapi, orang-orang itu masih saja tidak terima.

"BERHENTI!" teriak seseorang dengan suara lantang. Semua orang terdiam dan menoleh ke sumber suara.

Darren berjalan menghampiri tempat tersebut.

"Aku tidak tahu ada apa dengan kalian? Apa kalian tidak peduli dengan yang terjadi? Orang yang kalian sudutkan juga kehilangan putrinya karena pembunuh itu, tetapi kalian tidak peduli dan terus saja menyalahkan dia!" tegasnya.

"Dia sudah melakukan yang terbaik. Tidak ada yang menghendaki Pak Iwan menjadi korban. Sebagai seorang ibu, ia tentu juga tidak menghendaki anaknya menjadi korban. Saat itu, ia bahkan mengulur waktu untuk tidak melibatkan Pak Iwan, meski nyawa sang putri menjadi taruhan. Dan sekarang anaknya sudah tiada dan ia kembali. Kalian sebagai orang tua apa bisa melakukan apa yang dia lakukan?"

"Darren!" tegur Kanaya pelan.

"Kau tidak usah membelaku. Saat itu, aku memang salah."

Orang-orang di depan mereka hanya diam. Sesaat kemudian, salah seorang dari mereka berkata,

"Kau ingin menebus kesalahanmu, bukan? Kalau begitu, temukan dan hukum pembunuh itu seberat mungkin!"

Sabrina tersenyum dan menghela napas lega. Berkat bantuan Darren, mereka bisa menangani kemarahan orang-orang itu.

***

"Darren!" tegur Kanaya saat mereka kembali ke ruangan tempat bekerja.

da"Lain kali, kamu tidak perlu ikut campur! Urusan itu bukan urusan kamu!"

"Aku hanya ingin membantu," ujar Darren dengan suara pelan.

"Aku tidak pernah bilang butuh bantuan kamu!" tukas Kanaya tegas. Ia kemudian bergegas pergi.

"Bersabarlah, Darren!" ucap Sabrina yang berada tidak jauh dan mendengar percakapan pemuda itu dengan Kanaya.

"Kanaya memang seperti itu, tetapi jika sudah dekat, Kanaya sebenarnya orang yang hangat. Dulu dia juga sering bersikap galak padaku, tetapi akhirnya kami akrab dan menjadi sahabat."

Darren hanya mengangguk mendengar ucapan Sabrina.

***

Sebuah denting pesan masuk terdengar di ponsel Luca. Pemuda itu segera melihatnya. Malam ini, rencana pembunuhan itu akan dilakukan di rumah Pak Wira.

Luca segera bersiap. Ia pergi karena ingin tahu tentang teman dari masa kecil yang menjadi pembunuh.

Setelah semua beres, Luca segera bergegas keluar dari kamar.

"Kamu mau ke mana?" tegur Reina saat melihat Luca sudah rapi dengan pakaian serba hitam.

"Aku harus pergi," jawab lelaki muda itu singkat sembari mengenakan jaket berwarna hitam.

"Tidak! Tidak boleh! Kamu pasti akan ke tempat Pak Wira! Apa yang akan kamu lakukan?"

"Bukankah kamu bilang untuk menjaga ayahmu? Kalau aku tidak pergi, bagaimana aku bisa menjamin keselamatan Paman Nurdin?" sahutnya dingin.

"Kamu benar akan melakukannya? Kamu tidak akan melukai ayahku?" tanya Reina sembari memegang erat lengan pemuda itu.

"Aku tidak punya pilihan, bukan? Dia adalah ayahmu. Mana bisa aku mengabaikan? Dan aku ke sana untuk mencegah teman kita membunuh. Dendam ini harus diakhiri, karena selama ini organisasi hanya memanfaatkan kita."

"Tapi Pak Wira, dia sudah bersalah."

"Lalu kau mau aku membunuhnya? Bukankah kau sendiri yang mengatakan untuk menghentikan semua ini? Terkadang aku tidak mengerti denganmu, Reina. Kadang kau lebih kejam dariku," tukas pemuda itu sembari menatap tajam.

Reina diam dan melepaskan cekalan pada lengan pemuda itu.

"Aku minta maaf. Aku yang memintamu melupakan semua, tapi terkadang aku sendiri tidak bisa lupa dengan apa yang terjadi."

"Tapi kau benar. Mulai sekarang jangan pernah membunuh lagi. Berjanji padaku dan bawa teman kita kembali," lanjutnya.

"Aku pergi sekarang!" tukas pemuda itu sembari bergegas.

"Hati-hati! Jangan sampai justru dirimu yang terlibat masalah dan tertangkap!" seru Reina sembari menatap Luca keluar dari pintu.

***

Sosok tersebut berdiri di kegelapan. Ia sudah hampir kehilangan kesabaran. Sudah satu jam lebih dirinya berdiri di balik rerimbunan belukar dan menatap rumah bercat gading bergaya klasik dengan ukiran-ukiran menghias di setiap sudut bangunan.

'Kenapa ia belum datang juga? Padahal aku sudah menunggu,' ujarnya dalam hati sembari melirik jam tangan.

'Luca, sahabatku, aku sangat merindukanmu dan ingin bertemu. Pembunuhan kali ini adalah hadiah pertemuan kita setelah sekian lama. Aku tidak ingin kau melewatkannya,' lanjutnya sembari melihat ke arah rumah tersebut. Ia akan tetap menunggu Luca.