Seorang wanita berjalan memasuki rumah. Raut wajahnya berubah saat berjalan melintasi sebuah kamar. Jeritan histeris membahana keluar dari mulutnya saat melihat genangan darah dari sela-sela bawah pintu. Orang-orang berdatangan dan segera membuka pintu tersebut. Di atas tempat tidur tergeletak mayat Pak Santoso dengan bermandikan darah segar.
Kanaya sedang menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga kecilnya, tatkala ponselnya berdering nyaring.
"Aku akan segera ke sana," ucap wanita itu sesaat setelah mengangkat ponsel. Adrian hanya meliriknya, lalu segera menyuruh Kayla bergegas. Seperti biasa, mengantar gadis kecil itu ke sekolah adalah tugasnya.
Kanaya duduk termenung setelah kedua orang yang sangat dia cintai itu pergi. Sikap Adrian benar-benar dingin padanya. Pria itu bahkan pergi begitu saja, tanpa mengucap pamit atau mencium kening seperti yang dulu sering dilakukan. Mungkin ia harus benar-benar keluar dari pekerjaan setelah kasus ini selesai.
***
Kanaya dan Sabrina menuju ke rumah Pak Santoso, tempat jenazah lelaki itu ditemukan. Kamar utama di kediaman tersebut kini sudah penuh dengan kehadiran para petugas yang memeriksa saksi serta mencari barang bukti.
Tempat tidur dan barang-barang di kamar untuk diautopsi.
Setelah memeriksa semua, kedua detektif wanita tersebut bergegas keluar dari kamar. Mereka lalu menghampiri wanita paruh baya pertama kali tiba dan melihat darah merembes keluar dari kamar.
Beliau masih terlihat sedikit shock. Meski begitu, dia bercerita jika tadi saat masuk suasana sepi dan tidak ada penjaga satu pun. Kanaya segera menghampiri salah seorang penjaga dan menurut lelaki bertubuh besar tersebut, mereka semua tertidur.
Sabrina yang memeriksa kamera pengawas tidak menemukan apa-apa. Semua data sudah terhapus bersih.
***
Para wartawan ramai memberitakan kematian Pak Santoso. Mata Reina terpaku pada tayangan berita yang ditonton. Berulangkali dia menoleh ke arah Luca yang sedang bersiul senang.
"Kak, aku ingin tahu, apa benar Kakak tidak membunuh orang-orang itu?"
Luca hanya menggeleng.
Reina berdiri dan bergegas menghampiri.
"Kak, aku juga membenci mereka, tapi aku tidak mau kamu membunuh mereka."
Luca diam dan menatap Reina dengan serius.
"Aku tidak melakukannya. Kamu harus percaya padaku, Rei. Meski menaruh dendam, tapi aku bukan pembunuh."
"Tapi, Kak ...."
"Apa yang pernah kulakukan itu semua karena orang-orang jahat yang berusaha mengendalikan aku. Kamu juga tahu itu."
Reina diam dan mengangguk. Sebelumnya Luca memang dikendalikan oleh orang-orang untuk melakukan kejahatan. Tidak ingin lagi terlibat, mereka berdua terpaksa melarikan diri.
***
Adrian menatap lama wajah Shelly yang terlihat begitu cantik. Berbeda dengan Kanaya yang sering berpenampilan apa adanya. Bahkan, istrinya itu lebih sering tidak berdandan. Shelly bagaikan oase yang menyejukkan dalam kehidupan pernikahan yang terasa menjemukan.
***
Kanaya dan Sabrina menganalisa kasus pembunuhan bermotif dendam tersebut mulai dari awal. Berharap menemukan petunjuk. Berlembar foto serta kertas dokumen tergeletak berserakan di atas meja. Suara denting ponsel terdengar cukup nyaring. Ada pesan masuk dan raut wajah Kanaya berubah saat melihatnya.
"Ada apa?" tanya Sabrina.
Wanita di sampingnya itu hanya menggeleng pelan dan memasang seulas senyum terpaksa. Sabrina menatapnya penasaran. Ia yakin terjadi sesuatu pada rekannya itu.
'Kenapa Adrian begitu tega melakukannya? Menjalin hubungan dengan wanita lain?' tukas Kanaya dalam hati.
'Apa ini semua memang kesalahanku, sehingga suamiku berselingkuh?'
***
Adrian terkejut saat melihat Kanaya sudah pulang sewaktu dia masuk ke dalam rumah. Biasanya wanita itu lembur di kantor atau pulang larut malam, apalagi ada kasus pembunuhan yang sedang ditangani. Sepengatahuan pria itu, kasus pembunuhan berantai para pria berkedudukan tinggi yang sangat menggemparkan kini menjadi tanggung jawab sang istri.
Kanaya duduk sendirian di ruang tamu. Lampu sengaja dipasang redup. Dulu, mereka menganggap itu hal yang romantis, tetapi kini malah membuat suasana rumah makin muram.
"Kamu sudah pulang?" tegur Adrian pelan. Kanaya mengangguk. Wanita itu lalu mengeluarkan ponsel dan menunjukkan sesuatu padanya. Foto dirinya sedang bercumbu mesra dengan Shelly. Entah dari mana Kanaya mendapatkan gambar tersebut.
"Kenapa kamu tega melakukan ini padaku, Adrian?" tanya wanita itu dengan mata berkaca-kaca.
***
Kendaraan Sabrina melaju dengan kecepatan sedang, melintasi jalan yang mulai sepi. Pikiran gadis itu sedikit gelisah, memikirkan tentang kasus yang kini ditangani dan tentang Kanaya. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada seniornya itu. Biasanya, Kanaya bisa memikirkan hal-hal yang dapat membantu mereka menemukan pelaku. Namun, sekarang wanita itu lebih banyak diam. Entah pesan apa yang tadi masuk ke ponselnya, tetapi hal itu membuat Kanaya semakin tidak fokus pada kasus pembunuhan yang mereka tangani.
BRAAAKKK!!!
Tabrakan keras tak terhindarkan. Sabrina diam terkejut. Karena memikirkan banyak hal, ia kehilangan konsentrasi dan menabrak mobil di depan.
Gadis itu menghela napas lega karena dirinya baik-baik saja. Ia hendak berniat keluar dan meminta maaf pada pemilik mobil yang ditabrak. Mungkin juga memberi ganti rugi.
'Toh, semua memang salahku!'
Akan tetapi, tiba-tiba dari dalam mobil tersebut, keluar beberapa orang bertampang sangar. Tidak hanya itu, dua mobil lain juga berhenti di dekatnya. Dari sana juga keluar orang-orang yang membawa pentungan dan senjata tajam.
***
Luca tahu dirinya harus segera pulang. Jika tidak, Reina pasti cemas. Bukan khawatir akan terjadi sesuatu padanya, tetapi mencemaskan orang-orang yang mungkin bertemu dengannya, lalu terlibat masalah. Rasa kesal membuncah dalam hati, Reina selalu saja memperlakukan dia seperti pasien atau narapidana kambuhan. Dia bukanlah orang yang kejam, tetapi tidak mudah menghilangkan sesuatu yang sudah ditanamkan sejak kecil.
Kerumunan orang itu menarik perhatian. Jalan itu sepi. Gadis berambut panjang tersebut dengan berani menghadapi orang-orang yang mengepungnya, tetapi tetap saja mereka menang jumlah, gadis cantik itu pasti akan segera kalah dan mungkin tewas serta tidak pernah ditemukan.
'Itu bukan urusanku!' tukas Luca.
'Aku tidak boleh terlibat masalah.'
Pria itu hendak bergegas. Namun, saat ia melihat gadis tersebut sekali lagi, dirinya segera mengenali. Itu adalah detektif yang mencari dia. Seringai muncul di wajah Luca.
'Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.'
***
BUGGGHHH!!!
Hantaman keras mengenai perut Sabrina. Gadis itu menunduk sembari mengernyit kesakitan. Darah mengalir dari sudut bibir. Para preman yang menghajarnya tertawa keras.
"Kita habisi dia sekarang!!! Sayang sekali kita harus menuruti perintah bos dan tidak bisa menikmati tubuh indahnya," ujar salah seorang dari mereka sembari berdecak seolah menyesalkan hal tersebut.
"Belum terlambat!!! Kita bawa saja dia pergi dari sini, lalu kita bisa menikmati dia beramai-ramai. Kita tutupi saja semua dari bos," sahut yang lain. Semua mengangguk setuju. Tatapan mesum mereka tertuju ke arah Sabrina.
Gadis bertubuh mungil tersebut meludah sembari mendengus kasar. Ia menatap lawan-lawannya dengan berani.
"Kalian tidak akan pernah bisa menyentuh tanganku!" serunya marah.
***
'Gadis yang hebat!' seru Luca sembari berdecak kagum. Pria itu menikmati perkelahian di depan.
Bugh!!!
Sekali lagi sebuah pukulan mendarat di leher dan kepala Sabrina. Detektif muda tersebut jatuh tidak sadarkan diri. Para penjahat yang mengeroyok mendekat sembari tertawa terbahak.
'Kini giliranku,' ucap Luca pelan.
Tepukan tangan keras membuat para penjahat tersebut menoleh.
"Kalian benar-benar hebat! Mengeroyok seorang gadis yang hanya seorang diri," seru Luca sambil berjalan mendekat. Keluar dari tempat persembunyian tempat ia menyaksikan semua yang terjadi.
"Siapa kau? Beraninya ikut campur dalam masalah ini!!!" gertak salah seorang dari mereka sembari mengacungkan tongkat pemukul yang dibawa.
"Sebaiknya kau pergi dari sini dan lupakan yang kau lihat! Jika tidak, kau akan mati di sini!"
Luca tersenyum meremehkan.
"Aku sudah berada di sini, jadi tidak mungkin pergi begitu saja, dan soal kalian akan membuatku mati di sini, kurasa kalian salah. Akulah yang akan membuat kalian mati di tempat ini!"
Mendengar itu, orang-orang itu langsung memanas.
"Pemuda sombong!!!" teriak salah seorang dari mereka sembari menyerang.
Luca hanya menyeringai menatap lawannya itu.
***
"Aku tidak bermaksud melakukannya. Itu semua terjadi begitu saja. Lagipula, itu bukan sepenuhnya salahku. Kau juga bersalah, tidak pernah mengurus diri dan keluarga. Jadi, aku mencari pelampiasan," kilah Adrian membela diri.
Kanaya menggeleng. Air mata tadi menggenang kini mengalir deras membasahi pipi.
"Aku membenci pengkhianatan, tetapi jika memang itu alasanmu yang sebenarnya. Baiklah, aku berjanji padamu untuk keluar dari pekerjaan setelah kasus pembunuhan berantai lelaki tua ini selesai, tetapi kau juga harus berjanji untuk memutuskan hubunganmu dengan dia. Bersama-sama, kita berusaha memperbaiki keluarga ini."
Adrian mengangguk.
"Aku setuju!"
Kanaya hanya diam, saat sang suami menghampiri dan memeluk.
"Maafkan aku, Aya! Aku berjanji tidak akan menemui Shelly lagi."
***
"Aaakkkhhh!!!"
Jerit kesakitan terdengar keras saat pukulan bertubi-tubi diterima oleh salah seorang penjahat yang tadi menyerang Sabrina.
Wajah itu kini babak-belur dan berlumur darah. Sedang, beberapa rekannya terkapar di aspal dengan kondisi yang nyaris sama.
Siapa yang menyangka orang yang mereka anggap remeh ternyata bisa melawan mereka semua dengan tangan kosong dan menghajar dengan membabi-buta?
"To-long!!! To-long le-pas-kan ka-mi!!!" pinta orang itu dengan suara nyaris tidak terdengar karena sudah terlalu payah. Dia seorang preman yang biasa selalu memenangkan perkelahian. Baru kali ini, ada orang yang menghajarnya hingga babak-belur tidak karuan.
Seringai kejam muncul di wajah Luca, membuatnya terlihat mengerikan.
'Orang ini gila! Jika terus seperti ini, aku pasti mati.' seru sang lawan.
Luca berteriak kalap dan membanting orang tersebut ke tanah. Dengan susah-payah, beberapa penjahat berusaha terus melawan. Serangan mereka kacau karena panik dan ketakutan. Keyakinan muncul bahwa orang yang menjadi lawan bukan orang biasa, melainkan seorang pembunuh gila!
Buggghhh!!!
Seseorang dari mereka akhirnya mendapat kesempatan untuk memukul keras punggung Luca dan orang-orang itu mengambil kesempatan untuk membantu rekan yang terluka parah dan melarikan diri dengan mobil.
Luca hanya diam menatap. Ia sengaja membiarkan mereka lari. Mereka pasti akan bertemu lagi, dan jika saat itu tiba, dia tidak akan lagi melepaskan mereka. Orang-orang itu pasti mati di tangannya.
Pemuda itu lalu menoleh ke arah Sabrina yang masih belum sadarkan diri. Ia segera membopong tubuh gadis itu dan memanggil taksi untuk pergi ke rumah sakit terdekat.
***
Sopir taksi merasa tidak tenang dengan penumpangnya. Pria muda dengan seorang gadis. Ada darah di pakaian dan tangan sang lelaki, seperti habis membunuh orang. Dugaan itu membuat sang sopir makin ketakutan.
"Apa yang kaulihat? Jika kau tidak ingin bernasib buruk, maka jalankan mobilmu ini ke rumah sakit!" desis Luca dengan nada mengancam.
Sang sopir hanya mengangguk. Dengan tangan gemetar, ia mengendalikan kemudi dan menambah kecepatan. Terbayang di benak, raut wajah anak dan istri, mengapa ia tidak menuruti mereka untuk pulang lebih awal? Sekarang dirinya terlibat masalah.
***
Mereka tiba di rumah sakit. Tanpa membuang waktu, Luca segera membawa Sabrina masuk. Gadis itu masih belum sadarkan diri. Wajahnya pias dan mata terpejam rapat.
Para petugas medis segera datang menyambut mereka. Sabrina dibawa ke UGD menggunakan brankar.
Seorang dokter menghampiri Luca.
"Pak, sebaiknya Anda juga mendapat perawatan. Kelihatannya Anda juga terluka."
Luca menggeleng.
"Aku tidak apa-apa. Obati saja gadis itu!"
"Tapi, Pak ...."
"Sudah kubilang aku tidak apa-apa! Darah ini bukan milikku!" ujar pemuda tersebut sembari menepis tangan petugas media yang hendak membawanya. Tatapan mata Luca nyalang menatap mereka satu per satu.
Sang dokter yang berdiri di depannya mengangguk. Petugas medis yang berada di samping Luca bergegas menjauh. Pria muda itu hanya mendengus dan bergegas pergi dari situ.
"Pak, ...," ucap petugas medis tadi sembari menatap Luca yang menjauh.
"Biarkan dia pergi! Firasatku tidak enak, sepertinya dia orang yang berbahaya. Pasien kita mungkin berada dalam bahaya jika orang sepertinya berada di sini," potong sang dokter.
***
Reina terkejut saat Luca pulang. Kakaknya itu pulang menjelang pagi dan ada darah yang hampir mengering di pakaian. Meski awalnya merasa cemas, tetapi Reina segera menyadari bahwa itu bukan darah Luca.
"Kemana saja semalam? Apa terlibat masalah lagi?" tanya gadis itu.
Luca menggeleng.
"Aku hanya menolong orang."
Reina menghela napas panjang.
"Bukankah sudah kubilang berulang kali? Jangan ikut campur masalah orang lain! Apa tidak bisa kau diam dan berpangku-tangan? Jika ada orang terlibat masalah, segeralah pergi dari situ! Kenapa kau tidak mau mendengar kata-kataku?" sergahnya kesal.
"Aku tidak bisa melakukannya, Reina."
"Kenapa? Kau bukan pahlawan. Kau juga bukan orang baik. Apa kau lupa kejahatan yang pernah kaulakukan? Sekarang kau ingin menebusnya dan menjadi orang baik? Itu tidak akan bisa. Yang ada kau malah membuat kita dalam bahaya, jika orang-orang kita dulu menemukan keberadaan kau dan aku, apa yang akan kaulakukan?
Kita ini hidup dalam persembunyian. Jadi, kumohon padamu, jangan bertindak gegabah dan menonjolkan diri!"
Penuturan panjang sang adik hanya ditanggapi dengan anggukan oleh Luca. Hal itu membuat Reina semakin merasa kesal. Kakaknya itu tidak akan berhenti membantu orang.
Luca bergegas kembali keluar, setelah berganti pakaian di kamar. Namun, Reina segera mengikuti.
"Kau mau ke mana?" tanya gadis itu.
"Aku harus kembali ke rumah sakit dan melihat kondisi orang yang kutolong."
"Kau tidak boleh pergi!" tegas Reina sambil mengeluarkan sebuah suntikan dan dengan cepat menusukkannya ke leher lelaki itu.
"Kau ...!!!" bentak Luca marah sebelum akhirnya terjatuh dan tidak sadarkan diri.
'Maafkan aku, Kak! Aku harus melakukan ini demi kebaikan kita,' bisik Reina pelan sembari menyanggah tubuh pria muda tersebut.