Sabrina menuju ke tempat penjualan obat tersebut, tetapi menurut si penjaga apotik sudah lama Pak Iwan tidak memesan obat pada mereka.
"Sudah hampir sebulan lebih," tukasnya.
"Kami pikir beliau sudah pindah atau ...."
Kata-kata itu terhenti. Sabrina tahu yang akan dikatakan gadis muda di depannya itu. Ia mengira Pak Iwan sudah meninggal. Sabrina lalu mengeluarkan tabung sisa obat yang diambilnya dari rumah Pak Iwan.
"Bisakah diperiksa obat apa ini?"
Pegawai tersebut mengangguk, kemudian bergegas ke dalam. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan seorang wanita berkacamata yang lebih dewasa.
"Ini bukan obat, melainkan racun. Racun yang sangat berbahaya karen bersifat adiktif bagi pemakai. Orang yang meminumnya akan merasa sangat kesakitan jika berhenti, tetapi jika dilanjutkan akan berakibat kematian. Meski tahu resikonya, pengguna tidak bisa berhenti, karena tidak tahan akan rasa sakit yang mendera tubuh," jelas wanita itu.
***
Sabrina kembali ke kantor dan memberitahu hasil penemuan pada Kanaya.
"Pembunuh itu benar-benar teliti dan hebat. Ia sudah menduga hal ini, karena itu sudah mempersiapkan racun tersebut. Ia tidak bisa membunuh secara langsung seperti korban-korban yang lain, tetapi Pak Iwan akan tetap meninggal karena racun itu," ujar Kanaya sembari mengamati botol obat yang ditemukan di saku Pak Iwan. Mengingat sifat adiktifnya, meski berbahaya, lelaki itu telah memesan dalam jumlah banyak.
"Kita harus menyusuri jejak obat ini. Mungkin kita bisa mendapatkan pelaku," cetus Sabrina.
Kanaya menggeleng.
"Aku sudah menyuruh anak buah kita melakukannya, tetapi para bandar narkoba yang berada di penjara juga tidak mengenali obat tersebut. Mungkin obat ini jenis baru atau si pembunuh yang begitu cerdas meracik sendiri."
Sabrina menghela napas panjang.
"Itu artinya jalan buntu lagi?"
"Tidak, masih ada satu orang lagi yang bisa kita tanya. Pak Iwan sendiri. Kita harus menunggu dia sampai bangun. Dia bisa memberitahu kita asal-muasal obat ini."
***
Lelaki itu memakai setelan berwarna hitam. Matanya terlihat awas melihat sekeliling. Sesaat, raut wajahnya berubah kesal saat mendapati beberapa orang tengah bersiaga di depan kamar.
'Mereka menjaga penjahat itu dengan nyawa mereka. Membuatku kesal saja,' tukasnya sembari berlalu. Topi yang dikenakan menutupi sebagian wajah.
'Dasar pengganggu! Kalau begitu aku tidak punya pilihan lain.'
***
Lelaki berambut tipis kelabu itu tidak tenang. Padahal, saat ini ia tengah berada jauh dari rumah. Kemarin, saat mendapat surat ancaman serupa dengan para koleganya yang telah mati mengenaskan, dia segera bertindak cepat.
Para polisi yang mendapat laporan lalu memutuskan untuk memindahkan dia ke rumah perlindungan. Letak bangunan itu terpencil dan tidak mudah ditemukan. Jalan berkelok dan bercabang akan bisa membuat orang tersesat.
Seharusnya dia merasa aman, karena semua telah meyakinkan pembunuh itu tidak bisa menemukan keberadaannya, tetapi entah mengapa perasaan tidak tenang selalu menghantui. Mungkin sebelum pembunuh itu tertangkap, ia tidak akan benar-benar merasa aman.
'Benar!!! Lihat saja yang terjadi pada Santoso dan Iwan! Mereka mengira mereka aman, tetapi pembunuh itu tetap bisa datang dan membunuh keduanya.'
Pria bertubuh kurus dan sedikit bungkuk itu kemudian kembali duduk di kursi. Mencoba menenangkan diri dengan mengatakan pembunuh itu tidak akan bisa melakukan niatnya, tetapi di lubuk hati perasaan was-was masih terus mengganggu.
Tidak jauh di luar rumah, bersembunyi di balik gulita malam, sosok misterius bertopeng seram dan berjubah hitam sedang mengawasi. Seulas senyum muncul muncul di wajah.
'Saat kematian datang menjemput, kau tidak akan bisa lari atau sembunyi.'
***
Sabrina baru saja tiba di rumah sakit tempat Pak Iwan dirawat. Mereka harus tetap berjaga dan waspada dengan kemungkinan pembunuh itu akan muncul menuntaskan misi yang gagal.
"Kau sudah sembuh rupanya," sapa seseorang mengejutkan gadis itu.
Serta-merta Sabrina menoleh dan bertemu pandang dengan seorang pria muda yang tidak dikenalnya.
"Kau ... siapa?" tanya gadis itu mencoba berpikir keras. Namun, pemuda yang datang menghampiri justru tertawa.
"Tidak usah dipikirkan. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Baiklah, aku pergi sekarang!"
Lelaki yang tidak dikenal tersebut kemudian melambaikan tangan.
"Nona, Anda tidak mengenalnya? Dia 'kan yang malam itu membawa Anda kemari sewaktu terluka," tegur seorang perawat yang berdiri di dekat Sabrina.
Gadis itu terperanjat dan segera mengejar. Untung, lelaki muda itu belum seberapa jauh.
"Hei, kau, tunggu sebentar!" panggil Sabrina keras. Pemuda itu berhenti dan berbalik menatapnya sembari tersenyum kecil.
***
Luca sudah memperhitungkan semua. Ia tahu gadis muda itu pasti mengejarnya. Kemarin, saat mendengar kabar tentang kejadian yang menimpa Pak Iwan di televisi, ia tidak mau menyiakan kesempatan.
Selain untuk bertemu lagi dengan Sabrina, ia juga ingin tahu kondisi Pak Iwan yang sengaja dirahasiakan di televisi. Hatinya geram saat mendapati lelaki tua itu ternyata masih hidup, tetapi semua kekesalan tersebut sirna tatkala ia melihat Sabrina yang berjalan masuk menuju rumah sakit.
"Jadi benar kau yang menolongku?" tanya Sabrina sembari menatap lelaki di hadapannya itu.
Pria itu mengangguk.
"Namaku Luca," ujarnya singkat sembari mengulurkan tangan.
"Sabrina," sahut gadis itu sembari menyambut uluran tangan tersebut.
"Jadi kau benar-benar sudah pulih? Waktu itu kau pergi begitu saja, padahal aku hanya pulang sebentar," tukas Luca.
Sabrina mengangguk.
"Waktu itu, sebenarnya aku ingin menunggu, tetapi kau belum datang juga, aku langsung pergi. Aku minta maaf, kudengar dari perawat kau datang tidak lama setelah itu."
Luca mengibaskan tangan sambil tertawa lebar.
"Tidak apa, tidak masalah, yang penting kau sudah sembuh. Lalu, hari ini kenapa kau datang kemari? Apa lukamu waktu itu bermasalah atau ada orang yang ingin mencelakaimu lagi?"
Gadis itu menggeleng.
"Tidak, bukan aku, hanya saja seorang kenalanku sedang sakit dan dirawat di sini."
"Hm, kalau begitu, kau pasti terburu-buru, baiklah, aku permisi sekarang, aku sudah lega karena kau baik-baik saja," ucap Luca sembari bergegas.
"Tunggu! Ini kartu namaku! Bisakah kau menghubungi aku?" tanya Sabrina memberikan kartu namanya.
Luca tersenyum saat membaca tulisan yang tercetak di kartu tersebut.
"Kau seorang detektif ternyata, aku harus berhati-hati kalau begitu."
"Kenapa?"
"Karena jangan sampai aku berbuat kejahatan, hanya karena ingin bertemu denganmu."
Sabrina menatap lelaki itu tajam, sedang Luca tertawa terbahak.
"Rayuanmu itu benar-benar tidak bermutu! Apa kau tidak pernah merayu wanita sebelumnya?"
"Tidak! Kau yang pertama," sahut Luca dengan tatapan berubah serius.
Semburat rona merah yang menghias wajah Sabrina membuat Luca kembali tertawa.
"Baiklah, aku pergi dulu! Kau juga harus segera pergi menjenguk kerabatmu itu. Sampaikan salamku padanya!" seru Luca sembari berlalu.
Sabrina hanya mengangguk pelan.
***
Luca berjalan pelan sembari tersenyum dan bersiul kecil. Beberapa orang menoleh melihat ke arah pemuda berparas rupawan itu. Namun, Luca tidak peduli. Dilihatnya kembali kartu nama di tangan.
'Sabrina, sebagai detektif kau terlihat cukup tangguh, tetapi sebagai wanita, ternyata begitu mudah untuk menaklukkan hatimu.'
***
"Jadi, kau bertemu dengan orang yang menolongmu itu?" tanya Kanaya.
Sabrina mengangguk seraya tersenyum-senyum sendiri. Pikirannya nampak menerawang, dipenuhi berbagai khayalan indah.
"Sebaiknya kau waspada, karena ada yang aneh," nasehat Kanaya.
Sabrina menoleh sembari mengerutkan kening.
"Apa maksudmu?"
"Lelaki itu, dia terus ke rumah sakit hanya untuk bisa berjumpa lagi denganmu."
"Kenapa? Bukankah itu romantis? Setia menunggu meski tidak pasti."
Jawaban Sabrina itu membuat Kanaya menghela napas panjang. Rekannya itu masih begitu muda. Begitu hijau dengan romansa. Meski Sabrina bisa dikatakan mumpuni sebagai detektif, bisa dibilang pengalaman percintaannya nyaris tidak ada. Setelah putus dengan Arya, gadis itu seperti menutup diri dengan makhluk bernama laki-laki, tetapi pria bernama Luca ini kelihatannya berhasil mengambil hati Sabrina dalam sekejap.
"Justru itu yang aneh. Apa dia berharap kau sakit, sehingga terus menunggu di sana?"
"Pasti bukan begitu maksudnya," kilah Sabrina.
"Lalu masih ada satu hal lagi. Peristiwa pengeroyokan itu, ia berhasil melawan para preman itu, bahkan menghajar mereka hingga babak-belur, dan semua itu dilakukan seorang diri. Lalu, kamu juga lihat para preman itu nampak takut padanya? Apa kau tidak merasa aneh?"
Sabrina menggeleng.
"Mungkin itu hanya kebetulan saja."
"Tidak ada yang kebetulan, Sabrina. Kurasa pemuda bernama Luca ini bukan orang biasa, tetapi entah di sisi mana dia berada, kebenaran atau kejahatan."
Sabrina hanya diam termenung. Dering telepon menyadarkan kedua detektif itu. Raut wajah Kanaya berubah setelah mengangkatnya.
"Kenapa? Ada masalah?"
"Ada pembunuhan lagi. Kali ini di rumah perlindungan polisi. Korbannya tewas dengan cara sama seperti dengan kasus pembunuhan yang kita tangani."
***
Reina duduk di hadapan Luca dan menatap tajam lelaki itu.
"Jadi kau benar-benar melakukannya? Mendekati gadis detektif itu? Tidakkah itu terlalu beresiko?"
Luca melipat koran yang dibaca.
"Aku akan sangat berhati-hati. Dia tidak akan tahu apa pun."
Reina masih tetap menatap tidak percaya.
"Apa? Masih ada lagi yang kautakutkan?"
"Dirimu yang aku cemaskan. Kau bermain-main dengan perasaan seseorang. Bagaimana jika itu justru berbalik padamu? Bagaimana jika kau jatuh cinta padanya?"
Luca tersenyum sambil menggeleng.
"Itu tidak mungkin. Perasaan seperti cinta itu satu hal yang tidak mampu aku rasakan, jadi tidak mungkin aku tertarik pada seorang gadis. Aku hanya memanfaatkan dia untuk mencari tahu tentang pembunuh itu. Sudah begitu lama, kini tiba-tiba ada yang muncul membalas dendam untuk kita semua. Aku ingin tahu siapa dia dan jika bisa, aku akan membantunya."
Reina diam sejenak, lalu mengangguk.
"Baiklah, aku percaya padamu."
Diam-diam, dia mengamati pria itu lagi. Sampai kapan semua akan seperti ini? Kenapa orang-orang itu begitu tega membuat Luca menjadi tidak berhati seperti sekarang?
***
Sabrina dan Kanaya tiba di rumah tersebut. Lantai dan dinding bercat putih kini berubah warna menjadi merah, karena darah segar yang membanjir di tempat tersebut. Kedua detektif itu segera memeriksa tempat tersebut, tetapi tetap tidak ditemukan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.
Para petugas yang pingsan dan CCTV yang rusak jelas tidak bisa memberikan keterangan berarti. Selembar kertas bertuliskan 'MATI!!!' kembali ditemukan Sabrina di samping jenazah lelaki renta tersebut. Warna tulisan yang merah kecoklatan menunjukkan bahwa makin jelas kasus ini berhubungan dengan pembunuhan berantai yang sedang mereka tangani.
***
Lelaki paruh baya bertubuh tegap tersebut berdiri sembari sesekali memegang kepalanya yang terasa berat. Di hadapan beliau, berdiri dua detektif wanita anak buahnya, yaitu Kanaya dan Sabrina. Sebagai pimpinan, ia ingin kasus ini segera terselesaikan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya pembunuhan terus terjadi, sedang mereka malah masih berjalan di tempat, karena tidak ada petunjuk tentang kasus ini.
Pembunuhan terakhir yang menimpa Pak Yudi dan terjadi di rumah perlindungan polisi, membuat nama baik mereka memburuk. Masyarakat tidak lagi segan mengecam para petugas keamanan yang dianggap telah gagal. Saat ini, di media sosial yang dibahas hanyalah kegagalan mereka. Kini, semua menjadi bulan-bulanan dan bahan tertawaan orang-orang.
"Kita harus mencari cara menangkap pembunuh itu apa pun caranya. Sabrina, kembali ke rumah sakit dan perketat penjagaan! Pembunuh itu mungkin akan kembali ke sana."
Sabrina mengangguk patuh dan bergegas pergi.
"Kanaya, cari tahu secepatnya tentang siapa saja kolega para korban yang tersisa. Lakukan koordinasi dan berikan perlindungan ekstra! Jangan sampai jatuh korban lagi!"
Sama seperti rekannya, Kanaya juga mengangguk patuh dan bergegas keluar untuk melakukan tugas yang diembankan.
***
Ponsel Sabrina berdering. Gadis berparas manis tersebut segera mengangkatnya.
"Halo, ini aku, Luca. Apa kau masih ingat padaku?" cecar suara di seberang.
Sabrina tertawa kecil dan mengiyakan.
"Tentu, aku masih ingat padamu."
Suara bising terdengar jelas di belakang Sabrina, karena jumlah penjaga yang ditambah, juga beberapa kamera ditempatkan untuk mengantisipasi kehadiran pelaku pembunuhan.
"Kau sedang sibuk, ya? Aku mengganggu?"
"Tidak," sahut Sabrina sembari memegang ponsel erat-erat, takut pria itu tiba-tiba memutus sambungan dan dia pasti tidak memiliki keberanian untuk menelepon balik lelaki itu.
"Kalau kau sibuk, aku akan menelepon lagi nanti."
"Tidak, aku tidak sibuk, kok. Hanya sedang berjaga di rumah sakit."
"Apa terjadi sesuatu? Kerabatmu itu semakin parah sakitnya atau terjadi sesuatu padamu?"
"Tidak, tidak ada apa-apa. Ini hanya berkaitan dengan pekerjaanku saja."
"Oh begitu, aku benar-benar cemas. Apa bisa aku mampir ke sana? Aku takut terjadi sesuatu padamu."
Sabrina tersenyum kecil.
"Tidak akan terjadi apa-apa padaku. Kau tenang saja! Tidak perlu ke sini! Semua baik-baik saja."
"Baiklah, aku mengerti. Aku akan menemuimu lain kali. Jaga dirimu! Jangan sampai terluka!"
"Aku mengerti."
Seulas senyum kecil tetap menghias bibir tipis gadis itu, meski sambungan telepon telah terputus.
***
Luca berdiri tidak jauh di depan rumah sakit sambil menatap ponsel di tangan. Pandangan mata lelaki itu kemudian beralih pada bangunan di hadapannya. Seulas senyum kecil muncul.
'Aku sudah berada di sini, Sabrina. Aku benar-benar penasaran apa kalian benar-benar mampu melindungi penjahat itu? Atau pembunuh itu akan menang lagi?'
***
Seorang petugas medis yang berjaga masuk dan memeriksa kondisi Pak Iwan yang masih belum sadarkan diri. Perlahan, tangannya meraih sesuatu di dalam kantong seragam. Sebuah suntikan. Dengan cepat, dia menyuntikkan seluruh isi cairan ke dalam cairan infus pasien. Tidak lama, dia bergegas keluar.
Suara sirene tanda bahaya berbunyi nyaring. Dokter dan petugas medis segera menuju ke ruangan Pak Iwan untuk menyelamatkan nyawa, sedang Sabrina dan yang lain segera memburu petugas medis yang baru saja keluar.
"Hei, Kau!!! Berhenti!!!" teriak para petugas itu sembari terus mengejar. Suasana rumah sakit yang ramai membuat mereka tidak mungkin melepaskan tembakan. Hingga akhirnya, mereka berhasil membuat orang itu terdesak. Saat Sabrina dan yang lain berpikir petugas medis itu akan menyerah, tiba-tiba dia melompat dan terjun ke bawah.