Chereads / lover secret / Chapter 8 - Delapan

Chapter 8 - Delapan

Luca menyantap dengan tenang sarapan pagi yang dibuat Reina. Gadis muda itu kini duduk di sampingnya.

"Bukankah aku sudah memperingatkan gadis itu pasti menaruh curiga padamu? Dia itu seorang detektif. Pasti merasakan ada yang aneh," tukasnya setelah mendengar cerita Luca tentang pertemuan semalam dengan Sabrina.

Tidak ayal ada rasa cemburu menghunjam dalam dada. Dulu, dia juga sempat menaruh hati pada Luca. Tumbuh dan dibesarkan bersama membuat dia memiliki rasa lebih pada pria itu, tetapi Luca selalu menegaskan bahwa dia hanya menganggap Reina sebagai adik. Reina juga memahami sepenuhnya hidup telah membuat Luca tidak mengenal cinta, tetapi kini dia mendekati seorang gadis. Meski bukan karena rasa suka, tetapi Reina tidak mampu menepis cemburu yang bergejolak dalam dada.

"Jangan khawatir! Aku sudah membuat dia sepenuhnya percaya padaku. Sabrina mungkin detektif yang cerdas, tetapi dia tetap seorang wanita. Dia butuh dicintai dan aku akan memberikan itu."

Reina kembali diam. Dia tahu Luca hanya asal bicara. Pria itu tidak pernah benar-benar memahami cinta. Dia dibesarkan untuk menghabisi nyawa seseorang dengan tidak berperasaan. Namun, rasa cemas tetaplah ada. Bagaimanapun, Luca bukanlah batu, terlepas dari dirinya yang tidak mengenal cinta, Luca tetaplah manusia biasa. Hati bisa saja luluh dan perasaan tersebut akan tumbuh.

"Itu terlalu beresiko. Kenapa tidak kau urungkan saja niatmu?" bujuk Reina sekali lagi. Hati kecilnya benar-benar berharap pria itu berubah pikiran.

Luca menggeleng.

"Tidak akan! Kau tenanglah. Semua akan baik-baik saja."

Lelaki muda itu lalu tersenyum. Tidak mengetahui perasaan gadis di sampingnya yang semakin bercampur-aduk.

'Meski dia tidak pernah menganggapku lebih dari sekedar adik, tetapi aku tetap berharap suatu saat dia akan mengerti. Aku tidak ingin perasaan yang seharusnya menjadi milikku malah dimiliki gadis lain' bisik Reina dalam hati.

'Apa aku salah dan terlampau egois?'

***

Kanaya dan Sabrina berusaha menyingkirkan masalah pribadi yang membebani otak mereka, karena kini ada masalah lain yang lebih penting. Pak Iwan sudah sadar!

Lelaki tua itu merasa tidak aman di rumah sakit setelah mengetahui serangan yang terjadi padanya. Sabrina dan Kanaya menyusun strategi agar bisa membawa Pak Iwan keluar dengan selamat, karena mereka cemas pembunuh itu akan bertindak nekat dan mengambil kesempatan untuk menyerang lagi.

Setelah berdiskusi sekian lama, akhirnya strategi itu dijalankan.

***

Pak Iwan memang bukan orang biasa. Kabar kesembuhan beliau tersiar luas tanpa bisa dibendung. Banyak wartawan dan masyarakat awam yang datang untuk melihat. Inilah yang dikhawatirkan para petugas, siapa pun bisa menyusup untuk melukai Pak Iwan dan menimbulkan kekacauan.

Saat sosok yang ditunggu itu keluar dengan menggunakan penutup wajah dan gaun rumah sakit. Suasana semakin ramai. Semua riuh berdesakan hendak mendekat.

Seorang perawat nampak berjalan mendekat. Lelaki muda itu berusaha meredakan keributan dan membuka jalan. Namun, tiba-tiba dia berbalik dan menyerang Pak Iwan yang berada di kursi roda dengan suntikan yang dibawa. Suasana berubah semakin kacau. Orang-orang terlihat panik. Lelaki yang berada di atas kursi roda berhasil menghindar, ternyata dia bukan Pak Iwan, melainkan petugas yang sedang menyamar.

Pria muda yang tadi menyerang nampak ketakutan dan bergegas melarikan diri. Para petugas keamanan segera mengejar.

"Ayo! Jangan sampai dia lolos atau berbuat nekat!" tukas Sabrina sembari bergegas ikut mengejar. Mereka cemas orang yang hendak membunuh Pak Iwan kembali berbuat nekat seperti perawat sebelumnya yang memilih loncat dari lantai atas daripada tertangkap.

Lelaki muda itu berlari tidak tentu arah. Dia lalu melihat ruangan tangga darurat dan segera menuju ke sana. Pemuda itu bergegas berlari menuruni tangga. Langkahnya terhenti saat melihat sosok bertubuh tinggi menunggu.

"Kau sudah gagal!!!" ujar orang misterius tersebut.

"Dan itu artinya kau harus mati!"

"Ma-afkan aku! Ku-mohon ma-afkan aku!" pinta lelaki muda tersebut dengan suara bergetar ketakutan. Tubuhnya gemetar hebat dan keringat dingin mengucur deras.

Orang di hadapannya hanya tersenyum sambil menggeleng. Merasa sia-sia memohon agar nyawanya dilepaskan, laki-laki muda itu bangkit untuk melarikan diri. Namun, rasa takut yang terlanjur menguasai, justru membuat dia tidak berhati-hati dan terjatuh setelah beberapa langkah. Sosok misterius itu tersenyum semakin lebar dengan sebilah pisau terhunus di tangan kanan.

***

"Aaakkkhhh!!!"

Jeritan keras penuh kesakitan dan ketakutan tersebut terdengar membahana. Sabrina dan yang lain segera menghampiri. Tadinya, mereka sempat kehilangan jejak orang yang mereka kejar. Kini, semua bergegas menuju tangga darurat.

Sabrina nyaris memekik ngeri saat melihat orang yang mereka buru tergeletak di salah satu anak tangga dengan kaki dan tangan terjuntai. Darah mengalir deras dari tubuh pemuda malang itu. Menuruni satu demi satu anak tangga.

'Terlambat! Lagi-lagi kita terlambat!' keluh Sabrina dalam hati.

***

Luca berdiri di halaman depan rumah sakit sembari menggeleng.

'Bodoh!!! Lagi-lagi mereka tertipu. Apa kali ini harus aku yang turun tangan dan mengirim pria jahat itu ke neraka?' tukasnya dalam hati sembari menatap ke arah kendaraan yang membawa Pak Iwan pergi.

***

Sabrina sedang duduk termangu. Ia terkejut saat melihat Luca datang menghampiri.

"Kau baik-baik saja?" tanya pemuda itu dengan nada cemas.

Gadis itu hanya mengangguk.

"Kenapa kau bisa ada di sini?"

"Sama seperti yang lain, tadi aku datang hanya untuk menonton, tetapi lalu aku juga melihatmu. Kau benar-benar hebat!" ucap Luca sembari mengacungkan jempol.

"Apa kau sedang mengejekku? Seorang pemuda meninggal karena aku gagal. Aku detektif yang payah."

"Tetapi, orang yang akan dibunuh itu selamat. Itu artinya kalian berhasil, dan aku tidak bermaksud mengejek, tadi saat melihatmu memimpin dan memberi perintah pada orang-orang yang berbadan lebih besar, kau benar-benar luar biasa."

"Sudah!!! Hentikan memujiku! Bagaimana pun juga aku tetap merasa gagal karena ada nyawa yang melayang."

"Tetapi itu bukan salahmu! Pembunuh itu benar-benar pintar dan sudah memikirkan semua. Sekarang, aku justru cemas bagaimana kalau kau berhadapan dengan si pembunuh?"

"Apa? Kau ingin aku berhenti?"

Luca tersenyum sambil menggeleng.

"Tidak! Jika pembunuh itu datang, aku yang akan melindungimu."

"Luca, hentikan! Jangan berkata seperti itu! Kau tidak akan bisa menghadapi pembunuh kejam itu."

Pria itu menggenggam erat tangan Sabrina.

"Aku serius! Aku akan melindungimu, Sabrina," ucapnya sembari menatap langsung manik mata gadis muda itu.

***

Kanaya dan yang lain sudah tiba di kediaman orang tua Pak Bobi, atasannya. Karena terletak di desa dan sudah tidak dihuni, tempat itu bisa dikatakan relatif sepi dan aman.

Pak Iwan sempat mengeluh, tetapi akhirnya dia menyerah setelah tahu yang terjadi di rumah sakit. Untunglah, dia bisa selamat dari percobaan pembunuhan tersebut. Kini yang bisa dilakukannya adalah bersembunyi di tempat itu agar bisa tetap hidup.

***

Adrian melihat berita tentang kejadian di rumah sakit tersebut melalui televisi. Meski tahu, sang istri tengah bertugas di tempat itu, dia tidak ambil pusing. Kini, di pikirannya hanya ada Shelly.

Gadis muda yang sangat dirindukan tersebut datang menemui Adrian. Lelaki itu segera merengkuh sang kekasih. Pakaian ketat yang dikenakan Shelly sungguh membuat gairah Adrian bergejolak tidak tertahan. Semua harus segera dipuaskan.

Tidak berapa lama, Adrian terlelap lelah di samping Shelly. Gadis muda itu menatap pria itu sembari tersenyum.

'Begitu mudah, begitu mudah mendapatkan mereka.'

Ingatannya lalu membayang pada sosok Luca.

'Kau juga pasti akan jatuh dalam jeratku. Tidak satupun pria pernah bisa bertahan pada pesonaku.'

Dia lalu menoleh pada sosok Adrian yang masih terbuai mimpi.

'Pada saat itu, aku akan membuangmu, Sayang, karena sejujurnya aku sudah merasa bosan padamu.'

***

Sabrina menceritakan peristiwa di rumah sakit kepada Kanaya dan Pak Bobi.

"Pembunuh ini sangat nekat. Memanfaatkan orang lain dan membunuh mereka saat tidak lagi berguna, bahkan memaksa mereka untuk bunuh diri. Hal ini membuat sangat sulit ditangkap," ujar atasan mereka itu.

"Lalu pemuda yang meninggal itu apa sudah ditemukan identitasnya dan hubungan dia dengan si pembunuh?"

Sabrina menggeleng.

"Dia hanyalah mahasiswa miskin yang membutuhkan uang untuk membiayai adik-adiknya di kampung."

"Pembunuh ini tahu dan memanfaatkan kelemahan mereka. Kita harus segera bisa menangkap dia, jika tidak mungkin lebih banyak lagi orang yang dimanfaatkan."

***

Kanaya duduk di kursi yang berada di hadapan Sabrina. Sebuah meja kayu berwarna coklat tua yang selama ini menjadi meja kerja kedua detektif wanita tersebut berada di antara mereka.

"Apa yang kau sembunyikan dari kami?" tukas Kanaya sembari menatap tajam rekan yang selama selalu dia percaya.

"Tidak ada," sangkal Sabrina sembari menggeleng.

Kanaya tetap menatap lekat gadis muda itu. Tidak sedetikpun ia melepaskan pandangan dari Sabrina.

"Jangan berbohong, Sabrina! Salah seorang anak buah kita berkata bahwa waktu itu ada pemuda yang datang menemuimu. Siapa dia?"

Sabrina menghela napas panjang, lalu menutup dokumen yang baru saja dibuka dan belum sempat dipelajari.

"Luca. Dia berada di sana hari itu dan menemuiku untuk menghiburku. Itu saja. Ada masalah?"

"Iya, masalah besar. Kau tidak merasa ada yang aneh?"

"Apa? Apa yang aneh? Dia hanya datang menemuiku. Di mana letak keanehannya?"

"Kenapa dia bisa berada di rumah sakit?"

Sabrina memutar bola matanya. Entah ada apa dengan Kanaya, bisa-bisanya ia mencurigai seseorang tanpa bukti yang kuat.

"Kanaya, puluhan orang berada di rumah sakit waktu itu. Apa kau juga akan mencurigai mereka semua?" sergah Sabrina kesal.

"Tapi, tetap saja aku merasa ada yang salah dengan lelaki bernama Luca itu."

Rekan juniornya tersebut hanya menggeleng sembari menghela napas panjang.

Kanaya termenung sejenak, kemudian tiba-tiba berkata,

"Bagaimana kalau kau pertemukan aku dengan Luca? Aku ingin bertanya langsung padanya."

Sesaat Sabrina terlihat ragu. Namun, akhirnya ia mengangguk setuju.

***

Luca benar-benar tidak menyangka Sabrina akan menghubungi lebih dulu untuk mengajak bertemu. Menurut pengamatan selama bertemu gadis itu untuk kesekian kali, Sabrina bukanlah termasuk dalam golongan yang suka mengejar-ngejar pria. Namun, tentu saja dia tidak menolak.

'Ini kesempatan bagus untuk semakin dekat dengan dia dan tahu lebih banyak tentang kasus ini.'

Reina sempat melarang, saat tahu tentang ajakan Sabrina untuk bertemu. Ia cemas semua hanya jebakan. Selain itu, ada hal lain mengganjal di hati. Bagaimana kalau Luca benar-benar jatuh cinta pada Sabrina? Luca memang dibesarkan tanpa pernah mengenal cinta dan perasaan, tetapi dia tetap manusia yang hatinya bisa saja berubah.

Akan tetapi, Luca tetap bersikeras pergi. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk lebih dekat dengan Sabrina.

***

Suasana di restoran terlihat tenang. Nuansa klasik nan megah yang disuguhkan membuat para pengunjung merasa nyaman. Berbagai lukisan dan ukiran juga diletakkan untuk menambah keindahan tempat makan tersebut.

Luca tercengang sejenak. Sebagai anak yatim-piatu yang hidup tanpa sanak keluarga semenjak kecil tidak pernah ia membayangkan bisa masuk ke tempat semacam itu. Andai orang tuanya masih ada, mereka pasti senang bisa berkunjung ke tempat itu.

Rasa sakit seolah menohok dalam tubuh. Dulu, jika dia menangis teringat ayah dan ibu, orang-orang organisasi pasti akan memarahi atau memukul. Mereka mengganti semua perasaan dalam hatinya menjadi amarah, kebencian, dan dendam. Hanya itu, yang sampai sekarang ada padanya. Hingga dia berdiri di depan restoran bergaya kolonial tersebut dan teringat pada orang tuanya.

"Kau kenapa?" tegur Sabrina.

"Apa kau baik-baik saja?"

Gadis itu tiba-tiba berdiri di sampingnya dan menatap dengan penuh perhatian.

Wajah Luca yang memucat dan keringat dingin yang mengalir di kening membuat Sabrina cemas. Namun, pria yang bersamanya itu kemudian meraih tangannya.

"Aku baik-baik saja. Ayo kita masuk!"

***

Luca duduk bersidekap menatap wanita di hadapannya, yang balas menatap tajam. Tadi, Sabrina memperkenalkan wanita itu sebagai rekan sekaligus seniornya. Pria itu merasa kurang nyaman dengan kehadiran wanita bernama Kanaya itu. Tatapan menyelidik yang sedari tadi diarahkan padanya membuat Luca tahu bahwa dia tidak bisa menyembunyikan apa pun.

"Kanaya ingin bertemu denganmu," tukas Sabrina tiba-tiba mencoba mencairkan ketegangan.

Dia merasa tidak enak pada Luca. Pria itu pasti merasa canggung dengan kehadiran Kanaya.

Sabrina berdehem sejenak.

"Baiklah, aku ke belakang sebentar."

Kedua orang itu hanya diam saja. Sabrina segera berlalu dengan perasaan was-was. Sebenarnya, dia tidak ingin pergi, tetapi Kanaya tadi berkata ingin bicara berdua dengan Luca.

***

Luca menyesap sedikit minuman di hadapan sebelum meletakkan kembali di atas meja.

"Kenapa kau mendekati Sabrina? Apa tujuanmu?" tanya Kanaya tiba-tiba. Mata hitamnya tetap lekat menatap pemuda tersebut.

"Aku menyukai Sabrina," jawab Luca singkat.

"Jangan berbohong padaku! Aku tidak bisa kau bohongi seperti kau menipu Sabrina."

"Apa kau selalu seperti ini menaruh curiga pada setiap orang?"

"Aku tahu orang seperti apa kau ini. Kau bukan orang baik! Sebaiknya sekarang kau jujur dan katakan apa motivasimu mendekati Sabrina?"

Luca berdecak sembari menggeleng.

"Kau terlalu mencurigaiku. Aku sudah mengatakan yang sejujurnya bahwa aku menyukai Sabrina. Aku jatuh hati padanya. Terserah padamu mau percaya atau tidak, itu bukan urusanku, dan setahu aku, kau hanya rekan kerja, bukan keluarga Sabrina, jadi apa pun yang kaupikirkan, itu tidak ada pengaruhnya untukku."

Mata Kanaya berkilat marah. Dia bangkit berdiri sembari tetap menatap Luca tajam.

"Pembohong sepertimu tidak akan bertahan lama! Aku akan mencari tahu semua dan membongkar rahasiamu di depan Sabrina."

Luca tersenyum kecil.

"Coba saja kalau kau bisa! Sebelum itu, sebaiknya kau pikirkan tentang dirimu sendiri!"