Chereads / lover secret / Chapter 13 - Tiga belas

Chapter 13 - Tiga belas

Adrian terkejut. Bola matanya melebar sesaat. Sementara Kanaya masih terus menatap tajam.

'Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Kanaya justru berbalik menaruh curiga padaku?' tukasnya dalam hati.

'Luca. Pasti Luca diam-diam telah memberitahu hubungan dia dengan Shelly pada Kanaya. Pemuda itu benar-benar harus diberi pelajaran. Berani betul dia memberitahu hal itu pada Kanaya? Mungkin dia sengaja ingin membalas aku dan Shelly.'

"Kau dengar itu dari Luca? Bukankah kau sendiri bilang dia itu pembohong ulung? Tadi kau begitu mempercayai aku dan Shelly, tapi sekarang justru curiga padaku. Luca sangat pintar. Ia bisa sengaja mengatakan itu untuk mengadu-domba kita. Ia ingin kita bertengkar dan saling menaruh curiga."

Kanaya diam. Dia tahu kata-kata Adrian memang benar, tetapi mengapa ia masih saja ragu? Rumah tangga mereka sudah lama jauh dari kehangatan. Mereka hanya bertahan demi Kayla. Tentu saja, hal itu bisa membuat Adrian dengan mudah berpaling pada wanita lain.

Meskipun hanya demi Kayla, tetap saja rasanya begitu berat untuk melepaskan Adrian bersama wanita lain.

'Mungkin karena cinta itu masih ada,' tukas Kanaya dalam hati.

'Aku masih begitu mencintai suamiku.'

***

Reina masih memendam kesal. Dia tidak terima ada orang yang memfitnah Luca dan lolos begitu saja. Gadis itu menunggu di depan kantor detektif tempat Kanaya dan Sabrina bekerja. Saat seorang petugas keluar, gadis itu segera menghampiri dan memberi sejumlah uang yang baru ia ambil dari tabungan. Dia meminta informasi tentang wanita yang melaporkan Luca sebagai ganti uang yang dia berikan.

Petugas muda itu memberitahukan segala, bahkan ia kembali masuk ke dalam kantor untuk memberikan alamat Shelly kepada Reina.

Tanpa pikir panjang, Reina langsung menuju ke alamat tersebut.

"Apa kau yang bernama Shellya?" tanya Reina saat tiba di alamat tersebut pada sosok perempuan cantik yang berdiri di depan rumah.

"Benar, ada apa ya?"

Plak!!!

Tanpa berkata apa-apa, tangan Reina melayang menampar wajah Shelly.

"Kau ini apa-apaan! Tiba-tiba datang dan langsung menamparku! Kita bahkan tidak saling mengenal!" tukas Shelly marah sembari memegang pipinya yang memerah. Rasa nyeri menjalar di wajahnya.

"Tamparan itu untuk menyadarkanmu agar kau berhenti mengganggu Luca!" sahut Reina sembari menatap gadis itu tajam.

"Siapa kau?"

Wajah Shelly yang semula nampak kesakitan kemudian berubah. Senyum sinis tersungging di bibir tipisnya.

"Jadi kau juga menyukai Luca? Wow, tidak kusangka lelaki dingin sepertinya ternyata memiliki banyak wanita, tetapi itu wajar, Luca memang menarik, tapi sayangnya, hati dia sudah menjadi milik gadis detektif itu."

Shelly kemudian bersidekap sembari tersenyum penuh kemenangan.

"Kita berdua adalah sama. Mencintai orang yang tidak balas mencintai kita, lalu kenapa kau melampiaskan amarahmu padaku?" lanjutnya.

"Aku tidak sama denganmu," tukas Reina sembari tetap menatap Shelly.

"Kau adalah wanita gila yang obsesif. Yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan apa pun yang kau inginkan. Kau hanya ingin mendapatkan mereka untuk memuaskan hasratmu."

Shelly tersenyum kecil.

"Aku benar-benar kasihan padamu, karena kau tidak akan bisa mencintai seseorang dan orang yang mencintaimu juga akan meninggalkanmu."

"Kau salah!" teriak Shelly keras, tetapi Reina tidak peduli lagi. Ia berbalik dan bergegas pergi.

"Kau salah!!!"

Shelly berteriak sekali lagi. Ia lalu tertawa terbahak-bahak. Dia tidak akan pernah kalah. Meski Luca menolaknya, tetapi ia yakin Adrian tidak akan pernah meninggalkan dia.

***

Hari sudah berganti sore. Luca bersiul-siul gembira. Ia benar-benar sumringah. Acara makan malam kemarin terkenang di benaknya. Sayang, hari ini Sabrina kembali sibuk dengan pekerjaan, sehingga mereka tidak bisa pergi. Padahal, Luca begitu merindukan kehadiran gadis itu. Ia tidak menyangka bahwa semua yang dia pelajari dari film romantis yang ditonton ternyata berguna.

Langkah kaki Luca menapak ringan. Ia baru saja selesai mengantar kiriman barang. Hasil kerja di tempat antar barang tersebut lumayan. Setidaknya, ia bisa meringankan beban Reina yang bekerja keras membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan mereka berdua.

Sekelompok orang tiba-tiba datang menghadang laju motor yang dikendarai Luca.

"Ada apa?" tanya pemuda itu sembari turun dari motor, tetapi mereka tidak menyahut dan langsung hendak memukul Luca. Untung, ia bisa menghindar.

"Kalian ingin mencari masalah rupanya!" seru Luca sembari tersenyum.

"Baiklah, aku tidak akan segan."

Baku-hantam terjadi tidak terelakkan. Beberapa orang membawa besi pemukul, tetapi mereka tetap bukan tandingan Luca.

"Aaakkkhhh!!!" teriak salah seorang dari mereka kesakitan saat Luca mematahkan tangannya tanpa ragu. Yang lain mundur ketakutan, mereka menyadari kali ini lawan mereka lebih unggul daripada mereka, meski hanya seorang diri.

Luca tidak melepaskan mereka. Ia mendatangi salah seorang dari mereka. Meninjunya berulang kali hingga babak-belur. Mereka yang lain melarikan diri.

Luca meraih kerah orang yang habis dihajar habis-habisan olehnya itu.

"Siapa yang menyuruh kalian?"

Orang itu menggeleng ketakutan. Luca mengambil pisau lipat yang terselip di pakaian sang lawan. Lelaki malang yang biasa ditakuti tersebut menangis memohon agar Luca melepaskan dia.

"Katakan! Katakan siapa yang menyuruh kalian!" gertak Luca. Ia mendekatkan bagian tajam pisau itu dan tanpa ragu menyayat wajah pria yang tidak berdaya tersebut.

"Aaakkkhhhh!!!"

Pria itu menjerit kesakitan sembari memegangi pipi yang sobek dan mengeluarkan darah segar.

Luca tersenyum kecil melihatnya.

"Sekarang beritahu aku atau aku akan dengan senang hati mengeluarkan lebih banyak darah dari tubuhmu!" ujarnya sembari menghunus pisau lipat tersebut.

***

"Orang itu bukan orang biasa," ujar suara di seberang saat menelepon Adrian.

"Apa maksud kalian? Jadi kalian tidak bisa mengatasi dia?" bentak Adrian marah. Tangannya mengepal erat.

"Dia itu sangat hebat, bahkan bisa melawan kami semua, selain itu, dia juga gila. Kami semua tidak mau berurusan dengannya. Anda juga, bagaimana bisa berurusan dengan orang seperti dia? Pria itu bisa membunuh orang tanpa mengedipkan mata, bahkan tanpa belas kasihan sedikitpun. Sebaiknya, Anda meminta maaf jika punya masalah."

Adrian menggeleng. Pria itu lalu berteriak marah dan membanting telepon di lantai.

'Orang-orang bodoh! Bagaimana bisa mereka malah mengatakan agar dia menyerah? Luca yang mencari masalah lebih dulu dan sekarang, dia yang harus menyerah?'

"Itu tidak akan terjadi!!!" teriak Adrian marah.

***

Larut malam, Adrian keluar dari kantor dan menuju mobil. Ia terkejut saat membuka pintu mobil dan melihat sebuah pisau lipat menancap di jok pengemudi.

"Itu peringatan untuk Anda. Lain kali pisau itu tidak akan menancap di kursi mobil Anda, melainkan di jantung Anda, Tuan Adrian," seru Luca yang tiba-tiba muncul di belakang Adrian sembari tersenyum sinis.

"Kau!!!" teriak Adrian sembari berbalik. Namun, ia berhenti berkata-kata. Sorot mata yang dingin serta senyuman miring di wajah Luca membuat dia membeku ketakutan.

"Bagaimana? Apa kau masih ingi melawanku?" desis Luca tanpa melepaskan melepaskan tatapan dari Adrian.

"Kalau begitu, kau harus bersiap untuk mati!"

***

"Apa yang terjadi? Apa ada yang mencelakaimu?" tanya Reina panik melihat wajah Luca yang berdarah dan memar-memar.

"Kekasih Shelly yang melakukan ini, tetapi kamu jangan cemas. Aku sudah memberi dia pelajaran," sahut Luca sembari tersenyum kecil.

"Apa maksudmu?" tukas Reina sembari duduk di sofa sebelah lelaki itu.

"Jangan cemas! Aku tidak membunuh dia! Aku hanya memberi sedikit peringatan padanya, tetapi jika dia macam-macam lagi, aku tidak akan melepaskan dia dan juga Shelly," ucap Luca. Tatapannya lurus ke depan dan penuh tekad.

"Kau tidak boleh melakukan itu!" tegas Reina. Gadis itu merasa cemas saat melihat Luca. Orang-orang jahat itu sudah membuat pria itu kembali ke naluri awalnya sebagai pembunuh, padahal Reina bisa melihat Luca mulai berubah. Ia mulai bersimpati dan mencintai orang lain.

'Kenapa mereka mendorong Luca kembali ke dalam jurang?' seru gadis itu dalam hati.

"Luca, dengarkan aku!" ucap Reina sembari menggenggam erat tangan pemuda itu.

"Kau tidak boleh kembali menjadi pembunuh yang tidak berperasaan. Kau memiliki Sabrina dan juga aku. Kau tidak boleh kembali ke masa lalu!"

Pemuda di sampingnya diam, lalu menatap Reina lama, sebelum akhirnya mengangguk. Reina menghela napas lega. Setidaknya, masalah ini bisa teratasi, tetapi sekarang dia harus terus mengawasi Luca.

'Ia kembali dalam kondisi rawan. Sedikit saja masalah terjadi, ia akan lepas kontrol dan melukai orang lain,' ucap Reina dalam hati.

***

Pagi hari, setelah mengantar Kanaya dan Kayla, Adrian pergi ke tempat Shelly.

"Sebaiknya kita berhenti mencari masalah dengan Luca, dia orang yang berbahaya. Ia benar-benar membuat aku ketakutan semalam," tukas Adrian setelah menceritakan semua yang terjadi.

Shelly hanya diam dan mengangguk.

"Aku juga berpikir seperti itu. Mendengar dari yang kauceritakan, kurasa lebih baik kita tidak berurusan dengan dia lagi. Lagipula, jika sampai ada sesuatu yang terjadi, Kanaya pasti akan tahu. Kau belum siap 'kan berpisah dengan dia?" ujarnya setelah diam cukup lama.

"Aku hanya tidak ingin berpisah dengan Kayla."

"Tidak apa-apa, aku bisa mengerti. Asal kau tetap ada untukku dan putra kita, aku akan tetap menerima keputusanmu."

Adrian tersenyum, lalu memeluk kekasih gelapnya itu.

"Aku sangat mencintaimu. Kaulah satu-satunya yang ada di hatiku. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu," ujarnya kemudian mencium lembut gadis itu.

Shelly tertawa senang dalam hati. Gadis yang menemuinya itu salah. Adrian sangat mencintai dia dan tidak akan meninggalkannya. Dia tidak akan membiarkan itu terjadi.

***

Kayla berjalan pulang dari sekolah. Lagi-lagi, ia harus pulang sendiri, karena ayah dan vibunya tidak datang menjemput. Entah mereka sibuk atau lupa, tetapi sudah cukup sering kedua orang tuanya itu lupa menjemput. Meski begitu, Kayla tidak marah dan tetap menyayangi mereka, terutama ibunya. Di mata Kayla, ibunya adalah superhero yang berkelahi dan menangkap orang-orang jahat. Ia sangat memuja ibunya.

Seorang badut yang membawa banyak balon melambaikan tangan padanya. Tanpa pikir panjang, Kayla mendekat. Badut tersebut menyerahkan sebuah balon, lalu dengan cepat membekap dan membopong gadis kecil itu.

"Tolong!!!" teriak Kayla sembari berusaha meronta. Namun, semua sia-sia. Jalan juga begitu sepi, sehingga tidak ada orang yang datang menyelamatkan gadis kecil itu.

Tubuh mungil bocah perempuan tersebut kemudian dimasukkan paksa ke dalam mobil van hitam yang sudah menanti. Kendaraan itu kemudian berlalu pergi dengan cepat.

***

Ponsel Kanaya berdering nyaring. Wanita itu melihat sesaat. Ia lalu mematikan karena sedang rapat dengan rekan-rekannya dan panggilan tersebut berasal dari nomor yang tidak dikenal.

Sesudah rapat, ponsel kembali berdering. Kali ini, Kanaya segera mengangkat. Suara wanita di seberang terdengar panik.

"Nyonya, saya tadi ke sekolah Kayla untuk menjemput dia, tetapi tidak ada dan sampai sekarang belum pulang."

"Apa? Sebentar, mungkin dia bersama ayahnya," ujar Kanaya mencoba untuk tetap tenang. Wanita yang baru saja menelepon adalah pengasuh paruh waktu yang disewa untuk menjaga Kayla.

Kanaya menelepon Adrian. Wanita itu berubah panik saat mendapati bahwa Kayla juga tidak bersama lelaki tersebut. Ia mencoba menelepon guru dan teman-teman Kayla, bahkan para tetangga, tetapi tidak ada yang melihat keberadaan gadis kecil itu.

"Kanaya, ada apa?" tegur Sabrina. Kanaya hanya menggeleng. Air mata bercucuran deras di wajah.

"Kay-la ... Ku-rasa sesuatu terjadi pada putriku, Sabrina."

"Apa maksudmu?"

Dengan suara tersendat karena menangis, Kanaya menceritakan semua.

"Tenanglah, mungkin dia hanya sedang mampir ke suatu tempat."

"Tapi, firasatku buruk tentang ini. Aku takut sesuatu mungkin menimpanya."

"Kita berdoa dan aku akan bantu mencari dia. Ok?"

Kanaya hanya mengangguk. Sabrina segera memeluk rekannya itu dan bergegas menuju sekolah Kayla bersama beberapa anak buah untuk melakukan pemeriksaan.

***

Sabrina mendesah pelan. Dia sudah memeriksa kamera pengawas dan menanyai para guru serta orang-orang di sekitar sekolah, tetapi mereka hanya tahu gadis kecil itu berjalan keluar dari sekolah, selebihnya tidak ada yang melihat keberadaan Kayla. Kamera pengawas juga menunjukkan hal yang sama.

'Ini buruk. Seseorang mungkin menculik Kayla dan orang itu mengincar Kanaya atau kami semua,' ucap gadis itu dalam hati. Tidak dapat dipungkiri, pekerjaan sebagai detektif membuat mereka memiliki banyak musuh, terutama para penjahat yang kadang menaruh dendam dan berbuat nekat.

Sabrina masih ingat sering sekali ia dan Kanaya mendapat teror. Bahkan pernah mobil dinas yang terparkir di halaman kantor tiba-tiba meledak begitu saja. Mobil pribadinya juga pernah dirusak berulang kali. Teror juga yang mempertemukan dia dengan Luca yang menolongnya dari kepungan preman yang ingin membalas dendam.

'Bagaimana kalau ini hal yang sama? Para penjahat itu mungkin berbuat nekat. Kayla, gadis kecil itu pasti ketakutan. Kami harus menemukan dia sebelum terjadi sesuatu padanya,' tekad Sabrina.

***

Ponsel Kanaya kembali berdering. Wanita yang sedang panik itu segera mengangkat. Berharap dari Sabrina yang mengabarkan bahwa dirinya sedang bersama Kayla dan putrinya itu baik-baik saja.

"Ibu!" panggil suara di seberang.

"Kay, kamu di mana? Kamu sudah pulang?"

"Belum, aku main ke rumah teman Ibu. Orangnya baik deh, tadi aku sempat takut sih, karena nggak kenal, tapi terus dia bilang kalau dia teman Ibu dan Ibu yang menyuruh dia jemput aku, karena sedang sibuk," tutur Kayla panjang lebar.

"Nak, kamu ...."

"Kamu sudah dengar 'kan suara putrimu? Sekarang dengarkan permintaanku atau putrimu akan mati!"

"Aku tidak membuat kesepakatan dengan penjahat sepertimu. Kembalikan Kayla sekarang!"

"Pilihan ada di tanganmu. Kau turuti permintaanku atau kau akan segera melihat mayat anak kesayanganmu ini!"

"Baiklah, aku akan turuti kemauan kalian, tetapi jangan berani kalian menyentuh atau melukai putriku!"

"Pilihan yang bagus, Nyonya Detektif. Sekarang ini yang harus kaulakukan!"